Pedagang Muslim Pesisir

Pedagang Muslim Pesisir

Banyak sumber yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, terutama disebabkan oleh adanya pergerakan politik serta kesadaran nasional diantara para pedagang muslim. Dalam artikel kali ini, kita akan melihat sejauh mana peran mereka khususnya di Pulau Jawa, dalam menentukan arah politik-ekonomi Nusantara. Takashi Shiraishi dalam disertasinya yang berjudul Islam and Communism: An Illumination of the People’s Movement in Java, 1912-1926 mencatat dengan detail bagaimana para pedagang muslim yang berkelit berkelindan dengan komunisme mendobrak sistem politik kolonial. Disamping itu, karya Azyumardi Azra : Renaisans Islam Asia Tenggara, juga mencatat dengan apik bagaimana para pedagang muslim beserta jaringannya memainkan peran politik yang cukup besar. Yang tak kalah menarik adalah catatan yang dihimpun oleh Denys Lombard dalam bukunya Le Carrefour Javanais, yang kemudian menjadi referensi utama penulis dalam penyusunan artikel ini.

Di abad ke-16, boleh dibilang negeri-negeri di pesisir utara Pulau Jawa cukuplah berkembang. Banten, Cirebon, Pekalongan, Jepara, Surabaya adalah beberapa kota niaga yang ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai bangsa. Disamping orang Jawa, bangsa Arab, Persia, Gujarat, Malabar, Melayu, Aceh, China — yang hampir semuanya beragama Islam, menjadi unsur terpenting dalam proses perdagangan di kawasan ini. Sejak tahun 1512, datang pula bangsa-bangsa Eropa untuk ikut berdagang disini. Mulai dari orang Portugal, Spanyol, Inggris, hingga Belanda. Dari laporan orang-orang Eropa inilah kemudian, kita bisa memperoleh informasi adanya sikap permusuhan raja-raja Mataram terhadap para pedagang muslim di pesisir. Salah seorang yang mencatat hal tersebut adalah Rijklof van Goens, yang lima kali ikut dalam rombongan Perusahaan Dagang Hindia-Belanda (VOC) ke istana Mataram selama periode 1648 – 1654. Goens mengira, kecurigaan raja-raja Mataram itu disebabkan oleh adanya potensi penguasaan politik serta usaha mereka memonopoli perdagangan.

Karena kekhawatiran itu, raja kemudian mengatur sendiri politik perdagangan dengan memberi izin kepada VOC untuk berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. Namun kebijakan ini tak selamanya menguntungkan Mataram. Menurut sebagian sejarawan, kejadian itu justru menjadi titik balik bagi kebangkitan perdagangan Belanda di Pulau Jawa. Selain mendapat bekingan raja Mataram, kekuatan modal, teknologi, jaringan, dan militer, merupakan kunci keberhasilan bisnis VOC. Ini pulalah yang menjelaskan, mengapa di abad ke-17 raja-raja pesisir dengan mudahnya bertekuk lutut.

peta mataram islam

Dengan jatuhnya kota-kota niaga pesisir ke tangan VOC, praktis perdagangan muslim di kawasan itu juga ikut merosot. Namun begitu bukan berarti mereka absen secara keseluruhan. Perdagangan mereka tetap berlangsung, namun dengan pengawasan ketat raja Mataram. Untuk memantau gerak-gerik mereka, Mataram membentuk perangkat administrasi, lengkap dengan birokrasinya. Mula-mula kota-kota di pesisir dibagi menjadi tujuh propinsi : Blambangan, Surabaya, Tuban, Pati, Demak, Pemalang, dan Cirebon, yang dipimpin oleh adipati. Lalu disetiap pelabuhan ditempatkan syahbandar yang otonom, beserta komisaris tinggi, Kiai Wira, dan Kiai Wirajaya.

Meski raja-raja Mataram di masa itu telah memeluk Islam, namun ada perbedaan pandangan antara mereka dengan para pedagang di pesisir. Ortodoksi pedalaman dan agresivitas pesisir-lah yang membedakan keduanya. Mungkin juga hal ini disebabkan oleh kultur Hindu yang masih melekat di kalangan raja-raja, dimana para pedagang masih dianggap sebagai pihak inferior. Inilah mengapa pada awal abad ke-20, di Jawa lahir Muhammadiyah yang banyak diisi oleh kalangan pengusaha dan Nahdlatul Ulama yang tradisional-feodal.

Di pergantian abad XVIII ke XIX, monopoli VOC telah berakhir. Namun secara politik Jawa tetap terhimpit oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Kawula Jawa ketika itu diposisikan sebagai warga negara kelas tiga. Dimana perdagangan besar banyak dimainkan oleh orang-orang Eropa, dan perdagangan antara diserahkan kepada kaum Tionghoa. Politik diskriminasi semacam ini, tentu menyulitkan para pedagng muslim. Setelah sekian lama termarjinalkan, di paruh kedua abad ke-19 kita bisa menyaksikan adanya revivalisme dari para usahawan muslim. Perniagaan gaya lama dengan sektor-sektor baru, seperti : produksi kopra, budi daya karet, industri batik, penanaman tembakau dan pengeringan daun-daunnya, serta industri rokok kretek, tumbuh berkembang hampir merata di seluruh pulau. Dalam rentang waktu beberapa dasawarsa, timbul peta ekonomi baru dari perusahaan-perusahaan yang diupayakan oleh para santri : perkebunan kelapa di Banten, perkebunan tembakau di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta perkebunan karet di Jawa Barat. Sejak tahun 1870 hingga ke masa kemerdekaan, industri batik dan rokok kretek yang sebagian besar di tangan pedagang muslim, telah memainkan peranannya dalam pergerakan politik di tanah Jawa. Disamping itu perlu pula dicatat, kedua industri ini tak memerlukan modal besar. Sehingga tak banyak bergantung kepada perbankan yang ketika itu dikuasai kaum kolonial.

GKBI

Wisma GKBI, salah satu aset milik Gabungan Koperasi Batik Indonesia

Dari kegiatan bisnis ini lahirlah kelas borjuis baru, yang kemudian banyak diantaranya yang mendaftar untuk naik haji. Hal inilah yang menjelaskan mengapa di tahun 1880-an kenaikan jumlah jemaah haji di Pulau Jawa meningkat pesat. Disamping menjadi pengusaha, banyak pula diantara mereka yang menjadi tokoh pergerakan, yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Salah satu pergerakan yang paling tua adalah koperasi, yang pertama-tama dilancarkan di Purwokerto pada tahun 1895 atas prakarsa beberapa pegawai Belanda — terutama Wolff van Westerrode yang ingin melipatgandakan kredit pertanian. Akan tetapi di tahun 1920, gagasan itu diambil alih oleh Mohammad Hatta yang menganjurkan adanya koperasi produksi. Kemudian pada tahun 1935, Dr. Sutomo juga tertarik dengan konsep itu, yang menjadikannya sebagai salah satu misi Partai Indonesia Raya. Di tahun itu pula berdiri koperasi pengusaha batik pertama, yang kemudian semuanya melebur ke dalam satu wadah bersama : GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia).

Sejumlah pergerakan yang jauh lebih menonjol karena pendirian keagamaan mereka, telah dilancarkan sejak tahun 1911 di Pasundan dan Jawa Tengah. Haji Abdul Halim yang pada tahun itu kembali dari Mekkah, mendirikan Hajatul Qulub di Majalengka. Organisasi ini bertujuan untuk memajukan pendidikan dan kebangkitan ekonomi para anggotanya. Anggotanya yang semula hanya berjumlah 60 orang, membayar iuran mingguan dengan tujuan untuk mendirikan perusahaan penenunan. Enam tahun kemudian perkumpulan itu berubah menjadi Persyarikatan Ulama, membuka panti yatim piatu dan madrasah modern : Santi Asrama. Akan tetapi perkumpulan ini bergerak di Jawa Barat saja, kecuali ditambah sedikit di Tegal dan Sumatera Selatan. Pada tahun 1923, pedagang-pedagang asal Sumatera : Haji Zamzam dan Haji Muhammad Junus, mendirikan Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Tak lama kemudian ikut bergabung Ahmad Hassan, seorang pedagang Tamil kelahiran Singapura, dan Mohammad Natsir, yang kelak menjadi tokoh besar Islam serta perdana menteri Indonesia. Tujuan pendirian Persis terutama ingin meningkatkan tabligh dengan membangun sekolah-sekolah dan menerbitkan tabloid secara berkala (Al Fatwa dalam Bahasa Melayu dan Al-Taqwa dalam Bahasa Sunda). Selain dua tabloid itu, media pertama Persis : Pembela Islam yang terbit sepanjang tahun 1929 – 1935, banyak pula mengkritisi kebijakan politik Hindia-Belanda. Pada tahun 1935, perkumpulan itu telah mempunyai 3.000 orang anggota, yang terbagi ke dalam 20 seksi. Dua seksi masing-masing di Sumatera dan Sulawesi, serta selebihnya di Pulau Jawa.

Samanhudi, Cokroaminoto, dan Agus Salim

Samanhudi, Cokroaminoto, dan Agus Salim

Tahun 1911 berdiri satu perkumpulan lagi yang kemudian memberikan dampak besar terhadap perjalanan sejarah Indonesia. Dia adalah Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi beserta para pedagang batik di Surakarta. Kehadiran organisasi ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap meningkatnya bisnis kaum Tionghoa. Organisasi yang kemudian mengubah namanya menjadi Sarekat Islam itu, memperoleh momentumnya ketika berada di bawah pimpinan Haji Oemar Said Cokroaminoto dan Haji Agus Salim. Di tangan mereka, organisasi ini kemudian menjelma menjadi partai politik yang paling ditakuti. Beberapa tokohnya, kemudian duduk sebagai anggota dewan rakyat (Volksraad) bentukan Belanda. Selain mereka berdua, figur lain yang menjadi anggota Volksraad sekaligus corong politik partai adalah Abdul Muis. Tokoh yang kemudian dikenal sebagai sastrawan itu, melakukan road show politik ke berbagai daerah yang telah mengguncang pemerintah kolonial. Meski sebelum Perang Pasifik meletus nama organisasi ini tak terdengar lagi, namun Sarekat Islam telah menjadi kawah candradimuka bagi tokoh-tokoh politik nasional. Nama-nama beken seperti Soekarno, Tan Malaka, Semaun, dan Kartosuwiryo, merupakan aktivis pergerakan yang lahir dari organisasi ini.

Di tahun 1912, Haji Ahmad Dahlan seorang tokoh purifikasi di Yogyakarta mendirikan Muhammadiyah. Semula organisasi ini bertujuan untuk mengajak umat muslim untuk kembali ke ajaran Islam yang awal (salaf), sembari membentuk lembaga-lembaga amal yang mengurus bantuan sosial dan pendidikan. Namun dalam perjalanannya, perkumpulan ini banyak mendapatkan perhatian dari para saudagar, khususnya pengusaha batik dan hasil bumi. Haji Abdul Karim Amrullah yang juga seorang puritan, kemudian memperkenalkan organisasi ini di Sumatera Barat. Ternyata nafas organisasi ini juga sesuai dengan para pedagang Minangkabau yang progresif. Tak lama setelah Muhammadiyah membuka cabangnya di Padangpanjang, segera para saudagar Minang yang tersebar di seantero Nusantara menyatakan diri ikut bergabung di dalamnya. Malah menurut Ricklefs, lewat mereka-lah kemudian organisasi ini diperkenalkan ke seluruh pelosok Indonesia. Pada tahun 1925 – pasca wafatnya Dahlan — anggota Muhammadiyah hanya berjumlah 4.000 orang, memiliki 55 sekolah dan dua klinik di Yogyakarta dan Surabaya. 13 tahun kemudian, perkumpulan ini telah berhasil menghimpun sekitar 250.000 anggota, mengelola 834 mesjid, 31 perpustakaan, dan 1.774 sekolah.

Setelah kemerdekaan tercapai, banyak pengusaha muslim yang sebelumnya mendanai pergerakan nasional bergabung dan menjadi simpatisan Partai Masyumi. Diantara mereka banyak yang menginginkan terciptanya perkembangan ekonomi yang sehat berdasarkan usaha bebas dan modal nasional. Oleh karenanya ketika Natsir menjadi perdana menteri, ia menggelontorkan Program Benteng yang bertujuan untuk melahirkan kapitalis-kapitalis “pribumi”. Kemudian ide ini mulai terwujud pada masa pemerintahan Ali Sastroamidjojo. Dari program inilah kemudian lahir pengusaha-pengusaha nasional seperti Hasjim Ning, Agus Musin Dasaad, Rahman Tamin, Achmad Bakrie, Soedarpo Sastrosatomo, dan Abdul Gani Aziz. Namun begitu ada pula pengusaha-pengusaha muslim yang merangkak dari bawah dan terlepas dari dukungan politik pemerintah, seperti Mohamad Saleh Kurnia dan Thayeb Mohamad Gobel.

Jusuf Kalla - Aburizal Bakrie (sumber : www.tempo.co)

Jusuf Kalla – Aburizal Bakrie (sumber : http://www.tempo.co)

Untuk memperkuat kedudukan pengusaha muslim, pada tahun 1959 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 yang membatasi pergerakan modal asing. PP ini kemudian diprotes oleh kalangan Tionghoa, yang justru banyak mendapatkan suntikan modal asing. Orang-orang Tionghoa menganggap, PP ini hendak mengkebiri dan membatasi ruang gerak usaha mereka. Meski politik afirmasi semacam ini memperoleh gaungnya di Malaysia, namun di Indonesia sendiri – khususnya di Pulau Jawa, peraturan ini tak berjalan efektif.

Pada masa Orde Baru, di saat pemerintah membutuhkan modal asing, kebijakan ini benar-benar ditinggalkan. Presiden Soeharto yang ingin mengejar pembangunan di segala bidang, malah mendorong modal-modal asing untuk segera masuk ke Indonesia. Dari sekian banyak modal asing yang melebur ke dalam perusahaan-perusahaan nasional, hanya sedikit yang berhasil ditangkap para pengusaha muslim. Lagi-lagi hal ini disebabkan oleh kedudukan politik mereka yang lemah. Soeharto – seperti halnya raja Amangkurat I — nampaknya khawatir jika para pengusaha muslim ini menjadi besar, maka mereka akan mengambilalih kekuasaan. Walau tak lagi menjadi pemain utama seperti pada masa rezim Soekarno, namun banyak diantara mereka — yang umumnya mantan anggota Himpunan Mahasiswa Islam, ikut bergabung ke dalam Partai Golkar. Diantara mereka yang kelak menjadi orang-orang penting antara lain Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan Fahmi Idris. Bahkan Jusuf Kalla, seorang pengusaha asal Bugis, hingga hari ini masih duduk sebagai Wakil Presiden. Dan Aburizal Bakrie, putra Achmad Bakrie, memimpin Partai Golkar sekaligus menjadi politisi yang diperhitungkan.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s