Istana Siak (sumber : riauonline.com)

Dalam buku-buku sejarah Indonesia, kita nyaris tak pernah membaca riwayat Raja Kecil. Namanya tenggelam diantara nama raja-raja besar seperti Hayam Wuruk, Hasanuddin, ataupun Iskandar Muda. Padahal tokoh yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah ini juga memiliki riwayat yang tak kalah mentereng. Raja Kecil merupakan seorang penguasa Selat Malaka pada paruh pertama abad ke-18. Dia pernah menjadi raja di Kesultanan Johor, sebelum akhirnya mendirikan Kesultanan Siak Sri Inderapura. Mungkin sebagian Anda ada yang bertanya-tanya : dimanakah Siak Sri Inderapura itu? Apakah kesultanan ini sama dengan Kesultanan Inderapura? Sebagai informasi, Kesultanan Siak Sri Inderapura merupakan kerajaan yang pernah tumbuh di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Sedangkan Kesultanan Inderapura berlokasi di Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Meski keduanya merupakan entitas politik yang berbeda, namun mereka memiliki pertautan yang sama, yakni dengan Kerajaan Pagaruyung.

Berbeda dengan sejarah Indonesia, di Malaysia riwayat Raja Kecil menjadi catatan penting. Kisahnya diulas seperti halnya kita mengulas perjuangan Diponegoro atau Tuanku Imam Bonjol. Salah satu buku yang banyak dikutip sejarawan Malaysia adalah History of Malaysia yang ditulis oleh Barbara Watson dan Leonard Andaya. Di buku yang lain : Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka serta The Kingdom of Johor, Leonard juga membahas sepak terjang tokoh yang satu ini. Jauh sebelum Leonard dan Barbara menguliti Raja Kecil, pada tahun 1866 seorang sastrawan Melayu-Bugis : Raja Ali Haji, juga telah menulis riwayat penguasa Siak tersebut. Buku yang diberinya judul Tuhfat al-Nafis itu, banyak mengoreksi mitos-mitos tentang Raja Kecil yang diceritakan dalam Hikayat Siak. Yang menarik, di Terengganu adapula manuskrip Tuhfat al-Nafis Naskhah Terengganu. Manuskrip ini, menurut budayawan Kepri : Rida K. Liamsi dikenal sebagai Tuhfat al-Nafis versi Melayu. Versi ini seperti hendak merevisi karya Raja Ali Haji yang menurut sebagian orang cenderung Bugis-sentris. Entah apa yang melatari terbitnya Tuhfat al-Nafis versi Melayu itu. Mungkin karena adanya kepentingan politik-sejarah yang hendak mengeliminir peranan suatu bangsa dan menonjolkan bangsa lainnya. Sama seperti halnya Tuhfat al-Nafis, Hikayat Siak-pun juga semacam alat justifikasi politik. Dalam hikayat itu diceritakan bahwa Raja Kecil merupakan putra dari Sultan Mahmud Syah II, yang menurut sebagian ahli sejarah diragukan kebenarannya.

* * *

Semenanjung Malaya sekurangnya telah diteroka oleh orang-orang Minang sejak abad ke-12. Kedatangan mereka, semula hendak mencari bongkahan emas yang merupakan kelanjutan dari usaha di pedalaman Sumatera. Di semenanjung, sebagian besar orang Minang hidup dari kegiatan pertambangan dan perdagangan. Pada paruh pertama abad ke-17, komunitas Minang boleh dibilang sudah cukup ramai. Mereka telah memenuhi kampung-kampung di sepanjang Sungai Linggi dan Sungai Muar, serta membentuk koloni di Sungai Ujung, Rembau, dan Naning. Karena hendak menguasai tambang timah di kawasan tersebut, koloni-koloni inipun ingin melepaskan diri dari kuasa Johor. Terlebih mereka juga mengincar perdagangan di Selat Malaka yang semakin ramai. Permintaan ini tentu tak dapat diterima oleh pihak Johor. Untuk meredam kebangkitan orang Minang, Johor-pun bekerjasama dengan VOC Belanda di Malaka.  

Meski pada saat itu Johor telah menguasai Pahang dan Kepulauan Riau, namun ia hendak pula menaklukkan pesisir timur Sumatera. Untuk itu maka dilancarkanlah serangan atas Kesultanan Jambi pada tahun 1666. Sayang! dalam serangan itu Johor mengalami kekalahan. Setelah berperang selama tujuh tahun, ibu kotanya di Batu Sawar porak poranda. Sultannya, Abdul Jalil Syah III melarikan diri ke Pahang. Ia wafat disana pada tahun 1677 dan digantikan sepupunya : Sultan Ibrahim Syah. Untuk membalas kekalahan atas Jambi, sultan yang baru itupun meminta bantuan pasukan Bugis.

Sebagai catatan, sejak paruh kedua abad ke-17 banyak orang-orang Bugis yang bermukim di negeri-negeri Melayu. Mereka yang tak puas atas kekuasaan Kesultanan Gowa, lari dari tanah Bugis dan pergi ke seberang lautan. Di rantau, komunitas ini kemudian membangun simpul-simpul perlawanan yang pada akhirnya menjadi sebuah entitas yang solid. Beberapa kawasan rantau Bugis di abad ke-17 antara lain pesisir barat Kalimantan, Kepulauan Riau, Johor, dan Selangor. Kebanyakan mereka tinggal di daerah-daerah tak bertuan, tersuruk, dan relatif lengang. Karena hidup di rawa-rawa dan muara sungai, banyak dari mereka yang bekerja sebagai nelayan, pelaut, dan tak sedikit yang menjadi bajak laut. Sejak saat itu, orang-orang Bugis — yang mayoritas bertani, lebih dikenal sebagai pelaut. Sebagai orang bebas yang mengembara di lautan, ada kalanya mereka dipakai sebagai tentara bayaran. Dan pada tahun 1679, berkat bantuan pasukan Bugis, Kesultanan Johor berhasil menaklukkan Jambi.

Walau mengalami kemenangan atas Jambi, namun sebenarnya kekuatan Johor telah memudar. Di tambah lagi, konflik demi konflik yang terjadi di internal, semakin melemahkan kedudukan mereka. Pada tahun 1683, konflik antara pembesar-pembesar Johor — kelompok Laksamana versus Bendahara, semakin mengemuka. Dalam kemelut itu, Sultan Ibrahim Syah mangkat. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Sultan Mahmud Syah II yang terkenal zalim. Tahun 1699, sultan itupun mati terbunuh. Karena ia tak memiliki anak laki-laki, bendahara Johor saat itu, Tun Abdul Jalil, mendeklarasikan dirinya sebagai sultan Johor. Keputusan sepihak inipun sontak menimbulkan kemarahan di kalangan rakyat, terlebih ia bukan keturunan Dinasti Malaka-Johor. Orang-orang Laut yang sangat loyal terhadap dinasti itu, lalu melakukan desersi dan menolak pemerintahannya. Momentum ini tak disia-siakan oleh komunitas Minang semenanjung yang hendak membebaskan diri dari pengaruh Johor. Sadar tak memiliki kekuatan yang mumpuni, mereka-pun meminta bantuan kepada sultan Pagaruyung. Merespons permintaan itu, sultan Pagaruyung mengutus Raja Kecil untuk mengkonsolidasi pasukan Minang di Siak. Ia juga ditugaskan untuk mencari dukungan para pembesar Johor, serta membuat siasat yang melegitimasinya sebagai pewaris sah tahta Johor.

Raja Kecil Mengkudeta Kesultanan Johor

Pada tahun 1718, Raja Kecil beserta pasukan Minangkabau menyerang istana Johor. Atas sokongan Orang Laut, ia masuk ke jantung kekuasaan Johor nyaris tanpa perlawanan. Ia lalu mengkudeta Tun Abdul Jalil sekaligus mengangkat dirinya sebagai penguasa Johor. Sebelum melakukan penyerangan, Raja Kecil mengumpulkan orang-orang Minang yang ada di Bengkalis dan Batubara. Ia juga sempat mengajak Daeng Parani, pimpinan Bugis, untuk bekerjasama dengannya. Dia menjanjikan keuntungan ekonomi serta kedudukan politik jika Bugis mau membantu mendudukkannya sebagai sultan Johor. Namun karena dirasa pasukan Minang sudah cukup kuat, Raja Kecil-pun berinisiatif melakukan penyerangan tanpa bantuan Bugis. Setelah ia menduduki tampuk kekuasaan, pimpinan Bugis-pun datang menuntut apa yang pernah dijanjikannya. Dengan alasan tak ikut membantu, Raja Kecil-pun menolak permintaan tersebut.  

Untuk menghindari pembalasan Tun Abdul Jalil, Raja Kecil lalu memindahkan ibu kota Johor ke Bintan. Pada tahun 1721 melalui orang suruhannya, ia membunuh Tun Abdul Jalil di Kuala Pahang. Marah karena ayahnya dibunuh, putra Abdul Jalil-pun meminta bantuan Bugis untuk menuntut balas. Gayung bersambut, Upu-upu Bugis (Daeng Parani dan adik-adiknya) yang merasa dikhianati Raja Kecil, lalu menyiapkan sekitar seribu pasukan Bugis. Dengan menaiki tujuh buah kapal besar dan beberapa kapal kecil, mereka berangkat dari Matan (Kalimantan Barat) menuju Kepulauan Riau. Setelah berperang selama dua hari, Raja Kecil-pun meninggalkan Bintan dan mundur ke Siak. Upu-upu Bugis akhirnya berhasil membalaskan dendam terhadap Raja Kecil, sekaligus mendudukkan putra Abdul Jalil : Sulaiman Badrul Alam Syah sebagai raja. Meski Sulaiman duduk sebagai sultan, namun secara de facto kuasa Johor berada di tangan Daeng Merawah (adik Daeng Parani) yang menjabat sebagai Yamtuan Muda. Setidaknya ini berlangsung sampai tahun 1755 sebelum akhirnya Sulaiman meminta bantuan Belanda untuk menyingkirkan orang-orang Bugis.

Munculnya Kesultanan Siak Sri Inderapura

Wilayah Kesultanan Siak (kuning) tahun 1850

Sejak awal abad ke-17, Siak merupakan daerah takluk dari Kesultanan Johor. Namun daerah ini kerap kali diabaikan karena tak memiliki hasil pertambangan dan pertanian yang memadai. Di sisi lain, Siak juga merupakan lintasan bagi para pedagang Minang dari pedalaman (darek) ke Selat Malaka. Menurut Tome Pires, kawasan ini secara tradisional telah menjadi pelabuhan dagang raja Minangkabau. Salah satu faktor yang menyebabkan ramainya para pedagang Minang di Siak — dan pesisir timur Sumatera pada umumnya — dikarenakan makin menguatnya kedudukan Belanda di Padang. Disamping itu kehadiran para pedagang Inggris di Selat Malaka, juga mendorong para penggalas darek untuk berdagang di Siak. Berbeda dengan VOC di Padang yang hendak memonopoli seluruh komoditi ranah Minang, para pedagang Inggris justru memberikan keuntungan yang menarik. Sementara itu, karena tak memberikan hasil yang berarti, sejak tahun 1662 Johor tak lagi menempatkan wakilnya di Siak. Kesempatan ini tentu dimanfaatkan oleh para pedagang Minang untuk memperkuat kedudukannya disini. Seiring berjalannya waktu, muara Siak telah dipenuhi orang-orang Minang. Selain para wiraswasta terkemuka, disini berkumpul pula orang-orang bagak yang suka bertempur. Dan diantara kumpulan orang-orang itu, ada seorang yang menjadi pimpinan mereka yang dikenal sebagai Raja Kecil.

Setelah dipukul mundur dari Bintan, pada tahun 1723 Raja Kecil menyusun kekuatan baru. Di Buantan ia lalu mendirikan Kesultanan Siak Sri Inderapura. Sebagai perpanjangan tangan sultan Pagaruyung, Raja Kecil mengangkat Datuk Empat Suku. Datuk-datuk ini merupakan perwakilan empat luhak di Minangkabau yang berfungsi sebagai penasehat utama raja. Setelah semua perangkat kerajaan lengkap tersusun, Raja Kecil lalu melakukan perluasan wilayah. Ia menaklukkan beberapa daerah di sekitar Siak, hingga ke Rokan di utara. Untuk menancapkan pengaruhnya di semenanjung, ia juga terlibat dalam perebutan kuasa di Kedah. Kala itu ia yang mendukung Yamtuan Muda, berhadap-hadapan dengan sultan Kedah sokongan Bugis. Dalam suatu pertempuran, pasukan Siak berhasil menembak mati Daeng Parani. Namun karena terus terdesak, Siak akhirnya meninggalkan Kedah dan mundur ke Buantan. Mereka lalu menyiapkan armada laut di Bintan, untuk merebut kembali Kesultanan Johor.

Merasa telah memiliki armada yang cukup, pada tahun 1724 Raja Kecil menyerang Johor. Dalam penyerangan ini, ia mengalami kegagalan. Meski sudah bersumpah tak lagi menyerang Johor, dua tahun kemudian ia kembali menyerbu kesultanan itu. Karena kuatnya perlindungan pasukan Bugis, memaksanya untuk kembali mundur ke Buantan. Setelah mengalami dua kali kekalahan, tahun 1736 Siak kembali menyerang Johor. Kali ini penyerangan dipimpin oleh Tengku Alamuddin, putra tertuanya. Dalam serbuan itu, lagi-lagi Siak tersungkur. Karena mengalami kekalahan demi kekalahan, Raja Kecil-pun memfokuskan kekuatannya di daratan. Pada tahun 1740, ia sekali lagi menginvasi Semenanjung Malaya. Ekspansi ini terus ia lakukan hingga wafatnya di tahun 1746. Pasca kematiannya, kekuasaan Siak tak lantas memudar. Cucunya : Raja Ismail yang dikenal sebagai raja laut, berhasil memperluas kekuasaan Siak hingga mencapai Deli di barat dan Sambas di timur. Raja ini juga menguasai pertambangan timah di Bangka, dan menjadi momok bagi VOC Belanda.

Siapa Sebenarnya Raja Kecil?

Asal usul Raja Kecil, hingga saat ini masih penuh misteri. Meski banyak sumber yang bisa dijadikan rujukan, namun sumber-sumber itu saling bertolak belakang. Hikayat Siak yang ditulis pada pertengahan abad ke-19, mengatakan bahwa Raja Kecil merupakan putra Sultan Mahmud Syah II yang dibunuh. Sumber ini kemudian menjadi rujukan sebagian orang yang meyakini bahwa Raja Kecil adalah pewaris tahta Johor. Sebagaimana diketahui, Hikayat Siak ditulis berdasarkan permintaan anggota keluarga Kesultanan Siak. Boleh jadi, buku ini ditulis untuk melegitimasi apa yang dilakukan oleh Raja Kecil di tahun 1718. Jim Baker dalam bukunya Crossroad : A Popular History of Malaysia and Singapore berpendapat, bahwa hikayat ini terlalu mengada-ada. Banyak cerita-cerita janggal disana, seperti proses kehamilan Encik Pong, ibunda Raja Kecil, yang menelan air mani Sultan Mahmud. Lalu kepergian Raja Kecil ke Pagaruyung yang kemudian diasuh oleh Putri Jamilan, anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung. Kejanggalan lainnya adalah pengujian Raja Kecil dengan getah jelatang dan mahkota, yang menurut sejarawan juga tak masuk akal.

Berbeda dengan Hikayat Siak, Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis justru menduga bahwa Raja Kecil adalah orang Pagaruyung. Karena cara penulisannya yang indah dan terstruktur, kitab ini lalu menjadi rujukan mayoritas sejarawan. Selain Raja Ali Haji, sejarawan Amerika : Jim Baker, juga meyakini bahwa Raja Kecil berasal dari Minangkabau. Leonard Andaya dalam bukunya Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka mengungkapkan, sebenarnya ketika Raja Kecil mengambil alih kesultanan, banyak masyarakat Johor yang tak percaya kalau ia putra dari Sultan Mahmud Syah. Orang-orang lebih meyakini bahwa ia putra Minangkabau yang mengaku-aku sebagai pewaris tahta Johor. Itulah mengapa, ketika Raja Kecil diserang pasukan Bugis di tahun 1722, banyak rakyat Johor yang tak lagi mendukungnya.

Tak ada catatan pasti, mengapa ia digelari sebagai Raja Kecil. Tetapi kalau kita merujuk kepada kosmologi alam Minangkabau, ada istilah : luhak berpenghulu, rantau beraja. Karena Siak merupakan kawasan rantau Minangkabau, maka pimpinan disini diberi gelar raja. Sedangkan makna “kecil” sendiri, kita mesti menerka-nerka. Entah karena usianya yang kecil, tubuhnya yang kecil, atau kedudukannya yang kecil. Namun yang jelas dalam surat VOC tertahun 1716, Sultan Indermasyah dari Pagaruyung menyatakan bahwa Raja Kecil merupakan wakil Pagaruyung. Kalau mengikuti logika ini, maka Raja Kecil merupakan istilah kepada pimpinan komunitas Minang di tanah rantau, sedangkan raja besarnya adalah sultan Pagaruyung. Ini serupa dengan yang berlaku di Barus, dimana raja kecil disana tunduk kepada kekuasaan Pagaruyung.

Tinggalkan komentar