Gereja Koinonia

Jatinegara, salah satu sudut kota Jakarta yang tak pernah lelap. Denyut kegiatan ekonominya berdegup non-stop : 24 jam. Dilihat dari keramaian dan uang yang beredar, pamornya mungkin setara dengan Tanah Abang ataupun Mangga Dua. Jatinegara yang dulunya bernama Meester Cornelis, sebelum abad ke-20 merupakan kota satelit yang terpisah dari Batavia. Pada masa itu, selain pasar sebagai tempat jual-beli, juga dibangun kantor pos, stasiun kereta, dan kantor demang. Demang Mester, begitu masyarakat menyebut penguasa “Kota Jatinegara” pada masa itu, memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas. Teritorinya terbentang dari Cikarang, Bekasi, Kebayoran, hingga Matraman.

Menyusuri Jalan Matraman Raya ke arah selatan, pandangan kita akan tertumbur pada gereja tua warisan kolonial Belanda : Koinonia. Gereja yang didirikan pada tahun 1911 itu, dibangun untuk melayani peribadatan jemaat Bethel. Agaknya dahulu, gereja ini menjadi simbol anti-tesis dari jemaat ultra-liberal yang berkedudukan di Immanuel, Gambir. Di seberang timur gereja, nampak Lapangan Urip Sumoharjo yang berumput plontos. Lapangan ini sebenarnya tempat berlatih raga kesatuan AD. Namun sesekali, nampak jua anak-anak kampung bermain dan mengejar-ngejar bola. Di pinggir lapangan yang bersempadan dengan Jalan Jatinegara Timur, berdiri kaki lima dengan aneka barang dagangannya. Tukang-tukang obat dengan los seadanya, mendominasi jenis perdagangan disini. Tak jauh dari situ, nampak puluhan orang sedang duduk mencangkung. Membentuk dua barisan, sambil menjajakan barang-barang bekas. Tempat itu sepertinya menjadi lokasi penampungan barang loak. Kompor bekas, sepatu bekas, sampai arloji bekas, semuanya tersedia disini.


Jalan Jatinegara Timur

Jatinegara memang surganya barang-barang second. Bagi Anda yang hendak mencari kaset-kaset lawas era 60 – 80an, ada baiknya menyambangi perempatan Jalan Jatinegara Timur II. Disini kalau beruntung, Anda bisa mendapatkan koleksi kaset-kaset lama yang mungkin tak beredar lagi di toko-toko kaset konvesional. Tak sebatas dua lokasi ini, perdagangan barang bekas juga berlangsung di kolong jalan layang Prumpung. Namun yang disini sedikit agak parlente, menyediakan salah satu kebutuhan gaya hidup: telepon seluler. Walau berstatus second, ponsel yang dijajakan tak kalah mulus dengan yang ada di Roxy Mas. Komplet ! mulai dari Blackbery Onyx yang terbaru, hingga Nokia “Sejuta Umat”. Harganya-pun cukup miring. Salah seorang pembeli dari luar kota, setengah tak percaya melihat harga murah yang ditawarkan. Bayangkan saja, Blackbery Onyx bisa dibanderol dengan harga Rp 1 juta. Bahkan kalau pintar menawar, harga di bawah itu bisa Anda peroleh. Soal barang ini darimana asalnya, itu bukan urusan saya. Walau bisik-bisik ada yang menyebut, beberapa pedagang disini juga berprofesi sebagai tukang tadah.

Di samping itu, yang tak kalah penting adalah penjual majalah dan buku-buku bekas. Mereka berjajar di sepanjang emperan antara dua jalan masuk Pasar Lokomotif. Buku-buku SD, SMP, dan SMA, dari berbagai penerbit tersedia lengkap disini. Tempat ini memang khusus menjual buku sekolahan. Satu-dua ada pula yang menjual buku-buku umum, walau tak sebanyak yang ada di Kwitang ataupun Blok M Square.

Pasar Mester

Jatinegara bukan sekedar pusat belanja barang-barang bekas. Meskipun tak sekelas Blok M yang punya Pasaraya, ataupun Senen dengan The Atrium-nya, Jatinegara juga ada Plaza Jatinegara. Namun plaza ini tak menjual luxurious branded seperti halnya Seibu Pasaraya ataupun Yaohan The Atrium. Di seberang plaza, berdiri Pasar Regional Jatinegara atau yang lebih dikenal dengan Pasar Mester. Pasar ini menjadi episentrum dari segala aktivitas ekonomi masyarakat Jakarta Timur. Dibangun pada pertengahan abad ke-17, Pasar Mester sempat mengalami renovasi beberapa kali. Renovasi terakhir pada tahun 1992, telah mengubah pasar ini dari sekedar “pasar becek” menjadi pusat pertokoan modern. Saat ini setidaknya terdapat 2.900 kios yang menjual aneka barang kebutuhan dari bahan tekstil, pakaian jadi, pecah belah, emas, alat-alat tulis, barang elektronik, hingga buah-buahan.

Shopping ke tempat ini tak usah berpakaian necis. Bawa uang secukupnya dan tak perlu memakai aksesoris yang berlebihan. Hal ini untuk menghindari tangan-tangan jahil yang banyak bergentayangan. Seperti di pusat keramaian ibu kota lainnya, Jatinegara juga merupakan tempat mangkal sejumlah preman. Jika Tanah Abang menjadi basis preman asal Timor dan Betawi, serta Senen basecamp-nya preman Batak dan Palembang, maka Jatinegara dikuasai oleh preman-preman Jawa Timur.

Stasiun Jatinegara, tahun 1971

Selain premanisme, Jatinegara juga menyajikan kehidupan malam yang aduhai. Namun disini hanya untuk kelas kecoa, khusus bagi lelaki hidung belang yang berkantong cekak. Sedangkan wanita penjajanya, kebanyakan berasal dari desa-desa miskin di sepanjang Pantura. Dari “bemper” yang belum terisi penuh, nampak kalau usia mereka masih belia. Konon untuk sekali main, mereka cuma diberi bayaran Rp 50 ribu. Uang sebesar itu belum dipotong fee untuk mucikari. Sisanya buat mereka bertahan hidup : membeli kondom, rokok, makan, dan minum seharian. Selain gadis beneran, adapula gadis jadi-jadian yang terjun ke dalam profesi ini. Di Jatinegara, bisnis esek-esek memberikan multiplier effect yang tak sedikit. Setidaknya dengan kehadiran kupu-kupu malam, para penyewa tikar, lapak, dan warung makan, ikut kecipratan rezeki. Walau kegiatan ini meresahkan masyarakat, namun jarang sekali Operasi Pekat menertibkan para pelacur murahan ini. Mungkin uang sudah menyumbat oknum aparat untuk sigap bertindak.

Berjalan lima ratus meter ke arah timur Pasar Mester, kita akan berjumpa Stasiun Jatinegara. Tempat ini dibangun pada tahun 1901, sebagai bagian dari perlintasan Trans-Jawa yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya. Arsitekturnya yang beratapkan limas, dengan tugu penunjuk waktu di bagian tengah, mengingatkan kita ke masa kejayaan Hindia-Belanda dulu. Di dalam kompleks stasiun, terdapat sembilan loket dengan ruang tunggu dan kafetaria. Pada jam-jam sibuk, ruang tunggu stasiun tak lagi sanggup menampung calon penumpang yang membludak. Setiap harinya, sekitar 350 jadwal keberangkatan melayani semua rute menuju kota-kota di Pulau Jawa.

Silang Perlintasan Kereta Api Stasiun Jatinegara

Sejarah Jatinegara bermula dari kedatangan Cornelis Senen, seorang pendeta asal Banda yang dikuasakan untuk mengelola sebidang tanah di sekitar aliran Sungai Ciliwung (sekarang Kampung Melayu). Pada awal abad ke-19, lintasan Jalan Daendels memotong lahan tanah milik Cornelis. Sejak itu tanah partikelir kelolaannya berkembang pesat. Masuknya imigran Tionghoa ke Batavia, telah mengubah status kepemilikan tanah tersebut. Wilayah ini kemudian tumbuh sebagai pusat pertokoan yang ramai, dan menjadi chinatown terbesar kedua setelah Glodok-Pinangsia. Jatinegara juga menjadi tempat kelahiran beberapa tokoh terkemuka tanah air. Antara lain pengarang buku Eddy du Perron, seorang Indo yang lahir pada tahun 1899. Kemudian Thung Liang Tjay, seorang ekonom Tionghoa; cendekiawan Junus Jahja (Lauw Chuan Tho); dan komposer lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Suprataman.

Komentar
  1. marisaulfah berkata:

    q suka pemilihan kata yg dipake mas afan
    ga bikin bosen baca-nya 😀

    btw, ini pasar yg jadi rujukan org2 kl mw beli suvenir nikah itu ya?

    Suka

  2. DINA berkata:

    Maaf klo bole mau nanya topik yg agak nyimpang ^^v,,
    kalo dr otista/kp melayu trus mau ke jatinegra 2 (loving hut) bisa naik mikrolet apa?

    sbg org yg tau sluk beluk jatinegara sprtiny anda tau ^^
    trimkasih sblumnya

    Suka

    • Afandri Adya berkata:

      Dari Otista-Kampung Melayu, anda bisa naik angkutan umum (mikrolet) jurusan Gandaria atau Pasar Minggu, kemudian turun di pertigaan Jl. Jatinegara 2. Dari sana, kira-kira seratus meter, Anda bisa berjalan kaki untuk mencapai Loving Hut. Semoga bermanfaat. Salam

      Suka

  3. irma berkata:

    Maaf saya juga ingin menanyakan hal yg sama dg Dina, tp saya kurang mengerti dg jawabannya. Pertigaan Jl. Jatinegara 2 yg suka disebut Bogor bukan? Apa Loving Hut dilewati mikrolet 31 dan 32? Perasaan suka lewat Loving Hut tapi lupa pas naik angkutan mikrolet 31 atau 01 atau metromini 52 arah Tebet.
    trima kasih

    Suka

    • Afandri Adya berkata:

      Jl. Jatinegara 2 adalah tempat dimana banyak pedagang menjajakan barang-barang loak atau di seberang kantor BRI Cabang Jatinegara. M 01 dari arah Senen atau M 02 dari arah Pulo Gadung, lewat di depan Loving Hut. Naik M 32 turun di perempatan Jl Jatinegara 2, kemudian jalan kaki sekitar seratus meter. Rute Metromini 52 arah Tebet melewati Jl. Basuki Rahmat, sehingga tidak melewati Loving Hut.

      Suka

  4. irma berkata:

    trima kasih byk langsung dibalas dgn detail ^^

    Suka

  5. yanti berkata:

    mas kalo mo k pasar mester,saya tinggal di kebon jeruk rcti jakarta barat.naek mbl jurusan pa y to ke mester?tlng dbantu y mas.trims

    Suka

  6. kiki berkata:

    mas saya asal dari kebon pala 2 jatinegara, mas ada informasi mengenai sekolah saya yaitu SD negeri balimester 01, yg berlokasi di samping polsek jatinegara?

    Suka

Tinggalkan komentar