Pantai Ao Nang

Setelah berkelana dan menginap selama tiga malam di Bangkok, kami melanjutkan masa percutian ke Thailand selatan. Kami menjelajahi kota Krabi dan Phuket, dua kota yang menjadi tujuan para pelancong yang hendak menikmati Laut Andaman. Jarak antara Bangkok dan Krabi ditempuh dalam waktu 1 jam 25 menit. Kami berangkat dari Bandar Udara Don Mueang naik maskapai Thai Lion Air. Tiket menuju Krabi telah kami pesan sejak jauh-jauh hari – tepatnya empat bulan sebelum keberangkatan, dengan harga 1.190 Baht per orang. Saya tak tahu apakah harga tiket ini tergolong murah. Tapi jika dibandingkan dengan tiket Jakarta-Surabaya yang memiliki jarak tempuh yang sama, harga ini hanya separuhnya. Entah mengapa harga tiket domestik di Thailand jauh lebih murah tenimbang negara kita. Mungkin karena pemerintahnya memberikan subsidi untuk industri penerbangan?

Kami tiba di Bandara Krabi sudah lewat tengah hari. Setibanya di pintu keluar, banyak orang yang menawarkan jasa mereka untuk mengantar penumpang ke berbagai tujuan. Kota Krabi tak terlampau besar. Dari segi keramaian seperti kota Pangkal Pinang di Pulau Bangka. Setelah melakukan tawar menawar dengan beberapa pihak, kami akhirnya deal dengan sebuah perusahaan taksi yang saya lupa namanya. Kami diberi harga 900 Baht untuk minibus berukuran 10 orang. Tujuannya : Pantai Ao Nang. Kebetulan penginapan kami tak jauh dari pantai tersebut. Hanya berjarak 850 meter. Jarak antara bandara dengan Ao Nang sekitar 25 km. Namun karena lalu lintasnya lengang, perjalanan hanya ditempuh selama 40 menit. Kami sempat berhenti di kantor perusahaan tersebut, dan ditawarkan paket wisata untuk berkeliling selama di Krabi. Karena sudah memiliki jadwal sendiri, tawaran itupun tak kami terima. Saya sempat menanyakan apakah ia memiliki layanan taksi menuju Phuket. Bak gayung bersambut, ternyata mereka juga menyediakan taksi untuk menuju pulau tersebut. Untuk minibus kapasitias 10 orang, kami diberi harga 3.000 Baht.

Sebenarnya dari Krabi ke Phuket bisa naik bus/van dengan ongkos 150 Baht. Naiknya dari Terminal Krabi dan turun di Terminal Phuket. Dari Ao Nang ke Terminal Krabi ada shuttle seharga 100 Baht. Setibanya di Terminal Phuket, untuk ke hotel nanti harus menyambung lagi dengan taksi. Agak ribet sih. Tapi kalau Anda solo traveler, jatuhnya jauh lebih murah. Satu lagi cara umum yang biasa dipakai para wisatawan adalah dengan menaiki ferry dari dermaga Nopharat Thara. Ongkosnya sekitar 300 Baht dengan masa tempuh 3,5 jam. Karena kami anak-beranak, maka lebih nyaman mencarter taksi dari point to point.

Di Krabi, kami menginap di Sugar Marina Cliffhanger. Sebuah hotel butik yang terletak di pinggiran tebing. Kami memesan family room dengan harga 1.880 Baht per malamnya. Kawasan Ao Nang merupakan pusat keramaian kota Krabi. Selain Sugar Marina, banyak pula hotel bintang empat dan tiga yang berdiri disini. Jaringan internasional seperti Holiday Inn dan Ibis juga telah menancapkan kukunya di Ao Nang. Bagi Anda yang menyukai penginapan dengan private beach, resort di Pantai Tonsai ataupun Railay bisa menjadi pilihan. Secara umum keramahtamahan masyarakat Krabi cukuplah baik. Pegawai hotelnya dengan senang hati membantu kami. Begitupula dengan pelayan resto, pedagang kaki lima, pengemudi taksi dan tuktuk, semua memberikan senyum terbaiknya. Untuk hospitality, Thailand memang juara. Ya, sebelas-duabelas lah dengan negara kita.

Pantai Railay

Selama tiga hari dua malam disini, kami menikmati suasana pedesaan Thailand. Kami masih bisa melihat sawah-sawah serta nelayan yang pergi melaut. Meski Krabi merupakan daerah tujuan wisata, namun disini tak se-hectic Pulau Phuket. Kafe-kafe seperti halnya di Bangla Road, hanya satu-dua yang kami temui. Hari pertama di Krabi, kami menghabiskan waktu dengan bermain-main di Pantai Ao Nang. Pantai ini merupakan pusat keramaian di Krabi. Karena pantainya landai, anak-anak bisa bermain pasir dengan bebasnya. Beruntung pihak hotel menyediakan tikar di setiap kamar, sehingga kami tak harus menyewa tempat duduk di kafe pinggir pantai. Menjelang matahari terbenam, ada atraksi tarian api yang dimainkan remaja lokal. Kami sempat merekam aksi mereka, sambil menikmati sang surya yang lamat-lamat makin tenggelam.

Di Krabi, matahari baru benar-benar tenggelam sekitar jam tujuh malam. Tak lama setelah itu kami-pun meninggalkan pantai yang tak lagi seramai tadi sore. Kami menyempatkan diri berkeliling di pasar malam untuk melihat-lihat cenderamata khas Thailand. Secara sekilas, harga-harga suvenir disini lebih mahal tenimbang Bangkok. Selain itu yang juga cukup tercelak adalah banyaknya ibu-ibu berjilbab yang berjualan. Saya baru menyadari kalau kota ini banyak muslimnya. Selain masyarakat lokal, yang juga membuka bisnis disini adalah orang keturunan India dan Malaysia. Mereka terutama berjualan makanan dan membuka resto. Karena itulah mencari makanan halal disini tak terlampau sulit.

Hari kedua, kami menyempatkan diri menunaikan sholat Ied di Mesjid Al-Munawarah. Mesjid ini tak jauh dari penginapan kami, yang ternyata pada pagi hari itu sangatlah penuh. Selesai sholat, kami bergabung dengan masyarakat lokal serta para wisatawan (mayoritas asal Malaysia) untuk menyantap sarapan yang disediakan pengurus mesjid. Sesuai dengan tradisi di Indonesia, dimana sehabis shalat Ied ada ritual potong kurban, maka disini kami tak menjumpainya. Entah dimana mereka menyelenggarakan penyembelihan hewan kurban, mungkin di suatu tempat yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Di malam hari-pun, kami tak mendengar suara takbir bergema. Selama tiga hari dua malam disana, praktis kami tak merasakan kemeriahan Idul Adha.

Setelah selesai sarapan, kami-pun bersiap-siap menuju destinasi selanjutnya. Tujuan kami ke Krabi sebenarnya hendak pergi kesini, menikmati salah satu pantai terindah di Thailand : Railay Beach. Pantai Railay hanya ditempuh sekitar 20 menit dengan menaiki perahu ekor panjang (longtail boat). Selain Railay, paket hoping islands lainnya yang bisa kita pilih antara lain ke Pulau Poda, Pulau Hong, dan yang terjauh ke Pulau Phi-Phi. Namun karena kami hendak menghabiskan waktu dengan bermain-main di pantai, kami memilih ke satu destinasi saja. Pantai Railay sebenarnya masih satu daratan dengan Ao Nang. Namun karena ada bukit yang membatasi keduanya, sehingga seolah-olah pantai ini berada di pulau terpisah.

Berbeda dengan Ao Nang yang pasirnya bercampur kerang, di Pantai Railay sangatlah halus. Seperti tepung terigu yang diserakkan di tepi laut. Selain Pantai Railay, di semenanjung ini juga terdapat Pantai Phra Nang. Disini terdapat gua persembahan dimana banyak wanita yang meletakkan replika falus. Katanya sih, supaya mereka cepat dapat anak. Kalau Anda hendak berjalan kaki dari Railay ke Phra Nang, jaraknya sekitar satu kilometer. Selama perjalanan, Anda akan menjumpai kafe-kafe, resort, serta hutan bakau. Anda juga akan melewati Pantai Railay Timur tempat dimana dermaga menuju Pantai Ao Nam Mao berada. Seru juga sih! Apalagi kalau Anda membawa minuman dingin. Di beberapa titik bisa berhenti sejenak, sambil menikmati alam yang tak biasa ditemui. Sebelum kembali ke hotel, kami sempat membeli pizza di salah satu kafe disini. Karena sudah lapar, delapan potong pizza keju dengan topping daging sapi itupun ludes seketika. Pizza-nya enak sih, seharga 280 Baht. Oiya untuk harga makanan, disini lebih mahal dibanding Ao Nang. Jadi kalau kamu mau ngirit, makan siang dulu di Ao Nang baru main ke Railay.

Di sore hari, kami hanya berjalan-jalan di sekitar hotel, menikmati bukit berbatu putih yang tegap menjulang. Kami sempat mampir ke supermarket untuk membeli snack dan buah-buahan. Secara umum, harga di Krabi sedikit lebih mahal dibanding di Jakarta. Harga susu satu liter misalnya, disana sudah di atas Rp 25.000. Padahal di Jakarta masih ada yang Rp 16.500. Begitupula dengan nasi dan aneka lauk pauk. Harga seporsi nasi putih bisa mencapai 20-30 Baht (Rp 9.000 – Rp 13.500). Yang terasa agak mahal menurut saya adalah ikan laut. Seekor ikan laut bakar dengan ukuran 300 gram, bisa dihargai 250 Baht. Untuk buah-buahan, segelas buah potong dengan isi yang bervariasi : jambu biji, mangga, nanas, dan pepaya, dijual seharga 60 Baht. Sedangkan untuk mango sticky rice dibanderol 75 Baht.

Keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan ke Phuket. Minibus yang telah kami pesan sebelumnya, tiba pada pukul 10.15 pagi. Telat 15 menit dari jadwal yang diminta. Jarak dari Krabi ke Phuket sekitar 175 km, dan bisa ditempuh dalam waktu 3,5 jam. Baru kali ini saya merasakan perjalanan darat di Thailand. Vibes-nya mirip-mirip pedesaan di Sumatera Selatan. Ada perbukitan, perkebunan kelapa sawit, dan rumah-rumah yang agak sederhana. Meski di Thailand selatan tak ada jalan tol, namun secara umum jalan disini cukuplah mulus. Kalau dilihat dari peta, maka antara daratan Thailand dan Phuket dipisahkan oleh sebuah selat. Selat tersebut tak terlampau besar. Kira-kira hanya selebar Sungai Batanghari di Jambi.

Bangla Road

Memasuki Pulau Phuket, ada semacam pos pemeriksaan yang boleh dibilang formalitas belaka. Berbeda dengan Krabi yang terasa lengang, di Phuket keramaian lebih terasa. Bahkan di pusat kotanya terdapat mal dan juga IKEA. Highway disini juga lebih lebar tenimbang di Krabi. Di bagian barat pulau, terdapat pantai-pantai dengan hotel dan resort yang menghadap ke laut. Ada Pantai Surin, Pantai Kamala, dan Pantai Patong. Menyusuri pantai-pantai ini, seolah sedang melewati daerah Bungus di kota Padang. Pemandangannya mirip-mirip, minus Pelabuhan Teluk Bayur tentunya. Setelah melewati jalan berliku selama 20 menit, kami tiba di kawasan Patong. Kami menginap di Palmyra Resort yang berada tak jauh dari Pantai Patong. Di hotel ini kami membayar 2.000 Baht untuk family room. Harga hotel di Phuket jauh lebih mahal tenimbang di Krabi. Ini tentu karena Phuket merupakan tarikan utama pelancongan di Thailand.

Kawasan Patong merupakan pusat wisatanya Pulau Phuket. Turis-turis asing, terutama dari India dan Bangladesh, senang menghabiskan masa liburnya disini. Tak heran kalau mereka banyak yang wara-wiri di pulau ini. Di Pantai Patong, ada sebuah ruas jalan yang dinamai dengan Jalan Bangla atau Bangla Road. Mungkin dulu disini banyak bermukim orang Bangladesh. Tempat itu kini dipenuhi kafe-kafe dan bar yang ketika malam hari tiba terasa begitu meriah. Disini suara musik saling berdentuman, hingga tak tau lagi dari mana suara tersebut berasal. Kafe-kafe di Patong berbeda dengan yang ada di Canggu ataupun Kuta. Semuanya serba terbuka, sehingga kita yang melewati ruas jalan inipun dapat melihat para lady boy berdansa di atas meja.

Tinggalkan komentar