Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunya-kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Penggalan Puisi Merdeka oleh Chairil Anwar
Mungkin banyak orang yang melewatkan membaca puisi-puisi Chairil Anwar. Alasannya tentu bermacam-macam. Kebanyakan berpendapat, puisi-puisinya terlalu rumit, melankolis, dan agak membingungkan. Namun bagi seorang Goenawan Mohamad, puisi-puisi Chairil cukup menginspirasi dirinya. Banyak Catatan Pinggir Goenawan, yang bermula dari semangat-semangat Chairil. Beberapa hari yang lalu di harian Sinar Harapan, saya membaca tulisan Mohammad Sobary. Dalam artikelnya, budayawan ini hendak menggugat rasa keberpihakan dan kebanggaan bangsa Indonesia terhadap yang berbau-bau asing. Seperti Goenawan, Sobary memulainya dengan potongan puisi karya Chairil. Mungkin Sobary ingin mengambil spirit Chairil pula. Yang meski telah wafat lebih dari 60 tahun, namun masih memberikan api kepada bangsa Indonesia.
Chairil Anwar adalah putra Situjuah yang ber-bako ke Taeh Baruah. Bagi Anda yang asing mendengarnya, dua daerah itu merupakan nagari-nagari di Payakumbuh, Sumatera Barat. Melihat caranya menulis, saya bisa memahami mengapa Chairil begitu kaya kosa kata dan memukau! Meski ia lahir di Medan, namun bapak-ibunya berbahasa Minang. Dari dua orang inilah — yang acap bertengkar lirih, menyindir, dan bakuempas — Chairil memperoleh dasar-dasar bertutur kata. Ketika pulang ke Payakumbuh, tak sedikit pula budaya lapau dan petatah-petitih memperkaya kosa-katanya. Apalagi ia cukup rapat dengan neneknya yang Minang totok. Memasuki usia remaja, lingkungannya-pun dipenuhi oleh tukang-tukang celoteh. Ada Asrul Sani, Rivai Apin, serta Rosihan Anwar si pencemeeh. Dari latar belakang yang begitu menonjol dalam hal berkata-kata inilah, Chairil tumbuh besar.
Menengok latar budaya Chairil, bolehlah kita menyingkap sedikit bagaimana kultur Minang dalam mengolah dan memaknai kata-kata. Bagi masyarakat Minang, berkata-kata bukan hanya kebiasaan sehari-hari. Namun juga sebuah prestise. Cobalah tengok, dimana-mana pasar yang banyak orang Minang. Hanya suara gaduh mereka saja yang terdengar. Di Pasar Jatibarang, dekat Indramayu, para pedagang Sunda dan Jawa terpaksa pula berteriak-teriak mengikuti si Minang. Kadang ada yang jengkel, namun banyak pula yang tersenyum-senyum melihat tingkah mereka. Bagi sebagian orang Minang, berbicara adalah langkah terpenting untuk memenangkan persaingan hidup. Mengeluarkan ide dan gagasan, merupakan cara yang terbaik bagi mereka untuk diakui di tengah-tengah masyarakat. Tak heran makanya, dalam setiap forum-forum adat semua penghulu yang hadir ingin angkat bicara. Tak terkecuali yang muda atau tua renta. Mereka beradu argumen dengan kata-kata kiasan dan sindiran yang menakjubkan.
Di dalam kultur Jawa, kita mengenal adanya pasemon. Yakni ucapan-ucapan dalam bentuk sindiran. Seperti misalnya bentuk pasemon Susilo Bambang Yudhoyono, yang sempat dianalisa oleh budayawan Sudjiwo Tedjo. Maknanya sama dengan di Minangkabau. Dalam bertutur tak elok rasanya jika menyampaikan sesuatu berterus terang. Namun di Minangkabau, ketidakterusterangan bukan berarti ambigu, melainkan hanya untuk menjaga perasaan lawan bicara. Perbedaannya, meski menggunakan kata-kata kiasan, orang Minang tetap lugas dan tegas dalam menyampaikan sesuatu. Seperti bait-bait puisi Chairil Anwar, yang penuh kias namun lugas dan tegas.
Dalam cuplikan puisi āDiponegoroā, terlihat bagaimana kiasan Chairil terhadap suatu perjuangan (hidup). Coba rasakan lirik ini : Punah di atas menghamba / Binasa di atas ditindas / Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai / Jika hidup harus merasai / Maju / Serbu / Serang / Terjang. Terasa ada suatu gairah dan energi yang terpancar di dalamnya. Atau dalam puisi yang cukup populer āAkuā. Chairil menggambarkan dirinya sebagai binatang jalang, bukan sosok heroik yang pantas dibanggakan. Meski puisi itu sebagai bentuk keprihatinan hidup, namun Chairil tetap optimis : Biar peluru menembus kulitku / Aku tetap meradang menerjang / Luka dan bisa kubawa berlari / Berlari / Hingga hilang pedih peri / Dan aku akan lebih tidak perduli / Aku mau hidup seribu tahun lagi. Disamping makna tersurat, puisi “Aku” hendak menyiratkan pula sifat Chairil yang egaliter : tak ingin menonjol sekaligus tetap punya sifat keakuan.

Evawani Alissa meresmikan patung Chairil Anwar di Rumah Budaya Fadli Zon (sumber : antarasumbar.com)
Mengenai sifat keakuan Chairil dan orang Minang pada umumnya, lebih cocok jika diartikan sebagai bentuk kemerdekaan individu. Kemerdekaan disini sepadan dengan sifat anti-penghambaan dan ketergantungan. Entah itu terhadap materi, pangkat, keluarga, atau pacar sekalipun. Untuk masalah yang satu ini, Chairil tak segan-segan menukilkannya dalam puisi āMerdekaā yang saya cuplikkan di atas. Atau yang lebih terkenal lagi, pada bait-bait āKrawang-Bekasiā sebagai berikut : Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi / tidak bisa teriak āMerdekaā dan angkat senjata lagi / Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami / terbayang kami maju dan mendegap hati? / ⦠Kami sudah coba apa yang kami bisa / Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa.
* * *
Lahir tahun 1922 dan wafat pada tahun 1949, umur Chairil tak sampai 27 tahun. Di usia yang seringkas itu, ia telah memberikan banyak makna. Chairil berhasil menuliskan lebih dari 70 syair, yang sebagian besar dihafal orang. Dalam dunia sastra Indonesia, namanya mendapatkan tempat yang terhormat. Ia berada dijajaran teratas bersama Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Pramoedya Ananta Toer. Bahkan H.B Jassin menobatkannya sebagai penyair Indonesia modern. Sedangkan A. Teeuw seorang kritikus sastra asal Belanda, memposisikannya sebagai penyair revolusioner yang banyak melakukan perubahan terhadap puisi-puisi Indonesia. Jika memperhatikan gaya penulisannya, puisi-puisi Chairil banyak yang menghentak, staccato, dan bersajak. Sesuai dengan semangat zamannya yang cepat dan bergegas. Meski puisi-puisinya multi-tafsir dan debatable, namun Chairil telah menciptakan genre-nya tersendiri. Genre angkatan ā45, yang menjadi simbol kemerdekaan Indonesia.
Mendefinisikan kepribadian Chairil, gampang-gampang susah. Namun setidaknya kita bisa menangkap cerita dari Sjamsul Ridwan, yang mengisahkannya sebagai orang yang pantang kalah. Menurutnya, dalam hal apapun Chairil selalu ingin menang. Sifatnya yang pantang kalah itulah yang membuatnya selalu dinamis, dan tak mau sejenak-pun berdiam diri. Dimanapun dan kapanpun, ia selalu menulis. Tak hanya di atas buku bersampul, di sehelai kertas rokok-pun ia mengoret-oret kata. Konon pada masa pendudukan Jepang, puisi-puisinya tersebar dalam kertas-kertas buram. Ketika itu, pemerintah kolonial tak memperkenankan karya-karyanya terbit, karena dianggap terlalu individualis.
Semasa remaja, Planet Senen – Jakarta Pusat merupakan tempat favoritnya. Sebab disini ia bisa bertemu dengan seniman-seniman partikelir : pengamen, pemain tonil, dan para penyair. Ia juga sering menyambangi perpustakaan sekedar untuk mencari inspirasi. Membaca buku-buku karangan Edgar du Perron, Rainer Maria Rilke, dan Hendrik Marsman merupakan kegemarannya. Chairil memang tergolong haus ilmu. Ia kerap kali didapati sedang merobek buku di perpustakaan, hanya untuk memperoleh tulisan yang ia inginkan. Selain bacaannya yang banyak, pergaulannya juga luas. Dalam bergaul ia tak pernah pandang bulu. Bahkan para pelacur Senen-pun acap kali ia sambangi. Ia tak segan untuk bergumul dan tidur di barak-barak mereka. Meskipun kaya pengetahuan dan pergaulan, namun Chairil miskin harta. Honor-honornya dari menulis, habis untuk makan dan minum seharian. Untuk menunjang hidup, ia sering bergantung kepada teman-temannya, seperti Usmar Ismail dan Rosihan Anwar.
Membaca syairnya yang berkisar pada kematian, agaknya jauh-jauh hari ia telah berfirasat akan mati muda. Hal ini bisa terlihat dari puisinya āYang Terempas dan Yang Putusā serta āCintaku Jauh di Pulauā. Uniknya, pada puisi terakhir ini, kematian-pun tak membuatnya lupa dengan sang kekasih : Manisku jauh di pulau / Kalau ku mati, dia mati iseng sendiri. Chairil memang pendamba wanita. Beberapa ada yang ia gilai. Tersebut diantaranya : Ida, Sri Ayati, dan Mirat. Nama-nama tersebut muncul di dalam puisi-puisi cintanya. Ada yang berisi rayuan atau sekedar memuji kemolekannya. Meski seorang bohemian, cinta Chairil hanyalah picisan. Banyak diantara mereka-mereka itu, yang digambarkannya anggun dan menawan, tak mampu ia gapai.
Setelah berpacaran dengan beberapa wanita, Chairil akhirnya menikahi gadis Karawang : Hapsah Wiraredja. Dari dialah Chairil memperoleh satu-satunya putri yang bernama Evawani Alissa. Tak sampai delapan bulan menikah, Hapsah minta cerai. Gaya hidupnya yang selebor ditengarai sebagai pangkal bala. Tak lama setelah itu, Chairil menghembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit CBZ (kini RSCM). Hasil diagnosa mengatakan ia terjangkit virus TBC. Untuk mengenang jasa-jasanya, pada setiap tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Perjalanan hidupnya yang singkat, agaknya telah sesuai dengan lirik puisinya : Sekali Berarti, Sudah Itu Mati.
sumber gambar : http://www.wikipedia.org
Lihat pula :
1. Dalam Kenangan : Buya Hamka.
2. 7 Karakter Nyentrik Haji Agus Salim.
3. Orang Minang, Peran, dan Pencapaiannya.