Mereka Diantara Para Penggerak Pariwisata Indonesia

Posted: 30 November 2015 in Wisata
Tag:, , , , , , , , , ,

Raja Ampat

Raja Ampat, Papua Barat (sumber : zonalibur.com)

“Pariwisata di Indonesia butuh orang-orang kreatif”, begitu kalimat yang selalu didengungkan oleh Sapta Nirwandar, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif periode 2011-2014. Sapta memang telah banyak menelurkan ide-ide cemerlang untuk kemajuan pariwisata Indonesia. Bahkan pada masa itu, orang mengira justru dialah yang menjadi Menteri Pariwisata — bukan Mari Elka Pangestu. Sapta memang merupakan mastermind di balik serangkaian acara pariwisata di awal dekade ini. Sebutlah misalnya Sabang Jazz Festival, Festival Danau Toba, Tour de Singkarak, Musi Triboatton, Jakarta Marathon, dan Festival Maluku Kihara, yang merupakan hasil kontemplasi beliau dengan para pegiat ekonomi kreatif lainnya.

Dalam setiap even yang diselenggarakan, ia tak hanya sekedar menjadi pimpinan proyek. Namun juga ikut mengemas acara dan memasarkannya hingga ke mancanegara. Pada even “Tour de Singkarak” misalnya, dari tahun ke tahun Sapta berhasil menambah keikutsertaan para pebalap sepeda dari luar. Untuk meningkatkan kualitas perlombaan, ia juga mengundang “Amaury Sport Organisation” yang telah berhasil menyelenggarakan “Tour de France” di Perancis. Begitu pula pada perhelatan “Jakarta Marathon 2014”, Sapta memperpanjang rute perlombaan agar makin banyak gedung-gedung tua di ibu kota yang disorot wartawan asing. Promosi seperti ini ternyata cukup ampuh, terutama untuk membidik para pelancong yang menyukai heritage sebuah kota. Ke depan, Sapta berharap Jakarta Marathon bisa masuk ke dalam rangkaian World Marathon Majors Series, sekaligus menempatkan Jakarta sebagai destinasi utama sport tourism dunia.

Bagi Anda yang suka berlibur ke Bandung, mungkin Anda pernah singgah ke beberapa factory outlet berikut : The Heritage, Rich & Famous, China Emporium, Gallery Clothing, The Summit, Happening, Oasis, Emirates, Metropolis, The Warehouse, For Men atau Bale Anak. Tahukah Anda siapa pemilik outlet tersebut? Ya, dia adalah Perry Tristianto, wirausaha kelahiran Bandung yang kerap dijuluki sebagai “Raja Factory Outlet”. Awalnya Perry sempat berjualan celana jins di Jalan Cihampelas. Lalu ia melihat kebutuhan masyarakat yang datang ke Bandung, yang ingin berwisata sambil berbelanja. Dari penglihatannya itu, kemudian lahirlah beberapa toko yang mengusung konsep factory outlet. Semula ia memperoleh pasokan produk sisa ekspor dari pabrik-pabrik garmen yang tutup. Kemudian untuk menambah koleksi, ia juga memburu fesyen-fesyen rancangan luar negeri.

Pasar Apung

Floating Market, Lembang

Tak hanya factory outlet, pria yang menyelesaikan pendidikannya di University of Stamford Singapore itu juga membesut beberapa kafe dan taman wisata. Di kawasan Lembang, 15 km arah utara Bandung, ia mengembangkan taman bermain “De Ranch”. Obyek wisata ini mengambil konsep seperti halnya peternakan kuda di Texas, Amerika Serikat. Disini selain bisa menunggang kuda dengan mengenakan pakaian ala koboi, pengunjung juga bisa bermain flying fox, memancing, atau menikmati kudapan khas Priangan. Menerapkan konsep pemasaran modern, Perry juga menyuguhkan welcome drink bagi setiap wisatawan yang datang. Pengunjung cukup memberikan sobekan tiket masuk untuk ditukarkan dengan segelas jus stroberi atau coklat.

Selain De Ranch, “Floating Market” juga merupakan proyek teranyar besutan Perry. Memanfaatkan Situ Umar yang tak terawat, ia mengembangkan pasar terapung seperti halnya pasar apung di Banjarmasin. Dengan memberdayakan para penduduk lokal, Perry menawarkan 46 buah perahu untuk tempat mereka berjualan. Dari atas perahu itulah kemudian para penjaja makanan memasak langsung kudapan yang mereka jual. Ada rujak ulek, sate kelinci, batagor, dan ketan bakar. Selain itu, disini para pelancong juga bisa bermain wahana air, memberi makanan ikan dan kelinci, serta memetik buah strawberi.

Memang tak ada data yang menghitung mengenai kontribusi Perry terhadap peningkatan wisatawan yang datang ke Bandung. Namun jika merujuk pada data statistik empat tahun terakhir, dimana sejak dibukanya factory outlet dan obyek-obyek wisata milik “The Big Price Cut”, Bandung jadi kebanjiran pelancong. Malahan Bandara Husein Sastranegara — yang lima tahun lalu nampak lengang, kini sudah disesaki oleh para turis mancanegara, khususnya dari Malaysia dan Singapura. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan lewat bloger asing, ramainya wisatawan yang datang ke Bandung akhir-akhir ini disebabkan oleh murahnya fesyen berkualitas, wisata alam, makanan, serta udaranya yang sejuk. Dan diantara faktor-faktor tersebut, tak sedikit peran Perry di dalamnya.

Minang Fantasi

Minang Fantasi di Padang Panjang (sumber : juragangelang.com)

Jika di Bandung ada Perry Tristianto, maka di Sumatera Barat ada Nelson Septiadi. Sosoknya mungkin tak sementereng para pegiat pariwisata lainnya. Namun untuk tingkatan lokal, namanya tak bisa dipandang enteng. Ia merupakan salah satu anak negeri yang getol mendorong industri pariwisata di ranah Minang. Setelah berhasil mengembangkan jaringan swalayan “Niagara”, ia kemudian membangun Minang Fantasi. Di atas lahan seluas 10 hektar, ia mendirikan tempat bermain yang lokasinya tak jauh dari “Minangkabau Village”. Kini arena bermain dengan 18 wahana water park dan dry park itu, merupakan theme park terbesar di Pulau Sumatera. Karena perawatannya yang cukup bagus, tempat ini kemudian dinobatkan sebagai wahana bermain terbaik kedua di Indonesia.

Di Bali, banyak pihak yang ikut ambil bagian dalam kegiatan pariwisata. Salah satunya yang cukup menggebrak adalah I Gde Wiratha. Pada tahun 1990, disaat industri pariwisata Bali mulai booming, ia bersama adiknya Kadek Wiranatha mendirikan kelompok usaha “Gde & Kadek Brothers”. Bisnisnya bermula ketika ia membuka penginapan “Bounty” di Gang Poppies, Pantai Kuta. Setelah itu, insting bisnisnya semakin tajam dan keberuntungan seolah melingkupi dirinya. Tak tanggung-tanggung, ia kemudian mendirikan hotel berbintang, pub-pub mewah, dan restoran yang tergolong mahal. KuDeTa, salah satu resto besutannya di Pantai Seminyak, disebut-sebut sebagai salah satu resto termahal di dunia. Memasuki awal milenium baru, ia telah mengelola sekurangnya 38 perusahaan yang bergerak di berbagai bidang, dari diskotek, resto, hotel, travel, hingga kapal pesiar. Tak salah jika kemudian ia dijuluki orang sebagai “Raja Leisure Bali”.

Beberapa usahanya yang tergolong sukses adalah Bounty Cruises, Double Six Club, dan Paddy’s Club. Dua klub diskoteknya itu, disebut-sebut sebagai cash cow bagi grup usahanya. Dari Paddy’s Club saja, ia bisa mendatangkan rata-rata 1.000 – 1.300 orang tamu setiap malamnya. Oleh karenanya, ia sempat terpukul ketika bisnis kesayangannya itu menjadi sasaran bom para teroris di bulan Oktober 2002 lalu. Tak larut dalam kesedihan, ia kemudian membesut bisnis baru : maskapai penerbangan. Ide gilanya itu bergulir, setelah beberapa airlines besar sedikit yang mau mengambil rute tujuan Bali. “Paradise Air”, begitu maskapai tersebut ia namai, kemudian banyak mengambil penumpang dari kota-kota di Australia. Sepanjang tahun 2003 hingga 2005, load factor penerbangannya bisa mencapai 75%. Hingga akhirnya bom kembali mengguncang Bali di bulan Oktober 2005. Tak tertolong karena sedikitnya minat pelancong yang datang ke Pulau Dewata, maskapai ini akhirnya ditutup. Setahun setelah kejadian, Bali benar-benar lumpuh. Pariwisata yang selama ini menjadi asupan bagi perekonomian mereka, tiba-tiba terhenti. Banyak bisnis yang kolaps, dan beberapa diantaranya perusahaan milik “Gde & Kadek Brothers.” Meski terpaksa harus memangkas sebagian unit usaha, namun hal ini justru menjadi pelajaran hidup baginya. Kini di tangan putra semata wayang : Putu Calvin Wiratha, bisnisnya tetap berkilau dan memberikan kontribusi yang tak sedikit bagi perekonomian Pulau Dewata.

KuDeTa

KuDeTa, Bali (sumber : asia-bars.com)

Di Yogyakarta, ada pula pegiat pariwisata yang berhasil mendongkrak imej dan nilai kota ini. Dia adalah A. Noor Arief, pengusaha pemilik merek “Dagadu”. Bersama ke-24 rekannya sesama alumni Arsitektur UGM, di tahun 1994 ia mendirikan PT Aseli Dagadu Djokdja. Awalnya pangsa pasar Dagadu hanyalah kalangan mahasiswa yang menyukai kata-kata slang khas Jogjakarta. Namun kemudian seiring berjalannya waktu, kaos-kaos tersebut juga diminati oleh para pelancong. Untuk memperbesar omset perusahaan, Dagadu kemudian tak hanya memproduksi kaos dan t-shirt, namun juga tas serta gantungan kunci. Lama kelamaan merek ini menjadi merek generik khas Jogjakarta, dan banyak orang yang ikut memalsukannya. Setelah sekian lama menempati lantai basement Malioboro Mall, kini outlet resmi Dagadu menempati tempat baru di Jogjatorium. Di tempat ini, ia bercita-cita untuk mengumpulkan para pekerja seni yang tersebar di seantero Jogja.

Indonesia Timur selama ini bak “mutiara yang tak pernah diasah”. Pernyataan ini akan segera sirna jika saja banyak masyarakat yang mau mengembangkan potensi yang dimilikinya. Anita Matahari dan suaminya Max Ammer, merupakan dua sosok dibalik kebangkitan pariwisata di Raja Ampat. Semula mereka hanya mendirikan usaha jasa penyewaan alat diving. Namun seiring dengan berjalannya waktu, usaha mereka terus berkembang dan kini telah mempunyai beberapa resor etnik. Tak hanya berbisnis, mereka juga memberdayakan masyarakat lokal agar sadar lingkungan. Untuk itu bersama para stakeholder di Raja Ampat, mereka merevitalisasi alam bawah laut yang selama ini tak terawat, untuk dikembangkan sebagai destinasi pariwisata. Hasilnya, kini Raja Ampat menjadi salah satu poros pariwisata maritim pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Pariwisata

Dari ki-ka : I Gde Wiratha, Sapta Nirwandar, Perry Tristianto dan Noor Arief

Komentar
  1. info yang sangat menarik, sepertinya harus dicoba , Affleck

    Suka

Tinggalkan komentar