Pemikiran dan Kesederhanaan Ahmad Syafii Maarif

Posted: 21 Desember 2017 in Biografi
Tag:, , ,

Siapa yang tak kenal Ahmad Syafii Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah sekaligus pendiri Maarif Institute. Dalam satu tahun terakhir, namanya sering menjadi sorotan publik. Dia sering menjadi rujukan awak media, terutama terkait kasus penodaan Al Quran oleh Basuki Tjahaja Purnama. Dalam isu tersebut, dia (terkesan) berpihak kepada Basuki alias Ahok. Ia mengatakan bahwa pernyataan mantan gubernur DKI Jakarta itu bukan sebuah bentuk penodaan terhadap Al Quran. Lebih jauh Syafii berpendapat bahwa Ahok hanya mengkritisi orang-orang yang menggunakan Surat Al Maidah untuk kepentingan politik. Tak ayal pendapatnya itu langsung mendapatkan kritikan, bahkan caci maki dari sebagian umat muslim. Beberapa organisasi serta partai Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), adalah pihak-pihak yang paling keras mengkritik beliau. Para cyber army mereka tak henti-hentinya mencibir Syafii, mempelintir pernyataannya, memfitnah dengan aneka meme yang menyudutkan. Bahkan dalam beberapa komentar yang saya baca, mereka tega menuduh Syafii telah menerima bayaran dari para taipan untuk berpihak kepada Ahok.

Selain dari kader PKS dan FPI, kritikan juga datang dari kalangan Muhammadiyah. Tak ketinggalan ulama-ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia. Mendapat serangan dari berbagai pihak, Syafii tak ambil pusing. Menurut Abdul Mu’ti yang sekarang menjadi Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Buya — begitu ia disapa — memang sudah terbiasa dikritik. Menerima kritik dari organisasi yang pernah dipimpinnya, ia santai saja. Pada tanggal 2 Desember 2016, ketika demonstrasi menentang Ahok kembali digelar, ia menulis opini di Koran Tempo. Pada kolom tersebut ia menyebut, “jika dalam proses pengadilan nanti terbukti terdapat unsur pidana dalam tindakan Basuki Tjahaja Purnama pada 27 September 2016 itu, saya usulkan agar dia dihukum selama 400 tahun atas tuduhan menghina Al-Quran, kitab suci umat Islam, sehingga pihak-pihak yang menuduh terpuaskan tanpa batas.” Syafii menambahkan, “biarlah generasi yang akan datang yang menilai berapa bobot kebenaran tuduhan itu. Sebuah generasi yang diharapkan lebih stabil dan lebih arif dalam membaca politik Indonesia yang sarat dengan dendam kesumat ini”.

Pemikiran Syafii Maarif

Syafii Maarif, memang pengusung ide pluralisme dan kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bersama Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, ia sering disebut-sebut sebagai guru bangsa, yang selalu menegaskan konsep Islam yang moderat, Islam yang tengah-tengah. Selain dikenal sebagai penyeru Islam wasathan, ia juga seorang yang tegas dalam bersikap. Ketika sebagian besar tokoh Islam gagap dalam menyikapi isu korupsi dan radikalisme, ia terang-terangan melawannya. Dia tak segan-segan mengkritik pihak yang suka main hakim sendiri. Mengatasnamakan pemberantasan maksiat, namun melakukan kekerasan yang justru bertentangan dengan nilai Islam. Saking dongkolnya, ia pernah menjuluki mereka sebagai preman-preman berjubah. Syafii juga geram melihat maraknya radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Bahkan ia menyayangkan sebagian ustad yang menafsirkan ayat-ayat Quran secara sembrono, sehingga kemudian digunakan untuk melegitimasi ideologi kekerasan dalam perebutan kekuasaan.

Syafii Maarif Membela KPK

Melihat peperangan yang terjadi di Timur Tengah akhir-akhir ini, ia menganggapnya sebagai kemunduran peradaban Islam. Dia tak habis pikir, mengapa umat muslim harus saling berbunuh-bunuhan hanya karena perbedaan ideologi. Untuk mengakhiri ini semua, ia menyerukan agar perbedaan di tubuh umat harus dikikis habis. Perbedaan antara Sunni dan Syiah yang sudah ratusan tahun itu harus segera dibuang ke dalam limbo sejarah. Menurutnya, mengapa umat terus berbangga-banga dengan firkah-firkah itu, sedangkan Al Quran memerintahkan kita untuk membangun persaudaraan di atas pilar iman yang tulus, bukan karena pertalian darah atau aliran politik yang sarat dengan kepentingan duniawi.

Dalam hal pemberantasan korupsi, Syafii juga berada di garda terdepan. Ia pernah dipercaya presiden, sebagai panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan anggota tim etik lembaga anti-rasuah tersebut. Ketika kasus “Cicak vs Buaya Jilid III” mengemuka, ia menjadi ketua tim juru damai yang tugasnya mencari fakta dalam upaya penyelesaian masalah hubungan Polri dan KPK. Belakangan, ketika Ketua DPR Setya Novanto mengelak dari kejaran hukum dengan menggelar pra-peradilan, Syafii lagi-lagi angkat bicara. Menurutnya, apa yang terjadi pada Setya Novanto makin menegaskan kondisi DPR yang bermasalah. Untuk itu ia meminta kepada lembaga tersebut melakukan pembenahan internal secepatnya, dan berhenti berteriak membubarkan KPK.

 

Kesederhanaan Buya Syafii

Selain pemikirannya yang humanis, Buya Syafii juga merupakan salah seorang tokoh yang boleh dibilang sangat bersahaja. Dengan kapasitasnya sebagai mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah serta seorang cendekiawan terkemuka, rasanya dia bisa hidup bermewah-mewahan. Namun penerima “Ramon Magsaysay Award” di tahun 2008 itu lebih memilih hidup sederhana, menjauh dari hiruk pikuk ala kaum borjuis. Bahkan menurut Muhammad Abdullah Darraz, Direktur Eksekutif Maarif Institute, terkadang kesederhanaan Buya terlampau ekstrim. Di usia yang tergolong renta, kemana-mana ia masih menggunakan angkutan publik. Terakhir ia ketangkap kamera sedang menunggu kereta komuter tujuan Bogor ketika hendak menghadiri peluncuran Program Penguatan Pendidikan Pancasila. Fotonya di Stasiun Tebet itu kemudian menjadi viral di dunia maya.

Foto Buya Syafii di Stasiun Tebet yang sempat viral di dunia maya

Meski sering beraktivitas di Jakarta, namun Syafii tetap berdomisili di Yogyakarta. Kota gudeg ini sudah menjadi tempat tinggalnya sejak ia masih remaja. Di Yogyakarta, ia tinggal di Perumahan Nogotirto Elok II. Di kompleks ini tak ada yang tak mengenal dirinya. Mulai dari muazin hingga tukang sayur, semua bergaul rapat dengannya. Tak jarang Buya membeli makanan di angkringan, atau sekedar belanja sabun cuci di warung dekat kompleks. Warga-pun menyebutnya sebagai sosok yang sangat sederhana, sosok yang tak pernah memamerkan harta atau jabatan yang pernah diembannya. Di Mesjid Nogotirto, Buya sering memberikan masukan kepada para pengurus. Meski telah banyak makan asam garam kehidupan, namun ia tak pernah memaksakan kehendaknya. Ia menyerahkan segala keputusan berdasarkan hasil musyawarah pengurus.

Cerita kesederhanaan Buya lainnya datang dari Pemimpin Perusahaan Suara Muhammadiyah, Deni Asy’ari. Ketika itu Buya sedang menunggu antrian check-up rutin di RS PKU Muhammadiyah. Melihat Buya mengantri, Deni berinisiatif untuk menemaninya. Meski siap menemani Buya hingga antrian selesai, namun justru Buya yang berkeberatan. Syafii malah meminta Deni untuk kembali ke kantor, tanpa harus sungkan dan repot menunggunya. Di RS PKU Muhammadiyah, beberapa kali karyawan rumah sakit hendak memberikan prioritas kepada dirinya, namun Buya selalu menolak. Ia menganggap hal itu akan menzalimi orang banyak. Buya memang orang yang tawadhu, tak mau diperlakukan secara istimewa apalagi sampai dikultuskan. Ini bertolak belakang dengan kebanyakan elit di negeri ini yang selalu mau diistimewakan, bahkan tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak.

Kita boleh saja berbeda pemikiran dengan Buya Syafii, namun dalam hal kesederhanaan ia patut jadi teladan. Kesederhanaannya mengingatkan kita kepada tokoh-tokoh lawas seperti Bung Hatta, Mohammad Natsir, atau Haji Agus Salim (Lihat : 7 Karakter Nyentrik Haji Agus Salim).

 

* * *

Membaca autobiografi Ahmad Syafii Maarif dalam karyanya : “Titik-titik Kisar di Perjalananku”, cukup mengharukan. Banyak lika-liku hidupnya yang begitu memilukan. Ketika membacanya, mata saya sempat berkaca-kaca. Terharu! Bagaimana tidak, baru berusia satu setengah tahun, ia sudah ditinggal mati ibunya. Ibu yang potretnya tak pernah ia lihat, yang sering ia tangisi meski sudah di usia senja. Dalam keadaan piatu, Syafii kecil diasuh oleh etek (tante), kakak, serta ibu tirinya. Tumbuh pada masa revolusi fisik, Syafii tak sempat menuntaskan pendidikan dasarnya. Meski begitu, ia berhasil melanjutkan pendidikan menengah ke Mualimin Muhammadiyah di Lintau, setelah sempat gagal di ujian masuk. Menurutnya, ia bisa masuk ke madrasah itu lantaran belas kasihan sebagai orang udik. Ketika di sekolah lanjutan atas (SLA), lagi-lagi Syafii menghadapi kendala. Ayahnya yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, meninggal sewaktu ia duduk di kelas V. Demi bertahan hidup, ia terpaksa tak menyelesaikan pendidikan SLA-nya, karena menerima tawaran konsul Muhammadiyah untuk mengajar di Lombok. Setelah satu tahun disana, ia kembali ke Jawa. Beruntung baginya bisa diterima di Universitas Cokroaminoto Surakarta, meski hanya mengantongi rapor kelas V.

TTKDP

Setelah berumah tangga, Syafii-pun tak putus dirundung duka. Di tengah segala keterbatasan hidup, anak pertamanya Salman yang belum berumur 20 bulan meninggal karena cacar. Namun beberapa bulan kemudian di tahun 1968, ia kembali dikaruniai seorang putra. Lagi-lagi putra keduanya itu dipanggil yang maha kuasa karena menderita radang selaput otak. Kehilangan anak untuk kedua kalinya sempat meluluhlantakkan hidupnya. Namun ia tahu kalau penderitaan adalah pakaiannya sehari-hari. Meski batinnya terguncang, namun termuat juga keyakinan agama yang mendalam yang menjadi pegangan hidupnya. Di dalam kesedihan, ia kembali beroleh kebahagiaan. Pada tahun 1974, putranya yang ketiga lahir. Namanya Mohammad Hafiz, anak pamenan mato yang seolah menjadi oase bagi kedua orang tuanya. Setelah kelahiran Hafiz, kehidupan Syafii berangsur-angsur membaik. Ia berhasil meraih titel master dan mengambil pendidikan doktoral di Chicago University, jenjang pendidikan tertinggi yang tak pernah ia bayangkan akan direngkuh.

Namun lebih dari itu, di Amerika-lah cakrawala pemikirannya berubah. Yang kemudian mengantarkannya sebagai sosok humanis seperti sekarang ini. Sebelum ke negeri Paman Sam, pemikiran Syafii masih terpasung pada ide-ide Al-Maududi, Maryam Jameelah, serta tokoh-tokoh Ikhawanul Muslimin dan Masyumi. Bahkan ketika di Yogyakarta, diam-diam ia mendukung gerakan PRRI/Permesta serta Negara Islam Indonesia (NII). Pemikirannya mulai berubah ketika ia berkenalan dengan Fazlur Rahman, seorang tokoh pembaharu asal Pakistan yang juga menjadi pembimbingnya di Chicago. Dari dialah ia banyak menimba ilmu sejarah serta peradaban Islam. Bahkan lebih jauh ia menulis, Fazlur Rahman-lah yang telah mencuci otaknya tentang keislaman. Hingga akhirnya hasrat mendirikan NII-pun pelan-pelan terkikis dari pemikirannya.

 

Lihat pula :

1. Dalam Kenangan Buya Hamka
2. Quraish Shihab, di Tengah Berbagai Tuduhan dan Cacian
3. Fenomena Ustad Abdul Somad

Komentar
  1. mcrokhim berkata:

    Buya Syafii memang sosok teladan dari kesederhanaannya…

    Suka

Tinggalkan komentar