Tahukah Anda, siapa orang Indonesia pertama yang mempunyai mobil? Ya, dia adalah Sri Sunan Pakubuwono X, penguasa Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dia membeli mobil bermerek Benz Victoria Phaeton pada tahun 1894. Mobil itu dibelinya melalui Prottle & Co, toko barang-barang impor yang berlokasi di Pasar Besar, Surabaya. Harganya-pun gak tanggung-tanggung. 10.000 gulden. Sebuah angka yang cukup fantastis di zamannya. Dengan harga mobilnya yang semahal itu, tentu Anda bertanya-tanya, dari mana asal kekayaan orang yang dikenal sebagai sunan sugih tersebut.
Di penghujung abad ke-19, Jawa mengalami apa yang disebut sebagai kejayaan industri gula. Berdasarkan catatan Archief voor de Java Suikerindustrie, pada tahun 1897 produksi gula di Jawa sudah mencapai 605.000 ton. Jumlah tersebut telah melampaui Kuba yang sebelumnya menjadi produsen terbesar di dunia. Hasil gula yang melimpah, dipasok dari 148 pabrik gula yang beroperasi di seluruh Jawa. Berbeda dengan perkebunan tembakau di Deli yang dikelola oleh pemodal asing, industri gula di Jawa justru banyak dipegang raja-raja Mataram. Sehingga ketika industri ini booming, keuntungan-pun banyak yang masuk ke kas keraton. Selama hampir empat dekade (1894 hingga 1932), raja-raja Jawa mencicipi manisnya keuntungan dari penjualan gula. Di Vorstenlanden (eks-Kesultanan Mataram), Kasunanan Surakarta yang ketika itu diperintah oleh Sri Sunan Pakubuwono X, tampil sebagai penguasa paling kaya.
Sebenarnya Pakubuwono X hanyalah mendapatkan durian runtuh. Industri gula telah dirintis oleh pendahulunya, Sri Sunan Pakubuwono Vll sejak tahun 1842. Saat itu, Pakubuwono VII membuat rencana strategis untuk membangun industri gula di wilayahnya. Langkah tersebut ia lakukan setelah melihat kesuksesan para pengusaha Eropa berbisnis gula. Pada tahun 1898, Kasunanan Surakarta telah mengoperasikan 15 pabrik gula yang sebagian besarnya berada di Klaten. Dari pabrik-pabrik inilah Pakubuwono X menghasilkan pundi kekayaan yang digunakannya untuk membeli barang-barang mewah.
Kekayaan Pakubuwono X ternyata tak cuma diakui oleh rakyat Surakarta, namun juga oleh orang-orang Eropa. Mereka malah menjulukinya sebagai kaiser atau kaisar. Ia juga mengubah paradigma orang-orang kaya ketika itu, dimana mobil menjadi simbol kekayaan – bukan lagi kereta kuda. Sebagai catatan, di masa itu Gubernur Jenderal di Batavia serta ratu Wilhelmina di Belanda masih menaiki kereta kuda. Begitupula dengan raja Dinasti Qing ataupun kaisar Dai Nippon, belum ada satupun yang memiliki mobil. Pembelian mobil oleh Pakubuwono X seakan mempermalukan orang-orang kaya Eropa. Mereka-pun kemudian juga ikut membeli mobil, agar tak kalah dari raja Solo tersebut.
Tak hanya membeli barang-barang mewah, hasil keuntungan dari berbisnis gula juga ia gunakan untuk membangun sarana dan infrastruktur. Di wilayah Kasunanan, setidaknya ia telah membangun Mesjid Kotagede, Pasar Gede, Stasiun Jebres, Stasiun Sangkrah, serta Stadion Sriwedari. Gapura-gapura di Solo yang ditandai dengan PB X-pun dibangun pada masa kekuasaannya. Untuk membantu masyarakat yang kurang mampu, ia mengucurkan kredit rumah murah meriah. Pakubuwono X juga membangun rumah pembakaran jenazah bagi warga Tionghoa dan Gereja Katolik Antonius pada tahun 1905. Bukti kekayaan Pakubuwono X juga terlihat ketika ia melakukan safari politik ke beberapa kota di Jawa dan Madura. Pada saat itu, ia banyak membagikan hadiah kepada penduduk biasa maupun para bangsawan. Hadiahnya-pun bermacam-macam, mulai dari keris berhiaskan permata, arloji emas, hingga tanda mata berlambang monogram PB X.
* * *
Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna atau yang dikenal dengan Sunan Pakubuwono X lahir di Surakarta pada tanggal 29 November 1866. Dia adalah susuhunan kesembilan dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang memerintah sejak tahun 1893 hingga 1939. 46 tahun menjadi raja Surakarta, menjadikannya sebagai susuhunan yang paling lama memerintah. Kelahirannya sebagai putra ke-30 Pakubuwono IX disambut meriah oleh warga Surakarta. Hal ini dikarenakan selama masa pemerintahannya, putra-putra dari Pakubuwono IX bukan lahir dari permaisuri, melainkan dari para selirnya. Ketika ia lahir, Surakarta-pun bersorak sorai. Berbagai macam bunyi-bunyian mulai dari alat musik tradisional hingga tembakan meriam terdengar ke seantero kota.
Pada usia tiga tahun, ia telah ditetapkan sebagai putra mahkota Surakarta. Sebagai calon raja, tentu ia mendapatkan pengasuhan dan pendidikan kelas satu. Berbagai macam pendidikan yang dipelajarinya, seperti kesusastraan, agama Islam, pandai besi, segala hal mengenai kuda, kesenian, serta keterampilan menggunakan senjata. Ia juga mempelajari Bahasa Melayu, Bahasa Arab, dan Bahasa Belanda. Sejak usia tujuh tahun, Kusna sudah ikut dengan ayahnya menghadiri berbagai pertemuan dengan residen Hindia-Belanda. Ketika sudah cukup usia, ia kadang-kadang datang mewakili raja dengan didampingi para pangeran yang lebih tua dan pepatih dalem.
Kusna diangkat secara resmi menjadi raja pada tanggal 30 Maret 1893, 15 hari setelah ayahnya wafat. Proses pengangkatannya sebagai penerus tahta dilakukan secara meriah. Selama masa pemerintahannya, Surakarta boleh dibilang makmur dan berada dalam fase politik yang stabil. Ini mungkin karena kepandaiannya dalam menjaga ritme, dimana ia bermain dua kaki diantara kepentingan kolonial dan tokoh-tokoh pergerakan. Namun bagi sebagian kalangan, sikapnya itu justru membingungkan. Ia dinilai terlalu lemah dan cenderung oportunis. Di satu sisi, ia tak ingin dipandang sebagai penentang kekuasaan Belanda. Namun di sisi lain ia juga mendukung pergerakan Sarekat Islam (SI). Ketika itu SI merupakan organisasi yang cukup radikal, yang hendak mengenyahkan Belanda dari Nusantara.
Tak cuma menjadi simpatisan, ternyata ia juga mendanai SI. Konon Cokroaminoto, pentolan SI, beroleh perlindungan darinya serta menjadi teman bertukar pikiran. Keikutsertaannya di balik layar, boleh jadi karena ketidaksukaannya terhadap hegemoni Belanda. Sebagaimana diketahui, setelah Perang Jawa (1825-1830) usai, Kesultanan Mataram dibagi menjadi empat monarki : Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Sebagai daerah taklukan, raja-raja di wilayah ini harus menandatangani perjanjian pendek (korte verklaring), dimana mereka tak boleh menyebarkan pengaruhnya diluar daerah kekuasaan. Tak cukup sampai disitu, Belanda juga memiliki hak untuk melakukan intervensi politik terhadap kekuasaan istana. Karena kebijakan yang membelenggu itulah, ia menyokong tokoh-tokoh SI untuk menentang kekuasaan Belanda. Berkat simpati dan bantuannya, pada tahun 2009 pemerintah Indonesia mengukuhkannya sebagai pahlawan nasional.
Selain dikenal sebagai sosok yang tak pernah mengeluh, disiplin, serta memiliki rasa tanggung jawab yang besar, Pakubuwono X juga suka bermewah-mewahan. Disamping memiliki 15 mobil dinas, ia juga gemar menyantap makanan enak serta menenggak alkohol. Kuntowijoyo dalam bukunya “Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan Wong Cilik Biasa di Kasunanan Surakarta 1900–1915” menyebut, bahwa Sunan Pakubuwono X telah mengubah gaya hidup para aristokrat Jawa. Dari yang semula hanya meminum tuak, kini juga mengkonsumsi champagne, wine, dan beer. Kehidupan Pakubuwono X yang bermewah-mewahan itu juga dicatat oleh residen Surakarta, G.F. van Wijk. Dalam memoirnya, van Wijk mencatat bahwa raja ini memiliki watak yang tidak keras, suka bersolek, sehingga menimbulkan kesan bahwa ia terlalu manja. Karena diangkat ketika belia, maka ia lebih menyukai simbol kebesaran seperti tanda bintang serta pakaian mewah.
Tak hanya hobi bermewah-mewahan, Pakubuwono X juga pendamba wanita. Selama hidupnya, ia memiliki dua orang permaisuri dan 36 orang selir. Karena jumlah permaisurinya yang lebih dari satu — serta selir yang terhitung banyak, Pakubuwono X mendapat julukan “raja terkuat”. Dari permaisuri maupun selir-selirnya itulah, ia beroleh 63 orang putra dan putri. Banyak diantara anak-anaknya yang kemudian ikut berperan dalam perjuangan kemerdekaan. Seperti G.P.H. Djatikoesoemo yang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat pertama, serta G.P.H. Suryo Hamijoyo yang menginisiasi Pekan Olahraga Nasional pertama di Solo.
Pakubuwono X wafat pada tanggal 22 Februari 1939 akibat sakit ginjal. Setelah kematiannya, Kasunanan Surakarta Hadiningrat mulai meredup. Karena tak memiliki putra dari dua permaisurinya, maka sempat terjadi perselisihan ketika mencari penggantinya. Akhirnya terpilihlah K.G.P.H. Hangabehi (Pakubuwono XI) yang hanya memerintah selama enam tahun. Bulan Juni 1945, Pakubuwono XI wafat dan digantikan oleh putranya K.G.P.H. Purbaya (Pakubuwono XII). Sesudah proklamasi kemerdekaan, Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat resmi kerajaan yang menyatakan mendukung pemerintahan Republik Indonesia. Atas dukungan tersebut, Soekarno-pun menetapkan Kasunanan Surakarta Hadiningrat menjadi Daerah Istimewa.
Meski menjadi pendukung republik, namun Pakubuwono XII tak memiliki minat dalam politik. Berbeda dengan Hamengkubuwono IX yang terlibat aktif dalam revolusi fisik, ia justru sangat pasif. Menurut Ben Anderson dalam bukunya “Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946”, ia terlalu asyik dengan kesenangan-kesenangan pribadinya. Karena sikapnya yang acuh itulah, ia kemudian diculik oleh sekelompok pemuda yang tergabung dalam Barisan Banteng. Kelompok pimpinan dokter Muwardi itu menuntut agar status Daerah Istimewa Surakarta dibatalkan dan Pakubuwono XII menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat. Karena situasi tak lagi terkendali, pada bulan Juli 1946 Soekarno-pun membubarkan status Daerah Istimewa Surakarta. Wilayah kekuasaan Kasunanan kemudian dilebur menjadi bagian propinsi Jawa Tengah (sebagian D.I. Yogyakarta) dan Pakubuwono XII tak lagi memiliki otonomi untuk memerintah. Sejak saat itu, tamatlah riwayat Kasunanan Surakarta Hadiningrat.