Reruntuhan Benteng Portugis di Malaka : A Fomosa

Reruntuhan Benteng Portugis di Malaka : A Fomosa

Rivalitas politik dan kompetisi ekonomi antar raja-raja “Melayu”, ternyata telah menarik banyak peneliti asing untuk melakukan riset di Nusantara. Anthony Reid, Leonard Andaya, Timothy Barnard, dan Anthony Milner, merupakan sedikit dari peneliti-peneliti asing yang rajin mengungkap konflik dan persaingan di Selat Malaka. Bagi penulis sendiri, membaca kisah persaingan ini sama seperti halnya membaca rivalitas raja-raja di Laut Tengah : dari masa Romawi vs Kartago, hingga ke era persaingan Turki Utsmani melawan Venesia dan Spanyol. Yang menarik dari cerita itu, banyak pula kisah-kisah kelam seperti tipu muslihat, intrik, dan konflik internal yang kemudian menjadi petite histoire.

Selain karya peneliti asing, dari dalam negeri terbit pula buku-buku yang ditulis oleh Raden Hoesein Djajadiningrat, Amir Luthfi, dan Suwardi Mohammad Samin. Sebelum masa kemerdakaan dan bahkan jauh dari itu, di tanah Melayu sudah ada cerita-cerita yang mengupas kisah heroik pertempuran di Selat Malaka. Beberapa yang cukup terkenal antara lain : Hikayat Hang Tuah, Hikayat Siak, Syair Perang Siak, dan Hikayat Aceh. Sebagian isi catatan tersebut memang diambil dari fakta historis, namun sebagian yang lain lebih sebagai bentuk justifikasi kekuasaan. Sama seperti banyak buku sejarah yang ditulis pada masa Orde Baru.

Dalam artikel ini penulis akan mencatat kembali persaingan raja-raja “Melayu” di Selat Malaka, dengan membaginya ke dalam dua fase waktu : pertama 1511 – 1641, dimana terjadi kompetisi segi tiga antara Aceh, Johor dan Portugis, dan pada fase kedua (periode 1641 – 1824), mengenai persaingan antara Johor melawan Jambi, serta Johor melawan Siak. Pada masa ini kita juga akan melihat bagaimana pengaruh raja-raja Pagaruyung, petualang Bugis, serta para pedagang Inggris dan Belanda, dalam merebut supremasi di Selat Malaka.

Portugis Menyerang Malaka

Sejak berabad-abad lalu, Selat Malaka telah menjadi arena unjuk kekuatan antar kerajaan di Sumatera dan Semenanjung Melayu. Pentingnya penguasaan atas perairan sempit sepanjang 500 mil itu, makin terasa sejak jatuhnya Konstantinopel ke pangkuan Kesultanan Utsmani. Jalur Sutera yang sebelumnya menjadi jalur favorit para kafilah, telah diblokir oleh raja-raja Turki. Sehingga banyak pedagang Eropa dan Asia yang sebelumnya menggunakan jalur darat untuk berdagang, harus berlayar mengitari Tanjung Harapan, Lautan Hindia, hingga ke Selat Malaka. Sejak itulah Selat Malaka yang menjadi basis perdagangan orang-orang “Melayu”, menjadi jalur yang ramai. Karena pentingnya jalur perdagangan tersebut, banyak pihak yang meyakini bahwa jika menguasai Selat Malaka, maka kerajaannya akan kuat dan disegani. Mitos ini tak hanya dianut oleh raja-raja “Melayu” saja, namun juga dipercaya oleh para pelaut Portugis. Ini terlihat dari pernyataan Albuquerque yang mengatakan bahwa : “barang siapa yang menguasai Malaka, maka ia bisa menghancurkan perdagangan kaum Muslim dan mencekik Venesia.” Di abad ke-15, hampir keseluruhan perdagangan Eropa bergantung dari usaha para saudagar Muslim dan Venesia. Mereka bisa menentukan harga seenaknya, dengan mengatur suplai komoditas yang laku di pasaran. Dari perdagangan inilah kemudian, banyak orang Venesia dan masyarakat di tepi Samudera Hindia yang memiliki kekayaan berlimpah ruah.

Karena ingin melepas jeratan dari para pedagang Muslim dan Venesia, pelaut-pelaut Portugis berusaha untuk menguasai jalur perdagangan ke dunia timur. Setelah merebut Goa dari Kesultanan Bijapur, misi Portugis selanjutnya adalah menaklukan Selat Malaka. Sebagai langkah awal, Raja Portugal Manuel I mengutus Diego Lopes de Sequeira untuk menjalin hubungan dengan penguasa Malaka. Namun karena bisikan para pedagang yang berkumpul di Malaka, sultan malah menyerang utusan tersebut. Para pedagang itu menginformasikan bahwa kedatangan Portugis sebenarnya hendak merebut Malaka seperti yang telah mereka lakukan terhadap Goa, Hormuz, dan Socotra. Mendengar kabar yang kurang sedap, Alfonso de Albuquerque penguasa Portugis di India, membawa 18 buah kapal dan 1.200 orang tentara dari Goa menuju Malaka. Tanggal 25 Juli 1511, Portugis melancarkan serangan pertamanya. Namun serangan ini berhasil dipatahkan oleh pasukan Malaka. Serangan kedua terjadi pada tanggal 15 Agustus 1511, dan berhasil menghancurkan benteng pertahanan Malaka. Meski Kesultanan Malaka dilengkapi oleh 3.000 artileri dan 20.000 pasukan, namun kecanggihan militer Portugis menyebabkan mudahnya kesultanan itu ditaklukan.

Ternyata dalam penyerangan ini tak hanya faktor militer saja yang berperan, namun juga hal-hal non-teknis lainnya. Tan Malaka dalam bukunya “Dari Penjara ke Penjara” menulis adanya konflik internal di tubuh Kesultanan Malaka yang menyebabkan mudahnya pasukan Portugis merebut kerajaan tersebut. Walter De Gray Birch menyebutkan terdapat lima orang pedagang China yang sedang bersengketa dengan sultan, yang membantu Portugis menyelundupkan tentara mereka ke Malaka. Dengan bantuan tersebut, pasukan Portugis yang hanya berjumlah 1.200 serdadu dengan mudahnya mengepung benteng Kesultanan Malaka.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, menyebabkan berubahnya konstelasi politik di Timur Jauh. Portugis yang selama ini tak pernah dikenal, tiba-tiba datang merangsek dan mengancam kerajaan-kerajaan di Asia. Salah satu negara yang merasa khawatir atas kejatuhan Malaka adalah Tiongkok. Oleh karenanya, Kaisar Tiongkok berulang kali meminta Portugis untuk segera angkat kaki dari Malaka. Namun permintaan tersebut tak pernah mereka gubris. Akibatnya Kaisar Zhengde menjadi murka dan membunuh beberapa orang diplomat Portugis yang datang ke China. Tak hanya itu, kaisar juga memerintahkan para pedagang China untuk memboikot bisnis Portugis di Malaka. Selain Tiongkok, pihak lainnya yang terganggu dengan kehadiran Portugis ialah Kesultanan Demak. Karena itulah pada tahun 1512, putra Raden Patah : Pati Unus menyerang Portugis di Malaka. Dalam penyerangan itu, Rosihan Anwar menyebut ada 100 buah kapal dan 12.000 orang tentara yang dibawa ke Selat Malaka. Namun serangan tersebut gagal total, dimana hanya 7 kapal yang kembali ke Jawa. Di tahun 1521, sekali lagi Demak menyerang Portugis. Lagi-lagi Pati Unus gagal memenuhi ambisinya, dan ia wafat dalam invasi tersebut.

Pati Unus adalah seorang raja Demak yang ambisius. Dia merupakan salah seorang raja “Jawa” yang menginginkan penguasaan atas Selat Malaka dan seluruh pantai utara Jawa. Menurut Hikayat Banjar, ia pernah membantu Pangeran Samudera mendirikan Kesultanan Banjar. Mungkin bantuan tersebut sebagai pintu masuk Demak untuk menguasai Kalimantan Selatan. Mengenai asal usulnya hingga saat ini masih terdapat perbedaan. Ahli sejarah Belanda : Pigeaud dan De Graaf menyatakan bahwa ia adalah seorang Tionghoa muslim bernama Yat Sun. Namun Salman Iskandar menyebut ia adalah seorang Parsi yang bernama lengkap Raden Abdul Qadir bin Raden Muhammad Yunus. Pendapat lain datang dari Kardiyat Wiharyanto yang mengatakan ia putra Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak yang berdarah campuran Jawa dan Champa. Tak hanya silsilahnya yang diperdebatkan, penyebab kematiannya-pun hingga saat ini masih jadi tanda tanya. Sebagian sejarawan mencatat ia wafat ketika menyerang Portugis di Malaka. Namun G.P. Rouffaer berpendapat ia meninggal karena sakit paru-paru akibat tertusuk keris.

Setelah gagal mempertahankan Malaka dari serangan Portugis, kaum kerabat Sultan Mahmud Syah lari menuju Bintan. Dari Bintan mereka menyeberang ke Kampar dan ditempat itulah beliau mangkat. Putranya Alauddin Syah, lalu pergi meninggalkan Kampar menuju Pahang. Dari Pahang ia kemudian pergi ke Johor Lama dan mendirikan Kesultanan Johor. Setelah Sultan Alauddin Syah membangun pusat pemerintahan baru di muara Sungai Johor, perlawanan terhadap kekuasaan Portugis kembali berlanjut. Namun angkatan perang Johor yang tak begitu kuat, belum mampu menggoyahkan armada besar Portugis di Selat Malaka.

 
Kompetisi Segi Tiga : Aceh, Johor, dan Portugis

Salah satu meriam Aceh pemberian sultan Turki Utsmani (sumber : www.peradabandunia.com)

Salah satu meriam Aceh pemberian sultan Turki Utsmani (sumber : http://www.peradabandunia.com)

Tak lama setelah Kesultanan Johor berdiri, di kawasan utara Pulau Sumatera muncul kekuatan baru yang cukup digdaya : Kesultanan Aceh. Kesultanan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Lamuri di bagian timur Aceh. Raja-raja Aceh, seperti halnya penguasa Sriwijaya dan Pagaruyung, memiliki mindset bisnis yang cukup jitu. Sultan-sultan mereka dari masa Ali Mughayat Syah hingga Sultan Iskandar Muda, selalu berusaha untuk menjadikan Kutaraja (ibu kota Aceh) sebagai pusat bisnis di Selat Malaka. Dengan cara itu mereka bisa mendapatkan pajak perdagangan sekaligus mengontrol perniagaan di belahan barat Nusantara.

Untuk menguasai perdagangan di kawasan selat, Aceh secara konsisten melakukan invasi dan penghancuran terhadap pesaing-pesaing mereka. Johor dan Portugis merupakan dua kekuatan utama yang kerap menggangu rencana Aceh untuk memonopoli jalur perdagangan Selat Malaka. Oleh karena itu dua kekuatan tersebut selalu menjadi target penyerangan Aceh dari masa ke masa. Namun sebelum menghancurkan Johor dan Portugis, Aceh harus terlebih dahulu melumpuhkan kerajaan-kerajaan kecil di timur Sumatera. Hal ini untuk menghindari keberpihakan mereka pada dua kekuatan tersebut. Di awal dekade 1520-an, Aceh menundukkan Pasai sekaligus menggabungkan kerajaan tersebut ke dalam teritorial mereka. Serangan pertama Aceh terhadap Portugis terjadi pada tahun 1537. Ketika itu, Aceh di bawah pimpinan Sultan Salahuddin berhasil menempatkan 3.000 pasukannya di Malaka. Namun penyerangan ke benteng Portugis : A Fomosa, tak membuahkan hasil. Dua tahun kemudian Aceh menginvasi orang-orang Batak di selatan dan memaksa mereka berpindah agama. Pada tahun 1540 Aru di tanah Deli juga ikut diserang. Dalam penyerangan itu Aceh dibantu oleh 160 orang tentara Turki dan 200 prajurit dari Malabar. Atas bantuan koalisi Johor-Bintan, Aru dapat menghalau pasukan Aceh. Karena bantuan tersebut, hingga tahun 1564 Aru berada di bawah kekuasaan Johor.

Pada tahun 1547 Aceh sekali lagi menyerang Portugis. Lagi-lagi usaha di bawah pimpinan Alauddin Al-Kahar itu mengalami kegagalan. Meski gagal dan gagal lagi, namun semangat tentara Aceh untuk menyerang orang-orang Feringgi tak pernah pudar. Untuk memperkuat angkatan perang, pada tahun 1561 Alauddin Al-Kahar menjalin kerjasama dengan Kesultanan Utsmani. Sejak saat itu, Aceh sering menerima senjata-senjata mutakhir yang kemudian digunakan untuk melumpuhkan lawan-lawannya. Disamping membangun kekuatan militer, kerjasama ini juga bertujuan untuk memperlemah perdagangan Portugis di Samudera Hindia. Tak senang dengan kekuasaan Johor di Sumatera Timur, pada tahun 1564 Aceh menyerang Johor. Dalam penyerangan itu Aceh membunuh sultan Johor Alauddin Ri’ayat Syah I dan mengambil alih kekuasaan atas Aru. Tahun 1570 Aceh kembali menyerang Portugis. Namun untuk ketiga kalinya mereka gagal mematahkan perlawanan Portugis. Ekspedisi penyerangan selanjutnya terjadi pada tahun 1575 di bawah Sultan Ali Ri’ayat Syah I. Dalam penyerangan ini, Aceh yang dibantu Johor dan Bintan berhasil merusak beberapa kapal milik Portugis. Tak puas dengan penyerangan tersebut, tahun 1577 Aceh lagi-lagi menyerang Portugis. Namun kali ini giliran Aceh yang mengalami kerusakan fatal. Pada tahun 1582 dibawah Sultan Alauddin Mansur Syah, Aceh menyerang Johor. Namun karena pertolongan Portugis, Johor dapat mematahkan serangan itu.

Sultan Alauddin Mansur Syah adalah putra dari seorang raja Perak : Sultan Ahmad. Tahun 1575, ketika ayahnya memimpin kerajaan, sultan Aceh Ali Ri’ayat Syah I menyerang Perak. Invasi ini bertujuan untuk menguasai tambang-tambang timah di Semenanjung Malaya. Dalam penaklukan itu ayahnya mati terbunuh. Iba melihat anak dan janda Sultan Ahmad, Ali Ri’ayat Syah I memboyong keduanya pulang ke Aceh. Disana ia dirawat dan dibesarkan dalam lingkungan istana kerajaan. Ketika dewasa, Alauddin Mansyur Syah dijodohkan dengan putri Ali Ri’ayat Syah I : Putri Indra Ratna Wangsa. Beruntung baginya ia diangkat sebagai penguasa kerajaan yang dulu membunuh ayahnya. Alauddin Mansyur Syah naik tahta di penghujung tahun 1579, setelah tiga raja sebelumnya mati terbunuh. Meskipun berhasil duduk di tahta Aceh, namun banyak orang yang tak senang kepadanya. Pada tahun 1586, dalam keadaan kacau dan penuh gejolak ia dibunuh.

Sementara Aceh dalam keadaan centang perenang, giliran Johor yang menyerang Portugis di Malaka. Namun penyerangan yang begitu hebat itu gagal menawan pasukan Feringgi. Tak senang mendapat gangguan dari selatan, di bulan Agustus 1587 Portugis melancarkan serangan balasan. Akibatnya ibu kota Johor di Kota Batu luluh lantak. Melihat kehancuran yang begitu parah, Sultan Abdul Jalil (raja Johor ketika itu) berinisiatif untuk memindahkan ibu kota ke Batu Sawar. Di Makam Tauhid ia kemudian membangun pusat pemerintahan yang baru. Terletak di tebing Sungai Damar, istana itu merupakan tempat yang cukup aman dari serangan Portugis. Sultan Abdul Jalil merupakan raja Johor yang anti-Portugis. Karena sikapnya itu ia tak pernah diganggu oleh penguasa Aceh.

Di Aceh, setelah wafatnya Sultan Alauddin Mansur Syah, untuk kali keduanya mereka dipimpin oleh raja yang berasal dari luar. Dia adalah Sultan Buyung, salah seorang anggota keluarga Kesultanan Indrapura dari Minangkabau. Sultan yang bergelar Ali Ri’ayat Syah II itu, naik tahta berkat bantuan hulubalang Minangkabau yang berdagang di Kutaraja. Di masa pemerintahannya Aceh menghentikan politik konfrontasi dengan Portugis dan Johor di Semenanjung. Akibat kebijakan itu, Selat Malaka menjadi ramai dan perdagangan berkembang pesat. Huru-hara yang terjadi di kerajaan dalam sepuluh tahun terakhir berujung dengan terbunuhnya Sultan Buyung.

Setelah kematiannya, Aceh diperintah oleh Alauddin Ri’ayat Syah Sayyid Al-Mukammil. Dia merupakan seorang pelaut, keturunan raja Darul Kamal. Untuk merebut tahta, ia telah membunuh banyak orang : Sultan Alauddin Mansur Syah serta cucunya Raja Asyem, dan juga mungkin Sultan Buyung. Pada masa kepemimpinannya, Aceh mulai menerapkan sentralisasi dengan politik tangan besi. Orang-orang kaya yang tidak sehaluan dengannya akan terkena azab. Menurut John Davis, Sayyid Al-Mukammil telah membunuh 1.000 orang kaya di Kutaraja dengan tipu muslihat. Walaupun keras, namun ia dikenal sebagai pemimpin yang saleh dan telah menciptakan kemakmuran bagi rakyat Aceh. Di masa pemerintahannya, para pedagang besar dari Gujarat, Siam, Belanda, Inggris, dan Prancis, datang berniaga. Tak hanya itu, ia juga mengirim para diplomatnya ke Belanda. Hal ini sebagai bentuk titian muhibah, setelah pasukan Aceh pimpinan Laksamana Malahayati melumat kapal-kapal Belanda di Selat Malaka. Setelah diplomasi tersebut, hubungan Aceh dan Belanda semakin rapat. Keadaan ini tentu mengkhawatirkan pihak Portugis, yang takut kalau koalisi Aceh – Belanda akan mengusir mereka dari perairan Melayu.

Tahun 1604, Sayyid Al-Mukammil dikudeta oleh putranya sendiri Ali Ri’ayat Syah III. Pada masa pemerintahannya, giliran Portugis yang menyerang perairan Aceh. Penyerangan itu bermaksud hendak mengambil pulau di lepas pantai, yang akan dipakai sebagai pos perdagangan. Namun pasukan bergajah Aceh berhasil menghalau Portugis pulang ke Malaka. Hanya tiga tahun memimpin, Ali Ri’ayat Syah III digantikan oleh kemenakannya : Iskandar Muda. Ada yang menyebut ia dikudeta, namun sebagian sejarawan mengatakan Iskandar Muda naik tahta karena penghormatan masyarakat terhadapnya.

Sultan Iskandar Muda merupakan penguasa yang cemerlang sekaligus bertangan besi. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menjadi salah satu negeri termakmur di Nusantara. Ia menghidupkan majelis-majelis ilmu dan menegakkan hukum secara bijaksana. Wilayah kekuasaannya-pun cukup luas. Meliputi Semenanjung Malaya : Pahang, Perak, dan Kedah, serta sepertiga pantai timur Sumatera, dari Langkat, Deli, hingga Asahan. Dia juga berhasil melumpuhkan armada Portugis di Bintan dan menghancurkan Kesultanan Johor. Faktor keberhasilannya tentu karena ditopang oleh armada militernya yang kuat. Menurut Ricklefs, di masa kepemimpinannya Aceh memiliki angkatan laut yang tangguh, korps gajah, serta pasukan kavaleri yang menunggang kuda-kuda Persia. Ia juga memiliki 2.000 meriam terbaik yang didapat dari sekutu-sekutunya di Eropa. Setelah memperoleh pijakan yang kuat di Semenanjung, Aceh kembali menyerang Portugis di Malaka. Pada tahun 1629, Iskandar Muda mengirim beberapa ratus kapal dan 19.000 pasukannya ke Malaka. Namun kampanyenya tersebut belum berhasil. Meski dengan armada terbaik yang pernah dimiliki, Aceh lagi-lagi gagal memenuhi ambisinya memonopoli Selat Malaka.

Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda

Disamping berperang ada pula wilayah yang masuk ke dalam kekuasaanya dengan cara menikahi putri raja setempat. Seperti di Asahan, Iskandar Muda menikahi Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari sultan Kota Pinang, Batara Gurga Pinayungan Tuanku Raja Nan Sakti yang berasal dari Pagaruyung. Namun setelah Iskandar Muda wafat, Asahan di Sumatera Timur malah jatuh ke pihak lain. Pagaruyung dan Johor merupakan pihak-pihak yang kerap menyusahkan hegemoni Aceh di pantai timur Sumatera. Iskandar Muda wafat pada tanggal 27 Desember 1636. Kekuasaannya kemudian dilanjutkan oleh putra raja Pahang sekaligus menantunya, Iskandar Thani. Dimasa beliau tak banyak yang dicatat selain keberhasilannya menjadikan Aceh sebagai pusat pengajaran Islam.

Meski Aceh telah didukung oleh peralatan militer yang canggih, namun dalam hal strategi, Aceh masih kalah cerdik dari pedagang-pedagang Portugis. Memanfaatkan ambisi raja-raja Melayu, Portugis berhasil memprovokasi kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk saling mencurigai. Sehingga meski Johor dan Demak (kemudian Jepara) sering membantu Aceh, namun sebenarnya bantuan tersebut tak pernah sepenuh hati. Sebab antara Aceh, Johor, dan Jawa memiliki ambisi yang sama, ingin memonopoli Selat Malaka. Terlebih Jawa yang mengontrol suplai beras ke Malaka, tak mau begitu saja kehilangan perdagangannya yang menguntungkan dengan Portugis. Jadi meskipun mereka sering berkoalisi, namun karena lemahnya koordinasi dan ego masing-masing, menyebabkan tak pernah efektifnya penyerangan ke Portugis. Hingga kedatangan Belanda ke Malaka di tahun 1641, Portugis selalu menjadi momok bagi kerajaan-kerajaan Nusantara.

 
Bersambung :
Persaingan di Selat Malaka (1641-1824).
 
Sumber gambar : wikipedia.org

Komentar
  1. helen berkata:

    informasi yang lengkap dan sangat bermanfaat

    Suka

Tinggalkan komentar