Siapa yang tak kenal dengan Jose Mourinho, pelatih nyentrik yang saat ini menukangi klub sepak bola Internazionale Milan. Malam Minggu kemarin, 23 Mei 2010, mungkin hari yang paling membahagiakan bagi dirinya. Setelah berhasil menjuarai Coppa Italia, dan memastikan diri meraih scudetto Serie A, malam itu Mourinho kembali menambah koleksi juaranya dengan menggenggam trofi Liga Champions Eropa. Dengan kemenangan tersebut Inter Milan menjadi klub Italia pertama yang berhasil menjadi treble winners, atau pengkoleksi tiga gelar sekaligus dalam satu musim kompetisi.
Kemenangan ini seakan menjadi pelipur lara bagi Mourinho, setelah dua tahun lalu gagal di partai puncak menghadapi seterunya Manchester United. Mourinho yang kala itu menukangi Chelsea, harus kalah lewat adu penalti. Gelar juara Eropa kali ini, merupakan gelar juara kali kedua, setelah enam tahun lalu bersama Porto ia berhasil memboyong trofi Liga Champions ke Estadio do Dragao. Gelar ini sekaligus menempatkan Mourinho ke dalam jajaran pelatih elit Eropa, bersanding dengan Marcello Lippi, Guus Hiddink, dan Sir Alex Fergusson. Namun pencapaiannya meraih dua juara Eropa bersama dua klub berbeda, suatu pencapaian yang luar biasa. Ia menjadi pelatih ketiga setelah Ernst Happel dan Ottmar Hitzfeld yang mampu melakukannya.
Calcio Italia
Mou, biasa ia disapa, boleh jadi menjadi malaikat penyelamat bagi sepak bola Italia secara keseluruhan. Betapa tidak, berkat gelar juara tersebut, koefisien Serie A Italia tetap berada di atas sang pesaing, Bundesliga Jerman. Dengan raihan tersebut, dipastikan Serie A masih berada di jajaran top three liga-liga Eropa, sekaligus tetap mendapatkan jatah empat klub di kompetisi Liga Champion musim depan.
Namun torehan prestasi itu, tak mengurungkan niat Mou untuk pindah ke klub lain. Santer terdengar, Real Madrid-lah klub tempat ia berlabuh berikutnya. Alasan kepindahannya masih belum jelas benar hingga saat ini. Banyak orang bilang, kepergian Mou disebabkan tidak ramahnya dunia calcio Italia terhadap dirinya. Mou yang kerap bersitegang dengan pers dan masyarakat sepak bola Italia, lebih sering mendapat cibiran daripada pujian. Walaupun ia berhasil mengangkat sepak bola Italia dan mengantarkan Inter Milan menjadi penguasa Eropa.
Selain itu, kepergian Mou dari negeri spaghetti disebabkan karena cita-citanya telah tercapai, yakni memberikan gelar Liga Champions kepada sang pemilik klub, Massimo Moratti. Sejak bergabung dengan Inter Milan dua tahun lalu, Mou berangan-angan melihat Moratti berpose bersama trofi Liga Champions, seperti halnya sang ayah dulu Angelo Moratti. Dan sekarang semua keinginannya itu terbayar sudah, Inter menjadi juara Eropa setelah 45 tahun menunggu.
Pribadi yang Menarik
Sejak menjadi pelatih klub sepak bola asal London, Chelsea, Mou memang terkenal sebagai pelatih yang penuh kontroversi. Sindiran serta sikap kepercayaan dirinya yang berlebih, kerap kali membuat telinga rival seterunya merah membara. Mengidentifikasikan dirinya sebagai The Special One, salah satu bentuk kepercayaan diri Mou. Terkadang Mou menganggap remeh lawan-lawannya, terlebih-lebih lagi pesaing terberatnya di English Premier Leaugue, Manchester United. Sikapnya yang seperti itu, kadang dianggap sebagai sikap seorang arogan dan penuh kesombongan. Sebagian media menyebutnya sebagai sifat orang yang licik dan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Namun dibalik itu semua, Mou adalah seorang pribadi yang menarik dengan gaya hidup sederhana. Setidaknya hal itu diakui oleh banyak pemain Chelsea dan Inter Milan, serta Louis Van Gaal, mantan atasannya ketika menjadi asisten pelatih di Barcelona. Di samping itu Mou gampang bersahabat, walau dengan pesaingnya sekalipun. Ketika Mou berada di kompetisi super ketat Liga Inggris, ia sering berseteru dengan Alex Fergusson. Namun sewaktu pulang kampung ke Portugal, dia tidak lupa mengoleh-olehi sahabatnya itu minuman beralkohol kualitas tinggi.
Mourinho seorang ahli strategi, dan keinginannya untuk meraih kemenangan sangatlah kuat. Tak ada cerita dalam kamus kepelatihannya menjadi nomor dua. Untuk itu, maka ia menyukai suatu hal secara detail agar kemenangan bisa diraih. Untuk mencapai kemenangan tersebut, tak hanya fisik pemain yang ia perhatikan, tapi suasana hati dan psikologis pemain benar-benar ia amati. Mou menjadi tempat curhat bagi pemainnya, sekaligus partner yang menyenangkan untuk berbagi pikiran.
Mou pelatih multi talented dengan kemampuan di atas rata-rata. Ia tidak pernah mempercayai teori umum dalam menangani sebuah klub. Strategi Mou seperti karakter dirinya sendiri, penuh misteri. Intuisi serta nalurilah yang membimbingnya dalam menjalani setiap roda kompetisi. Dia bisa beradaptasi dan menyesuaikan di mana ia sedang berkompetisi. Ketika melatih Chelsea di Liga Inggris, Mou sering menggunakan taktik ofensif. Namun sewaktu berada di kompetisi Italia yang cenderung mengandalkan sisi pertahanan, dia pun dengan cerdik meramu lini belakang tim sekuat tembok Cina. Selain itu, kemampuannya dalam perang urat syaraf, menjadi faktor lain dari proses keberhasilannya. Sehingga tak heran jika Mourinho selalu menjadi buruan para kuli tinta. Setiap akhir pekan, di koran-koran sepak bola hampir ada saja berita tentang dirinya. Dan tanpa disadari hal ini menjadikannya bak selebritis dunia. Bahkan ketenarannya melebihi pamor perdana menteri negerinya sendiri, Jose Socrates.
Jose Mario dos Santos Mourinho Felix, begitu nama lengkapnya, dilahirkan di Setubal, Portugal pada tanggal 26 Januari 1963. Di luar lapangan, ayah dengan dua anak ini banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, seperti proyek untuk anak-anak Israel dan Palestina. Mou mengawali karirnya di klub sepak bola lokal Vitoria de Setubal pada awal tahun 1990-an. Hingga akhirnya ia berhasil menjadi pelatih kepala menggantikan Jupp Heynckes di klub Benfica.
Merajai Eropa
Dalam final Liga Champions malam Minggu kemarin, Mou harus beradu cerdik dengan sahabat lamanya Louis Van Gaal, dan Arjen Robben pemain asuhannya dulu ketika melatih Chelsea. Mourinho yang pernah bersama keduanya, sepenuhnya tahu taktik dan strategi Van Gaal yang ofensif, serta permainan menggebrak ala Robben. Tak diperkuatnya Bayern oleh pemain sayap kiri handalan mereka, Franck Ribery, menjadi keuntungan tersendiri bagi Inter. Mou tahu, Van Gaal yang gila akan taktik menyerang, akan habis-habisan menggalang serangan lewat sisi kanan lapangan, dan itu mengandalkan Robben. Untuk menyumbat aliran permainan lawan, maka ia menginstruksikan kepada Lucio cs untuk tak memberi ruang tembak kepada striker-striker mereka, terlebih lagi dari sisi kanan lapangan permainan.
Ketika pertandingan berlangsung, benar saja apa yang diperkirakannya. Van Gaal memainkan strategi ofensif dengan mengandalkan Robben dari sayap kanan. Seperti halnya Barcelona yang takluk di babak semi final, tim asal Bavaria tersebut ingin secepat kilat melesakkan gol ke gawang Inter. Namun tak selamanya sepak bola ofensif dapat mengalahkan strategi defensif. Kita tahu taktik pertahanan grendel ala Italia, telah mengantarkannya menjadi juara dunia sebanyak empat kali. Dan sekali lagi, taktik ini dimainkan Mou secara sempurna.
Dalam pertandingan yang berlangsung di Stadion Santiago Barnabeu itu, Bayern memang berhasil menguasai jalannya pertandingan, dengan ball possession 67% : 33%. Namun keunggulan tersebut tak ada artinya ketika berhadapan dengan strategi jitu Jose Mourinho. Walau sejak menit awal serangan bertubi-tubi dilancarkan para pemain F.C Hollywood, tapi tak satupun yang menghasilkan gol. Ivica Olic yang berhasil mencetak hattrick pada laga terakhir kontra Olympique Lyon, tak bisa berbuat apa-apa menghadapi kokohnya lini belakang Inter Milan. Di menit ke-35, tiba saatnya kesempatan bagi Inter mencetak gol. Melewati lapangan tengah, bola tendangan kiper Julius Cesar langsung disambut oleh Wesley Sneijder. Tak banyak menggiring, Sneijder langsung mengoper bola ke arah pemain depan Diego Milito. Sedikit memperdayai pemain belakang lawan, Milito langsung melesakkan tendangan lambung yang tak bisa dihadang Jorg Butt. 1-0 untuk keunggulan I Nerazzurri. Di babak kedua, Bayern masih menjalankan taktik yang sama. Taktik ofensif yang cenderung mengabaikan pertahanan. Di menit ke-47, gawang Inter sempat terancam. Namun sigapnya kiper Julius Cesar menahan bola, mementahkan satu-satunya peluang yang dimiliki F.C Hollywood malam itu. Mengandalkan serangan balik pada menit ke-70, lewat kaki Milito, Inter kembali melesakkan gol. 2-0 untuk keunggulan Inter dan bertahan hingga akhir pertandingan.
Secara profesional, di atas kertas Mourinho berada di bawah Van Gaal. Namun kecerdikan Mou malam itu, telah membuyarakan segala-galanya. Sebelum pertandingan digelar, hampir seluruh rumah-rumah judi mengunggulkan Inter sebagai jawara. Bukan karena faktor pemainnya yang bagus, namun faktor Sang Spesial-lah yang membuat sebagian besar para petaruh optimis, kalau Inter bakal keluar sebagai juara. Dan setelah kemenangan itu bukan hanya Mourinho yang tersenyum, tetapi juga para petaruh bola di seluruh dunia yang ikut mencicipi manisnya menjadi pemenang.