Entah mengapa dalam bertutur kata orang-orang Minang senang menggunakan kata-kata kiasan. Berkias dalam adat Minang, menunjukkan ketinggian budi dan bahasa seseorang. Meski kata-kata kiasan biasa digunakan dihadapan orang banyak (biliak gadang), namun tak jarang pula kata-kata ini digunakan dalam pembicaraan privat (biliak ketek), misalnya ketika hendak menyindir atau menegur seseorang. Hidupnya penggunaan kata-kata kiasan, mungkin dikarenakan adanya semacam kewajiban bagi orang Minang untuk mengetahui “kata yang empat” (kato nan ampek). Kata yang empat disini maksudnya adalah empat cara berkomunikasi kepada orang lain, yang dibagi menjadi : kata melereng, kata mendaki, kata mendatar, serta kata menurun. Kata melereng biasa digunakan ketika hendak berbicara dengan besan, semenda, ipar, atau orang yang tak begitu akrab. Kata mendaki kepada orang tua atau ninik mamak, kata mendatar kepada kawan sepermainan, sedangkan kata menurun kepada adik, anak-kemenakan, atau orang yang lebih kecil. Pada kata melereng dan kata mendaki inilah biasanya banyak digunakan kata-kata kiasan.

Bermain dengan kata-kata, memang sudah menjadi kebiasaan orang Minang. Bahkan dalam acara seremonial, seperti perkawinan atau bertegak penghulu, permainan kata-kata bisa dilakukan lebih dari satu jam. Bagi orang yang memahami kiasan atau pepatah khas Minang, hal ini tentu sangat menarik. Karena disana ia akan melihat bagaimana lihainya seseorang dalam berpetatah-petitih. Namun untuk orang yang tak mengetahuinya, mendengar prosesi ini akan terasa membosankan. Budaya berbahasa dengan menggunakan kiasan, ternyata tak dimonopoli oleh orang Minang saja. Dalam budaya Anglo Saxon (Inggris-Amerika), kita juga mengenal adanya istilah idiom. Mungkin Anda sering mendengar frasa “go the extra mile”, “a blessing in disguise”, “hit the nail on the head”, atau ungkapan “don’t judge book by its cover” yang kalau diartikan secara harfiah maknanya akan berbeda. Dalam budaya Nusantara lainnya, kita juga menemukan adat istiadat yang serupa. Pada budaya Jawa misalnya, kita mengenal istilah pasemon. Atau pada adat Sunda, ada yang namanya sisindiran. Berbeda dengan kedua budaya tersebut yang menggunakan bahasa halus (krama) dan bahasa kasar (ngaka), kiasan pada budaya Minang tak mengenal tingkatan bahasa.

Selain itu, kiasan pada adat Minang juga memiliki beberapa ciri. Ciri yang umum, biasanya mengalegorikan seseorang dengan alam sekitar. Misalnya pada pepatah “Bia kaniang baluluak, asa tanduak manganai”. Pada pepatah ini seseorang diumpamakan seperti kerbau. Ciri yang lain adalah adanya kata yang saling berlawanan. Misalnya pada pepatah yang sudah terkenal : ”Dima bumi dipijak, disitu langik dijunjuang”, disini ada lawan kata antara bumi dan langit, serta dipijak dan dijunjung. Ciri khas lainnya adalah penggunaan kata yang bertentangan. Seperti pada kiasan “Taimpik dak di ateh, takuruang dak di lua”, dimana tak mungkin orang yang terhimpit ada di atas, serta terkurung ada di luar. Dalam tulisan kali ini, ijinkan kami untuk menyajikan kata-kata kiasan Minang populer, yang beberapa diantaranya bahkan telah diserap sebagai bagian dari kekayaan sastra nasional.

Berikut 50 kata kiasan atau pepatah Minang populer :     

  1. Pandai baminyak aia (Pandai berminyak air) : Orang yang pandai mencari muka, bisa juga diartikan dengan orang yang pandai bergaul
  2. Manembak di ateh kudo (Menembak di atas kuda) : Orang yang mengambil keuntungan dari jerih payah orang lain
  3. Mangapik daun kunik (Mengepit daun kunyit) : Orang yang suka membanggakan dirinya sendiri
  4. Mambangkik batang tarandam (Membangkit batang yang terendam) : Mengembalikan kejayaan/kehormatan yang sudah hilang
  5. Taimpik dak di ateh, takuruang dak di lua (Terhimpit hendak di atas, terkurung hendak di luar) : Orang yang mau enaknya sendiri, atau dimasyarakat Minang dikenal sebagai orang galir. Dalam konotasi positif bisa pula diartikan : Seseorang yang lihai
  6. Dangaan kecek urang, laluan kecek awak (Dengarkan pendapat orang, lalukan pendapat kita) : Orang yang mengiyakan perkataan lawan bicaranya, meskipun dia tak menyetujuinya
  7. Tau rantiang nan ka mancucuak, tau dahan nan ka maimpok (Tahu dengan ranting yang akan menusuk, tahu dengan dahan yang akan menimpa) : Orang yang selalu mawas diri. Dia menyadari salah benarnya setiap pekerjaan yang dilakukan
  8. Alun rabah lah ka ujuang, alun pai lah babaliak, alun dibali lah bajua, alun dimakan alah taraso (Belum rebah sudah ke ujung, belum pergi sudah kembali, belum dibeli sudah dijual, belum dimakan sudah terasa) : Hidup harus mempunyai visi dan berpikir jauh ke depan
  9. Alun takilek alah takalam (Belum bersinar sudah terkelam) : Sudah tahu apa yang akan didapat sebelum hal itu terjadi 
  10. Lamak dek awak, katuju dek urang (Kita senang, orang lain-pun setuju) : Tenggang rasa dengan orang lain
  11. Tatungkuik samo makan tanah, tatilantang samo minum aia (Tertungkup sama makan tanah, terlentang sama minum air) : Setia dengan kawan seperjuangan
  12. Sakali aia gadang, sakali tapian barubah (Sekali air besar, sekali tepian berubah) : Kejadian atau peristiwa besar yang terjadi, bisa mengubah segalanya. Bisa pula diartikan : Kebijakan yang diambil seorang pemimpin, bisa mengubah nasib rakyatnya   
  13. Anak dipangku, kamanakan dibimbiang (Anak dipangku, kemenakan dibimbing) : Sebagai seorang laki-laki memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak sekaligus membimbing kemenakan
  14. Dima bumi dipijak, disitu langik dijunjuang. Dima rantiang dipatah, disitu aia disauak (Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Dimana ranting dipatah, disitu air disauk) : Menyesuaikan tingkah laku dan kebiasaan dengan adat istiadat setempat        
  15. Alu tataruang patah tigo, samuik tapijak indak mati (Alu tersandung patah tiga, semut terpijak tidak mati) : Orang yang bertindak tegas dan bijaksana. Dalam mengambil keputusan, semua persoalan selesai tanpa ada orang yang berkeberatan. Dalam pepatah lainnya bisa pula disebut “Bak maambiak rambuik dalam tapuang, rambuik taambiak tapuang ndak baserak” (Ibarat mengambil rambut dalam tepung, rambut terambil tepung tak berserak)
  16. Bak si bisu barasian, takana lai takatokan tido (Seperti si bisu sedang bermimpi, teringat iya, terucapkan tidak) : Seseorang yang tak sanggup mengatakan kebenaran, dikarenakan ketakutan atau ketidakyakinan dalam dirinya
  17. Minyak abih, samba tak lamak (Minyak habis, sambal tak enak) : Sudah banyak biaya yang dikeluarkan, tapi hasil yang didapat tak memuaskan
  18. Lah basuluah matohari, lah bagalanggang mato rang banyak (Sudah bersuluh matahari, sudah bergelanggang mata orang banyak) : Suatu perkara yang sudah terang benderang dan diketahui orang banyak
  19. Jauah jalan banyak diliek, lamo iduik banyak diraso (Jauh jalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasa) : Semakin lama hidup, akan semakin banyak pengalaman yang didapat
  20. Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik (Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat) : Kesepakatan bersama dicapai melalui mufakat
  21. Adaiak rang mudo manangguang rindu, adaiak tuo manahan ragam (Adat anak muda menahan rindu, adat orang tua menahan ragam) : Sudah lumrah anak muda memiliki idaman, sudah lumrah orang tua menahan ragam perilaku pasangannya
  22. Aia diminum raso duri, nasi dimakan raso sakam (Air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam) : Orang yang sedang menanggung derita batin
  23. Katiko ado ditahan, lah ndak ado baru dimakan (Ketika ada ditahan, sudah tak ada baru dimakan) : Berhematlah ketika sedang memiliki, sehingga ada simpanan yang bisa dimanfaatkan ketika mengalami kesulitan
  24. Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang (Duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang) : Persoalan akan terasa susah jika diselesaikan sendiri-sendiri, namun akan lebih mudah jika diselesaikan bersama-sama
  25. Nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuaik pambaok baban, nan binguang disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang (Yang buta peniup lesung, yang pekak pelepas bedil, yang lumpuh penunggu rumah, yang kuat pembawa beban, yang bingung (kurang berakal) disuruh-suruh, yang cerdik kawan berunding) : Semua orang ada fungsinya dan bisa berkontribusi di masyarakat 
  26. Bia kaniang baluluak, asa tanduak manganai (Biar kening berlumur (lumpur), asal tanduk mengenai (musuh)) : Biarpun harus bersusah payah, asalkan tujuan bisa tercapai. Dalam konotasi negatif bisa pula diartikan : Orang yang menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai
  27. Kato dahulu kato sabana, kato kudian kato bacari (Kata yang pertama kata yang sebenarnya, kata yang kedua kata yang dicari) : Ucapan pertama seseorang adalah ucapan yang sebenar-benarnya, kalau ia merevisi ucapannya itu hanya suatu pembenaran yang dicari-cari
  28. Indak rotan akapun jadi, indak kayu janjang dikapiang (Tidak ada rotan akarpun jadi, tidak ada kayu jenjang dikeping) : Dalam mengusahakan sesuatu, kita harus maksimal dan tak boleh kehilangan akal
  29. Tau ereng jo gendeng, tau raso jo pareso (Tahu yang terjal dan yang miring, tahu rasa dan periksa) : Orang yang mempunyai perasaan dan pemikiran yang dalam, sehingga ia tak mau bertindak gegabah 
  30. Manyauak di ilia-ilia, bakato di bawah-bawah (Menyauk di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah) : Sifat rendah hati dan tidak menyombongkan kemampuannya
  31. Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun (Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun) :  Suatu pekerjaan yang dikerjakan atas keinginan dan kemauan bersama
  32. Anyuik labu dek manyauak, hilang kabau dek gubalo (Hanyut labu karena menyauk, hilang kerbau karena digembalakan) : Karena mengerjakan yang kurang penting, pekerjaan yang lebih penting malah tertinggal
  33. Satinggi-tinggi tabang bangau, baliaknyo ka kubangan juo (Setinggi-tinggi terbangnya bangau, pulangnya ke kubangan jua) : Sejauh-jauh orang merantau, kembalinya ke kampung jua
  34. Musuah pantang dicari, basuo pantang diilakkan (Musuh pantang dicari, kalau bersua pantang dielakkan) : Jangan pernah mencari musuh, namun jika ada yang mengusik tak boleh didiamkan
  35. Baraja ka nan manang, mancontoh ka nan sudah (Belajar ke yang menang, mencontoh ke yang sudah) : Belajar kepada orang yang berhasil, dan mengambil hikmah dari orang yang gagal
  36. Cakak abih, silek takana (Kelahi selesai, silat baru teringat) : Orang yang baru menyadari kesalahannya, setelah bencana menimpa dirinya
  37. Bajalan paliharo kaki, bakato paliharo lidah (Berjalan pelihara kaki, berkata pelihara lidah) : Dalam berbicara atau bertingkah laku harus senantiasa menjaga adab
  38. Datang nampak muko, pai nampak pungguang (Datang nampak muka, pergi nampak punggung) : Ketika hendak datang memberi tahu, ketika akan pulang meminta izin. Adab seseorang dalam bertamu
  39. Sabana makan katan indak bakarambia (Seperti makan ketan yang tak berkerambil) : Seseorang yang tak mendapatkan pelayanan yang baik
  40. Bak abu di ateh tunggua (Seperti abu di atas tunggul) : Kedudukan seseorang yang lemah dalam sebuah masyarakat. Biasanya untuk menggambarkan kedudukan semenda dalam keluarga istrinya
  41. Bak kudo palajang bukik, umpamo gajah paangkuik lado (Seperti kuda pelajang bukit, umpama gajah pengangkut lada) : Suatu pekerjaan yang dilakukan secara bersama, namun orang yang berjasa tidak mendapatkan penghargaan sewajarnya
  42. Bak kabau dicucuak hiduang, umpamo langau di ikua gajah (Seperti kerbau dicucuk hidung, umpama langau di ekor gajah) : Orang yang selalu mengikuti perkataan/perintah orang lain
  43. Bak bagantuang di aka lapuak, bak bapijak di dahan mati (Seperti bergantung di akar yang lapuk, seperti berpijak di dahan yang mati) : Seseorang yang menggantungkan nasibnya kepada orang yang lemah (baik secara ekonomi ataupun pemikiran)
  44. Bariak tando tak dalam, bakucak tando tak panuah (Beriak tanda tak dalam, berguncang tanda tak penuh) : Orang yang besar mulut, biasanya tak mengetahui banyak hal   
  45. Barundiang siang caliak-caliak, barundiang malam agak-agak (Berunding siang lihat-lihat, berunding malam diagak-agak) : Berbicara penuh hati-hati, jangan sampai menyinggung orang lain
  46. Gabak di ulu tando ka hujan, cewang di langik tando ka paneh (Awan hitam di hulu tanda kan hujan, cerah di langit tanda kan panas) : Bisa membaca situasi dan mengantisipasi keadaan yang akan terjadi
  47. Condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak (Condong mata ke yang indah, condong selera ke yang enak) : Sudah fitrah manusia senang melihat yang bagus-bagus/indah-indah dan menyukai yang enak-enak
  48. Gadang jan malendo, cadiak jan manjua (Besar jangan melanda, cerdik jangan menjual) : Ketika berkuasa jangan sewenang-wenang, jangan menindas yang lemah, jangan mempermainkan yang bodoh
  49. Jalan dialiah dek urang lalu, cupak dipapek dek rang manggaleh (Jalan dialihkan oleh orang lewat, cupak dipepat oleh penggalas) : Adat istiadat yang secara tak sadar telah berubah karena masuknya budaya luar. Bisa juga diartikan : Ekonomi anak negeri yang mulai melemah karena datangnya pengusaha dari luar
  50. Basilang kayu dalam tungku, mangko api ka hiduik (Bersilang kayu dalam tungku, maka api akan hidup) : Silang pendapat yang terjadi, bisa menghasilkan kesepakatan terbaik

Tinggalkan komentar