Archive for the ‘Politik’ Category


Hasil hitung cepat sejumlah Lembaga Survei, menyatakan kalau pasangan Prabowo-Gibran memenangkan pertarungan Pilpres tahun ini. Pasangan ini beroleh sekitar 59% suara, setelah mengalahkan dua pasangan lainnya yakni Anies-Muhaimin (memperoleh 24% suara) serta Ganjar-Mahfud (17%). Dalam kontestasi ini, nampak sekali kalau pasangan Prabowo-Gibran lebih siap. Selain dikelilingi para relawan yang massif – kebanyakan pendukung Jokowi di 2014 dan 2019 lalu, pasangan ini juga disokong oleh pendanaan yang kuat. Diantaranya dari Hashim Djojohadikusumo, Aburizal Bakrie, serta duo abang-beradik Erick dan Boy Thohir. Yang juga perlu dicatat adalah dukungan dari partai koalisi yang saat ini menguasai parlemen. Disamping partai besutan Prabowo : Gerindra, pasangan ini juga didukung Partai Golkar, Demokrat, serta PAN.

Selain support system-nya yang mumpuni, Prabowo sendiri boleh dibilang sudah sangat siap. Terlebih, beliau sudah tiga kali mengikuti kontestasi pemilihan Presiden-Wakil Presiden, jadi sudah khatam seluk beluk serta medan tempur yang akan dilalui. Kalau dibandingkan dengan tiga Pilpres sebelumnya, pembawaan Prabowo saat ini agak sedikit kalem. Ia acapkali berjoget, sehingga terlihat seperti gemoy. Satu lagi yang berbeda dari penampilan Prabowo tahun ini adalah dress code yang dikenakannya. Berbeda dengan dua Pilpres sebelumnya dimana ia sering mengenakan safari coklat, di Pilpres kali ini ia acap memakai baju biru muda. Yang juga menarik adalah atribut kampanyenya yang terkesan futuristik. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, Prabowo yang sudah berumur di-remake seperti bocah. Boleh jadi ini merupakan strategi konsultan politiknya, agar citranya di masyarakat — terutama kalangan milenial dan gen Z — terlihat positif.

(lebih…)

Pemimpin BRICS (sumber : Reuters)

Hari Kamis (24 Agustus 2023) lalu, Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa mengumumkan bahwa BRICS akan menambah keanggotaannya menjadi 11 negara. Dalam pertemuan puncak para pemimpin aliansi dagang negara-negara berkembang itu, mereka sepakat untuk memperluas keanggotannya per 1 Januari 2024 nanti. Meski usulan ini sempat ditentang Presiden India, Narendra Modi — karena khawatir akan meluasnya pengaruh Tiongkok, namun akhirnya suara mereka bulat untuk menambah keanggotaan enam negara lagi. Keenam negara tambahan itu yakni, Arab Saudi, Iran, Argentina, Uni Emirat Arab (UEA), Ethiopia, dan Mesir. Jika dilihat dari komposisi masing-masing wilayah, nanti anggota BRICS+ akan diisi oleh lima negara Asia, tiga negara Afrika, dua negara Amerika Selatan, dan satu negara Eropa. Indonesia sempat menimbang-nimbang untuk menjadi anggota organisasi yang digadang-gadang akan menggantikan dominasi G-7 itu. Namun karena masih hendak memainkan politik bebas aktif, Presiden Jokowi belum mengajukan surat expression of interest hingga saat ini. Seperti yang kita ketahui, organisasi ini dicitrakan sebagai penentang dominasi Barat. Dan Indonesia nampaknya belum mau untuk berlawanan dengan negara-negara Barat (plus Jepang). Terlebih di bulan Mei lalu, Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, juga mengundang Indonesia dalam pertemuan puncak pimpinan G-7.

Dengan masuknya Iran serta Arab Saudi ke dalam organisasi ini, tentu menjadi tanda tanya bagi para pengamat politik global. Terlebih kedua negara ini sebelumnya adalah tetangga yang berseteru. Mereka berebut pengaruh untuk menjadi penguasa di Timur Tengah. Sejak tumbangnya Dinasti Pahlavi di Iran, dan mengubah negeri itu menjadi negara teokrasi Syiah, Iran berusaha untuk menyebarkan ideologinya ke seluruh dunia Islam. Tindakan ini tentu tak disukai oleh keluarga Saudi yang juga hendak menghegemoni dunia Islam – terkhusus kawasan Timur Tengah. Namun sejak pertemuan Iran-Saudi yang diinisiasi oleh Xi Jinping bulan Maret lalu, arah politik kedua negara itu nampaknya akan berubah. Tersirat kalau keduanya ingin melupakan rivalitas yang sempat mengeras, demi mendorong pertumbuhan ekonomi di negara masing-masing.

(lebih…)

Anwar dibacakan sumpah (sumber : AFP)

Anwar Ibrahim merupakan sosok yang tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Sehingga terpilihnya beliau sebagai perdana menteri yang ke-10, tak mengejutkan banyak pihak. Ditunjuknya Anwar sebagai pemimpin baru Malaysia, setelah terjadi kebuntuan politik pasca Pemilu 19 November lalu. Dimana dalam Pemilu tersebut, Pakatan Harapan (PH) yang dipimpinnya, hanya meraih 82 kursi. Jumlah ini jauh dari syarat minimal untuk membentuk pemerintahan sendiri, yakni 112 kursi. Karena tak mencapai syarat yang dibutuhkan, maka PH mesti berkoalisi dengan gabungan partai lain. Setelah terjadi lobi-lobi singkat, Perikatan Nasional (PN) yang merupakan peraih kursi terbanyak kedua, enggan bergabung dengannya. Begitupula dengan pemenang ketiga Barisan Nasional (BN). Akibat tak adanya kesepakatan, Yang Dipertuan Agong Sultan Abdullah sempat memanggil anggota dewan dari PN ke istana. Sultan meminta agar PN mau membentuk koalisi pemerintah bersama PH. Tapi sayang, semua anggotanya kompak menolak. Mereka sepakat untuk menjadi oposisi. Lalu sultan-pun meminta dua koalisi lainnya : BN dan GPS (Gerakan Partai Serawak) agar mau bergabung. Meski agak berat, namun akhirnya mereka sepakat untuk membentuk pemerintahan baru.

Bagi sebagian orang, keterpilihan Anwar sudah diprediksi sejak jauh-jauh hari. Ini karena banyaknya rakyat Malaysia yang tak puas atas kepemimpinan Ismail Sabri Yaakob. Anjloknya suara BN – koalisi partai pendukung Ismail – pada Pemilu lalu, membuktikan itu semua. Pada Pilihan Raya Umum yang diikuti oleh 14 juta pemilih, BN hanya beroleh 30 kursi. Jauh dari pemenang kedua : Perikatan Nasional, yang meraih 73 kursi. Melorotnya suara BN, agaknya disebabkan oleh kasus korupsi 1 MDB yang menerpanya. Walau kejadian itu sudah berlangsung lama, namun banyak rakyat Malaysia yang belum percaya. Sejak kasus itu, Malaysia telah mengganti perdana menterinya sebanyak empat kali. Dari tiga perdana menteri, tak satupun diantara mereka yang menjabat hingga dua tahun. Mahathir Mohammad yang sebelumnya pernah menjabat selama 22 tahun, kali ini hanya bertahan 22 bulan. Begitu pula dengan Muhyiddin Yasin yang cuma 17 bulan, dan Ismail Sabri Yaakob 15 bulan.

(lebih…)

Pemilihan presiden RI yang baru, rencananya akan digelar pada tanggal 14 Februari 2024. Ini artinya tak sampai 21 bulan lagi, helat besar lima tahunan tersebut akan terselenggara. Namun beberapa partai politik, tukang survei, serta pengamat, sudah melakukan persiapan dengan menyorong nama-nama yang akan dipilih oleh rakyat nanti. Beberapa pollster bahkan sudah melakukan jajak pendapat dalam satu tahun terakhir. Dari hasil jajak pendapat itu, empat nama yang sering masuk ke dalam bursa capres adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil. Urutannya tentu tak selalu seperti ini. Bisa berubah-ubah, tergantung pollster dan periode pengambilan sampelnya. Kadang Prabowo yang di atas, Ganjar di urutan kedua, Anies ketiga, dan di bulan yang lain bisa Ganjar di posisi pertama, diikuti oleh Anies, dan seterusnya.

Jika kita melihat keempat calon tersebut, belum bisa dipastikan mana dari tokoh-tokoh itu yang akan maju sebagai capres 2024 nanti. Prabowo meski memiliki kendaraan politik lewat Partai Gerindra, namun suaranya tak sampai 20% kursi parlemen. Oh iya, perlu disampaikan bahwa syarat untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden 2024-2029, haruslah partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang memiliki kursi di parlemen sebesar 20%, atau yang jumlah suaranya mencapai 25%. Jadi meskipun Gerindra punya kursi di parlemen, namun jumlahnya tak mencapai 20%. Ia perlu berkoalisi dengan partai lain agar bisa cukup syarat yang diperlukan. Begitu juga dengan Ganjar. Meskipun ia kader partai terbesar : PDI-P, namun ia hanyalah petugas partai. Sebagaimana cuitannya di Twitter, ia hanyalah “anak kos-kosan”. Oleh karenanya walaupun pada hasil survei ia sering berada di atas, Ganjar masih menghadapi kendala : apakah partainya mau mencalonkan dirinya. Mengingat hingga saat ini, Partai Banteng menginginkan Puan yang maju sebagai calon presiden. Bagaimana dengan Anies dan Emil?

(lebih…)

AHY dan Moeldoko (sumber : beritasatu.com)

Darmizal, salah seorang politisi Partai Demokrat, menangis tersedu-sedu saat konferensi pers pasca-Kongres Luar Biasa (KLB) partainya. Dalam pidatonya, ia menyesal telah membantu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi ketua umum Demokrat pada tahun 2015 lalu. Ia tak menyangka setelah SBY memimpin partai ini akan lahir rezim diktator, dimana SBY melanggengkan politik dinasti dengan memberikan karpet merah kepada putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), untuk melanjutkan kepemimpinan partai. Senada dengan Darmizal, Marzuki Alie, mantan ketua DPR sekaligus politisi senior Partai Demokrat mengatakan, diselenggarakannya KLB ini akibat tersumbatnya suara para kader dan adanya kesewenang-wenangan pengurus partai di bawah pimpinan AHY. Oleh karenanya KLB yang diselenggarakan di Deli Serdang tanggal 5 Maret lalu itu, dirancang untuk melengserkan AHY. Sebagaimana yang kita ketahui, kongres itu kemudian memilih secara aklamasi Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, sebagai ketua umum Demokrat yang baru.

Hingga tulisan ini diturunkan, belum ada pengesahan atau pembatalan dari pemerintah terkait hasil KLB tersebut. Namun kasak-kusuk serta behind the story dibalik penyelenggaraan KLB itu sangat menarik untuk disimak. Salah satunya adalah pernyataan Gatot Nurmantyo yang pernah ditawari oleh para inisiator KLB untuk menggantikan posisi AHY. Namun kemudian Gatot menolak dengan alasan ewuh pakewuh. Selain itu yang juga perlu dicermati adalah sebelum naiknya AHY menjadi ketua umum, ternyata elit partai inipun sudah diisi oleh keluarga-keluarga Yudhoyono. Hadi Utomo, yang merupakan ipar SBY, pernah menjadi ketua umum Demokrat periode 2005-2010. Edhi Baskoro Yudhoyono, putra kedua SBY, juga sempat menjabat sebagai sekretaris jenderal partai. Dan kini, Ibas – begitu ia akrab disapa, menduduki posisi ketua fraksi Demokrat di MPR. Tak salah jika banyak orang yang berpandangan, bahwa KLB kemarin adalah perlawanan kader Demokrat terhadap Dinasti Cikeas yang selama ini seperti menjadi pemilik partai.

(lebih…)

Meme Pindah Ibu Kota

Tanggal 26 Agustus 2019 lalu, Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan lokasi ibu kota baru Republik Indonesia. Lokasi yang dipilih ternyata berbeda dari apa yang selama ini sempat diisukan. Kalau sebelumnya kota Palangkaraya digadang-gadang akan menjadi ibu kota baru, namun ternyata yang dipilih adalah dua kabupaten di Kalimantan Timur, yakni Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. Isu pemindahan ibu kota sepertinya selalu menjadi jualan setiap pemerintahan yang bingung mengatasi kesemrawutan Jakarta. Pada pertengahan 1990-an, Soeharto pernah mewacanakan akan memindahkan ibu kota ke Jonggol. Wilayah di tenggara ibu kota itu dinilai cocok sebagai bakal ibu kota baru, karena masih memiliki lahan yang cukup luas. Selain itu letaknya yang hanya berjarak 40 km dari pusat kota (Gambir dan sekitarnya), dinilai tak akan terlalu merepotkan. Sebab hampir keseluruhan pegawai pemerintah pusat berdomisili di Jabodetabek. Namun hingga Soeharto lengser, wacana ini hanya tinggal wacana. Para pencari rente yang sudah memburu tanah di kawasan tersebut, banyak yang gigit jari.

Kemudian pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), isu ini kembali bergulir. Jika Soeharto jelas menunjuk Jonggol sebagai calon ibu kota baru, SBY sampai masa kepemimpinannya berakhir tak pernah memberikan pernyataan yang klir terkait rencana pemindahan ibu kota. Nah, tahun ini giliran Jokowi yang menggulirkan ide pemindahan ibu kota baru. Alasan pemindahan ibu kota itu, bagi sebagian kalangan cukuplah realistis. Mengingat tingginya beban Jakarta saat ini, yang berperan sebagai pusat bisnis, pusat budaya, pusat militer, sekaligus pusat pemerintahan. Lalu kalau Jakarta terbebani, mengapa kemudian pilihannya jatuh ke Kalimantan Timur. Pemerintah beralasan, untuk melakukan pemerataan pembangunan, maka ibu kota baru haruslah berada di tengah Nusantara. Memang ide tersebut terkesan elok, mengingat pembangunan saat ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera. Namun kalau untuk mewujudkan itu harus memindahkan ibu kota ke tempat yang lengang, rasanya kita hanya membuang-buang uang.

(lebih…)


Demo 22 Mei Berakhir Rusuh

Minggu lalu (Selasa, 21 Mei 2019) KPU akhirnya mengumumkan hasil Pemilihan Umum serentak 2019. Pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang kontestasi Pemilihan Presiden untuk masa bakti 2019-2024. Seperti yang telah diwacanakan sebelumnya, kubu penantang yakni pasangan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tak akan menerima hasil keputusan tersebut. Sebagai bentuk penolakan, para pendukung Prabowo kemudian menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Bawaslu. Aksi yang dijanjikan akan berjalan damai itu, ternyata berakhir ricuh. Dari hasil investigasi polisi, ditemukan ada sekolompok orang yang menyerukan jihad dalam aksi tersebut. Mereka tergabung ke dalam kelompok GARIS (Gerakan Reformis Islam) yang diduga merupakan sempalan ISIS. Tak hanya mereka, beberapa ustad partisan yang berceramah di mushola-mushola kampung juga menyerukan aksi jihad pada tanggal 22 Mei kemarin.

Mendengar seruan tersebut, banyak jemaah yang kemudian bertanya-tanya. Benarkah aksi demonstrasi bisa dikategorikan sebagai bentuk jihad. Terlebih demonstrasi kemarin itu lebih bernuansa politis, yakni dalam rangka perebutan kekuasaan. Melihat maraknya kesalahpahaman dalam mengartikan jihad, sejumlah ulama seperti Quraish Shihab akhirnya angkat bicara. Menurut mantan Menteri Agama itu, aksi massa yang kemudian menimbulkan kerusuhan adalah sebuah keburukan. Kalau ada kebaikan yang dilakukan dengan cara yang buruk, maka harus dihindari. Karena menurutnya, kita harus menghindarkan keburukan daripada memperoleh manfaat yang mungkin didapat dari aksi tersebut. Lebih lanjut Quraish menyampaikan, aksi-aksi seperti ini mirip kejadian di Suriah. “Benihnya itu kecil, sama dengan puntung rokok. Ini yang harus kita cegah. Jangan merokok di pom bensin. Jangan sampai kerusuhan terjadi. Karena kalau terjadi, kita tahu mulanya tapi tak tahu akhirnya.”

(lebih…)


Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 telah berjalan lancar dan aman. Sejumlah lembaga survei telah merilis hasil hitung cepat (quick count) versi mereka. Meski sebagian pihak masih ada yang belum menerima, namun dari hasil itu kita bisa mengetahui bahwa Joko Widodo (Jokowi) kembali terpilih sebagai presiden Republik Indonesia. Menurut perkiraan, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin memperoleh suara sekitar 55%. Angka ini sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2014 lalu, dimana kala itu Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla cuma meraih 53,15%. Kalau kita menilik hasil perhitungan — baik secara quick count maupun real count, maka terlihat kalau politik identitas sedang mengalami penguatan di tengah masyarakat kita. Politik identitas yang dimaksud adalah pilihan-pilihan politik seseorang terhadap calon pemimpin yang semata-mata hanya karena kedekatan emosional. Kedekatan emosional disini bisa dikarenakan persamaan ideologi, latar belakang agama dan etnis, atau kesamaan profesi.

Nah dalam Pilpres kali ini, karena dari awal kontestannya hanya dua pasang, jadi cukup menarik untuk melihat kaitan antara politik identitas dan peta para pemilih. Dari peta tersebut diharapkan kita bisa mengetahui preferensi politik masyarakat Indonesia yang bisa digunakan untuk pemilihan umum selanjutnya. Untuk menyederhanakan kajian, penulis akan membagi tulisan ini menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan membahas mengenai politik identitas yang dilihat dari pandangan/ideologi masyarakat pemilih. Dan yang kedua, berdasarkan kelompok etnis dan agama. Agar pemetaan ini bisa dihandalkan, penulis akan mengambil perhitungan secara riil dari situs www.kawalpemilu.org serta hasil quick count dan exit poll dari lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Indikator Politik. Di bagian ketiga, penulis akan coba melakukan flash-back terkait menguatnya politik identitas akhir-akhir ini.

(lebih…)


Pertumbuhan ekonomi China yang mengesankan dalam dua dekade terakhir, telah mengundang decak kagum berbagai kalangan. Dari pimpinan negara, para pelaku usaha, hingga akademisi, banyak yang melontarkan kalau negara tirai bambu itu akan menjadi adikuasa yang bisa mengimbangi hegemoni Amerika. Namun tak sedikit pula yang pesimis dengan perkiraan tersebut, diantaranya Marc Champion dan Adrian Leung. Dalam artikelnya yang berjudul “Does China Have What It Takes to Be a Superpower?” mereka menyatakan bahwa dari berbagai pertimbangan, nampak kalau China masih tertinggal dari Amerika. Malah pada beberapa aspek, China berada jauh dibelakang beberapa negara maju. Untuk melihat sejauh mana potensi China dan posisinya saat ini, kita akan membedah satu per satu faktor-faktor yang menjadi acuan suatu negara bisa dikatakan sebagai “adikuasa”.

Alice Lyman Miller, mantan analis CIA sekaligus sarjana China di Hoover Institution Universitas Stanford mendefinisikan apa yang disebut dengan negara adikuasa. Menurutnya, negara adikuasa adalah negara yang memiliki kapasitas untuk memproyeksikan kekuatan dan pengaruhnya di berbagai belahan dunia dalam waktu yang bersamaan. Dalam beberapa contoh, negara adikuasa pernah diperankan oleh Turki Utsmani (abad ke-16 dan 17), Spanyol (abad ke-17), Inggris (abad ke-19), Uni Sovyet (abad ke-20), serta Amerika Serikat (sejak akhir Perang Dunia Kedua).

(lebih…)


Arab McDonalds (sumber : thewvsr.com)

Arab McDonalds (sumber : thewvsr.com)

Lagi-lagi masa depan Amerika serta pengaruh dan kekuasaannya di kancah global kembali diperbincangkan. Hal ini mengemuka setelah beberapa negara calon super power mengalami perlambatan ekonomi sejak tahun 2013 lalu. Isu melemahnya pengaruh dan kekuasaan Amerika, sebenarnya sudah menjadi perbincangan hangat sejak dasawarsa 1980-an. Bahkan Josep S. Nye, sempat mengulas hal ini dalam bukunya yang berjudul “Bound to Lead : The Changing Nature of American Power”. Buku ini terbit pada tahun 1990, ketika kontribusi Produk Nasional Bruto (PNB) Amerika terhadap dunia mengalami penurunan cukup tajam : dari 32,7% (1985) menjadi 25,5% (1990). Pada saat itu, di Eropa juga baru saja terjadi reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur, serta runtuhnya Blok Timur pimpinan Uni Sovyet.

Meski Amerika keluar sebagai pemenang Perang Dingin dan menjadi negara adidaya, namun kekhawatiran akan memudarnya pengaruh mereka di gelanggang internasional cukuplah menggema. Pada tahun 1989, separuh dari rakyat Amerika mengira bahwa negara mereka sedang mengalami kemunduran. Hanya satu dari lima orang Amerika yang percaya bahwa negara itu menjadi pemuncak kekuatan ekonomi dunia, meskipun PNB Amerika saat itu adalah yang terbesar. Di bidang militer, mereka juga mencemaskan kemampuan nuklir serta kekuatan tentara konvensional, terlebih jika dibandingkan dengan Uni Sovyet. Saking takutnya mereka kehilangan kekuasaan, banyak buku dan artikel yang terbit di tahun 1980-an mengulas sejarah kemunduran bangsa-bangsa.

(lebih…)