Akuratkah Hasil Sensus BPS 2010?: Mengapa Persentase Orang Jawa Mengalami Penurunan dan Etnis Batak Meloncat Tajam

Posted: 21 Mei 2014 in Sosial Budaya
Tag:, , , , ,

SP 2010

Dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis sejumlah data mengenai kependudukan Indonesia. Salah satu data yang dipublikasikan ialah mengenai jumlah populasi suku-suku bangsa di Indonesia. Namun dari data yang dikeluarkan, timbul berbagai pertanyaan terutama mengenai naik-turunnya populasi etnis di Indonesia. Dari buku yang berjudul “Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia”, terlihat ada beberapa kelompok etnis yang mengalami penurunan cukup tajam, dan ada pula yang mengalami kenaikan diluar kewajaran. Sama seperti sensus tahun 2000, pada sensus 2010 lalu metodologi survei yang digunakan BPS dalam menentukan etnis seseorang ialah berdasarkan self-identification. Self-identification yang dimaksud adalah pengakuan seseorang terhadap kebudayaan dan adat istiadat yang dianutnya. Misalnya generasi kedua orang Jawa yang sudah lama bermukim di Jakarta, mungkin akan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Betawi tenimbang etnis Jawa.

Jika orang tersebut mengalami kebimbangan dalam menentukan suku bangsanya, maka BPS akan menentukannya berdasarkan etnis sang ayah. Seperti misalnya anak-anak dari pasangan Batak dan Jawa yang bingung ketika menentukan suku bangsanya, maka BPS akan menggolongkan mereka kepada suku bangsa ayahnya. Meskipun responden tersebut tidak menggunakan bahasa dan adat istiadat Batak dalam kesehariannya, namun jika sang ayah memiliki marga Batak maka responden akan digolongkan sebagai orang Batak. Metodologi survei semacam ini memang terkesan demokratis, namun mengabaikan sisi antropologis yang seharusnya dikedepankan oleh BPS. Akibatnya yang terjadi ialah dari dua sensus penduduk terakhir (tahun 2000 dan 2010), para stakeholder tidak pernah mengetahui secara tepat jumlah populasi etnis di Indonesia.


 
Turunnya Jumlah Etnis Jawa dan Melayu

Setelah membandingkan hasil sensus tahun 2000 dan 2010, maka akan terlihat adanya beberapa kejanggalan yang bagi sebagian kalangan mungkin tidak masuk akal. Dari dua sensus itu, didapati adanya beberapa kelompok etnis yang mengalami penurunan cukup besar. Dua diantaranya ialah etnis Jawa dan Melayu. Secara persentase penurunan jumlah etnis Jawa memang tak terlampau mencolok. Namun dari perkiraan yang semestinya, angka yang muncul pada sensus 2010 lalu meleset cukup jauh. Berdasarkan sensus 2000 diketahui bahwa komposisi etnis Jawa di Indonesia telah mencapai 41,71%, namun di tahun 2010 jumlah mereka turun menjadi 40,22%. Andai kita menggunakan persentase tahun 2000 untuk menghitung populasi 2010, maka akan diperoleh angka sebesar 99,1 juta jiwa. Namun pada sensus 2010, yang tercatat hanyalah sebesar 95,2 juta orang. Artinya dari tahun 2000 ke 2010, etnis Jawa telah mengalami defisit sebanyak 3,9 juta orang. Jika dibandingkan dengan sensus 1930, maka defisit tersebut akan semakin besar. Dimana pada masa itu, jumlah orang Jawa di Indonesia mencapai 47,02%. Apabila persentase itu dikalkulasikan dengan populasi tahun 2010, maka defisit yang muncul sebesar 16,5 juta jiwa.

Menurut penulis ada beberapa faktor yang melatarbelakangi berkurangnya komposisi orang Jawa di Indonesia. Pertama ialah tingkat fertilitas etnis tersebut yang berada di bawah rata-rata nasional. Hal ini terjadi di Propinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah, dua propinsi yang menjadi konsentrasi terbesar masyarakat Jawa. Jika dibandingkan tingkat fertilitas nasional yang mencapai 2,15; maka di kedua propinsi itu masing-masing hanya sebesar 1,39 dan 1,99. Faktor kedua adalah lemahnya unsur penciri pada kelompok masyarakat tersebut. Berbeda dengan etnis Batak, Minahasa, atau Minangkabau yang memiliki marga atau suku untuk mengidentifikasikan dirinya, orang-orang dari Jawa (termasuk di dalamnya etnis Sunda dan Betawi) tidak memiliki hal tersebut. Sehingga banyak dari mereka yang lahir diperantauan, akan mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota masyarakat setempat. Faktor ketiga adalah berpisahnya masyarakat Cirebon yang pada tahun 1930 masih dikelompokan sebagai etnis Jawa (akan dianalisa lebih lanjut). Faktor keempat, dan ini yang menurut penulis cukup penting, adalah ketidakakuratan penghitungan yang dilakukan oleh BPS.

Penurunan yang cukup besar juga dialami oleh etnis Melayu. Jika dipersentasekan, maka penurunan orang Melayu merupakan yang terbesar diantara suku bangsa lainnya di Indonesia. Berdasarkan sensus tahun 2000, komposisi etnis Melayu di Indonesia sebesar 3,45%. Namun pada sensus 2010 lalu, komposisi mereka meluncur ke angka 2,27%. Artinya jika pada sensus 2000 jumlah orang Melayu telah mencapai 6.951.117 jiwa, namun pada perhitungan 10 tahun kemudian jumlah mereka malah berkurang menjadi 5.365.399 jiwa. Melihat data tersebut mungkin kita akan bertanya-tanya, kemanakah 1,5 juta orang Melayu lainnya? Apakah mereka telah wafat dan tidak ada regenerasi. Ataukah mereka semua telah berpindah ke Malaysia?

Jika kita membaca secara terperinci, maka jelas terlihat bahwa penurunan orang-orang Melayu yang cukup besar terjadi di Propinsi Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan. Di tiga propinsi yang menjadi basis mereka, jumlah orang Melayu banyak tergerogoti oleh naiknya populasi suku Batak (akan dijelaskan lebih lanjut), Dayak, dan suku bangsa Sumatera Selatan. Di Kalimantan Barat, dari hasil sensus tahun 2000 dinyatakan bahwa jumlah orang Melayu mencapai sepertiga populasi. Namun pada tahun 2010, jumlah mereka makin mengecil hingga tersisa kurang dari seperlima populasi (18,54%). Sedangkan etnis Dayak, yang pada sensus tahun 2000 hanya sepertiga jumlah populasi, di tahun 2010 lalu mengalami kenaikan cukup fantastis hingga mencapai 49,94%. Begitu pula halnya di Sumatera Selatan, dimana etnis Melayu mengalami penurunan sangat signifikan. Berdasarkan sensus tahun 2000, jumlah suku Melayu di propinsi tersebut sudah mencapai 34,37%, namun pada sensus 2010 jumlah mereka melorot menjadi 8,09%. Menurut pengakuan BPS, hal ini disebabkan oleh adanya reklasifikasi beberapa etnis yang pada tahun 2000 dimasukan ke dalam kelompok suku bangsa Melayu. Orang-orang Palembang, Enim, dan Kayu Agung, yang pada sensus 2000 diklasifikasikan sebagai etnis Melayu, tahun 2010 lalu dikelompokan ke dalam suku bangsa asal Sumatera Selatan. Padahal pada sensus 2000, suku Komering yang memiliki bahasa mirip orang Kayu Agung sudah diklasifikasikan terpisah dari Melayu.

 
Jumlah Suku Batak Meloncat Tajam

Jika beberapa kelompok etnis mengalami penurunan cukup drastis, maka ada pula suku bangsa yang mengalami lonjakan cukup tajam. Salah satunya adalah suku Batak. Di tahun 2000, jumlah kelompok ini hanya sekitar 6.076.440 jiwa, namun dari sensus 2010 jumlah orang Batak telah melonjak menjadi 8.466.969 jiwa. Dari perubahan data itu terlihat bahwa dalam rentang 10 tahun telah terjadi pertumbuhan orang Batak sebesar 39,34%, atau kalau dirata-ratakan sekitar 3,93% per tahunnya. Angka ini jauh di atas rata-rata pertumbuhan nasional yang hanya sekitar 1,43%. Jika membandingkan perubahan data pada masing-masing propinsi, maka akan terlihat propinsi mana saja yang mengalami pertumbuhan orang Batak cukup signifikan.

Menurut perhitungan penulis ada tiga propinsi di Indonesia yang mengalami pertumbuhan tidak wajar. Propinsi Riau merupakan propinsi tertinggi yang mengalami pertumbuhan jumlah orang Batak. Dibandingkan dengan sensus tahun 2000, penduduk Batak di tahun 2010 naik hampir dua kali lipat atau bertumbuh sekitar 10% per tahun. Jika pada tahun 2000 populasi etnis Batak di propinsi ini hanya sekitar 347.000 jiwa, maka di tahun 2010 jumlah mereka telah mencapai 691.399 jiwa. Angka ini tergolong fantastis, mengingat tak ada faktor yang memicu atau mendorong berpindahnya kelompok ini secara besar-besaran. Pada periode 1960 sampai 1980-an saja, dimana banyak orang-orang Batak yang memburu lahan-lahan perkebunan di Riau, pertumbuhan mereka tidaklah mencapai 10%. Malah ketika itu, pertumbuhan etnis Batak masih lebih rendah dibandingkan orang Jawa dan Minangkabau.

Propinsi lainnya yang juga mengalami pertumbuhan tidak wajar adalah Propinsi Jawa Barat. Dari hasil perhitungan 2010, jumlah suku Batak di propinsi tersebut sudah mencapai 467.438 jiwa. Angka ini naik sekitar 70% dibandingkan tahun 2000 yang hanya berjumlah 275.000 jiwa. Jika dirata-ratakan, maka selama periode 2000-2010 telah terjadi kenaikan jumlah orang Batak sebesar 7% per tahunnya. Pertumbuhan sebesar ini menurut penulis tidaklah masuk akal, mengingat pada periode yang sama penduduk Jawa Barat hanya bertumbuh sebesar 2,04%. Jika diasumsikan bahwa etnis Batak banyak yang bermigrasi ke kota-kota besar seperti Bandung, Bekasi, dan Depok, maka juga tidak ditemukan pertumbuhan penduduk di ketiga kota itu yang mencapai 7% per tahunnya.

Satu lagi propinsi yang mengalami lonjakan orang Batak cukup besar adalah Banten. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 populasi orang Batak di propinsi ini hanya sekitar 75.313 jiwa, namun pada tahun 2010 jumlah mereka telah mencapai 139.259 jiwa. Ini berarti telah terjadi pertumbuhan populasi etnis Batak sebesar 84,9% (2000-2010) atau sekitar 8,4% per tahunnya. Kalaulah benar pertumbuhan etnis Batak di ketiga propinsi itu mencapai 7%-10% per tahunnya, maka sekurang-kurangnya akan terjadi pengurangan jumlah orang Batak di tanah asalnya (Sumatera Utara). Dengan asumsi bahwa telah terjadi pergolakan atau peperangan di tanah Batak yang menyebabkan berpindahnya orang Batak secara massal ke seluruh Indonesia. Namun semua faktor-faktor itu tidaklah ditemukan. Malah pada sensus 2010 lalu, jumlah etnis Batak di Sumatera Utara mengalami pertumbuhan di atas rata-rata propinsi, yakni sebesar 19,86% atau 1,98% per tahunnya. Dari segi konsentrasi-pun jumlah orang Batak di Sumatera Utara makin membengkak, dari 41,75% di tahun 2000 menjadi 44,56% (2010).

Jika merujuk kepada hasil volkstelling 1930, maka kita akan tercengang melihat begitu pesatnya pertumbuhan etnis Batak di Indonesia. Dari sensus tersebut, dinyatakan bahwa jumlah orang Batak di Indonesia hanyalah sebesar 1.238.280 jiwa atau sekitar 2,04%. Namun pada sensus 2010, jumlah mereka telah mencapai 8.466.969 jiwa atau 3,58% dari seluruh populasi Indonesia. Jika kita melihat perubahan persentase yang begitu besarnya, mungkin logika kita akan bertanya-tanya, darimana angka 3,58% tersebut didapat. Adakah baby booming terjadi pada masyarakat Batak, sehingga pertumbuhan mereka jauh di atas rata-rata nasional. Kalau benar iya, pada periode kapan terjadi baby booming tersebut, dan apa yang melatar belakanginya?

Ketidaklogisan ini semakin diperkuat oleh data penggunaan bahasa sehari-hari masyarakat Indonesia. Dimana dari data sensus 2010, terungkap bahwa pengguna Bahasa Batak hanyalah sebesar 1,55% dari keseluruhan populasi Indonesia. Ini berarti hanya ada 43% orang Batak yang menggunakan bahasa ibunya dalam percakapan sehari-hari. Persentase tersebut berada di bawah rata-rata etnis besar lainnya, seperti Jawa (77,4%), Sunda (83,7%), Minangkabau (71,2%), Banjar (86,1%), dan Bugis (59,1%). Melihat angka 1,55% tersebut agaknya penulis semakin ragu, benarkah jumlah etnis Batak di Indonesia mencapai 3,58%. Sebegitu jauhkah masyarakat Batak dengan bahasa ibunya, sehingga hanya 43% dari mereka yang menggunakannya dalam percakapan sehari-hari? Bukankah orang Batak terkenal sebagai salah satu etnis yang menjaga bahasanya dengan kokoh? Namun mengapa pengguna bahasa ibunya cukup kecil. Merujuk hasil volkstelling 1930 yang sebesar 2,04% serta jumlah pengguna Bahasa Batak yang hanya berjumlah 1,55%, penulis menaksir bahwa jumlah orang Batak di Indonesia hanyalah berkisar antara 2,2% – 2,6%.

 
Melihat Kembali Hasil Volkstelling 1930

Jika berkaca pada hasil sensus 1930, maka semestinya persentase suku-suku bangsa di Indonesia di tahun 2010 lalu tidaklah terlampau jauh. Karena selama rentang waktu tersebut, tidak pernah ada satupun suku bangsa di Indonesia yang mengalami lonjakan ataupun penurunan cukup berarti. Berbeda dengan sensus tahun 2000 dan 2010 yang menggunakan metodologi subyektif, volkstelling 1930 justru dilakukan secara obyektif. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda, tidak mendasarkan pengakuan seseorang yang seringkali memiliki tendensi dalam menentukan etnis mereka, namun berdasarkan kajian antropologi, sejarah, dan etnografi yang banyak dipelajari oleh pakar-pakar Eropa ketika itu. Sehingga berdasarkan obyektifitas tersebut, diperoleh komposisi etnis di Indonesia sebagai berikut : Jawa (47,02%), Sunda (14,53%), Madura (7,28%), Minangkabau (3,36%), Bugis (2,59%), Batak (2,04%), Bali (1,88%), Betawi (1,66%), Melayu (1,61%), Banjar (1,52%), Aceh (1,41%), dan Palembang (1,30%).

Peta Kelompok Etnis di Sumatera dan Jawa bagian Barat. Terpampang di Museum Nasional, Jakarta

Peta Kelompok Etnis di Sumatera dan Jawa bagian Barat. Terpampang di Museum Nasional, Jakarta

Pada sensus itu pula, orang Belanda lebih banyak menggunakan pendekatan bahasa, geografi, serta adat-istiadat yang digunakan oleh penduduk setempat. Sehingga di masa kolonial, orang Cirebon masih dikelompokan ke dalam bagian suku bangsa Jawa. Menurut pakar Eropa, Bahasa Cirebon dan adat istiadatnya bukanlah kelompok yang terpisah, namun merupakan salah satu dialek Bahasa Jawa, seperti halnya dialek Banyumas, Mataram, ataupun Surabaya. Begitu pula halnya dengan masyarakat Kampar dan Kuantan, yang pada sensus 1930 masih dikelompokan ke dalam puak Minangkabau. Penggolongan mereka — seperti juga halnya masyarakat Kerinci, Pesisir, dan Anak Jamee — ke dalam etnis Minangkabau, disebabkan oleh kesamaan bahasa dan adat istiadat dengan orang-orang Minang di Sumatera Barat.

Disamping etnis Jawa dan Minangkabau, etnis Madura juga mengalami penurunan yang cukup tajam. Menurut pengamatan penulis, tergerusnya komposisi etnis Madura di tahun 2010 lalu disebabkan oleh banyaknya masyarakat Madura yang mengaku sebagai “orang Jawa”. Terutama ialah masyarakat yang bermukim di ujung timur laut Pulau Jawa. Padahal menurut Nugroho Notosusanto, masyarakat yang bermukim di kawasan tersebut sebagian besar adalah para migran yang berpindah dari Pulau Madura pada awal abad ke-20 lalu. Dikarenakan metodologi self identification yang digunakan oleh BPS itulah, dibandingkan tahun 1930 komposisi orang Madura anjlok lebih dari separuhnya (7,28% menjadi 3,03%).

Satu lagi kelompok etnis yang mengalami penurunan cukup besar adalah orang Tionghoa. Berdasarkan sensus 1930 jumlah orang Tionghoa di Indonesia telah mencapai 2,04%, sedangkan pada sensus 2010 kelompok ini hanya berjumlah 1,2%. Penurunan orang Tionghoa yang cukup besar itu bisa dirasakan karena adanya kecemasan dari sebagian mereka, sehingga banyak yang memilih untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota masyarakat setempat. Begitu pula halnya dengan peranakan Tionghoa yang memiliki orang tua berdarah campuran. Mereka lebih nyaman mengidentifikasikan dirinya sebagai orang “pribumi” dibandingkan sebagai orang Tionghoa. Disamping itu, banyak pula diantara mereka yang telah mendapatkan marga dari keluarga Batak ataupun Minahasa, yang mengaku sebagai bagian dari kedua kelompok etnis tersebut.

 
Redefinisi Kelompok Etnis di Indonesia

Selain persoalan naik-turunnya persentase etnis yang diluar kewajaran, definisi terhadap suku-suku bangsa di Indonesia juga mengalami banyak pergeseran. Redefinisi tersebut terutama disebabkan oleh kepentingan politik dan perebutan kue ekonomi. Suku Melayu misalnya, hingga kini tidak pernah memiliki definisi dan batasan yang jelas. Pada sensus tahun 2000, masyarakat Tamiang di Aceh digolongkan ke dalam suku bangsa Melayu, namun di tahun 2010 lalu mereka diklasifikasikan sebagai suku bangsa asal Aceh. Sebaliknya orang-orang Kampar dan Kuantan yang menurut volkstelling 1930 diklasifikasikan sebagai etnis Minang, di dua sensus terakhir malah dikelompokan sebagai suku Melayu.

Jika etnis Melayu tidak memiliki batasan-batasan yang jelas dan hanya didefinisikan menurut kepentingan politik, begitu pula yang terjadi pada etnis Cirebon. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930, pemerintah Hindia-Belanda masih mengklasifikasikan masyarakat Cirebon sebagai bagian dari etnis Jawa. Namun di dua sensus terakhir, orang Cirebon harus memisahkan diri dan menyatakan sebagai suku yang terpisah. Entah apa maksudnya, namun penulis mengira hal itu bertujuan untuk memperkuat pendirian propinsi baru. Atau sekurang-kurangnya, untuk menuntut perlakuan khusus dari pemerintah Propinsi Jawa Barat kepada beberapa kabupaten yang berbasiskan budaya Cirebon. Kalau hal ini terus dipediarkan, ke depan akan banyak lagi suku-suku bangsa baru di Indonesia yang lahir hanya karena kepentingan politik.

Di Sumatera Utara, pendefinisian kembali identitas masing-masing kelompok terlihat semakin menguat. Sub-sub suku Batak, yang terdiri dari kelompok Mandailing, Angkola, Simalungun, Karo, Pakpak/Dairi, dan Toba, mengidentifikasi ulang identitas mereka sebagai kelompok yang terpisah. Identifikasi ulang tersebut antara lain dengan cara membentuk kawasan otonomi baru dengan melakukan pemekaran beberapa kabupaten. Kabupaten Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan adalah dua kabupaten di Sumatera Utara yang paling banyak mengalami perpecahan. Pembentukan Propinsi Tapanuli yang gagal itu, juga merupakan ekses atas persaingan diantara kelompok-kelompok Batak tersebut. Orang Toba yang selama ini merasa terhimpit oleh dominasi kelompok Mandailing-Angkola, merasa perlu untuk membentuk propinsi tersendiri yang terpisah dari eks-Karesidenan Sumatera Timur. Namun kelompok Mandailing-Angkola yang merasa dirugikan jika propinsi baru terbentuk, segera memblokir keinginan tersebut.

Kasus serupa namun tak sama, terjadi pula di Propinsi Sulawesi Selatan. Dimana etnis Mandar yang mengidentifikasikan dirinya terpisah dari etnis-etnis Sulawesi Selatan lainnya (Bugis, Makassar, Toraja, dan Luwu) memaksakan diri untuk mendirikan propinsi baru. Meskipun Propinsi Sulawesi Barat sudah terbentuk sejak tahun 2004, namun kesejahteraan yang diharapkan oleh masyarakat setempat tak kunjung datang. Sehingga setelah 10 tahun berjalan, banyak suara-suara masyarakat di propinsi itu yang menginginkan bergabungnya kembali Sulawesi Barat ke dalam Propinsi Sulawesi Selatan. Meski terpisah menjadi dua propinsi, namun orang-orang di Sulawesi bagian selatan – baik itu orang Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar – sepakat mengakui nenek moyang mereka berasal dari tanah Luwu. Hal ini bertolak belakang dengan kelompok-kelompok Batak yang tidak kompak mengakui asal usulnya dari tepian Danau Toba.

Dari kacamata antropologi, mendefinisikan kelompok etnik dan suku bangsa hanya untuk kepentingan politik semata, tidaklah dibenarkan. Karena hal ini bisa mengaburkan identitas suatu masyarakat yang pada gilirannya akan mengubur kearifan lokal dan bahasa masyarakat tersebut. Sudah seharusnyalah pemerintah dalam hal ini Badan Pusat Statistik, mendifinisikan suku-suku bangsa di Indonesia secara tepat. Sehingga dari masa ke masa kita bisa mengetahui perkembangan kelompok suku bangsa di Indonesia secara akurat.

 
Kesimpulan

Dari hasil membandingkan data sensus penduduk tahun 1930, 2000, dan 2010, penulis berkesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya lonjakan dan penurunan yang tidak masuk akal pada beberapa suku bangsa di Indonesia. Faktor pertama adalah perbedaan definisi etnis secara antropologis. Pada kasus kenaikan etnis Batak misalnya, penulis memperkirakan bahwa adanya kesalahan definisi mengenai orang Batak. Yang mana pada sensus 1930, pemerintah Belanda tidak mengklasifikasikan masyarakat di pesisir barat dan timur Sumatera Utara sebagai etnis Batak. Definisi tersebut berdasarkan kajian antropologi yang dilakukan oleh beberapa ahli seperti Joustra, Collet, dan Cunningham, yang mengatakan bahwa kelompok etnis yang bermukim di pesisir timur merupakan kelompok bangsa Melayu dan di pesisir barat sebagai etnis Minangkabau. Hal ini didasarkan kepada bahasa dan adat istiadat yang mereka pergunakan. Namun pada tahun 2000 dan 2010, hampir keseluruhan masyarakat di pesisir barat yang seharusnya digolongkan ke dalam etnis Minangkabau, dimasukan sebagai kelompok Batak.

Faktor kedua adalah ketidaktahuan sebagian masyarakat Indonesia mengenai etnis mereka yang sebenarnya. Seorang generasi kedua Luwu diperantauan misalnya, banyak yang menyatakan sebagai orang Bugis ketika ditanyakan asal usulnya. Padahal di Sulawesi Selatan antara kedua etnis tersebut diklasifikasikan terpisah. Begitu pula halnya dengan orang-orang diperbatasan yang kebingungan mengidentifikasikan diri mereka. Seperti masyarakat Rangkasbitung yang ragu untuk menyebut dirinya sebagai orang Banten, ketika bahasa keseharian mereka adalah Bahasa Sunda. Hal yang sama juga terjadi di daerah pesisir timur laut Jawa. Masyarakat setempat banyak yang ragu mengklasifikasikan dirinya, apakah sebagai orang Madura atau beretnis Jawa.

Faktor ketiga adalah ketidakterusterangan seseorang dalam mengidentifikasikan diri mereka. Ini misalnya banyak terjadi pada kelompok etnis Tionghoa, yang kebanyakan mengidentifikasikan dirinya ke dalam etnis mayoritas. Di Sumatera Utara misalnya, banyak orang Tionghoa yang mengaku sebagai etnis Batak. Terlebih setelah mereka mendapatkan marga atau gelar adat dari masyarakat setempat. Begitu pula halnya di Pulau Jawa, banyak orang China yang sudah berasimilasi dengan masyarakat lokal lebih mengaku sebagai orang Jawa ataupun Sunda. Ketidakterusterangan itu juga banyak terjadi pada masyarakat Jawa di beberapa daerah transmigrasi. Pada masa pergolakan DOM di Aceh, banyak masyarakat Jawa yang menyamarkan identitasnya. Ketika itu banyak diantara mereka yang mengaku sebagai orang Melayu atau kelompok Sumatera lainnya.

Faktor keempat adalah terjadinya kesalahan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik pada tahap pengumpulan atau tabulasi suara (human error). Seperti penghitungan ganda pada masyarakat migran atau kegiatan sensus yang tidak mencakup seluruh penduduk. Hal ini terbukti pada saat pembuatan e-KTP, dimana banyak terjadi perbedaan data kependudukan antara versi BPS dengan Kementerian Dalam Negeri. Pada tahun 2014, lagi-lagi ketidakakuratan BPS itu terbukti, yakni adanya perbedaan Daftar Penduduk Tetap yang dikumpulkan oleh Komisi Pemilihan Umum dengan data versi BPS.

Faktor kelima ialah kemungkinan adanya manipulasi data yang dilakukan oleh BPS (atau oknum BPS) untuk kepentingan kelompok tertentu. Tujuannya seperti yang telah dipaparkan di atas, bisa untuk kepentingan politik, ekonomi, atau penyebaran agama dan paham ideologi tertentu. Kalau benar ini yang terjadi, maka sekali lagi pemerintah Indonesia – dalam hal ini Badan Pusat Statistik, telah melakukan kejahatan intelektual yang luar biasa. Yang pada gilirannya bisa mengakibatkan terjadinya disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Komentar
  1. tabloid gabe berkata:

    ulasan yang sangat menarik. Terimakasih

    Suka

  2. Agus berkata:

    Tidak masuk akal Suku Melayu di Indonesia cuma 5 Juta ? Klo kita lihat kantong2 melayu di Indonesia sperti di Sumut, Sumsel, Riau, Jambi, Bangka-Belitung, Kepri, Kalbar, Kaltim, secara kasar aja perhitungannya mencapai 18 juta.

    Suka

  3. jack medan berkata:

    suku melayu di sumut sangat sedikit. klu toba dulu 2 juta, klu melayu hanya 200,000 jiwa, lalu disusul karo 800,000 jiwa, klu angkola hanya 400,000-an, sedangkan di riau aja sekarang tahun 2015 seluruh riau 4 jt jiwa, itu termasuk jawa, batak [toba-karo-angkola-simalungun-pakpak], minang, cina dll…. sumatra seluruhnya asli melayu hanya 5 jt-an, terbanyak minang dan palembang

    Suka

  4. marlon berkata:

    pendapat saya : mengakui kesukuannya ialah dengan syarat mengetahui, mempercayai, mengakui dan melaksanakan 7 unsur budaya universal, baru dapat diklasifikasikan kedalam suku tertentu, tanpa itu akan berpotensi kerancuan dan penyimpangan identitas etnis/kesukuan.
    seseorang menyebut dirinya suku Batak : “bahasa batak tidak paham, kekerabatan/silsilah marga tak paham atau campur aduk, kesenian yg digunakan barat/india/arab/lainnya yg dianggap populer, adat istiadat tidak memahami, asal-usulnya tidak tahu sama sekali. jelas tidak patut mengakui dirinya BATAK ( ini sudut pandang antropologi-sosiologi-histori) jika kita berbicara ilmiah tentu ini menjadi indikator/tolak ukur.
    –sudut pandang lainnya dizaman ini kan dah canggih jika dirasakan urgen, dan memang tingkat akurasinya tinggi (pendapat ahli modern) melalui pelacakan DNA (departemen identifikasi pelacakan DNA jaman modern ini sudah menerima klaim seperti itu)
    pesan santos : “ikan akan menjadi mahluk terakhir yg menyadari keberadaan air”
    pesan saya : “jangan sembunyikan/hilangkan/pindahkan identitas dirimu, semua manusia berasal dari yg satu sama didepan Tuhan, semua suku sama derajatnya selama kebenarannya sesuai apa adanya. kebenaran kecil akan mengungkap dan membuka kebenaran agung nantinya. Banyak jalan menuju Roma, tapi saya menapaki jalan yg telah dikodratkan kepada nenek moyangku, saya dan keturunanku kelak.
    (hehe….ini hanya selingan, maaf jika mengganggu…)

    Suka

  5. Leo berkata:

    Yang saya lihat langsung dan saya alami, org jawa atau suku lain yg tidak punya marga akan bingung dia suku apa sedangkan Batak akan menurunkan marga terus menerus dari pihak ayah… Bahkan ada yg nurunkan dari pihak ibu krna ibunya batak.. Org Batak bnyak yg kawin campur anaknya ngaku batak ibunya dikasih marga untuk bisa dilakukan prosesi adat…
    Mknya ga heran org Batak naik drastis..

    Suka

    • Batak itu penamaan dari Belanda dan baru ada pada zaman belanda, yaitu penamaan khusus pengikut kristen dari danau toba daerah penginjilan Belanda. Jadi kalau dari karo atau toba yang mengaku batak tapi muslim itu berarti dia salah menyebut batak. karo/toba muslim itu bukan batak, tapi bisa disebut ras karo/toba.

      Suka

  6. abon berkata:

    orang cina pertumbuhannya melesat banget
    kok bisa cepet banget yah

    aneh

    Suka

    • Djiwaku berkata:

      mana melesat? Anda kali Sentimen doang! klo merujuk sensus tahun 2000, jelas setelah kerusuhan mei 1998, orang tionghoa masih trauma dengan pemerintah yang gak bisa dipercaya waktu itu jadi banyak yang menyembunyikan identitas mereka!

      Suka

      • Afandri Adya berkata:

        Benar Om Djiwaku. Hasil Sensus 2000 tak mencerminkan jumlah orang Tionghoa yang sebenarnya. Oleh karenanya pada Sensus 2010, jumlah Tionghoa terkesan meningkat cukup signifikan. Jumlah segitupun menurut saya masih underrated. Karena banyak orang Tionghoa yang lebih mengaku sebagai Jawa, Sunda, Melayu, Batak, Minahasa, ataupun Betawi, jika telah berkawin campur dengan etnis lain.

        Suka

  7. Chengkondeng berkata:

    Suku bangsa itu ditentukan dari genetik atau keturunan seseorang meskipun dia tidak berbicara dalam bahasa suku bangsanya.

    Suka

  8. Iman F berkata:

    Anda etnosentris sekali ya.

    Suka

  9. Nyak Agam berkata:

    yang saya heran aceh kenapa tidak bertambah2 dari kecil saya dulu jumlah nya 4,5 juta jiwa sampai sekarang saya udah umur 40 tahun masih 4 juta apa gak salah sensus nya.,……

    Suka

  10. Horas berkata:

    saudara ku…kalo mau meneliti itu obyektif dan komprehensif supaya pemahaman saudara utuh dan statement saudara enak dibaca…jangan berpotensi “sentimental” gitu…

    Suka

    • Afandri Adya berkata:

      Terima kasih Bung Horas atas masukannya. Kalau belum komprehensif mungkin saja, oleh karenanya saya berharap input serta kritisi dari forum pembaca. Tapi untuk “berpotensi sentimental”, mohon tunjukkan dimana letak unsur “sentimental”-nya. Memang kajian mengenai fenomena masyarakat seperti kelompok etnis dan agama menjadi hal yang sensitif di tengah masyarakat kita. Dan kajian ini tidak berpretensi apapun, kecuali hanya mendedah fakta dan melihat fenomena yang ada.

      Suka

  11. ombaknanberdebur berkata:

    Ulasan yang amat menarik. Apakah Bapak memiliki pdf “Volkstelling 1930” yang memuat jumlah penduduk tiap suku di Hindia Belanda? Saya mencari itu sebagai rujukan saya. Terima kasih.

    Suka

Tinggalkan komentar