Kalau kita membaca buku sejarah Melayu, maka akan ditemukan dua tokoh legendaris yang disebut-sebut sebagai asal dari raja-raja Melayu. Dia adalah Iskandar Zulkarnain dan Sang Sapurba. Banyak orang yang bingung, apakah kedua raja ini hidup di masa yang sama. Ada yang menyebut kalau Iskandar Zulkarnain adalah ayah dari Sang Sapurba. Namun dalam Sulalatus Salatin hanya disebut kalau Sang Sapurba merupakan keturunan Iskandar Zulkarnain. Apakah ia putranya, cucunya, atau cicitnya, tak disebutkan dengan jelas dalam kitab tersebut. Teks Sejarah Melayu memulai ceritanya dengan kisah perjalanan Iskandar Zulkarnain yang mengislamkan raja India : Kida Hindi. Setelah itu, ia menikahi putri sang raja yang bernama Shahrul Bariyah. Dari pernikahan ini, lahirlah Raja Nushirwan Adil yang dipercaya sebagai tokoh yang menurunkan raja-raja Melayu. Selain Sejarah Melayu, Hikayat Aceh juga menyebutkan keterkaitan antara Iskandar Zulkarnain dengan raja-raja Aceh. Namun keterkaitannya bagaimana, hingga saat ini masihlah misteri. Begitu pula dalam Hikayat Amir Hamzah, diceritakan bahwa Iskandar Zulkarnain merupakan seorang penguasa yang mengislamkan banyak raja dan wilayah.
Karena namanya disebut-sebut sebagai leluhur raja-raja Sumatera dan Semenanjung Malaya, banyak sejarawan yang mencoba mengungkapkan sosok tersebut. Hampir semua literatur yang saya cari, menyandarkan sumbernya pada Hikayat Iskandar Zulkarnain. Dimana dalam kitab tersebut dikatakan bahwa sosok Iskandar Zulkarnain adalah Raja Aleksander Agung dari Makedonia yang menaklukkan Mesir, Persia, dan India. Ada juga yang bilang kalau Iskandar Zulkarnain sama dengan Nabi Zulkarnain yang termaktub dalam Al Quran Surat Al Kahfi. Meski begitu, belum ada bukti ilmiah yang menuliskan secara rinci eksistensi tokoh tersebut. Kuat dugaan ia hanyalah tokoh legenda yang dipercaya secara turun-temurun oleh masyarakat Sumatera dan Semenanjung Malaya. William Shellabear, seorang penerjemah Inggris, berpendapat bahwa sosok Iskandar Zulkarnain sengaja diciptakan untuk menegaskan kedudukan politis raja-raja Melayu kalau mereka dari keturunan yang agung.
Dalam Tambo Minangkabau disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain merupakan seorang penakluk, yang wilayah kekuasaannya membentang dari Barat ke Timur. Dia memiliki tiga orang anak, dimana ketiganya bertengkar memperebutkan tahta sang ayah. Mereka lantas bersepakat untuk meninggalkan tahta tersebut dan berlayar menuju tiga benua. Putranya yang pertama berlayar menuju Romawi, putranya yang kedua menuju China, dan putranya yang bungsu — kelak dikenal sebagai Maharaja Diraja — berlayar ke Sumatera. Di Sumatera, Maharaja Diraja mendarat di Gunung Marapi. Dikisahkan dalam Tambo, bahwa pada saat itu Gunung Marapi masih sebesar telur itik. Manakala air banjir surut, Maharaja Diraja bersama para pengikutnya turun mencari daerah tempat bermukim. Sampailah ia pada suatu kampung dimana ia kemudian mendirikan peradaban yang dikenal dengan Kerajaan Pasumayan Koto Batu. Perkampungan itu kini berada di nagari Pariangan, Luhak Tanah Datar.
Maharaja Diraja kemudian menikah dengan Puti Indo Jalito atau yang dikenal dengan Bundo Kanduang. Dari pernikahan tersebut lahirlah Datuk Ketemanggungan. Setelah Maharaja Diraja wafat, Puti Indo Jalito menikah lagi dengan Cati Bilang Pandai. Dari Cati Bilang Pandai inilah lahir Sutan Balun atau yang dikenal dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Sebagai pewaris kerajaan, dalam mengurus pemerintahan dua anak Puti Indo Jalito itu memiliki filosofi yang berbeda. Datuk Ketemanggungan mengusung konsep hierarkis : berjenjang naik bertangga turun. Sedangkan Datuk Perpatih Nan Sebatang menjunjung konsep egaliter : duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Kedua-dua konsep ini kemudian dikembangkan di Minangkabau menjadi laras Koto-Piliang (Ketemanggungan) dan laras Bodi-Caniago (Perpatih). Tak hanya di Minangkabau, dua kelarasan ini juga berkembang di Semenanjung Malaya yang dikenal dengan Adat Temenggong serta Adat Perpatih.
Siapa Sang Sapurba?
Setelah mengurai kisah Iskandar Zulkarnain, kini kita beralih ke cerita tentang Sang Sapurba. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, bahwa Sang Sapurba merupakan keturunan dari Iskandar Zulkarnain. Dari cerita yang dipercaya, Sang Sapurba merupakan raja dari tanah seberang yang mendarat di Bukit Seguntang, Palembang. Setibanya di Palembang, ia mengadakan perjanjian suci dengan penguasa setempat, Demang Lebar Daun, dan menikahi putri Demang : Wan Sundaria. Dari perkawinan tersebut lahirlah dua putri yang bernama Putri Sri Dewi dan Putri Chandra Dewi, serta dua orang putra, Sang Mutiara dan Sang Nila Utama. Setelah dari Palembang, Sang Sapurba kemudian menuju Tanjungpura dan terus ke Minangkabau. Di tanah Minang, ia diangkat sebagai raja setelah berhasil mengalahkan Sikati Muno, orang jahat dari seberang lautan. Karena keberaniannya itu, ia dinikahkan dengan Puti Indo Jalito, adik Datuk Suri Dirajo yang merupakan penguasa setempat. Meski ia donobatkan sebagai raja, namun posisinya hanyalah formalitas belaka. Penguasa tanah Minang tetap dipegang Datuk Suri Dirajo yang kemudian diturunkan kepada kemenakannya – anak Puti Indo Jalito yakni Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Sang Sapurba diberi tempat tinggal di Galundi Nan Baselo, dimana disana ia mengembangkan taratak (perkampungan).
Kalau kita membaca Tambo Minangkabau, maka sosok Sang Sapurba mirip dengan kisah Maharaja Diraja. Malah sebagian besar budayawan berkesimpulan kalau Maharaja Diraja itu sendiri adalah Sang Sapurba. Berbeda dengan Sejarah Melayu dimana Sang Sapurba ditemani dua orang saudaranya : Sri Krishna Pandita dan Sri Nila Utama, dalam Tambo Minangkabau Sang Sapurba tiba bersama Cati Bilang Pandai dan diiringi empat orang ksatria yang dikiaskan dengan Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan, dan Anjing Mu’alim. Dalam cerita legenda, Sang Sapurba diyakini memeluk agama Hindu, sehingga ia membangun tempat peribadatan di perkampungan yang ia teroka. Kampung tersebut kini dikenal dengan Pariangan, yang berasal dari kata par-Hyang-an atau tempat menyembah sang Hyang. Karena kisah inilah, banyak orang Minangkabau yang hingga kini masih menyebut menyembah Tuhan (solat) dengan sembah Hyang.
Dalam Sejarah Melayu, keturunan Sang Sapurba menyebar di Dunia Melayu. Sang Mutiara menjadi raja di Tanjungpura (Kalimantan Barat) dan Sang Nila Utama menjadi raja di Bintan sebelum akhirnya pindah ke Singapura. Sedangkan putrinya Chandra Dewi dinikahkan dengan raja Jawa. Dalam sejarah Singapura, Sang Nila Utama dipercaya sebagai pendiri Singapura. Ia menikah dengan Wan Sri Bini dan memiliki dua orang putra. Putra pertama bergelar Sri Wikrama Wira yang merupakan buyut dari Parameswara. Parameswara yang bergelar Sultan Iskandarsyah, merupakan pendiri Kesultanan Malaka. Dari sultan inilah turun raja-raja Malaka, Johor, Pahang, serta Perak. Sedangkan putra keduanya : Raja Kechil Muda menjadi Bendahara Singapura yang keturunannya kemudian menjadi raja di Kesultanan Terengganu.
Meski kisahnya masih diperdebatkan, namun seperti yang dikemukakan profesor antropologi Josselin de Jong dalam artikelnya The Character of Malay Annals, cerita-cerita dalam mitologi Melayu sebenarnya dapat dihubungkan dengan tokoh dan peristiwa dalam sejarah. Sulalatus Salatin misalnya menyebut bahwa penguasa Singapura bernama Sri Tribuana. Nama ini seperti nama raja Dharmasraya yang tertera pada Prasasti Padang Roco : Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Lalu dinikahkannya putri Sang Sapurba dengan raja Jawa, juga dapat dihubungkan dengan kisah Ekspedisi Pamalayu dimana putri Dharmasraya, Dara Petak, dinikahkan dengan pendiri Majapahit : Raden Wijaya.
Walau Sang Sapurba hanyalah tokoh mitos, namun riwayatnya menjadi legitimasi bagi penguasa Melayu untuk mengangkat seorang raja. Rakyat boleh jadi akan mendelegitimasi kedudukan sang raja, jika ia bukan dari keturunan Sang Sapurba. Itulah mengapa ketika Bendahara Tun Abdul Jalil melakukan kudeta di akhir abad ke-17, banyak rakyat Johor yang tak setuju. Atas kudeta tersebut, Raja Kecil yang berasal dari Pagaruyung – dan merupakan keturunan Sang Sapurba, seperti memiliki otoritas untuk merebutnya kembali. Pada tahun 1718, berkat bantuan pasukan Minangkabau, Raja Kecil berjaya merebut tahta Johor dan membunuh Tun Abdul Jalil. Meski sempat menguasai Johor selama empat tahun, namun atas bantuan Daeng-daeng Bugis, Raja Kecil berhasil dikalahkan. Para bangsawan Bugis itu lalu memulihkan kedudukan Bendahara dan mengangkat putra Tun Abdul Jalil : Sulaiman Badrul Alam Shah sebagai penerus tahta Johor. Sejak saat itu berakhirlah kekuasaan Dinasti Sang Sapurba di Johor yang kemudian digantikan oleh Wangsa Bendahara.
