Seorang Perempuan Mengerjakan Sarung Tenun Samarinda

Seorang Perempuan Mengerjakan Sarung Tenun Samarinda

Di Indonesia Timur, etnis Bugis, Makassar, dan Buton dikenal sebagai kelompok masyarakat yang banyak melahirkan pengusaha tangguh. Mereka tak hanya mengisi pasar-pasar di Sulawesi, namun juga di Kalimantan, Maluku, dan Papua. Menurut catatan sejarah, migrasi orang-orang Makassar ke seberang lautan terjadi setelah berlangsungnya Perjanjian Bongaya di tahun 1667. Tak lama kemudian masyarakat Bugis yang tak puas dengan kondisi politik di Sulawesi Selatan mengikuti jejak saudaranya untuk pergi merantau. Sedangkan etnis Buton yang berasal dari Sulawesi Tenggara, baru melakukan migrasi secara besar-besaran setelah masa kemerdekaan. Sehingga di perantauan populasi dan pencapaian mereka tak terlampau mencolok. Ada beberapa faktor yang menyebabkan berpindahnya kelompok etnis dari Sulawesi bagian selatan ini ke wilayah-wilayah lainnya di Indonesia Timur. Namun dari semua faktor itu, yang terpenting ialah besarnya peluang ekonomi, terutama di bidang perdagangan. Oleh karenanya di beberapa tempat dan pada waktu tertentu, dalam perebutan kue ekonomi itu sering terjadi pergesekan antara masyarakat lokal dengan ketiga etnis tersebut.

Dalam beberapa hal, masyarakat Bugis-Makassar dan Buton bisa disamakan dengan kelompok Arab, Tionghoa, dan Minangkabau, yang banyak mencari peluang di Indonesia Timur untuk mengembangkan jaringan dagang mereka. Etnis-etnis tersebut bertolak belakang dengan motif migrasi orang Jawa, Minahasa, dan Batak, yang pergi ke Indonesia Timur karena penempatan sebagai pegawai atau ikut program transmigrasi. Karena corak dagang inilah, maka kelompok Bugis-Makassar dan Buton cukup menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia Timur. Dalam kajian ini, penyebutan Bugis-Makassar juga termasuk di dalamnya kelompok-kelompok lain di Sulawesi Selatan, seperti etnis Luwu dan Massenrempulu, yang juga banyak tersebar di perantauan Indonesia Timur.

* * *

Di Papua, para pengusaha Bugis-Makassar merupakan pemain utama yang memiliki jaringan cukup kuat. Laporan Ekspedisi Kompas ke Papua menyebutkan, bahwa orang-orang Bugis-Makassar sudah memenuhi los-los pasar tradisional di pulau ini sejak dekade 1970-an. Di Jayapura mereka banyak berjualan di Pasar Ampera, Pasar Sentral Hamadi, Pasar Abepura, dan Pasar Yotefa. Selain di Jayapura, keberadaan pedagang-pedagang Bugis-Makassar juga banyak dijumpai di Timika, Sorong, dan Merauke. Mereka membuka usaha dari yang kecil-kecil seperti perdagangan kelontong, pengusaha hutan, sampai bisnis transportasi.

Manusia Bugis karya Christian Pelras

Manusia Bugis karya Christian Pelras

Sejak diterbitkannya Instruksi Presiden Soeharto untuk pembukaan lahan di Papua, para pengusaha Bugis-Makassar merupakan salah satu pihak yang banyak mengambil untung. Mereka berani masuk ke dalam hutan, mendaki gunung dan membuka alam liar menjadi lahan-lahan yang produktif. Begitu aktifnya mereka dalam meneroka, sampai ada pameo yang mengatakan : jika ada asap yang keluar dari hutan-hutan Papua, maka disana ada orang Bugis-Makassar yang sedang membuka lahan. Ada yang menarik dari cerita lihainya para pengusaha Sulawesi Selatan dalam “merebut” tanah-tanah di Papua. Menurut George Junus Aditjondro, banyak penduduk di pesisir Merauke dan Teluk Yotefa yang mau melepas begitu saja tanahnya kepada calo-calo Bugis-Makassar hanya dengan imbalan beberapa peti bir. Hal ini mirip kisah lepasnya Singapura ke tangan bangsa Inggris di abad ke-19 lalu (Lihat : Kala Singapura Berpisah Dari Melayu).

Di sektor transportasi, kelompok Bugis-Makassar juga banyak mengambil peran. Mereka menyewakan berbagai macam kendaraan untuk operasional perusahaan-perusahaan di Papua. Selain di darat, jasa transportasi laut juga menjadi ranah bisnis mereka. Di Sorong, salah satu pengusaha Bugis yang terbilang sukses ialah Haji Misbahuddin. Ia merupakan pemilik perusahaan pelayaran Belibis Papua Mandiri. Kini laki-laki kelahiran Wajo 42 tahun lalu itu, telah memiliki empat unit kapal yang melayani masyarakat Sorong dan Raja Ampat. Sejak Raja Ampat menjadi daerah tujuan wisata, bisnis Haji Misbah semakin bertumbuh. Oleh karenanya Misbah berencana akan mendatangkan satu lagi kapal cepat berkapasitas 400 orang yang melayani rute Sorong-Raja Ampat.

Selain kemampuan entrepreneurial mereka yang mumpuni, kekuatan bisnis Bugis-Makassar juga ditopang oleh rasa kekeluargaannya yang tinggi. Di berbagai daerah termasuk Papua, mereka berhimpun dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Dalam berbagai urusan, peran KKSS sangatlah vital. Terutama untuk menjembatani kepentingan antara pengusaha dengan birokrat setempat. Namun bagi penduduk asli Papua, kehadiran KKSS lebih dipandang sebagai lembaga korporatif yang dekat dengan militer dan pemerintah. Hal ini terbukti ketika terjadi kasus di tahun 1998, dimana KKSS membuat demo tandingan yang mengecam dan menantang orang Papua di Sorong dan Manokwari. Oleh karenanya, menurut Muridan S. Widjojo seorang peneliti LIPI, tindakan KKSS sering kali memupuk kebencian orang Papua terhadap para pendatang. Termasuk kepada orang Jawa dan Minahasa yang banyak menempati kursi-kursi pemerintahan.

Meski di Papua jumlah orang Jawa terbilang dominan, namun dari segi bargaining power, orang-orang Sulawesi Selatan melalui KKSS-nya jauh lebih unggul. Hal ini bisa dipahami sebab orang-orang Bugis-Makassar dikenal sebagai ahli-ahli diplomasi yang cakap. Meski keunggulan lobi Bugis-Makassar memberikan keuntungan cukup besar terhadap kesuksesan mereka, namun hal itu bisa menjadi bumerang jika tidak disikapi dengan bijak. Seperti bentrok pada tahun 1996 di Pasar Abepura, Pasar Entrop (1999 dan 2000), dan Pasar Sentani (2000), yang melibatkan para perantau Bugis-Makassar dengan masyarakat setempat. Dimana akibat kerusuhan itu, banyak pedagang asal Sulawesi Selatan yang kehilangan toko dan mengalami kerugian puluhan miliar.

Berbeda dengan masyarakat Bugis-Makassar, warga Buton di Papua tak begitu dominan. Selain berdagang, mereka biasa hidup dari penangkapan ikan di lepas pantai. Salah satu pemukiman Buton di Papua ialah Pulau Kosong. Pulau yang terletak di selatan Jayapura ini merupakan tanah ulayat warga asli marga Yowe, Sibi, Hay, dan Soro. Karena tak mendapat tempat di daratan Jayapura, sejak tahun 1970-an mereka pergi ke pulau yang sebelumnya tak berpenghuni itu. Disana mereka menarah bukit untuk membangun rumah-rumah panggung di tepi pantai. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari, bersama kelompok Bugis-Makassar mereka biasa disebut amber alias berambut lurus, kebalikan dari komin, orang-orang yang berambut keriting. Selain di Jayapura, masyarakat Buton juga banyak dijumpai di Sorong, Papua Barat. Beberapa waktu lalu, di kota ini mereka menjaring aspirasi untuk membentuk Propinsi Buton Raya. Agaknya selain kegiatan ekonomi, aktivitas politik-pun banyak dilakukan para perantau Buton di tanah seberang.

Pengungsi Ambon (sumber : wikipedia.org)

Pengungsi Ambon (sumber : wikipedia.org)

Di Maluku, masyarakat Buton, Bugis, dan Makassar, juga aktif di dunia perdagangan. Tak hanya di pasar, kelompok BBM — begitu orang Ambon menyebutnya, juga menguasai sektor-sektor informal seperti pengayuh becak dan tukang panggul. John Pieris dalam bukunya yang berjudul “Tragedi Maluku : Sebuah Krisis Peradaban” menyebutkan, orang-orang Buton, Bugis, dan Makassar dikenal sebagai pekerja-pekerja yang ulet. Hanya sedikit dari mereka yang mau bekerja di pemerintahan dan lebih memilih sebagai wirausaha. Kepindahan kelompok BBM ke Ambon, berlangsung cukup massif sejak tahun 1980 disaat Hasan Slamet menjabat Gubernur Maluku. Kebijakan itu terus berlanjut hingga kepemimpinan Akib Latuconsina. Semula tujuan didatangkannya orang-orang Buton, Bugis, dan Makassar ke Maluku untuk mengisi kekosongan tenaga kerja menengah ke bawah. Namun dalam perjalanannya, kedatangan mereka telah mengubah komposisi etnis dan agama masyarakat setempat. Sehingga pada tahun 1998, jumlah umat Muslim di Kota Ambon sudah melampaui penganut Nasrani. Menurut Ongen Sangaji, tokoh Maluku di Jakarta, pada saat itu penganut Muslim di Ambon sudah mencapai 56%, yang mana lebih dari separuhnya merupakan kaum pendatang.

Kehadiran kelompok Buton, Bugis, dan Makassar di Ambon dalam jumlah besar, menimbulkan kekhawatiran dari pihak Kristen. Selain karena faktor demografi, kedatangan komunitas BBM berangsur-angsur juga mengambil alih keuntungan ekonomi yang selama ini mereka nikmati. Keadaan ini makin diperparah oleh ulah sebagian oknum yang menyebalkan. Seperti Usman, seorang preman asal Bugis yang ditengarai menjadi biang keladi terjadinya bentrok antara kelompok BBM dengan masyarakat Ambon Kristen. Berdasarkan hasil keputusan pengadilan, Usman dinyatakan bersalah karena telah mengompas Yopie, supir angkot yang kebetulan beragaman Nasrani. Dari peristiwa inilah kemudian pecah Tragedi Ambon yang kemudian memakan korban jiwa cukup besar. Entah benar entah tidak, namun menurut Amidhan (ketua MUI), konflik Ambon sengaja dihembuskan untuk mengusir orang-orang Bugis dari kota itu. Menurut berbagai versi yang berkembang, isu pengusiran kelompok BBM diprakarsai oleh pihak gereja yang merasa terancam. Untuk menyelesaikan konflik Ambon, salah seorang tokoh Bugis yang saat itu menjabat Menkokesra : Jusuf Kalla, mengambil inisiatif untuk membuat kesepakatan. Kesepakatan yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Malino itu, memberikan solusi win-win yang mana orang Ambon, Buton, Bugis, dan Makassar tetap bisa hidup berdampingan di Maluku.

Di bagian lain Pulau Sulawesi, etnis Bugis dan Makassar juga mengambil peranan cukup penting. Sejak dibukanya Jalan Trans-Sulawesi, kedua etnis ini mulai membanjiri Sulawesi Tengah. Kedatangan mereka terutama dipicu oleh perdagangan coklat yang cukup menggiurkan. Di Poso sejak masuknya orang-orang Bugis-Makassar, lebih dari separuh penduduk kabupaten itu merupakan pemeluk Islam. Padahal sebelumnya, hampir sebagian besar orang-orang di Poso menganut agama Nasrani dan kepercayaan tradisional. Menurut Arianto Sangaji, di tahun 1998 lebih dari 60% penduduk Kabupaten Poso yang beragama Islam, sementara kurang dari 36% yang memeluk Kristen. Ini untuk kali pertamanya, masyarakat muslim mendominasi Poso.

Di Poso, bisnis orang-orang Bugis tak hanya terbatas kepada perdagangan hasil bumi, namun juga membuka lahan tambak, perkebunan, dan konstruksi. Di Sulawesi Tengah, dua konglomerat asal Bugis : Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud, banyak menggarap proyek-proyek pemerintah. Melalui tiga perusahaannya yakni Hadji Kalla, Bukaka, dan Bosowa, mereka mengerjakan beberapa bendungan dan jaringan transmisi listrik. Sepertinya mereka mendapat kemudahan berbisnis sejak Jusuf Kalla menjabat sebagai wakil presiden dan ketua umum Partai Golkar. Selain di Poso, orang-orang Bugis – bersama orang Mandar, juga bermukim di pantai barat Sulawesi Tengah, yakni dari Donggala hingga ke Teluk Palu. Disana mereka banyak yang menjadi pengusaha ikan. Bahkan produksi ikan masyarakat Bugis di Donggala, sudah menembus pasaran ekspor hingga ke Jepang dan Amerika Serikat.

Aksa Mahmud (kiri) dan Jusuf Kalla (tengah)

Aksa Mahmud (kiri) dan Jusuf Kalla (tengah)

Tak hanya di dunia perdagangan, orang-orang Bugis-Makassar juga menguasai institusi politik di wilayah tersebut. Melalui Partai Golkar, kelompok Iramasuka (Irian Jaya-Maluku-Sulawesi-Kalimanatan) yang didominasi oleh etnis Bugis, turut menentukan posisi elit di kabupaten-kabupaten Sulawesi Tengah. Setelah era reformasi, banyak dari pejabat eselon dan beberapa bupati di propinsi ini yang ditempati oleh para perantau Bugis. Salah satunya ialah bupati Poso yang dijabat oleh seorang bangsawan Bugis : Andi Azikin Suyuti.

Di Kalimantan, keberadaan orang-orang Bugis juga tak bisa dianggap remeh. Sejak abad ke-17 mereka dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung yang banyak membantu sekaligus menyerang kesultanan-kesultanan Melayu. Pada tahun 1668, beberapa orang Bugis pimpinan La Mahong Daeng Mangkona pergi ke Kerajaan Kutai. Kepergian mereka disebabkan oleh kondisi politik di Sulawesi Selatan yang tak menentu pasca ditandatanganinya Perjanjian Bongaya. Bagi raja Kutai, kehadiran orang-orang Bugis sangat diperlukan untuk mengantisipasi efek domino atas penguasaan Belanda di Selat Makassar. Pada tahun 1726, orang Bugis pimpinan La Madukelleng Arung Singkang menawan Kerajaan Pasir. Meski kekuasaan Bugis disini tak berlangsung lama, namun sejak saat itu banyak perantau Bugis yang bermigrasi ke Kalimantan Timur. Kini hampir di sepanjang pesisir Kalimantan Timur, banyak dijumpai perkampungan Bugis-Makassar, yang diselingi pemukiman masyarakat Mandar dan Melayu.

Di propinsi ini, kampung Bugis yang cukup besar berada di kota Samarinda, tepatnya Samarinda Seberang. Disini banyak perantau Bugis yang mengusahakan pembuatan sarung tenun ikat. Meski tradisi ini berasal dari etnis Mandar, namun justru orang-orang Bugis-lah yang mengembangkannya di Samarinda. Menurut Miyazaki, sarung Samarinda merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya masyarakat Bugis yang membedakannya dari suku Banjar, Dayak, dan Melayu. Bahkan tradisi ini juga membedakan orang Bugis di Samarinda dengan kelompok-kelompok Bugis lainnya di Indonesia Timur.

Meski kehadiran masyarakat Bugis di Kalimantan Timur telah berlangsung lama, namun masih saja ada segregasi etnis yang menyebabkan terjadinya konflik. Di tahun 2010 lalu, pecah kerusuhan di Kota Tarakan yang melibatkan etnis Tidung dengan kelompok Bugis Letta. Kerusuhan ini bermula dari perselisihan pemuda setempat yang melibatkan dua etnis tesebut. Namun pertikaian ini cepat mereda setelah ada kesepakatan damai dan tindakan hukum dari aparat yang berwenang.

Selain Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan juga merupakan rantau masyarakat Bugis yang cukup ramai. Menurut Alfani Daud, kedatangan masyarakt Bugis di Kalimantan Selatan sudah berlangsung sejak abad ke-18. Atas seizin Sultan Banjar, di tahun 1735 Puanna Dekke membuka daerah Pamagatan. 40 tahun kemudian, Andi Paseere (Arung Turawe) meneroka wilayah Batulicin dan Sebamban. Di abad ke-18, jumlah etnis Bugis di Kalimantan Selatan boleh dihitung dengan jari. Namun sejak tahun 1842 jumlah mereka meningkat secara drastis. Tingginya intensitas kedatangan mereka ke wilayah ini disebabkan oleh meningkatnya perdagangan antara Jawa dengan Sulawesi Selatan. Gelombang migrasi kedua terjadi pada tahun 1906, yakni ketika Kerajaan Bone dan Wajo secara keseluruhan takluk di bawah cengkeraman Hindia-Belanda.

Pemukiman Bugis di Samarinda Seberang (sumber : blog.negerisendiri.com)

Pemukiman Bugis di Samarinda Seberang (sumber : blog.negerisendiri.com)

Hampir sebagian besar mereka yang tinggal di Kalimantan Selatan berprofesi sebagai pengusaha ikan dan petani. Namun sejak tahun 1970-an, banyak dari perantau Bugis yang membuka lahan pertambangan. Salah seorang pengusaha Bugis yang sukses ialah Andi Syamsudin Arsyad. Haji Isam begitu ia disapa, memulai usahanya sebagai kontraktor pelaksana tambang perusahaan Grup Bakrie. Kini ia telah mengembangkan sayap bisnisnya ke berbagai lini; mulai dari properti, penerbangan, hingga transportasi laut. Di Batulicin, rumahnya sangat besar dengan penjagaan yang berlapis-lapis. Koneksinya tak hanya para pejabat di Kalimantan Selatan, namun juga hingga petinggi di Jakarta. Meski tergolong the rising star, Isam disebut-sebut telah banyak melakukan penggusuran lahan rakyat. Bahkan untuk melancarkan usahanya, Isam diduga melibatkan pihak kepolisian.

 

* * *

Bagi kebanyakan orang Bugis, Makassar, dan Buton, identifikasi terhadap etnik sangatlah penting. Sehingga organisasi-organisasi mereka yang bersifat kedaerahan tak hanya bersifat melestarikan budaya leluhur, namun juga terlibat aktif dalam kegiatan politik praktis. Hal ini berbeda dengan mayoritas masyarakat Jawa yang lebih bersifat cair. Bagi orang Jawa – dan Minangkabau dalam batas-batas tertentu, identitas etnik bersifat situasional dan bisa setiap saat bergeser atau berubah jika situasi atau konteks sosialnya berubah. Melihat dinamika perantauan kelompok Bugis, Makassar, dan Buton, khususnya di Indonesia Timur, kita bisa menyimpulkan bahwa ketiga etnis tersebut termasuk ke dalam kelompok yang memandang dirinya (etnisnya) sebagai sesuatu yang esensial, sehingga kebersamaan diantara mereka cukup diperlukan. Baik itu untuk tujuan ekonomi, perebutan kekuasaan, atau sekedar bertahan hidup. Sehingga bagi orang Bugis-Makassar, filsafat siri’ na pacce lebih mengemuka ketika mereka di perantauan tenimbang di daerah asalnya sendiri.

 

Lihat pula :
Migrasi Bugis : Dari Pelaut Menjadi Raja.

Komentar
  1. R. Wally berkata:

    Harap saudara rubah secara total kalimat dari tulisan saudara di atas pada paragraph pertama: “masyarakat Buton yang berasal dari Sulawesi Tenggara, baru melakukan migrasi secara besar-besaran setelah masa kemerdekaan. Sehingga di perantauan populasi dan pencapaian mereka tak terlampau mencolok”. hal ini tidak punya dasar dan tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Coba saudara datangi Pulau Seram, Pulau Kelang dll di Kepulauan Maluku, di sana anda akan menemukan kampung-kampung dan atau dusun-dusun etnis masyarakat Buton yang terbentuk sebelum Republik Indonesia ada. Sekali lagi saudara harap merubah tulisan saudara tentang hal ini.

    Suka

    • Afandri Adya berkata:

      Terima kasih Saudara R. Wally atas komentarnya. Informasi dari Anda cukup berharga, namun apakah Anda memiliki referensi/rujukan mengenai seberapa banyak dan menonjol-kah orang-orang Buton di Maluku sebelum masa kemerdekaan. Kalau boleh bisa Anda sharing disini.

      Memang orang-orang Buton sudah merantau sebelum masa kemerdekaan. Merujuk jurnal yang ditulis oleh Blair Palmer, yang berjudul “Migrasi dan Identitas: Perantau Buton yang Kembali ke Buton Setelah Konflik Maluku 1999–2002”, migrasi orang-orang Buton ke Maluku sudah terjadi sejak akhir abad ke-19. Namun menurut Palmer yang mengutip Richard Chauvel, di Maluku orang Buton tidak terlibat dan tidak mempunyai banyak pengaruh pada politik daerah. Kemudian berdasarkan sensus tahun 1930, di Ambon (salah satu kota yang menjadi basis utama orang Buton) hanya ada sekitar 10% etnis Buton, dan sekitar 75% – 80%-nya merupakan suku-suku setempat. Menurut saya jumlah ini relatif kecil jika dibandingkan dengan perantau Jawa, Bugis-Makassar, Minangkabau, atau Banjar, yang di beberapa daerah di Nusantara menjadi pihak yang cukup dominan. Coba bandingkan pada tahun 1990-an, dimana lebih dari separuh penduduk Ambon merupakan kaum pendatang. Yang mana etnis Buton merupakan salah satu komponen utama dari kaum pendatang tersebut.

      Selain ke Maluku, peluang ekonomi yang terbuka di Papua juga merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan berpindahnya etnis Buton dalam jumlah besar. Dimana seperti kita ketahui, Papua benar-benar terbuka dan menjadi tujuan banyak perantau, setelah masa kemerdekaan. Dan di Papua, para perantau dari Buton — bersama para perantau lainnya, cukup mewarnai perdagangan di kota-kota pulau tersebut.

      Jadi dalam konteks kalimat tersebut, saya melihatnya seperti itu. Apakah dengan penjelasan ini, saya masih harus mengikuti kemauan Saudara?

      Suka

  2. Muhamad Arwahid berkata:

    Di maluku masyarakat buton sudah cukup mengakar (sudah berabad-abad lamanya) mrka brada disana. Itu trlihat dlm sejarah prjanjian buton dan belanda sktiar tahun 1600 masehi (maaf sy bkan ahli sejarah makanya sy tdk ingat tahun brapa n dimasa sultan siapa prjanjian tsb). Dlm prjanjian itu kaitannya dgn org2 buton yg ada di ambon n di banda neira. Selain itu ada jg orang2 buton yg meninggalkan buton menuju maluku dgn bbrapa alasan sbb:
    1. Orang2 buton yg mlakukan prlawanan/pmberontakan trhdp belanda, smntara kesultanan buton sdh mlakukan prjanjian dgn belanda
    2. Orang2 buton yg tdk nyaman dgn kondisi perang antara kerajaan shingga mmbuat mrka meninggalkan buton mnju maluku.
    3. Slain 2 poin diatas, org buton jg sejak dulu sdh mlakukan playaran dr indonesia timur menuju indonesia barat, johoro (malaysia) n sangkapura (singapur). Playaran tsb yaitu mlakukan prdagangan hasil bumi n hasil laut seperti kopra, kayu, rotan, teripang, lola, hiu dll.
    Sementara di papua brdasarkan pemberitaan telivisi lokal papua yg dbritakan kurang lbh 10 thn yg lalu, mngtkan bhw ada dtemukan kuburan tua orang buton di jayapura diprkirakan usia kuburan itu sdh 100 thn lebih. Jd kesimpulannya sdh lama org buton brada di indonesia timur, jauh sblm indonesia merdeka. Coba keliling di maluku, maluku utara, papua, papua barat pasti banyak ditemukan kampung2 org buton n banyak dari mrka hanya tau bhw buton negeri leluhurnya tp sdh tdk tau keluarga mrka d buton krn sdb beberapa generasi brada di indonesia timur, apalagi org2 buton dipasar2. Kmudian sikap org2 buton tdk membawa dominasinya skalipun mrka banyak scr kuantitas bhkan org2 buton mampu menyesuaikan diri n brsikap baik dgn masyarakat stempat. Mengenai pekerjaan org2 buton brfariasi, mulai dari pekerja halus sampai pekerja kasar, mulai dari PNS sampai dgn wirausaha. Sblm kerusuhan ambon, org buton klo sy tdk salah ingat menjbt sbg ketua bappeda atau diknas n kanwil agama maluku.

    Suka

  3. Muhamad Arwahid berkata:

    Persoalan etnis pendatang mana yg menonjol sy tdk dlm konteks itu. Lebih baiknya kt membaca hasil penelitian tentang kerusuhan ambon dan tentang faktor penyebab kerusuhan.

    Suka

  4. helmy berkata:

    ada literatur terkait penguasaan lahan orang bugis di tanah rantau??
    mohon infonya.tks

    Suka

  5. Kasman Renyaan berkata:

    Migrasi orang Buton tidak bisa dilepaspisahkan dari dinamika pelayaran dan perdagangan maritim. Bersama Bugis dan Makassar mereka dikelompokkan sebagai tiga kekuatan yang paling dinamis dan ekspansif dalam kegiatan pelayaran di kawasan timur Indonesia. Orentasi kehidupan mereka ke laut turut mempengaruhi citra Buton sebagai kerajaan bercorak maritim. Karena itulah pakar sejarawan maritim Asia Tenggara, Adrian B. Lapian mengatakan, orang Buton bersama orang Bugis, Makasar, dan Mandar, dikukukhkan sebagai pewaris tradisi maritim Melayu-Polinesia dan bangsa Indonesia hari ini. Sejalan dengan itu, sejarawan Unhas Abd. Rahman Hamid, dalam bukunya menyebut “Orang Buton Suku Bahari Indonesia.” Terkait pelayaran orang Buton dalam mengarungi ruang samudra terungkap konsep “Asabangka Asarope.”

    Dalam sumber Media Kita dari Key Maluku Tenggara, pada tanggal 7 Mei 1990 melaporkan, bahwa orang-orang Binongko sejak abad ke-17 telah sampai di Maluku. Di Kepulauan Key Maluku Tenggara itu, mereka berhasil mendirikan sebuah kampung kecil yang dinamakan Kampung Tamu. Perahu Bangka, pertama yang berhasil mereka buat di kampung itu diberi nama P. L. Montoroso, yang dalam Bahasa Buton Kaumbeda berarti “awak perahu pemberani dan bertanggung jawab.” Fakta ini membuktikan bahwa, penelitian Blair Palmer, yang berjudul “Migrasi dan Identitas: Perantau Buton yang Kembali ke Buton Setelah Konflik Maluku 1999–2002″, dimana Blair Palmer menyebut migrasi orang Buton terjadi pada abad ke-19 tidak sepatutnya benar. Sebab pada tahun 1700-an, orang Buton telah menjelajahi seluruh Kepulauan Maluku dan bermukim disana. Terutama di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) sebagai mayorotas orang Buton.

    Fakta sosial/penduduk, hasil sensus tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk beretnis Buton menduduki posisi kedua terbesar setelah Kei, yakni 10.59 % dari jumlah penduduk Maluku 1.148.294 jiwa. Kelompok etnis terbesar lainnya adalah Kei (10,97%), Ambon (10,53%), Seram (6,88%), Saparua (5,94%), dan Jawa (4,66%). Karena itulah, Ziwar Effendy (1987) dalam bukunya, “Hukum Adat Ambon Lease” mengatakan bahwa “orang Buton akan banyak menentukan masa depan politik di Maluku.” Terbukti di Kabupaten SBB, pasca pemekaran dari kabupaten induk Maluku Tenggah (2003), orang Buton tak pernah ketinggalan dalam perhelatan politik. Dua priode berturut-turut wakil bupati diduduki orang Buton (H. La Kadir dan La H. Husni). Hal ini berbeda dengan perantau Bugis-Makasar, jika orang Bugis merantau di Malaysia pasca perjanjian Bongaya tahun 1667, mereka lebih memasuki/merebut kota mendapat kekuasaan (istana), lalu menikahi anak raja, dan kemudian menjadi raja. Sedangkan orang Buton merantau, merebut daerah-daerah yang dari sisi wilayah agraris tidak bigitu menguntungkan. Korelasi migrasi orang Buton ini, dalam memilih daerah pemukiman hampir sama persisi dengan daerah asal mereka (Buton). Misalnya orang Buton di Kabupaten SBB, Kecamatan Huamual, Dusun Ely, kondisi perkampungan mereka juga daerah-daerah bebatuan (karang) yang hampir persis dengan daerah asal mereka, daerah Tira, Sulawesi Tenggara, juga daerah yang berkarang.

    Menurut hemat saya, migrasi orang Buton ke Maluku ini semakin intensif pada masa pendudukan Jepang (1942), sebab hal ini berkaitan dengan pemanfaatan perahu Bangka orang Buton untuk pengangkutan barang (aspal) dari Pelabuhan Buton ke Pelabuhan Kendari, atas suruhan tentara Jepang dalam rangka pembuatan infrastruktur bandara di Kendari, demi kepentingan strategis Jepang menghadapi perang Asia Timur Raya. Bersamaan dengan kerja rodi, penduduk desa di Buton dalam pengawasan tentara Jepang. Sehingga untuk menghidari hal itu, mereka melarikan diri bersama perahu Bangka, menuju ke Kepulauan Maluku. Sebab jalan untuk bermukim di Maluku telah terbuka lebar sejak masa kejayaan maritim abad 17. Fakta ini dibuktikan dengan temuan saya pada beberapa orang tua di Dusun Amaholu Kabupaten SBB, sangat fasih berbahasa Jepang, padahal tidak punya latar belakang pendidikan. Namun fakta ini masih harus dilakukan penelitian. Sebagai orang yang belajar sejarah, saya hanya memberikan masukan, bahwa untuk mengkaji migrasi orang Buton di Maluku, tidak bisa dilepaspisahkan dengan tradisi maritim orang Buton sendiri. Karena Maluku pada abad ke-16 adalah jalur strategis yang disinggahi oleh pelayar-pedangang, termasuk pelayar-pedagang Buton ketika itu.
    Artikel terkait:http://sejarah.kompasiana.com/2015/03/01/pelayaran-tradisional-orang-buton-di-dusun-amaholu-704300.html

    Suka

  6. minangel berkata:

    assalamu alaikum wr wb ….

    bang afandriadya …… bisa saya minta bantuannya??

    beberapa bulan yg lalu, saya baca di berbagai page, tertulis bhw sultan iskandar muda dari aceh,merupakan keturunan minangkabau.

    namun ketika saya chek lagi sekarang ini, ternyata sudah berlainan. setidaknya wikipedia tidak lagi menulis bhw asal usul sultan aceh ini berasal dari minangkabau. bagaimana ini?

    saya mohon penjelasannya, dan terima kasih.

    Suka

    • Afandri Adya berkata:

      Yang saya tahu Sultan Iskandar Muda memang bukan keturunan Minang. Dia keturunan dari dua dinasti Aceh : Makota Alam dan Darul Kamal. Sultan Aceh yang berdarah Minang hanyalah Sultan Buyung, memerintah pada periode 1585-1589. Mungkin Saudara punya referensi yang mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda keturunan Minang?

      Suka

  7. La Ode Yusran Syarif berkata:

    Bermanfaat… Thanks ya….

    #Bangga jadi orang Buton

    Suka

  8. M. Soplanit berkata:

    Saya mohon maaf sebelumnya. penulisan artikel ini menurut saya kurang referensinya. karena masyarakat buton sudah ada di maluku jauh sebelum indonesia merdeka.sehingga di berbagai pelosok daerah di maluku berdiri kampung2 buton. masyarakat buton sekarang ini telah menjadi bagian yg tidak bisa dilepas pisahkan dari masyarakat maluku. sehingga kadang kalau orang bertanya kepada mereka, “anda buton mana?” pasti akan dijawab “saya buton ambon”.

    kemudian, membahas soal konflik di maluku, janganlah membuat penafsiran2 yg keliru. karena biang keladi konflik ini saja belum terungkap jelas. karena itu hanyalah politik yang dibuat dibalik agama. bukan buatan kelompok agama tertentu. dan masyarakat buton adalah korban dari konflik saudara di maluku. bukan menjadi latar belakang dari konflik. mohon diperhatikan… terima kasih…

    Suka

    • Afandri Adya berkata:

      Terima kasih Bung M. Soplanit atas komentarnya. Mungkin benar apa yang Anda katakan, tulisan ini kurang referensi. Tapi mohon tunjukkan referensi yang Anda punya, supaya kami dan pembaca lainnya juga bisa sama-sama membaca, sama-sama menimbang.

      Mengenai konflik Maluku, sebagian orang ada yang mengatakan bahwa para penggeraknya adalah para politisi di Jakarta — bukan konflik agama. Tapi seperti yang Anda katakan pula, biang keladi konflik ini belum terungkap jelas. Kalau begitu marilah kita tunggu bersama-sama komentar dari pembaca lainnya, yang mungkin lebih tahu dan paham. Salam.

      Suka

  9. Syarif Nari, SH., MH berkata:

    Reblogged this on muladihasal34's Blog.

    Suka

Tinggalkan komentar