Lamine dan Nico (sumber : Reuters)

Ajang Euro 2024 telah usai. Spanyol kembali keluar sebagai jawara untuk kali keempat setelah mengalahkan The Three Lions dengan skor 2-1. Dengan kemenangan itu, praktis Spanyol muncul sebagai juara terbanyak Piala Eropa meninggalkan Jerman yang sebelumnya sama-sama merengkuh tiga trofi. Di balik kemenangan tersebut, ternyata ada sosok pemain belia yang merupakan putra dari pasangan imigran Afrika. Dia adalah Lamine Yamal Nasraoui Ebana. Ayahnya, Mounir Nasraoui adalah seorang imigran yang berasal dari Maroko. Sedangkan ibunya, Sheila Ebana, lahir di Guinea Ekuator. Lamine sendiri lahir dan tumbuh di pinggiran kota Barcelona. Dari kota inilah ia kemudian mengasah bakat sepak bolanya dengan bergabung ke klub La Torreta. Dua tahun di klub tersebut, ia lalu pindah ke klub raksasa F.C. Barcelona. Di Blaugrana, Lamine menjadi salah satu pemain termuda dalam sejarah klub. Usianya belum genap 16 tahun ketika ia berhasil mengantarkan F.C. Barcelona menjadi juara La Liga musim 2022/2023.

Selain Lamine, pemain Spanyol lainnya yang juga keturunan Afrika adalah Nico Williams. Sama seperti Lamine yang berposisi sebagai penyerang, Nico juga merupakan handalan timnas Spanyol. Dari artikel theguardian.com dinyatakan bahwa orang tua Nico berasal dari Ghana. Mereka bermigrasi ke Spanyol pada tahun 1993 dengan mengarungi gurun Sahara. Dalam artikel yang berjudul “My parents crossed the desert barefoot to get to Spain” dikatakan bahwa orang tua Nico merantau ke Spanyol hanya bermodalkan tekad. Mereka pergi meninggalkan Accra dengan perbekalan yang seadanya. Ketika itu tujuan mereka adalah kota Melilla, sebuah enclave Spanyol di timur laut Maroko. Dalam artikel itu diceritakan bahwa perjalanan mereka menuju kota tersebut sangatlah sulit. Ada kalanya mereka menumpang sebuah truk dan diturunkan di negeri antah berantah. Sesampainya di perbatasan Spanyol, ibunya yang saat itu dalam keadaan hamil, harus ikut melompat pagar setinggi lima meter. Ini ia lakukan karena tak memiliki dokumen imigrasi yang sah. Setelah sempat ditahan di Melilla, mereka-pun akhirnya berhasil menyeberang ke Eropa atas bantuan seorang lawyer. Mereka kemudian menetap di Bilbao dimana putra pertamanya, Inaki Williams, dilahirkan. Inaki juga merupakan seorang pesepakbola yang sempat bergabung dengan timnas Spanyol. Kini karena tak lagi dipakai, ia-pun pindah dan merapat ke timnas Ghana.

Tak hanya di La Roja, pemain keturunan Afrika juga membanjiri skuad Prancis. Bukan di tahun ini saja mereka mendominasi Les Blues, tapi sudah sejak tahun 1990-an. Siapa yang tak kenal dengan Zinedine Zidane, Lilian Thuram, atau Thierry Henry. Mereka adalah para punggawa Prancis yang mengantarkan negara itu meraih Piala Dunia (1998) dan Piala Eropa (2000). Zidane sang legenda, adalah anak dari pasangan imigran Aljazair : Smaili dan Malika. Mereka tiba di Paris pada tahun 1953 sebelum akhirnya menetap di Marseille. Sedangkan Thuram dan Henry berasal dari Antilles (Karibia), dimana nenek moyangnya disinyalir dibawa oleh penjajah Prancis dari Afrika Barat. Dominannya imigran Afrika pada skuad Prancis, dapat dilihat dari daftar pemain yang paling banyak membela tim nasional. Dimana dari 12 pemain di daftar tersebut, separuh merupakan keturunan Afrika. Begitu berwarnanya timnas Prancis, sehingga mereka pernah mendapat julukan : black, blanc, beur (hitam, putih, dan Arab).

Pada turnamen Euro 2024 kemarin, dominasi Afro-French dalam skuad Prancis belumlah memudar. Didier Deschamps sang pelatih, membawa 14 pemain keturunan Afrika yang sebagian besarnya bermain untuk klub-klub elit Eropa. Mereka adalah Brice Samba (keturunan Kongo), Ferland Mendy  (Senegal dan Guinea-Bissau), Dayot Upamecano (Guinea-Bissau), Jules Koundé (Benin), William Saliba (Kamerun), Ibrahima Konaté (Mali), Eduardo Camavinga (Kongo), Aurélien Djani Tchouameni (Kamerun), N’Golo Kanté (Mali), Youssouf Fofana (Mali), Ousmane Dembélé (Mauritania dan Mali), Kolo Muani (Kongo), Bradley Barcola (Togo), serta Kylian Mbappé (Kamerun dan Aljazair). Tim tersebut kemudian berhasil mencapai babak semifinal, sebelum akhirnya dihentikan oleh sang juara : Spanyol.

Tim lainnya yang juga punya banyak pemain berdarah Afrika adalah Inggris. Sama seperti Prancis, pemain turunan Afrika yang merumput di negeri Pangeran Charles itu mayoritas berasal dari negeri eks koloni. Salah satunya adalah Bukayo Saka, pemain Arsenal yang berasal dari suku Yoruba, etnis terbesar kedua di Nigeria. Saka telah bergabung dengan tim nasional Inggris sejak usia 16 tahun. Karirnya terus menanjak, hingga akhirnya masuk ke dalam skuad senior di tahun 2020. Selain Saka, masih ada lagi Marc Guehi, Ezri Konsa, Joe Gomez, Trent Alexander-Arnold, Jude Bellingham, Kobbie Mainoo, Ivan Toney, Ollie Watkins, dan Eberechi Eze. Praktis dari 24 pemain Inggris yang tampil di Euro 2024 kemarin, sepuluh merupakan keturunan Afrika. Jumlah ini setara dengan 42% atau sepuluh kali lipat dari jumlah populasi keturunan Afrika di Inggris Raya yang cuma 4,2%.

Skuad Prancis di Euro 2024 (sumber : Dailysports)

Disamping Spanyol, Prancis, serta Inggris, Belanda-pun juga banyak merekrut orang-orang keturunan Afrika (dan Indonesia) dalam tim nasional mereka. Untuk skuad Euro 2024 kemarin, ada empat imigran Afrika yang membela tim oranye. Mereka adalah Memphis Depay, Jeremie Frimpong, Brian Brobbey, dan Cody Gakpo, yang kesemuanya merupakan turunan Ghana. Sedangkan Lutsharel Geertruida, Nathan Aké, Denzel Dumfries, Georginio Wijnaldum, Ryan Gravenberch, serta Steven Bergwijn merupakan orang-orang keturunan Afrika yang berasal dari Suriname dan Karibia Selatan. Orang tua mereka bermigrasi ke Belanda dari wilayah koloni tersebut di penghujung abad ke-20. Jika dihitung secara keseluruhan, maka ada sepuluh pemain Afro-Netherlands dalam tim nasional Belanda. Jumlah ini setara dengan yang ada pada tim nasional Inggris.

* * *

Meski kontribusi imigran Afrika terhadap perkembangan sepak bola Eropa sangatlah signifikan, namun perlakukan masyarakat disana kepada mereka kuranglah menyenangkan. Yang paling menyebalkan adalah ketika para pemain imigran ini gagal memenangkan pertandingan. Sontak segala carut marut yang berbau rasis langsung bermunculan di media sosial. Hal ini pernah dialami oleh Kylan Mbappe ketika gagal mengeksekusi tendangan 12 pas melawan Swiss di Euro 2020. Pemain lainnya yang juga mendapat umpatan rasis di ajang yang sama adalah tiga pemain Inggris : Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka. Mereka yang ketika itu bertemu Italia di babak final, gagal mengeksekusi penalti yang menyebabkan terhempasnya harapan Inggris menjadi juara Euro untuk kali pertama.

Tindakan rasis mereka terhadap keturunan Afrika, ternyata bukan terjadi baru-baru ini saja. Di tahun 2005, seorang esais terkenal asal Prancis : Alain Finkielkraut menulis, bahwa tim “black, blanc, beur” kini telah digantikan oleh tim “noir, noir, noir” (hitam, hitam, hitam). Hal ini untuk menyindir skuad Prancis yang semakin lama semakin didominasi oleh para pemain berkulit hitam. Di tahun 2011, surat kabar online Mediapart menerbitkan sebuah transkrip pertemuan para pejabat Federasi Sepak Bola Prancis (FFF). Dalam transkrip tersebut terungkap bahwa ada rencana pembatasan anak-anak muda non-kulit putih untuk masuk ke dalam akademi sepak bola. Seperti diketahui, pada saat itu hampir seluruh calon pemain yang memenuhi kualifikasi, datang dari pemain berkulit hitam. Pelatih Prancis Laurent Blanc (2010-2012) mengatakan, mereka memenuhi kriteria yang diinginkan oleh para pencari bakat : besar, kuat, dan bertenaga.

Negara berikutnya yang masih banyak melakukan tindakan rasis terhadap pemain keturunan Afrika adalah Inggris. Di tahun 2022, Kick It Out, sebuah lembaga amal yang memfokuskan dirinya terhadap gerakan anti-rasis mencatat, bahwa tindakan rasis di sepak bola telah meningkat sekitar 41% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian besar tindakan itu ditujukan kepada orang-orang berkulit hitam. Berbeda dengan di Prancis dimana rasisme nampaknya tak ingin ditanggulangi, di negeri tersebut banyak sekali kelompok masyarakat yang peduli terhadap hal itu. Kampanye “Tunjukkan Kartu Merah Terhadap Rasisme” misalnya, telah membantu meningkatkan kesadaran akan masalah ini. Gerakan anti-rasisme yang diluncurkan pada tahun 1996 itu, terus menggunakan para pemain sepak bola untuk mendidik generasi muda dan mengatasi rasisme di Inggris.

Tiga suporter Belanda melakukan cosplay seperti Gullit (sumber : The New York Times)

Lain ladang, lain pula belalangnya. Lain di Inggris, lain pula di Belanda. Meski diskriminasi di negeri kincir angin tak semassif di Inggris, namun ada saja tindakan rasis yang dilakukan oleh masyarakat setempat terhadap kaum imigran. Kemarin yang sempat heboh adalah aksi menghitamkan wajah yang dilakukan oleh tiga orang suporter Belanda sehingga mirip Ruud Gullit. Gullit adalah kapten tim Belanda yang sempat membawa kesebelasan tersebut menjuarai Piala Eropa di tahun 1988. Dengan melakukan cosplay seperti Gullit, mereka berharap agar timnas kesayangannya itu bisa kembali menjuarai Piala Eropa. Namun bagi sebagian social justice warrior, aksi tersebut justru dinilai seperti melecehkan. Mereka menganggap hal itu adalah olok-olokan terhadap pemain dan pelatih Belanda — yang sebagian besarnya diisi oleh keturunan Afrika — yang performanya tak begitu baik. Namun ketika dikonfirmasi kepada Gullit terkait aksi tersebut, legenda sepak bola Belanda itu justru merasa senang. Ia bangga karena masih ada warga di negaranya yang mengenang prestasinya dahulu.

Tinggalkan komentar