Mula-mula silangan jalan: pertigaan atau perempatan lalu tumbuh saling memberi; persimpangan mencipta kota, kota mencipta simpang-simpang. Sebuah tempat memiliki prospektif untuk berkembang jika terletak di tempat bertemunya dua atau lebih ruas jalan. Ia akan jadi tempat pemberhentian, karena di situ mungkin ada rumah makan, bengkel kompresor, warung kopi, terminal bayangan, stasiun kecil, dan akhirnya nanti ruko, rumah bertingkat, swalayan. Lalu bakal muncul gardu polisi, papan iklan, lampu neon, traffic-light. Kemudian jalan baru dibangun, jalan lama terbelintang, simpang demi simpang bertemu; dari sekadar tempat berhenti, jadi tempat persinggahan, lalu jadi kota tujuan. Begitulah sebuah kota tumbuh, menurut Raudal Tanjung Banua dalam cerpennya “Kota-kota Kecil Penyanggah Kota Kecil” yang diterbitkan oleh harian Jawa Pos tanggal 7 Maret 2010 silam.
Lepas dari posisi sebagai kritikus sastra, dalam cerita itu tak sepenuhnya pendapat Raudal benar. Atau dalam bahasa yang lebih elok: kurang lengkap. Kota-kota, baik yang sekarang telah menjadi megapolitan seperti Jakarta, ataupun kota-kota menengah seperti Makassar, Palembang, dan Semarang, pada mulanya berawal dari kota-kota kecil yang tak seluruhnya bersimpang. Cobalah Anda baca sejarah Jakarta yang dulu bernama Jayakarta, kota itu hanyalah sebuah pelabuhan dagang Kerajaan Sunda. Namun letaknya yang strategis, mengundang minat Portugis dan Belanda untuk membangun loji di muaranya, yang kemudian berkembang pesat seperti apa yang kita lihat saat ini. Begitupula halnya dengan Palembang dan Makassar. Dua kota ini telah berjaya pada zamannya. Palembang sebagai pelabuhan utama Sriwijaya, dan Makassar tempat bersandarnya kapal-kapal yang hendak berdagang dengan Gowa-Tallo. Mereka tumbuh bukan dari persimpangan jalan, yang diceritakan Raudal dalam cerpennya. Namun dari perdagangan yang berkembang lewat pelabuhan.
Padang, tahun 1700-an hanyalah sebuah kampung nelayan masyarakat Minangkabau. Namun setelah dibangunnya Pelabuhan Emmahaven (kini : Teluk Bayur) pada tahun 1888, Padang berlari menggeliat menjadi kota utama di pesisir barat Sumatera, menggantikan Tiku dan Pariaman yang telah lebih dahulu berkembang. Begitu pula halnya dengan kota-kota masa lalu seperti Banten, Jepara, Jambi, dan Barus. Mereka berkembang karena geografisnya yang berada di jalur perdagangan laut.
Selain kota yang berawal dari tepi pantai lalu berkembang dan mendesak ke dalam. Adapula kota-kota yang justru berkembang dari dalam, dan membangun penyangganya di pesisir. Medan yang bermula dari perkebunan tembakau di pedalaman, berkembang menjadi pusat administrasi Hindia-Belanda dan kota perdagangan terkemuka di Pulau Sumatera. Pada awal abad ke-20, ketenarannya melebihi Singapura dan Hongkong. Hingga untuk mendukung lalu lintas perdagangan tembakau, dibuatlah Belawan sebagai penyangganya. Jogjakarta dan Surakarta punya cerita yang unik. Keduanya sengaja dibangun di pertengahan hutan, dengan tujuan untuk melindungi kerajaan dari serangan bangsa asing. Denyut kehidupan kota, hingga kini masih ditentukan oleh kebijakan keraton. Sejak terpecahnya Mataram menjadi dua, kebijakan pembangunan dua kota itu agak berlainan. Jogja berkembang menjadi kota budaya dan pendidikan, sedang Surakarta menjadi kota bisnis terkemuka. Dari pedalaman, keduanya berkembang ke tepian selatan. Walaupun akhirnya pemanfaatan pantai selatan tak sepenuhnya optimal.
Pekanbaru, Balikpapan, dan Tembagapura, maju berkat pertambangan. Di Tembagapura, tak ada satupun kabel-kabel listrik yang berseliweran di atas jalan raya. Semuanya menggunakan serat optik, yang tertanam di bawah tanah. Pekanbaru, yang pada tahun 1930 hanyalah kota singgah para pedagang yang hendak pergi ke Selat Malaka. Mendadak menjadi hebat dan sangat ambisius, sejak ditemukannya tambang minyak di dekatnya. Di Pekanbaru, semua fasilitas berstandarkan internasional, mulai kualitas jalan raya, bandara, hingga pusat perbelanjaan. Keinginannya yang cukup mencengangkan, menjadi Pusat Budaya dan Intelektual Melayu, menggeser Malaysia yang akhir-akhir ini bersemangat memburu warisan Melayu. Balikpapan dan kota-kota disekitarnya, tak kalah hebat dari dua kota terdahulu. Kehidupan malamnya-pun glamour seperti halnya Bali dan Jakarta. Kehadiran kafe, mal, dan restoran-restoran mewah, bertanda menggeliatnya perekonomian Balikpapan.
Dana pengembangan kota-kota itu, tentu berkait erat dari hasil tambang yang diproduksi. Semakin banyak hasil yang diperoleh, semakin deras uang yang beredar. Namun ada pula kekhawatiran pada kota-kota yang bergantung pada hasil alam tak terbaharui. Jika stok yang ada di perut bumi habis terkuras, alamat lonceng kematian datang menyergap. Begitulah yang dialami oleh kota Sawahlunto, yang menjadi kota mati sejak tak berproduksinya lagi tambang batu bara. Seribu langkah antisipasi, tentu harus dipikirkan oleh kota-kota semacam ini. Seperti halnya Sawahlunto, yang siap berbenah menjadi kota wisata pertambangan se-dunia.
Batam di Kepulauan Riau, menjadi satu-satunya kota yang berkembang berkat kebijakan. Setelah ditetapkan menjadi wilayah otorita tersendiri, kota ini berkembang bak laju meteor. Cita-citanya cuma satu: Menyaingi Singapura di seberang lautan. Untuk menggapai ambisi tersebut, segala daya upaya diusahakan pemerintah. Infrastruktur nomor wahid langsung dibangun, investor asing diundang sebanyak-banyaknya, dengan tawaran proses administrasi yang ringkas serta bebas bea dan pajak. Perusahaan galangan kapal serta industri manufaktur, menjadi pilihan untuk menarik minat investor dan kaum pendatang. Tak salah jika akhirnya jumlah penduduk Batam meledak hingga 170 kali lipat berbanding 40 tahun lalu.
Sumber gambar : http://www.skyscrapercity.com
Lihat pula :
Membangun Kota yang Santun dan Beradab
Wah, senang sekali saya membaca postingan sdr. Afandri Adya di sini. Baru sekarang saya menemukannya. Ulasan berbobot tentang kota-kota di Indonesia–hal yang saya minati juga. Lebih senang lagi apresiasinya atas cerpen saya di Jawa Pos, “Kota-kota Kecil Penyanggah Kota Kecil” sebagai pintu masuk catatan ini. Terima kasih atas apresiasi tersebut. Namun ada satu hal yang saya kira perlu saya tanggapi, bahwa saya bukanlah orang yang menisbikan kekuatan laut, terlebih perannya dalam menumbuh-kembangkan kota-kota di tanah air, atau di belahan manapun dunia ini. Cerpen saya yang lain misalnya, seperti “Rumah-rumah Menghadap Jalan” yang juga pernahdipublikasikan di Jawa Pos, justru ingin menempatkan laut/sungai sebagai halaman depan tanah air kita. Begitu pula dalam cerpen “Kota-kota Kecil Penyanggah Kota Kecil.” Ada paragraf lain yang luput, atau sengaja tak dibaca/kutip Sdr. Afandri. Saya kutipkan di sini:
“……Maka, kota yang memiliki pedalaman, hulu atau “mudiknya”, hilir atau “induknya” sendiri—ditandai jalan yang panjang—akan lebih hidup dan berkembang. Atau kota lintasan, jalan pintas untuk menjangkau sebuah tempat lebih cepat, juga akan tumbuh lebih cepat. Namun simpang bukan sebatas darat, sebab juga ada jalan air dengan dermaga dan pelabuhannya. Itulah sebabnya, kota pelabuhan, tidaklah berhadapan dengan kebuntuan laut mati. Pelabuhan sama dengan persimpangan, malah mestinya lebih banyak simpang, jalan air yang menghubungkan pulau-pulau, bahkan benua!”
Di sini pelabuhan, dan laut menjadi faktor yang justru lebih dahsyat jika terkelola dengan baik. Bahkan di paragraf lain juga saya katakan bahwa kota tanpa simpang pun, tetap akan hidup sepanjang pengelolanya bisa mengelolanya dengan baik.
“Tentu aku tidak mengatakan kota tanpa simpang akan menerima kutukkan sebagai kota mati. Percayalah, kota tanpa simpang tapi punya jalur utama, jika pengelolanya tak hanya cerdik korupsi, niscaya tetap berdenyut hidup. Ia akan jadi persinggahan. Tempat transit, tanpa lengking pluit, jadi kota jasa yang dibutuhkan siapa saja.”
Demikian sedikit tanggapan saya, sekali lagi dengan hormat saya atas apresiasi dan minat Sdr. terhadap perkembangan kota-kota kita. Salam kreatif!
SukaSuka
Terima kasih Bung Raudal telah mengunjungi blog yang sederhana ini. Tukuk tambah dari Anda saya terima. Dan mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan. Salam
SukaSuka