Mohammad Natsir : Bapak NKRI dan Simbol Politik Islam

Posted: 26 Maret 2025 in Biografi
Tag:, , ,

Natsir muda

Banyak orang yang tak tahu dengan Mosi Integral Natsir. Padahal peristiwa itu merupakan salah satu tonggak penting bagi keberlangsungan negeri ini. Dimana Indonesia yang sebelumnya terpecah-pecah menjadi beberapa bagian, dipersatukan ke dalam sebuah republik. Pada bulan April 1950, dihadapan anggota parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), Natsir menyatakan agar RIS dibubarkan. Dan seluruh negara bagian, diminta untuk bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mosi ini menjadi jawaban atas segala kemelut yang terjadi di daerah pasca Konferensi Meja Bundar (KMB). Kala itu banyak daerah yang kebingungan dengan hasil KMB yang menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara serikat. Akibatnya, banyak huru-hara yang memprotes keputusan tersebut. Setelah melobi beberapa pimpinan fraksi, Natsir akhirnya memperoleh kesimpulan bahwa negara-negara serikat mau membubarkan diri dan bergabung dengan Republik Indonesia. Kesimpulan itulah yang hingga kini menjadi landasan hukum, bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan.

Lima bulan setelah mengumumkan Mosi Integral, Natsir diangkat menjadi Perdana Menteri menggantikan Mohammad Hatta. Ia dilantik oleh Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 7 September 1950 dan menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia bersatu yang pertama. Baru saja menjabat, ia harus menghadapi berbagai pemberontakan di daerah, terutama di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Akibatnya kabinet ini lebih banyak mengurusi keamanan, tenimbang memikirkan kesejahteraan rakyat. Meski tergolong zaken kabinet, namun pemerintahan ini gagal membentuk koalisi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Saat itu, kabinet Natsir banyak diisi oleh orang-orang dari Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI), serta Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR). Sedangkan PNI yang menjadi pimpinan parlemen – kala itu diketuai R.M. Sartono – lebih banyak mengkritisi tenimbang mendukung pemerintah.

Meski banyak prestasi yang ditorehkan kabinet Natsir — seperti merancang Bappenas, menggodok RUU Pemilu, serta mereorganisasi Bank Indonesia, namun pemerintahannya tak berlangsung lama. Kabinet ini harus berakhir pada tanggal 21 Maret 1951, setelah memerintah selama 6 bulan 2 minggu. Selain cekcok dengan PNI, konon berhentinya Natsir sebagai Perdana Menteri juga disebabkan adanya perseteruan internal di tubuh Masyumi. Beberapa politisi senior keberatan kalau Natsir merangkap dua jabatan, sebagai Perdana Menteri sekaligus ketua partai. Setelah Natsir meletakkan jabatannya, posisi Perdana Menteri diambil alih oleh kawan separtainya : Sukiman Wirjosandjojo. Sukiman yang lebih disukai faksi Nahdlatul Ulama, kemudian menggandeng Suwirjo dari PNI untuk membentuk koalisi besar Masyumi-PNI.

Walau tak lagi duduk di pucuk pemerintahan, Natsir masih memegang peran penting dalam perpolitikan tanah air. Ia tetap menjadi Ketua Umum Partai Masyumi hingga tahun 1959. Lewat partai inilah ia sempat mempengaruhi wacana perpolitikan nasional dengan menyerukan ditegakkannya syariat Islam. Pada Pemilu 1955, partainya keluar sebagai pemenang kedua dengan memperoleh 8,4 juta suara. Dengan hasil ini Masyumi berhak atas 57 kursi di parlemen — sama seperti PNI. Tak cuma Natsir yang getol meneriakkan syariat Islam, tokoh Masyumi lainnya seperti Mohammad Roem, Syafruddin Prawiranegara, Hamka, Burhanuddin Harahap, Prawoto Mangkusasmito, serta Isa Anshari, juga lantang bersuara. Tantangan hebat datang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang justru alergi terhadap syariat Islam. PKI yang kala itu menjadi partai keempat terbesar, terus melancarkan serangan psikologi (psy-war) terhadap para politisi Masyumi. Natsir yang saat itu menjadi ketua umum, kerap menjadi sasaran tembak.

Ketika Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) hendak digagas, Natsir menyingkir dari hiruk pikuk perpolitikan Jakarta. Ia memboyong keluarganya ke Sumatera Barat dan mendukung gerakan koreksi tersebut. Pada Januari 1958, ia ikut pada pertemuan Sungai Dareh yang menghasilkan ultimatum kepada Kabinet Juanda. Tanggal 15 Februari 1958, PRRI diumumkan di Padang. Meski dianggap sebagai sosok penting, namun Natsir tak masuk ke dalam susunan kabinet. Ia lebih banyak mendukung pergerakan dari belakang. Setelah berperang selama dua tahun, gerakan inipun akhirnya tumbang. Tokoh-tokoh politik yang ada di belakangnya — kebanyakan dari Masyumi dan PSI, kemudian turun gunung dan menyerahkan diri.

Lantaran ikut dalam PRRI, pemerintah Soekarno mendakwa Natsir sebagai pemberontak. Ia-pun dipenjara tanpa melalui proses peradilan. Tak cuma itu, Partai Masyumi yang telah membesarkannya, juga ikut dibubarkan. Dari tahun 1962 hingga tahun 1966, Natsir menjadi tahanan politik. Semula ia ditahan di Batu, Malang. Kemudian dipindah ke Rumah Tahanan Militer Wisma Keagungan, Jakarta di tahun 1964. Setelah Soeharto menguasai pemerintahan dan kekuatan Soekarno mulai memudar, Natsir baru dibebaskan. Pada 26 Juli 1966, ia menghirup udara segar. Agaknya Soeharto membutuhkan dukungan dari aktivis-aktivis muslim, dan Natsir yang menjadi simbol politik Islam, dibutuhkan untuk memuluskan langkahnya ke kursi kepresidenan.

Setelah Orde Baru lahir, Natsir lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia dakwah. Pada tahun 1967, ia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Didirikannya organisasi ini, sebagai wadah berkumpulnya ex-anggota Masyumi yang karier politiknya sudah mati. Di organisasi ini, ia terus menjadi tokoh sentral hingga akhir hayatnya di tahun 1993. Di samping itu, Natsir juga aktif di berbagai organisasi internasional. Kepiawaiannya dalam berdiplomasi serta kedekatannya dengan tokoh-tokoh Islam dunia, telah mengantarkannya menjadi presiden organisasi Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress). Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid se-Dunia dan Anggota Dewan Eksekutif Rabithah Alam Islami yang berpusat di Mekkah. Melihat sepak terjangnya yang begitu luas, boleh jadi ia merupakan tokoh muslim Indonesia di abad ke-20 yang paling dihormati dunia. Gak salah kalau kemudian ia dianugerahi tiga doktor honoris causa, masing-masing dari Universitas Islam Lebanon, Universitas Kebangsaan Malaysia, serta Universitas Sains dan Teknologi Malaysia.

Natsir dilantik sebagai Perdana Menteri

Meski Natsir tak lagi aktif berpolitik, namun ia tetap menjadi simbol politik Islam di masa Orde Baru. Gagasan-gagasannya yang bertumpu pada penegakan syariat Islam, tetap terpatri di hati para aktivis muda. Salah satu penerus perjuangan beliau adalah mantan sekretaris pribadinya : Yusril Ihza Mahendra. Yusril yang dihari-hari terakhir kepemimpinan Soeharto berperan cukup penting, mengaku sebagai anak ideologis Natsir. Untuk memperjuangkan ide-ide Natsir terkait demokrasi dan politik keislaman, ia mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Meski partai ini tak sebesar Masyumi, namun ia telah mewarnai politik Islam pasca-reformasi. Yusril sempat beberapa kali masuk kabinet. Dan kini dalam Kabinet Merah Putih, ia didapuk sebagai Menteri Koordinator Hukum dan HAM. Selain Yusril, beberapa anak ideologis Natsir yang juga sempat hendak menghidupkan Masyumi adalah Ridwan Saidi dan Agus Miftah. Mereka mendirikan Partai Masyumi Baru (PMB) di tahun 1995. Berbeda dengan PBB yang berhasil menempatkan wakilnya di parlemen, di Pemilu 1999 PMB hanya meraih 152 ribu suara. Dengan hasil itu, partai ini tak mendapatkan satu kursi-pun.

Ideologi Natsir

Kalau kita melihat spektrum politik kontemporer, ada empat ideologi besar yang masih berkembang di tanah air. Yaitu nasionalis, sosialis, Islamis-tradisional, dan Islamis-modern. Keempat ideologi ini memiliki patronnya masing-masing yang tersambung kepada tokoh-tokoh politik di era 1940-1950-an. Tokoh-tokoh ini mirip seperti kakak kelas yang meng-influence adik-adik kelas untuk tetap melanjutkan ideologi mereka. Kalau orang-orang sosialis sering bertumpu pada pemikiran Sutan Syahrir, maka kaum nasionalis masih setia dengan ide-ide Bung Karno. Untuk kaum Islamis-tradisional, biasanya berpatron pada tokoh-tokoh NU, sedangkan kaum Islamis-modern banyak yang mengidolakan Mohammad Natsir. Dari beberapa partai Islam dan partai berbasis massa Islam saat ini, setidaknya ada tiga partai politik yang masih selaras dengan ideologi Natsir. Selain PBB, ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Meski PKS dan PAN tak mengakuinya secara langsung, namun banyak pimpinan dan anggotanya yang berkiblat pada ide-ide Natsir. Tak sedikit pula diantara mereka yang bercita-cita ingin mengembalikan kejayaan Masyumi. Pada masa Orde Baru, Partai Persatuan Pembangunan (PPP)-pun juga diwarnai oleh ideologi Natsir. Namun sejak era reformasi, partai berlambang ka’bah ini sudah bersimpang jalan dan cenderung ke arah Islamis-tradisional.

Dari sepak terjang Natsir selama memimpin Masyumi (1949-1959), ada tiga hal penting yang menjadi perhatian beliau — yang saya istilahkan dengan “ideologi Natsir”. Yang pertama, partai harus berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan. Dalam hal ini Natsir menekankan pentingnya Tuhan sebagai tujuan hidup, termasuk dalam kehidupan berpolitik. Natsir percaya bahwa dengan terintegrasinya politik dan nilai-nilai agama, maka para politisi akan memiliki panduan moral. Oleh karenanya dalam perdebatan di Konstituante (1956-1959), Natsir selalu mendorong agar nilai-nilai agama juga diintegrasikan ke dalam kehidupan berbangsa, yang mana hal ini termanifestasi dalam bentuk penegakan syariat Islam. Natsir berpendapat, tanpa adanya penegakan syariat, maka nilai-nilai ketuhanan akan sulit dijalankan.

Nah, disinilah bedanya Natsir dengan para politisi nasionalis. Bung Hatta misalnya, yang juga merupakan patron kaum nasionalis selain Bung Karno, melihat penegakan syariat Islam cuma seperti gincu. Hatta menilai syariat Islam tak perlu diformalkan sebagai ideologi negara, namun tetap menjadi ruh dalam kehidupan berbangsa. Ide ini ia lontarkan lantaran Indonesia tak dihuni oleh umat muslim semata. Hatta yang gandrung akan persatuan nasional, lebih melihat syariat Islam sebagai garam ketimbang gincu. Maksudnya, seperti garam yang tak terlihat (di air), tapi terasa asin ketika dikecap. Begitu pula dengan syariat Islam, yang tak tertulis sebagai ideologi negara, namun nilai-nilainya bisa dirasakan oleh masyarakat. Belakangan, ide ini juga dikembangkan oleh Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafi’i Maarif sebagai model Islam kultural.

Dalam berpolitik, Natsir juga menjunjung tinggi prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi yang ia anut adalah demokrasi yang berketuhanan (theist-democracy). Bukan demokrasi sekuler yang bisa membuat aturan baru yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Demokrasi menurutnya hanya boleh membicarakan masalah-masalah yang tak diatur secara gamblang dalam Qur’an dan Sunnah. Karena mendukung prinsip inilah, Natsir akhirnya mau menerima Pancasila sebagai dasar negara yang dihasilkan melalui proses demokrasi. Meski kecewa, Natsir tetap taat azas. Ia tak lantas memprotes hasil tersebut, apalagi mendukung gerakan khilafah yang diusung oleh Hizbut Tahrir. Sebagaimana diketahui, pada paruh kedua abad ke-20, gerakan ini sangat marak di seluruh dunia Islam. Gerakan ini hendak mengembalikan kejayaan kekhalifahan Turki-Utsmani dan membubarkan nation states yang terbentuk Pasca-Perang Dunia Kedua. Ide ini tentu ditolak mentah-mentah oleh Natsir.

Prinsipnya yang tak mendukung khilafah/teokrasi sebagai bentuk pemerintahan, ditulis sangat menarik oleh Yusril Ihza Mahendra. Dalam disertasinya yang berjudul “Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat-i-Islami (Pakistan)”, Yusril membandingkan laku politik Natsir dengan Abul A’la Maududi. Maududi yang merupakan politisi asal Pakistan, juga memimpin partai politik Islam di negaranya. Berbeda dengan Masyumi yang meraih simpati cukup besar, Jamaat-i-Islami yang didirikan Maududi mendapat resistensi dari rakyat Pakistan. Menurut Yusril ini dikarenakan Maududi yang fundamentalis tak mau menerima nilai-nilai baru. Sedangkan Natsir lebih bersikap terbuka, toleran, dan mau bekerjasama dengan pihak lain.

Sebagai seorang ideolog yang rigid, Natsir mampu bersikap profesional. Sebagai politisi, Natsir tahu mana yang menjadi hak partai, hak negara, dan hak pribadinya. Jangankan berpikir untuk melakukan korupsi, mengambil yang bukan menjadi haknya saja ia enggan. Terkait dengan fasilitas negara yang diterimanya, Natsir sangat berhati-hati. Ia langsung mengembalikan mobil dinasnya ke Istana, setelah mengetahui kabinetnya jatuh. Natsir juga tak mau menerima macam-macam fasilitas dari orang lain. Suatu ketika ia pernah menolak mobil Chevrolet Impala pemberian seorang pengusaha. Padahal ketika itu anaknya ingin sekali punya mobil baru. Saking sederhananya Natsir, ia kerap hidup berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Belakangan, ia membeli rumah di Jalan Jawa No. 28 (kini Jalan HOS Cokroaminoto), Jakarta Pusat, dengan pinjaman uang dari kerabat yang dicicilnya sampai lunas.

Ketika menjadi Perdana Menteri, ia bisa berdiri di atas semua golongan. Meski ia merupakan Ketua Partai Masyumi — partai politik Islam terbesar, namun kabinetnya juga diisi oleh empat menteri beragama Kristen. Dengan berbekal keyakinan atas ajaran tauhid, Natsir selalu mengembangkan sikap toleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya perbedaan tentang keyakinan, tak harus menjadikan seorang muslim untuk tidak bekerjasama dengan penganut agama lain. Dengan lawan-lawan politiknya, ia juga tak pernah punya sentimen pribadi. Ia tahu kalau D.N. Aidit tak suka dengannya lantaran ia membenci komunis. Namun ia tak pernah membenci Aidit secara personal. Karena profesionalitas dan sifat zuhud-nya itulah nama Natsir begitu harum. Dia dikenang sebagai negarawan yang sederhana dan menjadi salah satu politisi nasional yang terkemuka.

Tinggalkan komentar