Bagi sebagian orang yang bekerja di Jalan T.B. Simatupang, Depok merupakan salah satu pilihan realistis untuk mencari tempat tinggal. Sebab kota berpenduduk 2 juta jiwa itu, secara lokasi tak jauh dari kawasan tersebut. Selain cukup dekat, harga rumah di Depok juga masih terjangkau. Area Perumnas Depok (atau yang dikenal dengan Depok 1 dan 2) misalnya, masih banyak menawarkan hunian di kisaran Rp 500 juta. Apalagi rumah-rumah lama yang ibaratnya cuma beli tanah, mungkin masih ada yang di bawah itu. Berbicara mengenai Depok, memang kota ini bermula dari Perumnas Depok. Perumnas ini dibangun di pertengahan 1970-an, bersamaan dengan Perumnas Klender, Perumnas Bekasi, dan Perumnas Tangerang yang merupakan proyek strategis pemerintah. Dulu satu-satunya jalan yang menghubungkan Jakarta dengan Perumnas Depok, hanyalah Jalan Raya Bogor. Jalan Lenteng Agung dan Margonda, masih berupa jalan kecil yang hitungannya sebagai jalur alternatif.
Tapi semenjak Universitas Indonesia (UI) dibuka di tahun 1987, ruas Lenteng Agung dan Margonda dijadikan koridor utama. Jalan Lenteng Agung yang sebelumnya banyak persimpangan zigzag menyeberangi rel, ditutup dan diganti jalan sebidang dua arah. Untuk mengurangi kemacetan di simpang tiga Jalan Lenteng Agung, Margonda, dan Akses UI, di pertengahan 1990-an dibangunlah flyover. Pembangunan jalan layang ini atas desakan sivitas akademika UI yang saban hari terjebak macet. Tak hanya jalan layang, Pemda Bogor (kala itu Depok masih di bawah Kabupaten Bogor) juga memperluas ruas Jalan Margonda yang sebelumnya hanya satu lajur menjadi dua lajur. Sejak saat itu menjamurlah warung-warung makan, kios foto kopi, warnet, dan game station di sepanjang Margonda. Terlebih Universitas Gunadarma yang sebelumnya hanya ada di Salemba, juga membuka kampusnya di Pondok Cina. Jadilah kampung Pondok Cina yang berada di sebelah kanan-kiri Margonda, berubah menjadi kampung mahasiswa yang mirip seperti Kaliurang di Jogjakarta.
Cinere, “Anak Jaksel” yang Jadi Orang Depok
Pada tahun 1999, Depok naik status menjadi kotamadya. Luas wilayah kota inipun membesar ke Cimanggis, Sawangan, Limo, hingga Cinere. Salah satu kawasan yang cukup menarik adalah Cinere. Jika dilihat di peta, wilayah Cinere agak menjorok ke arah Jakarta Selatan (Jaksel). Jarak dari Cinere ke Kebayoran Baru (pusat Jaksel)-pun, lebih dekat dibandingkan ke Jalan Margonda (pusat Depok). Secara kultur dan pergaulan, orang-orang Cinere lebih sering berhubungan dengan warga Jaksel. Banyak para pemukim yang lahir dan besar di Cilandak atau Cipete, yang kemudian membeli rumah di Cinere. Awalnya, kawasan Cinere dikembangkan oleh PT Megapolitan Developments di tahun 1976. Berbeda dengan Perumnas Depok yang menyasar kaum menengah-bawah, kawasan Cinere justru diperuntukkan bagi kalangan menengah dan menengah-atas. Di awal 1990-an, sebelum pusat perbelanjaan dan resto menjamur di Cinere, warga sini sering berbelanja ke Fatmawati, Pondok Indah, ataupun Blok M. Anak-anak mereka-pun banyak yang bersekolah di seputaran Jaksel. Maklum, pada saat itu belum ada sekolah bagus di kawasan ini. Karena sudah terpapar dengan budaya Jaksel, sebagian dari mereka-pun enggan dianggap sebagai orang Depok. Terlebih, tak ada progress yang berarti setelah Cinere bergabung dengan Depok.
Kini setelah lebih dari dua setengah dasawarsa bersama Depok, kondisi Cinere tak lebih baik dibandingkan akhir 1990-an lalu. Jalan-jalan disini masihlah sempit, dan transportasi online sering mangkal seenaknya. Kesemrawutan semakin menjadi-jadi sejak daerah ini secara ugal-ugalan membangun pertokoan dan resto yang tak memiliki ruang parkir yang cukup. Akibatnya, banyak pengunjung yang meletakkan mobilnya di bahu jalan. Kondisi ini sering dijumpai di sepanjang ruas Jalan Cinere Raya dari pertigaan Jalan Bandung hingga Cinere Bellevue. Beban jalan ini semakin bertambah berat sejak dibangunnya perumahan baru di kawasan Limo dan Sawangan secara massif. Pengendara dari arah Sawangan yang menuju Jakarta, ikut pula berebut jalan di ruas tersebut. Memang sekarang di Limo sudah ada gerbang tol. Tapi tarifnya gak masuk akal. Warga Limo yang hendak ke Pondok Indah misalnya, harus membayar tiga kali tarif yang kalau ditotal seharga empat liter Pertalite.
Sawangan, Pusat Pertumbuhan Baru yang Semakin Akut
Setelah Perumnas Depok dan Cinere tak mungkin lagi dikembangkan, para developer mulai memburu tanah-tanah murah di sekitar Sawangan. Pada dekade 1990-an, masih banyak orang yang enggan untuk bermukim disini. Bagi sebagian besar komuter, Sawangan masih dianggap sebagai “tempat jin buang anak”. Kalau Anda pernah nonton serial Si Doel Anak Sekolahan, beberapa adegan sinetron tersebut mengambil setting di kawasan ini. Dari serial tersebut kita bisa melihat secara umum situasi Sawangan di era 1990-an. Banyak jalan yang masih becek dan kebun-kebun di tengah perkampungan. Kondisi Sawangan berbalik 180° setelah dibangunnya Mesjid Dian Al-Mahri, atau yang dikenal dengan Mesjid Kubah Emas. Sontak mesjid ini menjadi tujuan wisata rohani bagi warga Jabodetabek, dan sebagian warga Banten-Jawa Barat. Saking padatnya pengunjung ke mesjid ini, Jalan Raya Meruyung yang cuma selebar 12 meter selalu mengalami kemacetan.
Meski sempat menjadi ikon Depok, kini popularitas Kubah Emas agaknya telah memudar. Terakhir saya melintasi Jalan Raya Meruyung dua tahun lampau, tak ada lagi kerumunan pengunjung seperti di awal dekade 2010-an lalu. Meski mesjid ini tak lagi menjadi tempat wisata, namun beban Jalan Raya Meruyung tak lantas berkurang. Orang-orang yang menghindari macet di Jalan Sawangan dan Jalan Muchtar, banyak yang memilih melintasi jalan ini. Sejak jalan tol Desari (Depok-Antasari) dibuka tahun 2020 lalu, kemacetan di ruas ini semakin menjadi-jadi. Warga Citayam yang sebelumnya tak pernah melewati Jalan Raya Sawangan, kini ikut melintasinya. Gak salah kalau di ruas tersebut, untuk jarak dua kilometer harus ditempuh hingga satu jam. Kemacetan di Jalan Raya Sawangan dan Jalan Muchtar disebabkan adanya petugas dadakan (baca : Pak Ogah) di beberapa titik persimpangan. Mereka sering memprioritaskan pengendara yang memberi receh, sehingga menghambat lalu lintas di jalur utama. Yang paling parah adalah di simpang Parung Bingung (Jalan Meruyung), Jalan Pemuda, dan Jalan Enggram. Meski walikota Depok yang baru Supian Suri berjanji untuk memperlebar ruas jalan ini, namun hingga tulisan ini diturunkan, belum nampak tanda-tanda rencana tersebut akan direalisasikan. Malah ia mewacanakan akan memperlebar Jalan Raya Keadilan — yang menghubungkan Sawangan dan Citayam — sebagai alternatif warga Depok yang hendak menuju Tol Desari.
Harusnya, Depok Bukan Cuma Margonda!
Macetnya Sawangan dalam satu dekade terakhir, menandakan kalau pertumbuhan Depok tak hanya di sekitar Margonda. Oleh karena itu, sudah saatnya Pemkot Depok juga memperhatikan kawasan lain di sebelah barat dan timur kota. Terlebih di kawasan barat, mulai bermunculan kelas menengah baru yang ditandai dengan kehadiran beberapa kluster premium. Pembangunan jalan raya yang representatif — diikuti dengan sistem drainase dan pedestrian yang layak — mesti harus dilakukan. Agaknya Pemkot Depok bisa mencontoh Kota Bekasi, yang dalam 10 tahun terakhir banyak membangun ruas arteri baru dan flyover untuk mengurangi kemacetan di ruas jalan utama. Dan Jalan Margonda yang sudah serancak itu, tak perlu lagi dibongkar pasang hanya untuk memperlihatkan kinerja sang walikota. Alihkan saja anggaran bongkar pasang trotoar Margonda, untuk membenahi Jalan Raya Sawangan, Jalan Beji-Kukusan, Jalan Raya Citayam, dan Jalan Tole Iskandar.
Jika dibandingkan kota-kota satelit lainnya, nampak kalau Depok masih tercecer di belakang. Jenama-jenama besar hanya terfokus di ruas Jalan Margonda. Begitu pula pusat perbelanjaan menengah yang representatif, cuma di Margo City. Itupun sudah tergolong obsolete jika dibandingkan dengan mal-mal premium lainnya di Jabodetabek. The Park Sawangan dan Pesona Square yang sempat membetot perhatian, belum bisa dikategorikan sebagai mal kelas menengah. Apalagi Detos dan D’Mall, lebih menyasar ke semua kalangan. Kalau saja Pemkot Depok mau memfokuskan untuk menata kawasan-kawasan baru di sebelah barat dan timur kota, tak pelak brand-brand besar akan mau menggelontorkan investasinya disini. Faktor lain tertinggalnya Depok dibanding Bekasi atau Tangerang, karena disini tak ada pengembang besar – macam Summarecon, Sinarmas, Agung Sedayu, atau Metland — yang membangun kota mandiri. Kita tahu, empat developer itulah yang kini memiliki kredensial sangat baik dalam mengelola kota modern.
Yang juga perlu menjadi perhatian adalah kualitas udara Depok yang kian hari semakin memprihatinkan. Berdasarkan katadata.co.id yang mengutip laporan Air Quality Index, bahwa di tanggal 7 Agustus 2025 Depok menjadi kota dengan tingkat polusi terburuk kedua di Indonesia. Posisi ini sedikit lebih baik dibandingkan Tangerang Selatan yang dalam beberapa bulan terakhir konsisten berada di urutan teratas. Padahal kalau kita melihat lanskap Depok, kota ini cukup dekat dengan pegunungan. Selain itu, Depok juga tak memiliki kawasan industri besar ataupun pembangkit listrik. Lalu, dari mana sumber polusi itu datang. Apakah karena tiupan angin? Yang lebih mengherankan, di sebelah utara Depok terdapat Hutan UI yang bisa dibilang sebagai paru-paru kota. Gak kebayang bagaimana seandainya Depok tanpa Hutan UI. Boleh jadi sudah menjadi kota tercemar di Indonesia.
* * *
Berbeda dengan Bekasi, Bogor, serta Tangerang; Depok memang tak pernah direncanakan untuk menjadi kota besar. Daerah ini dulunya hanya tanah partikelir yang dimiliki oleh seorang pejabat VOC : Cornelis Chastelein. Chastelein membeli tanah tersebut di akhir abad ke-17, dikarenakan VOC membutuhkan dana untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Tanah seluas 12,4 km² itu, kini terbentang di kawasan yang dikenal dengan nama : Depok Lama. Sewaktu kanak-kanak saya sempat bertanya-tanya, mengapa daerah di selatan Perumnas Depok dinamai Depok Lama. Ternyata disinilah awal mula Kota Depok. Tanah partikelir ini agaknya berada diantara Sungai Ciliwung hingga Stasiun Depok sekarang. Di tanah itu ia menanam beberapa tanaman keras, seperti tebu, kopi, dan lada, yang laku dipasaran. Untuk mengusahakan perkebunan tersebut, ia mempekerjakan para budak dari Ambon, Bali, Bugis, serta Makassar. Hubungan antara keluarga Chastelein dengan budak-budaknya, tak seperti kuasa patron dan klien yang selama ini kita kenal. Dia sangat menyayangi mereka, dan memperlakukannya seperti keluarga sendiri.
Setelah Chastelein wafat di tahun 1714, sebagian tanah partikelir itu dibagi-bagikan kepada para budak tersebut. Budak-budak itu mayoritas beragama Nasrani, dan sangat manut dengan orang-orang Belanda. Karena perkebunan di Depok cukup berkembang, di tahun 1913 pemerintah Hindia-Belanda membuat stasiun perhentian diantara ruas rel Batavia dan Buitenzorg (Bogor). Stasiun inilah yang kini bernama Stasiun Depok (bukan Depok Baru ya). Setelah 200 tahun lebih menikmati manisnya hasil perkebunan, warga Depok yang merupakan keturunan Chastelein dan mantan budak-budaknya, dihadapi oleh berbagai ancaman. Petaka bermula ketika Jepang masuk ke Batavia, dan menghapus status tanah partikelir. Setelah Jepang hengkang dan tentara Republik belumlah kuat, kekacauan terjadi dimana-mana. Termasuk di Depok, dimana terjadi peristiwa Gedoran Depok. Warga lokal (akamsi) yang selama ini merasa termarginalkan, mengambil paksa tanah-tanah partikelir tersebut. Orang-orang Indo, yang merupakan anak-cucu Chastelein, diinternir dan kemudian di-bully. Karena tak tahan terus dirundung, mereka akhirnya pergi ke negeri Belanda. Sedangkan para keturunan budak yang merupakan orang Nusantara, masih tetap bertahan di Depok. Orang-orang inilah yang kini dikenal sebagai bule Depok. Meski tanah-tanah itu sempat dipatok oleh akamsi, namun di awal dekade 1950-an pemerintah Republik mengambil alih tanah tersebut. Tanah itu kemudian menjadi milik negara dan menjadi kewenangan Pemda Bogor.



