Pengembaraan Orang Minang ke Sulawesi Selatan di Abad ke-16 dan 17

Posted: 20 Januari 2024 in Sejarah
Tag:, , , , , , , ,

Kantor Perwakilan Muhammadiyah di Makassar

Tahun 1511, Kesultanan Malaka di Semenanjung Malaya jatuh. Orang-orang Portugis yang sudah mengicar kesultanan ini sejak satu dekade sebelumnya, berhasil merebut kota dagang Malaka dari tangan pedagang “Melayu”. Akibatnya, para peniaga “Melayu” yang telah berkumpul disana sejak abad ke-15, menyebar dan mencari tempat-tempat baru sebagai basis ekonomi mereka. Diantara orang-orang “Melayu” itu, termasuk di dalamnya adalah etnis Minangkabau, yang sudah menjadi pedagang antar pulau sejak era Sriwijaya. Menurut catatan Heather Sutherland dalam jurnal yang berjudul The Makassar Malays : Adaptation and Identity, circa 1660-1790, disebutkan bahwa bersama para pedagang Pahang, Patani, Champa, dan Johor, orang-orang Minang yang sebelumnya berdagang di Malaka pindah dan mengembara ke Makassar. Pada saat itu Makassar belumlah begitu ramai, hanya sebatas pelabuhan bagi Kerajaan Gowa dan Tallo.

Kedatangan orang-orang “Melayu” di Makassar ternyata disambut baik oleh Karaeng Tunipalangga, raja Gowa ke-10 (1546-1565) yang sangat ramah dan berpikiran maju. Di bawah pimpinan Anakhoda Bonang (Datuk Maharaja Bonang), para pedagang ini membawa seserahan berupa kain dan bedil. Sebagai gantinya, mereka diberikan sebidang tanah untuk bermukim serta hak otonomi untuk mengatur secara terbatas (tahun 1561). Karena kehadiran para pedagang “Melayu” inilah, lambat laun Makassar menjadi bandar dagang yang ramai. Sebelum orang-orang “Melayu” menetap di Makassar, sebenarnya sejak tahun 1490 — mungkin lebih awal dari itu — mereka sudah ulang-alik ke Sulawesi Selatan. Anthony Reid dalam bukunya “Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia” memerikan, bahwa pelabuhan Siang (Pangkajene) di sebelah utara Makassar telah menjadi pusat perniagaan yang dikunjungi oleh para pedagang “Melayu”. Reid menambahkan, agaknya pelabuhan Bantaeng di ujung selatan juga pernah dikunjungi saudagar Minang. Menarik untuk dicatat, bahwa di awal abad ke-16 raja-raja di Sulawesi Selatan berlomba-lomba menarik para peniaga “Melayu” dan Jawa untuk berdagang di pelabuhan mereka.

Setelah bandar Makassar ramai oleh orang-orang “Melayu”, para saudagar mancanegara-pun berminat untuk berdagang disini. Hal ini ditandai dengan dibukanya kantor perwakilan dagang Inggris (1613), Denmark (1618), serta Spanyol dan China (1619). Besarnya kegiatan perdagangan para penggalas “Melayu” di Makassar, dicatat dengan baik oleh agen VOC Henrick Kerckerinck di tahun 1638. Dalam laporannya ia menyebutkan, bahwa orang-orang “Melayu” memiliki sekitar 25-40 kapal yang berlayar dari Makassar ke Buton setiap bulan Desember hingga Februari. Mereka membawa aneka barang seperti tekstil, beras, dan porselen untuk ditukarkan dengan budak. Dari sana mereka lalu berlayar ke Ambon dan menetap di Maluku selama tiga bulan untuk mengumpulkan cengkeh. Dari perjalanan itu, Henrick memperkirakan para pedagang ini bisa meraih sekitar 1.000 bahar (182.000 kilogram) rempah-rempah. Barang-barang tersebut kemudian dijual kepada para pengusaha Inggris dan Denmark yang telah menunggu di Makassar. Kalau masih ada lebih, rempah-rempah itu lalu dijual ke Aceh atau Malaka, atau kepada para pedagang Portugis.

Besarnya keuntungan yang didapat para pedagang “Melayu”, membuat VOC Belanda tertarik untuk ikut ambil bagian. Berbeda dengan Inggris, Denmark, atau Spanyol yang cukup dengan membuka loji, orang-orang Belanda bernafsu untuk menaklukkan Makassar. Terlebih saat itu kekuatan militer mereka sedang jaya-jayanya, setelah berhasil mengambil alih Malaka dari tangan Portugis di tahun 1641. Namun tak ada alasan bagi Belanda untuk menyerang Makassar kecuali mereka memanfaatkan ketidaksukaan rakyat Bone terhadap Gowa. Untuk itu maka bersiasatlah VOC dengan mengajak Arung Palakka, pimpinan Bone, untuk bekerjasama menaklukkan Makassar. Di bawah komando Cornelis Speelman, aliansi Belanda-Bugis itu kemudian berhasil memenangkan peperangan. Pertarungan yang berlangsung selama tiga tahun (1666-1669) itu, akhirnya memberikan hak monopoli perdagangan kepada VOC.

Setelah Makassar takluk ke dalam kekuasaan Belanda, lagi-lagi para peniaga “Melayu” bermigrasi ke tempat lain. Sebagian besar berlayar ke seberang lautan atau ke daerah lainnya di Sulawesi. Beberapa orang Minang yang meninggalkan Makassar diantaranya adalah Ince Amar, salah satu pemimpin utama Perang Makassar yang berada di pihak Gowa. Walau banyak yang pergi, namun ada pula yang tetap bertahan di Makassar. Nah, diantara orang-orang “Melayu” yang bertahan ini, etnis Minang merupakan kelompok terbesar. Karena kepandaian dan pengalamannya, VOC lantas memanfaatkan mereka untuk membangun kembali Makassar yang hancur lebur pasca perang. Namun begitu, mereka tak diijinkan untuk berdagang kecuali atas permintaan atau pengawasan VOC. Karena pembatasan tersebut, beberapa pedagang Minang melakukan perlawanan. Salah satunya adalah Datuk Jelany yang menjadi bajak laut di perairan Mandar.

Meski di tengah gencetan dan pembatasan yang tak mengenakkan, ada pula pedagang Minang yang cerdik, yang mengambil peluang pada rezim baru VOC. Dia adalah Ince Abdul, kelahiran Makassar sekitar tahun 1620. Ayahnya berasal dari Minangkabau, sedangkan ibunya seorang Bugis. Sebelum pecah perang, ia sudah menjadi saudagar terkemuka di Makassar. Kala itu ia memiliki piutang kepada Karaeng Karunrung senilai 1.270 rds (rijksdaalders) dan penguasa Pasir, kerajaan di Kalimantan Timur, senilai 1.200 rds dari hasil penjualan meriam. Setelah VOC berkuasa, ia sangat dekat dengan orang-orang Belanda dan menjadi penerjemah bagi mereka. Karena perannya itu, ia hidup enak. Istrinya begitu diperhatikan VOC, dan ia-pun bermukim di kawasan orang-orang Eropa.

* * *

Selain kelompok pengusaha, pengembara Minang yang juga datang ke Sulawesi Selatan di abad ke-16 adalah kaum ulama. Dalam banyak buku sejarah, disebutkan kalau yang mengislamkan raja-raja di Sulawesi Selatan adalah para ulama dari Minangkabau. Ya, mereka adalah tiga serangkai : Datuk ri Bandang (Abdul Makmur), Datuk Pattimang (Sulaiman), serta Datuk ri Tiro (Abdul Jawad). Ada yang menyebut mereka bertiga ini abang beradik. Namun Christian Pelras memperkirakan kalau mereka adalah sama-sama alumni perguruan di Aceh, yang kemudian difasilitasi oleh sultan Johor untuk menyebarkan Islam ke bagian timur Nusantara. Untuk menghormati jasa ketiga ulama tersebut, maka atap kantor pimpinan wilayah Muhammadiyah di Makassar dibuat berbentuk gonjong. Model ini menyerupai bumbung rumah gadang khas Minangkabau.

Datuk ri Bandang tiba di Makassar pada tahun 1575. Namun karena ia melihat masih ada beberapa kesulitan untuk mengubah keyakinan penduduk setempat, ia-pun pergi ke Kutai dan berdakwah disana. Bersama Tuan Tunggang Parangan (Yusuf) ia menyampaikan risalah Islam kepada Raja Aji Mahkota (1525-1589). Di penghujung abad ke-16, Datuk ri Bandang kembali ke Sulawesi Selatan bersama dua orang saudaranya, Datuk Pattimang dan Datuk ri Tiro. Kali ini mereka datang ke Kerajaan Luwu dan berhasil mengislamkan raja Luwu, La Pattiwaro Daeng Parabbung, pada tahun 1603. Sementara itu di Kutai, kegiatan dakwah dilanjutkan oleh Yusuf bersama Raja Aji Dilanggar, penguasa Kutai penerus Aji Mahkota.

Setelah dari Luwu, Datuk ri Bandang-pun melanjutkan perjalanannya ke Makassar. Disana ia kembali mengajak rakyat Gowa-Tallo untuk memeluk Islam. Meski sejak masa Raja Tunijallo (1566-1590) ajaran Islam sudah dikenal para bangsawan, namun sulit sekali bagi Datuk ri Bandang untuk meyakinkan raja-raja Makassar agar mau memeluk Islam. Akhirnya di tahun 1605, raja Tallo : Karaeng Matoaya, melafazkan dua kalimat syahadat. Pengucapan ikrar ini diikuti oleh I Manga’rangi Daeng Manrabia (raja Gowa) yang kemudian mengganti namanya menjadi Sultan Alauddin. Sejak saat itu, Islam dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan, dan Makassar menjadi simpul jaringan perdagangan muslim internasional yang terbentang dari Kairo hingga Ternate. Masuknya Makassar ke dalam dunia muslim, telah mengantarkan kerajaan ini ke puncak kejayaannya.

Ketika Datuk ri Bandang melanjutkan dakwahnya di Makassar, Datuk Pattimang tetap berada di Luwu. Sedangkan Datuk ri Tiro pergi ke daerah Tiro di Bulukumba. Meski ketiga datuk ini satu ilmu satu perguruan, namun dalam berdakwah mereka menggunakan cara-cara tertentu yang sesuai dengan situasi masyarakat setempat. Di Luwu misalnya, Datuk Pattimang lebih banyak menekankan ajaran tauhid untuk mengganti kepercayaan rakyat Luwu kepada Dewata Seuwae. Datuk ri Bandang yang banyak mengajarkan syariat, dikarenakan kondisi masyarakat Makassar yang suka berjudi, mabuk, dan menyabung ayam. Sementara Datuk ri Tiro menggunakan cara tasawuf untuk memikat hati rakyat Bulukumba yang ketika itu menyukai kebatinan serta hal-hal mistik lainnya.

Jauh sebelum trio Datuk menginjakkan kakinya di Sulawesi Selatan, sebenarnya sudah ada orang Minang yang menyebarkan Islam di rantau tersebut. Dia adalah Datuk Mahkota (Datuk Makotta) yang berdakwah di Sanrobone, Takalar. Datuk Makotta diketahui menikah dengan Tuan Sitti/Siti Mohana yang merupakan putri Pagaruyung. Tak ada catatan pasti kapan bangsawan Pagaruyung itu tiba di Sanrobone. Namun diperkirakan pada tahun 1510 (ada yang menyebut tahun 1512) disaat benteng Sanrobone sedang dibangun. Tak hanya ikut membangun benteng, Datuk Makotta juga meyakinkan raja Sanrobone ketika itu agar memeluk Islam.

Cikal Bakal Masyarakat Melayu-Bugis-Makassar

Berdasarkan Lontara Daeng Ngago, Datuk Makotta serta Datuk Leang Abdul Kadir dari Patani merupakan cikal bakal masyarakat “Melayu” di Makassar. Ini bermula dari perkawinan anak-anak mereka, yakni Tuan Rajja, putra Datuk Makotta, dengan Tuan Aminah, putri Datuk Leang Abdul Kadir. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak, yaitu Tuan Ince Ali, Tuan Ince Talli, Tuan Ince Hasan, dan Tuan Ince Husein. Keempat putra mereka kemudian lebih dikenal sebagai orang “Melayu”, dengan gelar ince di depan namanya. Setengah abad kemudian, terjadi lagi perkawinan campur antara orang-orang “Melayu” dengan orang Bajau yang ditandai dengan pernikahan antara Ince Tija, putri Ince Ali, dengan seorang tokoh masyarakat Bajau di Sanrobone yang bernama Lolo Bajo. Perkawinan campur antara Minangkabau-Patani-Bajau ini melahirkan titelatur atau gelar kare, yang mana mereka menempati tempat terhormat dalam sistem kemasyarakatan Makassar. Lalu ada pula generasi baru campuran “Melayu” dengan Bugis-Makassar yang dikenal dengan istilah tubaji (Makassar) dan tudeceng (Bugis). Anak-cucu mereka biasa menggunakan gelar pa’daengang atau biasa disingkat daeng.

Keturunan dari perkawinan campur antara Minangkabau-Patani-Bugis-Makassar-Bajau inilah yang banyak menjadi kelompok elit di Sulawesi Selatan. Mereka menempati lapisan teratas masyarakat dan digolongkan sebagai kaum bangsawan. Bahkan ada pameo di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, barulah sempurna kebangsawanan seseorang kalau di dalam dirinya mengalir darah Melayu (sumber intelektualitas dan keilmuan), Bugis-Makassar (sumber kepahlawanan), serta Bajau (sumber kearifan dan kebijaksanaan). Karena telah menyatu dengan masyarakat setempat, maka di awal abad ke-17 orang-orang “Melayu” ini tak lagi mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Minang atau orang Patani atau orang Melayu, melainkan hanya sebagai orang Makassar atau orang Bugis saja. Menurut Rismawidiawati dalam artikelnya “Integrasi Orang Melayu di Takalar (Abad XVI-XVII)”, kelompok inilah yang kemudian banyak meninggalkan Sulawesi Selatan pasca jatuhnya Makassar di tahun 1669. Mereka lalu bermigrasi ke pesisir timur Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan Batavia. Tak salah jika di banyak kota pesisir, kita menjumpai nama “Kampung Makassar” atau “Kampung Bugis” yang merupakan tempat berlabuh mereka 350 tahun lalu.

Tinggalkan komentar