Asing Membodohi Ekonom(i) Kita

Posted: 24 November 2010 in Ekonomi Bisnis
Tag:, , , , ,

Gedung Indosat Jakarta. Indosat salah satu perusahaan negara yang sempat diakuisisi pihak asing

Kekonyolan sering muncul dan terjadi di negeri ini. Secara konsisten dan berulang-ulang. Dan sialnya lagi, kekonyolan itu tak banyak orang yang tahu. Kecuali para sarjana dan teknokrat kita, yang masih bersih dan belum terkooptasi dengan pemikiran ekonomi liberal. Masalah ekonomi dan isu di seputarannya, memang hangat untuk diperbincangkan. Terlebih lagi jika terkait dengan intervensi dan kepemilkian asing di dalamnya. Seperti kasus baru-baru ini, yakni penawaran umum perdana (IPO) saham PT. Krakatau Steel (dengan kode Bursa : KRAS) di Bursa Efek Indonesia.

Pada kasus ini, muncul masalah mengenai penentuan harga perdana yang dipatok pada level Rp 850 per sahamnya. Pemerintah dan penjamin emisi — pihak yang paling bertanggung jawab dalam penentuan harga perdana — bersikukuh bahwa angka tersebut merupakan harga yang optimal. Sedangkan para pengamat ekonomi dan kaum sosialis-nasionalis menuding, harga penawaran tersebut masih di bawah dari nilai wajar perusahaan. Walau akhirnya harga perdana tak bergeming pada nilai yang telah ditentukan, harga KRAS sempat terbang ke level Rp 1.250 atau naik sebesar 47% pada penjualan hari pertama. Melihat kenaikan KRAS yang spektakuler, para pengamat ekonomi beranggapan : negara telah dirugikan dalam proses IPO Krakatau Steel.

Dalam penjelasannya sebagai Menteri Negara BUMN, Mustafa Abubakar mengatakan bahwa harga tersebut sesuai dengan kesanggupan dan penilaian pihak asing, yang akan menjadi mitra strategis Krakatau Steel. Walau akhirnya banyak pihak asing — yang katanya bakal menjadi mitra stategis terserbut — melepas sebagian kepemilikannya pada perdagangan hari pertama, namun jawaban Mustafa terasa kurang bijak dan agak membingungkan. Dari jawaban tersebut, terkesan bahwa pemerintah telah mendasarkan keputusan strategisnya kepada pihak asing. Sikap seperti itu menunjukkan bahwa ekonomi kita sepenuhnya belum berdaulat atas segala kontrol asing.

Selain masalah IPO, penentuan kurs mata uang-pun bangsa kita kena akal-akalan asing. Bangsa kita terutama pemerintah, merupakan pihak yang paling tidak senang dengan pelemahan mata uang Rupiah. Padahal pelemahan mata uang, akan menaikkan daya saing produk Indonesia di pasaran dunia. Dengan melemahnya nilai Rupiah terhadap mata uang asing, maka produk-produk Indonesia-pun akan murah dibeli orang. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan volume penjualan produk tanah air ke mancanegara, dan berujung pada peningkatan cadangan devisa nasional.

Namun pemerintah Indonesia selalu berpikiran sebaliknya. Dengan melemahnya nilai tukar Rupiah, maka negara akan mahal membeli produk-produk luar, sehingga uang yang dikeluarkan-pun akan lebih banyak. Padahal produk-produk luar yang diimpor, sering menjadi konsumsi masyarakat kelas menengah atas dan sedikit yang menyentuh kebutuhan masyarakat bawah. Selain traktor dan mesin-mesin pertanian, semua produk-produk impor kita lebih banyak ditujukan kepada orang-orang kaya.

Dalam penentuan nilai tukar, intervensi asing terasa kuat mencengkeram. Negara maju, terutama AS dan Uni Eropa adalah negara-negara yang paling tidak suka dengan pelemahan mata uang kita. Mereka beranggapan, dengan melemahnya mata uang Rupiah, maka produk-produk Indonesia akan merajai negeri mereka. Dan ini tentunya akan berpotensi mematikan industri dalam negeri mereka. Hal itulah yang dilakukan Jepang di era 1970-an dan Cina dewasa ini. Dengan melemahnya Yen serta Yuan terhadap Dollar Amerika, menyebabkan tak lakunya barang-barang Amerika dihadapan produk Jepang dan Cina. Kondisi ini pada akhirnya meningkatkan reputasi ekonomi Jepang dan Cina, serta daya tawar mereka di mata internasional. Perkara seperti inilah yang tak diinginkan oleh negara-negara Eropa dan Amerika terhadap bangsa kita. Dan dalam masalah ini, kita kembali dibodoh-bodohi asing.

Perdagangan saham di lantai Bursa Efek Indonesia, yang didominasi investor asing

Selain dua persoalan di atas, masalah suku bunga juga menjadi obyek akal-akalan asing. Kita tahu, tingkat suku bunga Indonesia yang tak pernah berada di bawah 6%, merupakan angka yang cukup tinggi bahkan tertinggi di Asia Tenggara. Alasan mengapa pemerintah tetap mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi, terasa lucu dan menggelikan. Pemerintah berpendapat : Tingkat suku bunga tinggi, berguna untuk menahan uang asing yang ada di dalam negeri. Dengan tertahannya uang-uang asing tersebut di negeri kita, berakibat pada kestabilan kurs, yang pada gilirannya akan menjamin kestabilan produksi dalam negeri. Alasan ini entah teori praktis, entah akal-akalan. Tapi yang jelas statement inilah yang selalu digunakan ekonom kita untuk membenarkan kebijakan suku bunga tinggi.

Pendapat tersebut memang tak sepenuhnya salah. Namun dengan teori itu, apakah pemerintah tidak pernah menghitung berapa besar opportunity lost yang dikeluarkan negara untuk membayar bunga (interest) kepada uang-uang asing yang diparkir di sini. Yang kedua, berapa besar kesempatan yang hilang akibat tidak dibukanya pabrik-pabrik dan proyek-proyek baru karena mahalnya biaya pinjam uang (cost of capital) di perbankan kita. Dan yang ketiga adalah, seberapa besar multiplier effect yang tercipta, jika pemerintah menerapkan kebijakan suku bunga rendah. Seperti terbukanya lapangan kerja baru, lahirnya inovasi-inovasi baru, yang pada gilirannya akan menciptakan pertumbuhan baru dan kesejahteraan baru. Mengapa kita harus mendengar saran-saran IMF dan tidak menoleh kepada Jepang dan Singapura, yang dengan kebijakan suku bunga rendahnya terbukti mampu menjadi negara ekonomi kelas satu.

Perkara privatisasi, mungkin perkara terbesar akal-akalan asing terhadap bangsa kita. Hal ini terjadi hampir setiap tahun, sejak krisis Asia 1998 sampai tahun 2010 ini. Privatisasi seakan-akan sebuah mantra yang menjanjikan, untuk mengubah perusahaan Indonesia menjadi perusahaan kelas dunia. Kasus privatisasi terbesar adalah dijualnya sebagian besar kepemilikan Indosat kepada pihak asing pada tahun 2002 lalu. IMF ketika itu berdalih bahwa, dengan dibukanya kepemilikan perusahaan negara ke pihak asing, maka akan tercipta budaya kerja yang teratur, bersih dari korupsi, dan keuangan yang lebih transparan. IMF menambahkan, dengan adanya kepemilikan asing dalam perusahaan negara, akan mendorong konsumen global membeli produk perusahaan tersebut. Tapi ternyata, dalih IMF itu tak sepenuhnya benar. Justru setelah Indosat dibeli Temasek-lah, transparansi semakin sulit diperoleh. Kinerja karyawan-pun tak meningkat seperti yang diharapkan. Malah, dengan dimilikinya Indosat oleh Temasek, informasi pertahanan dan strategis negara, bisa dibaca dengan baik oleh Singapura.

Kantor PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), mengurusi air minum di bagian barat Jakarta

Pasca 12 tahun reformasi bergulir, isu-isu privatisasi makin kencang terdengar. Bahkan untuk urusan yang terkait dengan hidup orang banyak, pemerintah lebih memilih menyerahkannya ke pihak asing tenimbang mengurus sendiri. Seperti perihal masih diperpanjangnya kontrak karya Freeport, Chevron, ExxonMobil, dan Newmont di wilayah pertambangan kita. Kejadian lebih memprihatinkan adalah ketidakberdayaan negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang dianggap mudah. Seperti yang terjadi di Jakarta, dimana untuk urusan penyediaan air minum, pemerintah DKI masih menyerahkannya ke pihak asing. Dua perusahaan air minum asal Eropa, Lyonnaise (Perancis) dan Thames (Inggris) berbagi wilayah dalam pengelolaan air minum ibu kota, masing-masing untuk bagian barat dan timur Jakarta… Entahlah, apa yang salah dengan bangsa kita. Sehingga semuanya harus diserahkan kepada asing.

Komentar
  1. asal ngomong berkata:

    Lebih baik lah dipercayakan pada orang asing…!! daripada bangsa sendiri Yakin Luh BISA BENER…??

    Suka

Tinggalkan komentar