
Ilustrasi kedatangan Komodor Perry di Jepang (sumber : http://www.wikipedia.com)
Kedatangan komodor Perry di tahun 1854, ternyata memberikan berkah tersendiri bagi masyarakat Jepang. Bagaimana tidak, berkat kehadiran laksamana Amerika itu, Jepang mulai menyadari ketertinggalannya selama ini. Jepang yang berabad-abad menjadi negeri tertutup, merasa minder ketika mengetahui negeri-negeri di luar teritorinya sudah mencapai kemajuan yang luar biasa. Memang ketika itu hampir sebagian besar negara-negara Asia berada di bawah cengkeraman bangsa Eropa. Namun negeri-negeri yang jauh dari mereka – seperti Eropa, Amerika, dan Turki — sudah memasuki zaman modern. Untuk mengejar ketertinggalannya itu, Jepang di bawah kepemimpinan Mutsuhito kemudian menerapkan apa yang dikenal dengan Restorasi Meiji.
Dalam waktu cepat, Mutsuhito merestorasi stratifikasi sosial masyarakat Jepang yang feodal menjadi masyarakat demokratis. Ia juga memperkuat armada militer Jepang yang dianggapnya kuno. Pada tahun 1885, mengikuti gaya Barat, ia mereformasi sistem politik Jepang. Dengan menunjuk seorang Perdana Menteri, ia mengurangi peran para pemimpin feodal. Mutsuhito juga menghapus sistem domain dan menggantinya dengan prefektur. Angkatan bersenjata yang selama ini ditugaskan kepada kaum samurai, diganti dengan tentara-tentara profesional. Tuan-tuan tanah tak ada lagi yang berkuasa seenaknya, semuanya diatur dan dicatat oleh negara. Tak cuma itu, ia juga menggiatkan anak-anak muda Jepang untuk mencari ilmu di negeri-negeri Barat.
Di bidang ekonomi, Mutsuhito juga melakukan reformasi besar-besaran. Untuk mengangkat pendapatan per kapita masyarakatnya yang jauh di belakang bangsa Eropa, Jepang mengubah struktur ekonominya dari yang berbasis pertanian menjadi industri komersial. Sebagai catatan, pada tahun 1870 income per capita masyarakat Jepang hanyalah berkisar pada angka USD 737, sedangkan negara-negara Eropa Barat seperti Inggris dan Belanda, masing-masing sudah mencapai USD 3.190 dan USD 2.757. Melihat realitas ini, pemerintah Jepang kemudian mendorong agar terciptanya industrialisasi di seluruh negeri. Agar industrialisasi itu bisa berkembang, maka Jepang membutuhkan bahan baku yang hampir sebagian besar tak mereka miliki.
Invasi Militer

Jepang menyerang Pearl Harbor (sumber : http://www.atomicheritage.org)
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan ialah menguasai negeri-negeri kaya sumber daya alam. Agar bisa menaklukan negeri-negeri tersebut — mengikuti strategi kolonialisme klasik, Jepang harus melakukan invasi militer. Untuk itu selama 51 tahun berselang (1894-1945), Jepang terus melancarakan invasi militernya ke berbagai negara. Perang China-Jepang I (1894-1895) merupakan ujian pertama mereka untuk menguasai daratan Asia. Dalam perang tersebut agaknya Jepang tak menemui lawan yang sepadan. China yang ketika itu dijuluki “si sakit dari timur” tak melakukan perlawanan yang berarti. Hasilnya Jepang menguasai Manchuria, Korea, dan Taiwan.
Penguasaan Jepang atas Manchuria dan Korea ternyata tak disenangi oleh tsar Rusia. Setelah melakukan negosiasi selama tiga tahun, Rusia tetap bersikukuh tak mau membagi pengaruhnya atas Manchuria dan Korea. Akibatnya, untuk menjaga penguasaan atas dua wilayah tersebut, Jepang berinisiatif melancarkan serangan. Perang yang dikenal dengan Perang Rusia-Jepang (1904-1905) itu kemudian dimenangkan oleh pasukan matahari terbit. Hasilnya, Jepang tetap menguasai Manchuria dan Korea, ditambah Pulau Sakhalin selatan. Disamping menguasai wilayah-wilayah tersebut, kemenangan ini juga melambungkan harga diri Jepang di gelanggang politik internasional. Sembilan tahun kemudian dengan rasa percaya diri yang tinggi, Jepang terjun ke dalam Perang Dunia I.
Di pertempuran ini Jepang berada di pihak Inggris dan Prancis, vis a vis Poros Sentral yang digawangi Jerman serta Austria-Hongaria. Aliansi Jepang-Inggris merupakan kelanjutan dari perjanjian pada Perang Rusia-Jepang. Ketika itu Inggris menyokong militer Jepang, dan siap membantu jika sewaktu-waktu Jerman atau Prancis berperang bersama Rusia. Dalam Perang Dunia I, sebenarnya tak banyak yang dilakukan pasukan Jepang. Mereka hanya membantu tentara Sekutu mengamankan kawasan Pasifik dari penguasaan Jerman. Hasil dari peperangan ini, Jepang hanya memperoleh beberapa pulau di kawasan Mikronesia yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Jerman.
Perang China-Jepang II yang kemudian bersambung dengan Perang Pasifik adalah invasi militer Jepang yang terakhir. Kebijakan Jepang yang ingin terus menguasai sumber daya alam, pertanian, dan buruh China, ternyata mendapat tantangan dari kaum nasionalis China. Di bawah komando Chiang Kai-shek, Partai Kuomintang berusaha untuk mengenyahkan imperialisme Jepang serta anasir-anasir pendukungnya dari daratan China. Oleh karena itu ketika laksamana Manchu : Zhang Zuolin, ingin menjalin kerjasama militer dan ekonomi dengan Jepang, ia malah dibunuh kaum nasionalis. Melihat ancaman itu, Jepang sekali lagi menginvasi Manchuria. Tak hanya Manchuria, dalam Perang China-Jepang kali ini, pasukan matahari terbit juga merebut kota dagang Nanking. Dalam tragedi yang dikenal dengan “Rape of Nanking” itu, lebih dari 300.000 rakyat sipil China tewas.
Sebelum pecah Perang Dunia II, Jepang telah menguasai banyak negeri kaya dan padat penduduk. Korea, Manchuria, Taiwan, dan kota-kota dagang di pesisir China, telah berhasil mereka rebut. Ambisi Jepang ternyata tak hanya sebatas itu. Untuk memperlancar proses industrialisasi mereka, Jepang juga memerlukan bahan bakar minyak. Oleh karena itu, Kepulauan Indonesia, Malaya, Indochina, dan Filipina, menjadi sasaran mereka selanjutnya. Namun untuk menguasai negara-negara tersebut, Jepang harus berhadapan dengan para kolonialis Barat yang memiliki kekuatan militer cukup mumpuni.

Imperium Jepang periode 1942-1945 (sumber : http://edsitement.neh.gov)
Sebagai langkah awal menaklukan Barat, Jepang menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor. Jepang beranggapan jika saja Amerika bisa dijinakkan, maka Inggris, Belanda, dan Prancis yang menguasai kawasan itu akan segera bertekuk lutut. Benar saja, tak lama setelah pangkalan Amerika di Hawai luluh lantak, Jepang langsung menguasai Asia Tenggara. Dengan penguasaan ini, maka Jepang komplet memiliki bahan mentah yang diperlukan untuk industrialisasi, yakni batubara dari China, minyak bumi dari Kepulauan Indonesia dan Birma; timah dan bauksit dari Kepulauan Indonesia dan Malaya; tebu dari Filipina; serta beras dari Thailand, Birma, dan Indochina. Belum lagi ratusan juta tenaga kerja murah yang bisa dimobilisasi untuk mensukseskan program mereka.
Setelah empat tahun berkonfrontasi dalam Perang Pasifik, di tahun 1945 Jepang untuk pertama kalinya mengalami kekalahan. Dua kota mereka : Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak dijatuhi bom atom pasukan Amerika. Dalam pertempuran itu Jepang kehilangan hampir dua juta prajurit terbaiknya, serta lebih dari 250.000 warga sipil mati sia-sia. Akibat kekalahan itu, perekonomian Jepang segera terguncang. Banyak pabrik-pabrik yang dalam delapan tahun terakhir memproduksi barang-barang untuk keperluan perang, segera berhenti total. Hampir semua buruh kehilangan pekerjaannya dan pendapatan per kapita mereka anjlok separuhnya.
Lihat pula: Mengapa Perekonomian Jepang Stagnan dan Banyak Perusahaannya Bertumbangan?
Strategi Pasca-Perang
Pada tahun 1950 — lima tahun pasca kekalahan, pendapatan per kapita rakyat Jepang tak sampai sepertiga income warga Inggris, serta hanya seperlima pendapatan masyarakat Amerika. Melihat kondisi tersebut, pemerintah Jepang mengubah haluan politik-ekonomi mereka yang sebelumnya ekspansionis militeristik menjadi negara yang bersahabat. Namun perubahan haluan itu tak mempengaruhi tekad Jepang untuk menjadi negara industri nomor satu. Ada tiga strategi yang mereka gunakan untuk menjadi negara industri terkemuka. Pertama, melakukan pembenahan internal, yakni dengan mereformasi sistem pendidikan, serta mengembalikan mental rakyatnya yang sudah terpuruk akibat kalah perang. Rakyat Jepang yang mengalami trauma pasca jatuhnya bom atom, dipulihkan kesadarannya sebagai bangsa nomor satu. Jika di akhir abad ke-19 kampanye sebagai bangsa nomor satu itu ditandai dengan penguasaan militer, maka setelah kalah perang kebanggaan itu diubah menjadi negara dengan ekonomi unggul.
Selain memperbaiki sistem pendidikan, Jepang juga membenahi sistem administrasi dan regulasi ekonomi. Di bawah kepemimpinan Hayato Ikeda, Jepang mengkonsolidasi seluruh basis produksinya pada beberapa konglomerat (keiretsu). Para keiretsu itu kemudian diberikan kelonggaran dalam berbisnis, mendapatkan proteksi, pinjaman murah, dan dorongan untuk berfokus pada penguasaan pasar. Sehingga untuk memenangkan persaingan, banyak keiretsu yang menerapkan politik dumping, yakni menjual barang mereka lebih murah di luar negeri tenimbang di dalam negeri. Tak hanya itu, Ikeda juga melembagakan kebijakan alokasi devisa, sebuah sistem kontrol yang dirancang untuk mencegah membajirnya barang-barang asing di pasaran Jepang.

Astra International, perusahaan otomotif Indonesia yang memperoleh alih teknologi dari Jepang (sumber : http://www.swa.co.id)
Kedua ialah merangkul negara-negara Asia yang kaya sumber daya alam sebagai mitra strategis mereka. Menyesali kesalahannya selama ini yang menggunakan kekerasan, Jepang kemudian memposisikan negara-negara tersebut sebagai sahabat. Strategi ini sebenarnya melanjutkan cita-cita mereka ketika Perang Dunia II, yakni menciptakan “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Namun agaknya kemakmuran bersama itu kini memiliki versi yang berbeda. Dalam artian, jika negara-negara tersebut mau mengekspor bahan mentahnya ke Jepang, maka negara matahari terbit itu akan mengembalikan keuntungan yang diperoleh berupa pinjaman lunak. Tak hanya itu, Jepang juga akan memberikan pelatihan serta alih teknologi bagi negara-negara yang mau membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan Nippon yang hendak melakukan outsourcing.
Strategi ini ternyata memberikan hasil yang maksimal. Tanpa harus mengeluarkan biaya militer yang mahal, Jepang bisa merangkul negara-negara Asia dalam bingkai kerjasama bilateral. Karena kerjasama itu menguntungan kedua belah pihak, maka negara-negara kaya sumber daya alam itu dengan sukarela mau menjual bahan-bahan mentahnya ke Jepang. Tentu dengan harapan akan memperoleh pinjaman lunak serta alih teknologi. Dalam hal pemberian pinjaman, Jepang lebih menitikberatkan kepada pembangunan infrastruktur yang nantinya bisa menyokong perkembangan industri mereka. Salah satu bantuan Jepang yang cukup besar adalah pembangunan jalan raya, yang ternyata memberikan multiplier effect terhadap industri otomotif mereka. Bantuan lainnya ialah pembangunan bendungan untuk pembangkit listrik, yang diharapkan bisa mensuplai kebutuhan energi bagi pabrik-pabrik Jepang di negara tersebut. Selain penggunaannya yang ditentukan, setiap proyek yang melibatkan modal Jepang juga harus menggunakan perusahaan-perusahaan konstruksi serta ahli dari Jepang.
Memasuki dasawarsa 1970-an, kebijakan modal Jepang yang membanjiri negara-negara ASEAN mendapatkan tentangan dari berbagai kalangan. Pada tahun 1974, di Indonesia meletus peristiwa Malari. Peristiwa ini merupakan puncak dari protes mahasiswa Indonesia atas kehadiran modal Jepang di negeri ini. Namun lama kelamaan, suara yang memprotes keberadaan modal Jepang itu tak terdengar lagi. Pada tahun 1997-2006, Jepang sudah menjadi negara donor terbesar di kawasan ASEAN. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Departemen Luar Negeri Jepang, pada tahun 2005 ada sekitar USD 1,9 miliar dana Jepang di ASEAN. Ini setara dengan 14,9% dari uang yang mereka gelontorkan ke seluruh dunia.
Ternyata bantuan Jepang ke negara-negara ASEAN mendapatkan sambutan positif dari masyarakatnya. Berdasarkan survei yang dicatat Sueo Sudo dalam bukunya “Japan’s ASEAN Policy: In Search of Proactive Multilateralism” terungkap, 88% rakyat Indonesia percaya bahwa pinjaman Jepang cukup menolong perekonomian mereka. Selain Indonesia, warga Filipina, Thailand, dan Singapura-pun melihat bantuan Jepang sebagai langkah yang positif. 74% warga Filipina, 71% rakyat Thailand, dan 69% masyarakat Singapura, sepakat bahwa pinjaman Jepang cukup membantu ekonomi mereka. Yang menarik, meski pada Perang Dunia II negara-negara tersebut menjadi korban keganasan tentara Jepang, namun mereka menganggap hal itu tak mengganjal hubungan kedua negara.
Dengan adanya simbiosis mutualisme semacam itu, Jepang bisa memperoleh bahan baku dengan mudah dan murah. Hasilnya dalam waktu 25 tahun, Jepang sudah menjadi negara industri terkemuka, menyamai Amerika Serikat dan Jerman. Bahkan dalam industri tertentu, seperti alat elektronik dan otomotif, produk-produk Jepang menguasai pasaran dunia. Sony, Mitsubishi, Toyota, Mitsui, dan Honda, adalah perusahaan-perusahaan Jepang yang kemudian menjelma menjadi perusahaan kelas dunia. Tak hanya itu, dengan meningkatnya program industrialisasi di seluruh negeri, pendapatan masyarakat-pun melonjak tajam. Pada tahun 1973, income per capita Jepang telah mencapai USD 11.434, naik enam kali lipat dari pendapatan mereka setelah Perang Dunia II. Lima tahun kemudian, Jepang sudah menjadi negara ekonomi terbesar kedua di dunia, menggeser Uni Sovyet.
Strategi mereka yang ketiga adalah menerima kehadiran negara-negara Barat, terutama Amerika, sebagai mentor pertumbuhan ekonomi. Tak hanya itu, ahli-ahli dari negeri Paman Sam juga banyak menolong Jepang untuk menciptakan produk-produk berkualitas. Tak sedikit guru-guru manajemen asal Amerika, seperti Edwards Deming, Joseph Juran, dan Peter Drucker, membantu pengembangan produk-produk negeri tersebut. Berkat bantuan mereka, pada dekade 1970-1980-an barang-barang Jepang dikenal sebagai produk yang berkualitas dengan harga murah. Akibatnya banyak perusahaan Amerika dan Eropa, yang harus menurunkan marjin keuntungan mereka agar bisa bersaing dengan produk-produk Jepang.
Kualitas Jepang
Di awal abad ke-20, barang-barang produksi Jepang hanya dipandang sebelah mata — mungkin seperti barang-barang China saat ini. Rupa, teknologi, dan kualitasnya, sangatlah tertinggal dari produk-produk buatan Amerika, Inggris, ataupun Jerman. Menyadari ketertinggalannya itu, Jepang kemudian membeli lisensi teknologi Barat dan melakukan trial and error atas teknologi tersebut. Pada Perang Dunia I, Jepang memperoleh teknologi pesawat terbang dari Inggris. Kemudian di masa Perang Dunia II, giliran Jerman yang mensuplai teknologi pembuatan kapal laut, roket, tank, dan kapal selam.
Meski Jepang telah memperoleh teknologi mutakhir dari kedua negara yang bersaing itu, namun Jepang terus memodifikasi produk-produknya agar sesuai dengan selera masyarakat Asia. Tak puas dengan barang yang mereka hasilkan, Jepang terus melakukan improvisasi cara kerja dan teknologi terbaru. Hingga kemudian muncul “Company-wide Quality Control” (CWQC) di tahun 1968. Sistem pengendalian mutu ini adalah strategi Jepang untuk memenangkan persaingan dengan produk-produk Barat. Sebelumnya di Amerika, Armand Feigenbaum telah mengembangkan tools pengendalian kontrol yang dikenal dengan Total Quality Control (TQC). Dan di Jepang, sistem TQC inilah yang kemudian diadopsi menjadi CWQC.
Karena terus mendapat tekanan dari produk-produk Jepang, pada tahun 1985 Amerika menyempurnakan sistem TQC menjadi TQM (Total Quality Management). Ketika itu di Amerika santer terdengar ucapan : “If Japan Can… Why Can’t We?” Ucapan itu menyiratkan betapa frustasinya para teknokrat Amerika menghadapi kualitas produk Jepang yang dari hari ke hari semakin meningkat. Tak hanya Amerika yang mengalamai tekanan bertubi-tubi, Inggris negara pelopor Revolusi Industri untuk pertama kalinya menjadi net-importer barang-barang jadi. Inggris yang selama 100 tahun merajai market internasional, tiba-tiba tersentak melihat banyaknya masyarakat mereka yang mengkonsumsi produk-produk buatan Jepang. Untuk itu Inggris bersama Amerika, kemudian mengembangkan suatu standardisasi internasional yang diukur berdasarkan kriteria-kriteria mereka. Standar internasional itu kemudian dikeluarkan oleh suatu lembaga : International Organization for Standardization (ISO) — yang didominasi oleh negara-negara Barat.

Edwards Deming memberikan seminar di Jepang (sumber : http://www.deming.org)
Satu lagi budaya Jepang yang turut mendukung terciptanya produk-produk berkualitas adalah kaizen. Secara harfiah kaizen berarti perbaikan ke arah yang lebih baik. Dalam masyarakat Jepang, filosofi ini sebenarnya telah menjadi bagian dari budaya kerja mereka. Namun filosofi ini telah lama terkubur hingga kemudian diperkenalkan kembali oleh guru-guru manajemen asal Amerika. Dalam budaya British-Amerika, continuous improvement (perbaikan terus menerus) adalah suatu keharusan yang tak bisa terelakkan. Menciptakan lingkungan kerja yang baik, mendorong produktivitas karyawan, serta mengurangi kesalahan dalam proses produksi adalah beberapa nilai yang diusung oleh konsep tersebut. Nilai-nilai ini kemudian dicangkokan ke dalam perusahaan-perusahaan Jepang untuk membantu merevitalisasi mereka yang terpuruk pasca-perang.
Di Amerika, proses perbaikan terus menerus itu dikenal dengan istilah “Shewhart Cycle” atau “Deming Cycle”. Siklus itu terdiri dari aktivitas PDCA (Plan-Do-Check-Action). Dalam aplikasi sehari-hari model ini terus berkembang dan dimodifikasi. Toyota misalnya memperkenalkan sistem “Just in Time”. Motorola dan kemudian General Electric mempunyai sistem “Six Sigma”. Dan yang teranyar “Balance Scorecard”, sebuah sistem dashboard yang diciptakan oleh Robert Kaplan dan David Norton. Semua itu adalah tools yang berkembang dari sistem pengendalian kualitas. Hingga hari ini, siklus PDCA telah menjadi mantra bagi perusahaan-perusahaan dunia untuk memenangkan kompetisi. Dan Jepang adalah negara terdepan yang dengan sungguh-sungguh menerapkan konsep tersebut untuk terus menguasai pasaran dunia.
tulisan yang berbobot dan mengenyangkan 😉 sangat mudah dicerna oleh orang awam
SukaSuka