Jepang bukan hanya tentang bunga sakura dan sushi. Negeri ini menawarkan pengalaman perjalanan yang lengkap : dari hiruk-pikuk metropolitan, hingga ketenangan pedesaan di kaki Gunung Fuji. Dari tradisi yang mendalam, hingga teknologi kekinian yang memukau. Kami berkesempatan merasakan kembali semua itu, dalam perjalanan singkat yang penuh makna. Sebenarnya, negeri sakura bukan rencana pertama kami. Tapi karena pengurusan visa ke Korea Selatan berbelit-belit, jadilah kami memutuskan untuk kembali ke negeri ini. Sebagaimana diketahui, bagi pemegang e-paspor, pergi ke Jepang sudah tak memerlukan visa lagi. Itulah mengapa, Jepang selalu menjadi pilihan keluarga Indonesia yang hendak merasakan kehidupan negara maju, sambil menikmati pemandangan alam dan keteraturan kota yang luar biasa.
Perjalanan ini boleh dibilang cukup mendadak. Karena baru direncanakan satu bulan sebelum keberangkatan. Kami sempat berdebar-debar, takut gak kebagian hotel yang diinginkan. Maklum, kami membawa anak-anak dan orang tua, sehingga membutuhkan family room yang ada dapurnya. Kebetulan kami ada beberapa hotel incaran yang boleh dibilang cukup affordable, dan yang terpenting berada di lokasi premium. Saking groginya, kami booking hotel terlebih dahulu, sebelum membeli tiket pesawat. Konyol kan! Oiya, bagi Anda yang ingin liburan ke Tokyo, penginapan adalah hal yang terpenting. Sebaiknya, pilih penginapan yang tak jauh dari lintasan kereta api, sukur-sukur nempel Yamanote line (Lihat : Memahami Tokyo Dari Jalur Kereta “Yamanote Line”). Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah dekat dengan supermarket. Buat kami yang muslim, mencari makanan halal menjadi persoalan tersendiri. Makanya kalau ada hotel yang dekat dengan restoran halal, apalagi ada resto Indonesia-nya, wah bakal jadi incaran. Nah, dalam artikel kali ini, izinkan kami untuk berbagi pengalaman selama di Jepang : mulai dari landing di Narita, berjalan-jalan di area Fuji, sampai menyambangi Imperial Palace.
* * *
Pagi itu, pesawat mendarat dengan mulus di Narita International Airport. Cuaca agak sedikit gerimis, membuat kami sedikit pesimis untuk menjalani hari-hari di sini. Ngebatin : “Wah ternyata di Tokyo lagi musim hujan ya, bakal gak bisa kemana-mana”. Setelah melewati imigrasi yang tak terlampau ramai, kami menuju baggage claim. Seperti biasa, pintu masuk di Jepang sangatlah ketat. Mereka memiliki anjing pelacak yang mencium tas pengunjung satu per satu. Alhamdulillah, proses di sini tak mengalami kendala. Setelah melalui lorong panjang, akhirnya kami tiba di area concourse, tempat dimana aneka loket tersedia. Mata kami jelalatan melihat banyaknya orang yang lalu lalang. Sampai akhirnya tertumbur pada satu loket yang menjual kartu Suica. Oiya, kalau ke Jepang wajib beli kartu ini ya (atau bisa juga kartu Pasmo). Kartu ini akan digunakan untuk tap transportasi umum dan jajan di supermarket. Ya mirip seperti e-Money atau Flazz di Indonesia. Setelah membeli sarapan di 7-Eleven (Sevel), kami langsung meluncur ke pusat kota Tokyo menggunakan Keisei Skyliner. Hanya butuh 40 menit untuk mencapai Stasiun Nippori, lalu kami lanjut ke daerah Shinjuku tempat menginap selama lima hari ke depan.
Kami bermalam di Hanabi Hotel, sebuah penginapan sederhana yang berada di kawasan Shin-Okubo. Lokasinya sangat strategis, hanya 150 meter dari Stasiun Shin-Okubo dan 350 meter dari Stasiun Okubo. Di sini banyak sekali pilihan makanan, dari sushi, ramen, katsu, hingga nasi kari khas Jepang. Bagi pelancong muslim, di sekitar sini ada pula restoran dan toko grosir halal. Rata-rata penjualnya berkebangsaan India. Dulu ada juga Cafe Merah Putih yang pemiliknya berasal dari Padang. Tapi sekarang kafe ini sudah tutup. Selain 7-Eleven yang cuma sepelemparan batu, di sini juga dekat dengan supermarket oleh-oleh : Don Quijote. Jadi kalau mau ke Donki gak perlu jauh-jauh ke Kabukicho atau Shibuya.
Setelah makan siang, sambil menunggu waktu check-in kami menelusuri jalan raya Shin-Okubo. Selain resto Jepang, di kiri kanan jalan juga banyak dijumpai toko pernak-pernik khas Korea. Tak salah kalau kawasan ini dikenal sebagai “Koreatown”-nya Tokyo. Puji Tuhan, kamar sudah bisa ditempati jam 1 siang, jadi kami gak harus menjadi “gelandangan” lebih lama lagi (umumnya hotel-hotel di Jepang baru bisa check-in jam 3 siang). Setelah berganti pakaian dan istirahat sejenak, malam hari kami langsung menuju Shibuya, salah satu distrik paling terkenal di Tokyo. Tujuan pertama kami adalah patung Hachiko. Konon Hachiko adalah seekor anjing yang setia menunggu tuannya yang sudah tiada. Kisahnya yang mengharukan, menjadikan patung ini sebagai simbol kesetiaan dan menjadi spot foto wajib bagi wisatawan. Selesai berkodak ria, kami lanjut ke Shibuya Scramble Crossing. Ini merupakan persimpangan tersibuk di dunia. Saat lampu berubah hijau, ratusan orang dari segala arah menyeberang secara bersamaan. Suasana ini begitu ikonik dan menyenangkan — seperti berada dalam film Jepang yang sering kami tonton. Setelah puas melihat-lihat lampu yang berpendaran, kami berjalan-jalan sambil kulineran di sekitar Shibuya. Kami sempat mencoba pancake koin 10 yen yang sedang viral di Jepang. Ternyata mozzarella-nya memang seenak itu. Malam pertama ditutup dengan sedikit belanja di toko fesyen GU, dan membeli sembako untuk dimasak di hotel.
Hari kedua dimulai dengan sarapan ringan yang kami beli di supermarket belakang hotel. Setelah selesai sarapan, kami berangkat ke Asakusa, salah satu distrik tua yang masih mempertahankan nuansa tradisional. Di sini berdiri megah Kuil Senso-ji, kuil Budha tertua di kota ini. Di depan kuil, terdapat pagoda setinggi lima lantai, dan taman cantik di sebelah kiri dan kanannya. Jalan masuk menuju kuil : Nakamise Street, dipenuhi oleh toko-toko suvenir, makanan ringan, dan yukata berwarna-warni. Sebelum ke Nakamise, kami bermain-main dulu di tepi Sungai Sumida. Dari sini kami melihat-lihat cruise yang berlayar serta para penarik becak yang berlari membawa pelancong. Sambil mengudap onigiri dan ayam-ayaman khas Sevel, kami memandangi Tokyo Skytree yang berdiri anggun. Tak lupa kami mengabadikan gambar untuk kenang-kenangan di kemudian hari. Setelah lewat tengah hari, kami makan siang di restoran ramen halal : Red Dragon. Letaknya kira-kira 100 meter dari Stasiun Asakusa. Dari ulasan yang saya baca, ternyata resto ini merupakan salah satu pilihan para muslim traveler. Ramen di Red Dragon memiliki rasa yang otentik, kuahnya pekat dan kaya akan rempah. Yang tak kalah nikmat adalah chicken karage-nya yang krispi. Dengan porsi cukup besar, harga makanan di sini sangatlah berpatutan. Oiya, pengelola restoran ini adalah seorang Chinese muslim yang cukup ramah.
Setelah perut terisi, kami meluncur ke Ginza, distrik perbelanjaan mewah yang dipenuhi butik kelas atas. Tujuan utama kami kesini adalah Uniqlo Ginza, salah satu flagship store terbesar merek tersebut. Toko ini memiliki 12 lantai, dengan koleksi eksklusif di setiap lantainya. Di bagian atas gedung, terdapat kafe Uniqlo yang tak ditemukan di Indonesia. Setelah puas window shopping di Uniqlo, kami mampir sebentar ke GU, sister brand Uniqlo yang harganya lebih bersahabat. Karena cuaca sudah mulai mendung, kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Dengan menaiki kereta bawah tanah Ginza line, kami transit di Shibuya dan menyambung ke Stasiun Shin-Okubo.
Malam harinya, kami berkunjung ke Harajuku. Meski Takeshita Street sudah tak seramai di siang hari, namun nuansa uniknya masih tetap terasa. Mungkin karena sudah malam, kami tak lagi menjumpai anak-anak muda yang berpenampilan edgy. Selanjutnya, kami menuju ke Shinjuku, dan berfoto di depan patung godzilla. Walau tergolong baru, namun patung di atas Toho Cinemas itu sudah menjadi salah satu ikon Tokyo. Pemandangan malam Shinjuku, dengan lampu neon dan keramaiannya adalah suguhan visual yang sulit dilupakan. Oiya, sebelum pulang ke hotel kami sempat singgah di Don Quijote Kabukicho. Karena disana ramai sekali, dan badan sudah terasa letih, akhirnya cuma sempat membeli beberapa pernak-pernik.
Hari ketiga adalah highlight dari seluruh rangkaian perjalanan kami, yaitu tur sehari penuh ke Fuji-Kawaguchiko. Kami mengikuti one-day tour yang diselenggarakan oleh Gogoday Travel. Agar tak kehabisan, kami mem-booking paket tur tersebut jauh-jauh hari melalui aplikasi Klook. Dalam tur kali ini, ada lima titik pemberhentian. Yang pertama adalah Oshino Hakkai. Sebuah desa tradisional yang dikenal dengan delapan mata airnya yang jernih, yang berasal dari salju Gunung Fuji. Kami menyusuri jalanan kecil yang dipenuhi rumah-rumah tradisional, sambil menikmati udara pegunungan yang sejuk. Di sini kami hanya berhenti selama satu jam sebelum melanjutkan perjalanan ke Oishi Park. Taman Oishi merupakan taman bunga yang cukup indah, yang berada di tepi Danau Kawaguchi. Kami berjalan-jalan di antara hamparan lavender dan bunga musiman lainnya, dengan latar belakang Gunung Fuji yang sedikit berawan. Kami juga sempat singgah ke kafe di dekat taman, dan mengambil foto dari lantai dua kafe tersebut.
Sebelum lanjut ke spot selanjutnya, kami sempat mampir di Lawson. Di kawasan Fuji-Kawaguchiko banyak sekali minimarket yang berlatar Gunung Fuji. Nah, salah satu yang ikonik ialah Lawson yang kami singgahi. Di sini, kami membeli kopi kaleng, roti, dan onigiri untuk dinikmati selama perjalanan. Spot berikutnya adalah toko jam Hikawa. Konon spot ini sudah menjadi kunjungan wajib wisatawan yang hendak melihat Fuji dari sisi yang berbeda. Dengan background jalan lurus dan lampu lalu lintas yang unik, banyak orang yang mengambil gambar hingga ke tengah jalan. Kebetulan lalu lintas di sini tak terlalu ramai, sehingga bisa menjadi tempat foto para pelancong. Destinasi terakhir adalah Arakurayama Sengen Park. Di taman ini terdapat kuil yang terkenal dengan pagoda lima tingkat berwarna merah, yang berpadu sempurna dengan latar belakang Gunung Fuji. Ke tempat ini sangatlah melelahkan. Jika hendak mendapatkan pemandangan yang indah, harus menaiki lebih dari 400 anak tangga. Tapi setiap langkahnya, terbayar dengan pemandangan yang menakjubkan.
Hari keempat dimulai dengan kunjungan ke Imperial Palace, tempat tinggal resmi kaisar Jepang. Kami turun di Stasiun Tokyo dan langsung disambut terik matahari yang menyengat. Sebagai informasi, ada beberapa pintu yang dapat diakses untuk menuju Imperial Palace. Yang sering dilalui wisatawan, termasuk kami, adalah Marunouchi Square. Lapangan ini cukup besar – kira-kira dua kali lipat lapangan Stasiun Jakarta Kota. Dari tempat ini, kami bisa melihat Marunouchi Building dan gedung Stasiun Tokyo. Kedua gedung ini sudah direnovasi berulang kali, dan menjadi saksi bisu keganasan tentara Sekutu kala Perang Dunia Kedua. Dari Marunouchi Sqaure kami berjalan ke arah barat sejauh 400 meter, hingga bertemu benteng peninggalan Kekaisaran Edo. Meski sudah berusia lima setengah abad, namun benteng ini masih terlihat kokoh. Seperti halnya benteng di abad pertengahan, benteng Edo juga dikelilingi parit besar. Dari situ sekitar 200 meter, kami tiba di pintu gerbang Imperial Palace. Meski bagian dalam tidak bisa diakses bebas, East Garden dan area luar sangat indah untuk dijelajahi. Kami berjalan menyusuri taman yang rapi dan tenang, dengan pohon pinus dan batuan khas Jepang.
Siang hari kami mengunjungi Akihabara, surga para pecinta anime dan manga. Di sini kami sempat mencicipi ramen halal di warung makan Nikoniko Mazemen. Meski berukuran kecil, namun warung ini memiliki menu yang cocok di lidah. Dari perawakannya, koki yang memasak seperti berasal dari Pakistan/India. Di area ini, kami menyusuri deretan toko elektronik dan toko-toko game retro. Ada pula toko-toko yang menjual action figure, konsol klasik, dan merchandise anime dari berbagai era. Bagi penggemar budaya pop Jepang, Akihabara adalah destinasi wajib yang bisa membuat lupa waktu.
Hari terakhir di Jepang, kami ingin menyerap sebanyak mungkin kenangan. Pagi itu, kami memutuskan untuk mengunjungi Tokyo Metropolitan Government Building di Shinjuku. Gedung ini memiliki observatorium gratis yang menawarkan pemandangan 360° kota Tokyo. Jika cuaca cerah, Gunung Fuji bisa terlihat dari sini. Tapi sayang, pagi itu Fuji tak mau menampakkan wajahnya. Dari atas gedung ini kami bisa melihat tata ruang kota Tokyo yang rapi. Jalan-jalannya, trotoarnya, serta taman-tamannya. Dari kejauhan nampak pula Tokyo Skytree, Tokyo Tower, dan Shibuya Sky. Taman Yoyogi dan Shinjuku Gyoen Park, terlihat jelas di depan mata. Dari atas gedung ini kami bisa mempelajari, bagaimana sebuah kota dibangun dan dirawat. Tak salah jika Tokyo sering dinobatkan sebagai salah satu kota terbaik di dunia.
Perburuan ramen halal masih terus berlanjut. Kali ini kami berkunjung ke Halal Wagyu Ramen di samping Stasiun Okubo. Restoran ini ternyata menjadi langganan turis Indonesia. Ketika makan di sini, kami menjumpai beberapa orang Indonesia yang sedang bersantap siang. Menu andalannya adalah wagyu ramen, yang menurut saya lebih enak dari ramen di Red Dragon. Setelah berbincang-bincang dengan pelayannya yang orang Indonesia, saya baru mengetahui kalau di Okubo banyak tenaga kerja asal Indonesia. Pantas tak jauh dari resto ini ada Toko Indonesia yang menjual snack dan bumbu-bumbu dari Indonesia.
Setelah kelar makan siang, kami menuju ke Ueno Park. Taman ini terletak tak jauh dari Stasiun Ueno, dan menjadi tempat favorit warga lokal untuk berjalan sore. Di sini kami menyaksikan atraksi sulap, sembari melihat-lihat pohon sakura yang sedang tak berbunga. Sambil duduk menikmati kudapan ringan, kami benar-benar merasakan kedamaian Tokyo dari sisi yang lebih santai. Tak jauh dari taman, kami mampir ke Ameyoko Street, pasar jalanan yang terkenal dengan aneka camilan hingga kosmetik. Di sini kami sempat membeli buah-buahan potong serta tanghulu. Karena belum solat zuhur dan ashar, jam 6 kurang kami putuskan untuk cabut dari Ueno. Kami kembali ke hotel untuk bersiap-siap sekaligus melaksanakan jamak solat. Ketika ikut solat berjamaah di salah satu musala, saya menjumpai orang-orang dari berbagai etnis. Yang cukup mencolok adalah orang Kazakh dan Uzbek, yang jarang sekali saya jumpai ketika ke luar negeri.
Sore berganti malam, dan waktu-pun terus bergulir. Tak terasa waktu kami di Tokyo tinggal beberapa jam lagi. Sebelum menuju bandara, kami memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu. Kami memilih Bintang Bali di seberang Stasiun Okubo yang sudah kami tandai tadi siang. Di sini kami memesan beberapa menu, dimana tak ada satupun yang gagal. Saya sempat berbincang-bincang dengan koki sekaligus pemilik resto ini yang ternyata orang Surabaya. Dari ceritanya, saya berkesimpulan kalau ia lebih memilih hidup di Indonesia tenimbang di Jepang. Menurutnya, meski pendapatan disana lumayan tinggi, tapi biaya hidupnya juga tak bisa dibilang murah. Ia juga bercerita, sebelum memberanikan diri membuka resto di Jepang, dia sempat menjadi koki di Bali. Karena itulah restonya ia namai Bintang Bali.
Selesai menikmati masakan Indonesia, kami bergegas menuju airport. Perjalanan menuju bandara ditempuh dalam waktu 45 menit. Sekitar jam 22.45 kami tiba di Terminal 3 Haneda International Airport. Keberangkatan kami yang seharusnya dijadwalkan jam 2 malam, harus ditunda selama satu jam. Pukul 2.50 himbauan boarding pesawat sudah terdengar. Kami yang terkantuk-kantuk harus antri berbaris memasuki lambung pesawat. Saat melewati garbarata dan menatap ke arah luar, ada rasa yang bercampur : antara bahagia, puas, dan sedikit sedih meninggalkan negeri ini.




