Archive for the ‘Buku’ Category


Buku “Sapiens” karya Yuval Noah Harari memang cukup mengesankan. Dalam buku setebal 520 halaman itu, ia secara apik menerangkan bagaimana sejarah perjalanan umat manusia. Berbeda dengan buku-buku sejarah lainnya yang cuma bercerita berdasarkan urutan waktu (kronologis), dalam buku ini ia coba menggali sebab musabab serta permasalahan yang muncul sehingga dunia kita bisa seperti sekarang ini. Misalnya : ia membahas mengenai domestifikasi hewan dan revolusi pertanian. Pada bagian ini ia bercerita mengenai kehidupan manusia sejak zaman batu, zaman perunggu, hingga mengakhiri kehidupan nomaden. Manusia yang telah hidup menetap itu kemudian bisa membangun perkampungan, kota, serta peradaban, setelah mereka mampu mendomestifikasi hewan (ternak) dan menghasilkan makanan secara berlimpah dengan revolusi pertanian. Pada bagian “Pemersatuan Umat Manusia”, ia juga dengan gamblang menceritakan bagaimana visi umat manusia dalam membangun peradaban. Menurut Yuval, nilai-nilai universal-lah – seperti hukum agama dan uang — yang bisa mempersatukan manusia dalam membangun peradaban.

Masuk pada bagian selanjutnya yaitu “Revolusi Sains”, Yuval bercerita mengenai bagaimana sains bisa mengubah jalan hidup sejarah umat manusia. Dalam bab ini kita akan mulai merasakan kecenderungan Yuval mengglorifikasi peradaan Barat. Terlepas dia sebagai warga global, namun sebagai penulis yang hidup dalam sangkar peradaban Euro-America (Barat), tentu Yuval tak bisa lepas dari bias budaya. Dalam bab-bab terakhir pada buku tersebut, ia dengan pede meyakini bahwa peradaban Barat-lah yang telah mengubah jalan sejarah umat manusia. Menurut dia, sains – kemudian kapitalisme dan industri, yang merupakan temuan Barat, telah membawa umat manusia ke arah yang lebih baik. Dengan temuan-temuan itu, umat manusia akhirnya bisa hidup bahagia selamanya. Meskipun tak sama, ini seperti teori yang dibangun oleh Francis Fukuyuma dalam bukunya : “The End of History and The Last Man”. Dimana dalam tesisnya tersebut Fukuyama begitu mengelu-elukan peradaban Barat, serta menyatakan bahwa model peradaban ini telah menang dan akan langgeng selamanya.

(lebih…)


Liem dan Soeharto

Setelah membaca awal perkenalan Liem dengan Soeharto, selanjutnya pada fase kedua tulisan ini kita akan melihat tahap-tahap perjalanan Liem dalam membangun imperium bisnisnya. Pada fase akhir tulisan ini, saya juga akan mencuplik merosotnya dominasi Salim pasca kejatuhan Soeharto, serta kehidupan senja sang taipan. Namun sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita melihat suatu kejadian yang ditulis pada Bab 7. Dalam sub-bab yang berjudul “Kejadian yang Mengerikan di Rumah”, diceritakan tentang tragedi yang terjadi di rumah Liem pada bulan Juni 1966. Ketika itu Liem sedang pergi ke Singapura, menjadi anggota delegasi tak resmi Soeharto yang ingin mengakhiri politik konfrontasi yang ditempuh pendahulunya. Liem menuturkan kejadian tersebut: “Suatu sore sekitar pukul 16.30, seorang laki-laki berseragam marinir datang ke rumah mencari saya. Istri saya menyangka dia datang untuk minta uang, dan mempersilahkannya masuk. Tante (istri Liem) memberi tahu kalau saya sedang di Singapura. Lalu Tante masuk ke kamar untuk mengambil uang dan orang itu mengikutinya. Tetapi langkah orang itu terhalang oleh engsel pintu kasa yang rusak. Tante mendengar suara pintu dan membalikkan badan, dia tertegun melihat laki-laki itu memegang senjata api. Tante berteriak : “Jangan Pak!” Orang itu menembak dua kali, satu tembakan kena lengan Tante, satunya lagi kena perut. Tampaknya peluru itu meleset mengenai jantung dan menembus punggungnya. Benar-benar suatu kemujuran, kalau tidak Tante pasti sudah meninggal. Seandainya saya di rumah, saya pasti sudah dibunuh.” Ini untuk kedua kalinya Liem selamat dari maut, setelah sebelumnya di tahun 1949 ia juga selamat dari kecelakaan lalu lintas yang menewaskan dua penumpang yang semobil dengannya.

Pada bab ini kita juga bisa menengok sosok Anthony Salim, putra ketiga Liem, yang menyelesaikan pendidikan tingginya di Inggris. Dengan bekalnya itu, Anthony banyak memberikan ide-ide bisnis yang tak terpikirkan oleh ayahnya. Liem pernah mengatakan, bahwa anak laki-laki termudanya itu bijaksana melebihi umurnya. Dan Anthony menunjukkan kualitas itu dengan tidak berusaha tampil lebih bersinar dari ayahnya atau merebut sesuatu darinya. Bahkan setelah bertahun-tahun duduk di balik kemudi, Anthony terus menyampaikan laporan singkat kepada ayahnya tentang semua aspek rencana-rencana bisnis. Seperti ayahnya, Anthony paham cara kerja sistem patronase licik Orde Baru. Dan ia sadar betul bahwa patronase politik yang dinikmati ayahnya terbatas masa hidupnya. Sejak akhir 1970-an, dia sudah meyakinkan ayahnya tentang pentingnya berinvestasi di luar negeri dan mendorong Salim Group untuk mengeksplorasi peluang di luar Indonesia. Seiring tahun berlalu, Anthony membuat banyak kesalahan, sebagaimana yang terus terang diakuinya. Dia memberi satu contoh, kesalahan besar bisnis pertamanya adalah ketika mengimpor semen dari Korea Utara.

(lebih…)


Puas! Mungkin begitu ungkapan yang tepat setelah saya membaca buku Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto karya Richard Borsuk dan Nancy Chng. Buku ini sebenarnya sudah saya selesaikan setahun lepas, namun baru bisa meresensikannya sekarang. Buku terbitan ISEAS-Yusof Ishak Institute (2014) itu bercerita tentang kehidupan orang terkaya di Indonesia pada zaman Orde Baru : Liem Sioe Liong. Dari masa kecilnya di Fuqing, merantau ke Kudus kemudian Jakarta, hingga berpindah dan wafat di Singapura. Karena Liem adalah cukong utama Soeharto, kisahnya juga memberikan gambaran tentang bagaimana presiden kedua itu bisa bertahan di puncak kekuasaan selama tiga dekade. Meski tergolong ilmiah, namun buku ini enak dibaca. Mengalir seperti kisah-kisah pada cerita fiksi. Terlebih sang penulis bisa menempatkan dirinya secara independen, sehingga karya ini cukup objektif. Buku ini juga bisa membantu Anda untuk menilai bagaimana sosok Liem yang sebenarnya, yang sejak era Reformasi terlanjur dicitrakan negatif. Lebih jauh buku ini juga memberikan wawasan kepada kita bagaimana Soeharto melakukan praktik kroniisme. Praktik yang sedikit banyaknya masih berlangsung hingga hari ini.

Proyek tentang Liem Sioe Liong dan Salim Group ini dikerjakan dengan melakukan penelitian di sejumlah kota dimana Liem pernah menjejakkan kakinya. Selain berkunjung ke Jakarta, Singapura, Kudus, Semarang, Hongkong, dan Fuqing, Borsuk dan Chng juga memperoleh informasi dari sumber-sumber primer. Mereka mewawancarai sejumlah orang dekat Liem, dari mantan rekan bisnisnya Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad, Benny Santoso (Direktur Eksekutif Salim Group), serta anggota keluarganya yang ada di Tiongkok, Indonesia, dan Singapura. Menurut penulis, buku ini tak kan hadir tanpa bantuan Anthony Salim, putra Liem yang kemudian melanjutkan bisnis ayahnya di Indonesia. Buku ini terbagi ke dalam 22 bagian, yang masing-masing terdiri dari 20-40 halaman. Saya akan mengutip beberapa bagian yang dianggap penting, sebagai pertimbangan Anda sebelum membeli buku setebal 592 halaman itu.

(lebih…)


hamkas-great-story

Bagi Anda yang demen sosok Buya Hamka, baru-baru ini (Agustus 2016) telah terbit buku yang berjudul : Hamka’s Great Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia. Buku ini boleh dibilang salah satu karya terbaik tentang Hamka : sosok legendaris yang banyak mempengaruhi kaum cerdik cendekia muslim Indonesia – dan juga dunia Melayu. Ditulis oleh James Robert Rush, seorang sejarawan Asia Tenggara asal Amerika Serikat, buku ini terbagi ke dalam enam bab setebal 287 halaman. Mungkin banyak orang yang tak tahu siapa James Robert Rush. Namanya memang tak semengkilap Denys Lombard, George Mc T. Kahin, atau M.C. Ricklefs. Namun tak sedikit karyanya mengenai Indonesia yang telah dipublikasikan. Diantaranya, Java: A Travellers’ Anthology dan Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860–1910. Selain biografi Hamka, Rush juga telah menulis riwayat hidup Pramoedya Ananta Toer dan Abdurrahman Wahid. Tapi keduanya hanya dalam bentuk esai.

Kajian tentang Hamka, memang telah menarik banyak peneliti dari dalam maupun luar negeri. Mereka mengulitinya dari berbagai aspek. Baik itu novel-novelnya, seperti : “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”, “Tuan Direktur”, atau “Merantau ke Deli”; pandangannya tentang keislaman, ataupun gagasannya tentang keindonesiaan. Dan yang menarik, hampir sebagian besar para peneliti itu, menempatkan Hamka sebagai tokoh besar. Tak berlebihan jika puji-pujian terhadap dirinya bertebaran dimana-mana. Menurut Rush, nama Hamka ada di banyak karya. Jika Anda membaca sejarah Islam Indonesia ataupun sejarah perjuangan Republik Indonesia, maka hampir bisa dipastikan Anda akan menemukan Hamka sebagai sumber referensinya. Rush menulis : “In another sense, however, Hamka has been ubiquitous. He has been a source in countless works of modern Indonesia history, …”

(lebih…)


Sampul Buku "Manusia Indonesia"

Sampul Buku “Manusia Indonesia”

Manusia Indonesia : Sebuah Pertanggungjawaban adalah judul pidato kebudayaan yang disusun oleh wartawan-budayawan Indonesia, Mochtar Lubis. Pidato ini kemudian dibacakannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada tanggal 6 April 1977. Meski menerima kritik dari banyak pihak, salah satunya dari Margono Djojohadikusumo (kakek Prabowo Subianto), namun pidatonya itu mendapat tempat di hati banyak pendengar. Oleh karenanya pada tahun 2001, Yayasan Obor Indonesia perlu menerbitkannya dalam bentuk buku. Mungkin sebagian Anda akan bertanya-tanya. Mengapa buku ini baru terbit di tahun 2001, setelah 24 tahun pidato itu dibacakan. Saya mengira mungkin karena isi pidatonya yang terlampau keras. Jika dibaca secara tersirat, agaknya pidato itu ditujukan kepada kawula Orde Baru, yang dianggapnya cukup sesuai dengan enam kriteria manusia Indonesia yang diuraikannya itu. Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan pihak penguasa, penerbit memilih untuk merilisnya setelah rezim Orde Baru tumbang. Entah iya entah tidak itu alasannya, wallahualam bi shawab.

Dari subjek yang diambil, boleh jadi ini merupakan buku pertama yang mencatat kepribadian manusia Indonesia, atau lebih tepatnya “manusia Orde Baru”. Dalam buku tersebut disebutkan terdapat enam ciri manusia Indonesia, yakni:
1. Munafik atau hipokrit
2. Enggan dan segan bertanggungjawab atas perbuatannya.
3. Bersikap dan berperilaku feodal.
4. Percaya takhyul.
5. Artistik, berbakat seni.
6. Lemah watak atau karakternya.

(lebih…)


Asia Hemisfer Baru Dunia

Jika Anda berbicara mengenai kebangkitan Asia 30 tahun lalu, mungkin sebagian orang tidak akan percaya, kalau hal itu bisa terwujud pada dekade kedua abad ini. Catatan yang memperlihatkan pertumbuhan ajaib China, India, dan Asia Tenggara dalam sepuluh tahun terakhir, memberikan bukti bahwa kebangkitan Asia bukan isapan jempol belaka. Bank Dunia memperkirakan bahwa di pertengahan abad ini, empat dari lima negara ekonomi terbesar dunia akan berada di Asia. Padahal 20 tahun lalu, hanya satu negara Asia yang masuk ke dalam jajaran lima besar. Selebihnya berada di Eropa (3 negara) dan Amerika (1).

Cerita sukses mengenai kebangkitan Asia ini, banyak dipaparkan oleh para ahli ekonomi dan politik internasional. Salah satunya ialah Kishore Mahbubani yang menulis secara gamblang dalam buku : The New Asian Hemisphere. Beruntung bagi pembaca Indonesia, di bulan November 2011 lalu buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh penerbit buku Kompas dengan judul : Asia Hemisfer Baru Dunia. Buku ini merupakan salah satu best seller di toko-toko buku seluruh Asia. Namun kurang bergairah di sebagian besar negara Barat. Itu sebabnya pada sampul bagian dalam edisi Indonesia, buku ini menyorongkan pernyataan : perlunya bangsa-bangsa Barat melangkah keluar zona nyaman mereka dan menyiapkan peta mental baru untuk dapat memahami kebangkitan Asia.

(lebih…)


Sampul Majalah Tempo edisi Kebangkitan Nasional

Majalah Tempo dalam edisi khusus 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menurunkan laporan mengenai 100 catatan yang merekam perjalanan sejarah bangsa. Laporan itu, seperti halnya edisi khas Tempo lainnya, disusun dari hasil diskusi para pakar, yang kali ini melibatkan Taufik Abdullah, Goenawan Mohamad, Parakitri T. Simbolon, Ignas Kleden, Asvi Warman Adam, serta Putut Widjarnako. Catatan ini terdiri dari : maklumat, peta, pidato, catatan harian, puisi, prosa, serta buku fiksi dan non-fiksi, yang terbit dalam rentang waktu satu abad (1908-2008). Menurut redaktur Tempo, 100 catatan ini merupakan teks-teks yang menyuarakan imaji kebangsaan. Kumpulan aksara yang membuat imaji kita tentang Indonesia selalu bergerak dan terus diperbaharui. Memilih ribuan naskah untuk dimasukkan ke dalam daftar 100 catatan terbaik, tentu tidaklah mudah. Oleh karenanya, banyak naskah-naskah yang dianggap cukup kredibel — seperti Kalangwan karya Pastor Zoetmulder, yang mengulas tentang sastra Jawa Kuno, serta The Island of Bali karya penulis Meksiko Miguel Covarrubias — harus tersingkir dari daftar tersebut.

Di samping dua naskah itu, penulis mencatat beberapa karya penting yang luput dari pengamatan Tempo, antara lain : naskah Supersemar yang ditulis oleh Soekarno, pidato politik Berdayung di Antara Dua Karang (Mohammad Hatta), serta Surat Pengunduran Diri Soeharto. Selain itu buku-buku politik yang cukup berpengaruh, namun tak masuk ke dalam Daftar Tempo adalah Naar de Republiek Indonesia (Tan Malaka), serta 6000 Tahun Sang Merah Putih (Mohammad Yamin). Dari dunia militer, buku Pokok-pokok Gerilya karya A.H Nasution, juga tidak termasuk ke dalam 100 daftar tersebut. Padahal buku ini banyak diulas oleh para praktisi militer mancanegara. Buku biografi tokoh, hanya Dari Penjara ke Penjara (Tan Malaka) yang masuk ke dalam daftar, yang lain seperti : Soekarno karya Cindy Adam, Mohammad Hatta : Biografi Politik (Deliar Noer), Sjahrir : Politics and Exile in Indonesia (Rudolf Mrazek), serta Tan Malaka : Pergulatan Menuju Republik (Harry A. Poeze), tak diulas dalam edisi khusus tersebut.

(lebih…)


Seorang peneliti Indonesia dari luar, bisa dimaafkan kalau mengira bahwa dua budaya besar Nusantara adalah Jawa dan Minangkabau. Apabila kita menyimak nama-nama dalam buku-buku sejarah atau membuat daftar orang-orang yang telah membentuk budaya nasional, kedua kelompok etnik ini akan terlihat menonjol. Pakar-pakar kolonial Belanda menempatkan orang Minangkabau dari Sumatera Barat – dianggap dinamik, berwawasan ke luar, dan bertauhid – sebagai imbangan terhadap orang Jawa yang feodal, involutif, dan sinkretik keagamaannya. […]

[…] Jadi, adalah menakjubkan bahwa ternyata pada 1930 orang Jawa mencapai 47 persen penduduk Hindia Timur Belanda. Ditambah lagi orang Sunda di Jawa Barat dan Madura – ketiga kelompok etnis yang bersama-sama dipandang negara sebagai jantung budayanya – maka jumlahnya mencapai 70 persen penduduk. Pada masa itu, orang Minangkabau hanya 3,36 persen penduduk Hindia, kurang dari dua juta orang. Mengingat dominasi orang Jawa ini, adalah mengherankan bahwa orang Minangkabau, suatu wilayah kecil dan marginal dalam suatu kepulauan besar, begitu meraksasa dalam sejarah nasional. Jumlah besar orang Minangkabau dalam daftar orang-orang ternama Indonesia, belum pernah terjelaskan dengan memuaskan.[…]

Dan pertanyaan (baca : permasalahan) inilah, yang coba dijawab oleh Jeffrey Hadler melalui bukunya, “Sengketa Tiada Putus” (Freedom Institute, 2010). Karya ini pada mulanya merupakan disertasi Hadler untuk meraih gelar PhD di Cornell University. Dan kemudian atas inisiatif penerbit kampus, karya ini dibukukan dengan mengambil judul, Muslim and Matriachs : “Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism” (Cornell University Press, 2008).

(lebih…)


Sampul Buku Dari Penjara ke Penjara

Seharian ini saya membaca buku Dari Penjara ke Penjara (DPKP) karya Bapak Republik Indonesia : Tan Malaka. Walaupun Tan orang politik, namun tak terasa kalau buku ini ditulis oleh orang politik yang biasanya kaku dan berapi-api. Membaca tulisan Tan, serasa membaca karya Hamka atau A.A Navis atau Abdul Muis. Ceritanya mengalir begitu saja, kaya kosa kata, mendayu-dayu, ciri khas tulisan orang Minangkabau tulen. Tapi lebih dari itu, DPKP menerangkan kepada kita kemana condongnya pikiran Tan. Dan mengapa Tan harus rela berjuang demi rakyat proletar yang tertindas.

Buku ini dibagi menjadi dua jilid, menceritakan riwayat perjalanan Tan di Hindia-Belanda, Eropa, Filipina, Tiongkok, dan kembali ke Republik Indonesia. Menurut pengakuan Tan, lahirnya DPKP atas desakan kawan sejawatnya yang menginginkan Tan menulis riwayat hidup, asam garam perjuangannya. Tapi Tan merasa tak mungkin menulis riwayat hidupnya dari lahir, seperti halnya menulis sebuah autobiografi. Jadilah yang ditulisnya hanya saripati perjuangan serta reportasenya selama melawan imperialisme Belanda, Amerika, dan Inggris. Justru belakangan, orang lainlah yang menulis biografi Tan secara lengkap. Seorang sejarawan Belanda yang cukup kesohor : Harry A. Poeze.

Dari tebalnya buku yang saya baca ini, ada beberapa bab yang menarik hati. Bab 6 : Di Deli, menceritakan kondisi kuli kontrak yang merana, ditekan di bawah kaki tuan-tuan kebun yang kejam. Laporan Tan 90 tahun lalu ini, sangat mengiris hati. Berikut ini saya kutip apa yang Tan tulis : “Deli penuh dengan lanterfanters dan schiemiels Belanda. Tongkat besar kepala kosong dan suara keras. Inilah gambaran borjuis gembel di Deli. Mereka dapat lekas kaya, karena gaji besar dan mendapat bagian tetap dari keuntungan, apabila telah bekerja setahun saja. Kalau tidak salah, selain gaji puluhan ribu setahun itu, tuan kebun mendapat bagian keuntungan f 200.000. Tuan maskapai malah lebih dari itu, mendapat gaji tetap sebagai direktur dan adviseur beberapa maskapai, dari bunga modal yang ditanamnya, tetap juga menerima bagian yang lebih besar lagi dari keuntungan kebun. Tuan maskapai adalah pemegang andil yang terbesar, tetapi tidak bekerja, dan biasanya berada di tempat yang jauh, tamasya keliling Eropa. Yang kaya cepat bertambah kaya. Inilah impian kosong schiemels Belanda dengan tongkat besar di kebun Deli, di kamar bola di depan gelas bir dan wiskinya.

(lebih…)