Kampung Badui, yang masih mempertahankan kuasa atas tanah ulayat mereka

Tanah ulayat atau tanah milik komunitas adat yang turun temurun telah diwarisi dan dipakai bersama, kini mulai terancam punah. Di beberapa wilayah, seperti pedalaman Kalimantan, Papua, dan Sumatera, tanah ulayat satu per satu tak terlihat lagi maknanya. Di Jawa, tanah ulayat telah hilang sejak tergadainya Kerajaan Mataram kepada kolonialisme Hindia-Belanda. Di Eropa atau Amerika, kejadian hilangnya hak waris dan hak pakai tanah ulayat, telah terjadi sejak berabad-abad lampau. Bangsa Indian yang sangat mengagung-agungkan tanah sebagai sumber produksi dan kehidupan mereka, telah merasakan betapa pahitnya kehilangan hak atas pengelolaan tanah, sejak datangnya kolonial Spanyol ke negeri mereka.

Entah kapan hak atas tanah ulayat mulai terkikis. Mungkin sejak lahirnya manusia-manusia serakah, yang tak puas dengan kepemilikan tanah yang mereka punya. Sehingga dengan ketidakpuasan itu, mereka berkelana, mencari, dan menguasai tanah-tanah ulayat masyarakat tempatan. Sejarah mencatat, model kapitalisme dan imperialisme ala Eropa, telah merongrong tanah-tanah milik pribumi untuk dieksploitasi dan dieksplorasi.

Masyarakat pribumi Indonesia, mungkin termasuk salah satu korban terbesar penyelewengan kegunaan tanah ulayat, selama rezim kolonialisme Eropa di abad ke-18 hingga ke-20. Kasus yang sangat menarik adalah, tergadainya tanah-tanah masyarakat pribumi Jawa ke tangan pemerintah Hindia-Belanda. Disamping tak adanya sistem adat Jawa (termasuk Sunda) yang bisa mempertahankan kepemilikan tanah, raja-raja Jawa yang oportunis, turut mempercepat hilangnya kepemilikan tanah atas nama pribumi. Bermula dengan pendirian pos-pos dagang di atas tanah ulayat masyarakat Sunda di Batavia. Dari tahun ke tahun, Belanda terus merangsek dan menggerogoti tanah-tanah ulayat masyarakat pedalaman. Di daratan Priangan, sepanjang Bogor hingga Tasikmalaya, tanah-tanah masyarakat tergadai habis dengan mudahnya. Si pembeli : Pemerintah Hindia-Belanda dan Si penjual : masyarakat lokal Sunda, harus dengan rela melepaskan kepemilikan mereka yang strategis itu. Pasca-penjualan, satu generasi masyarakat Sunda memang berkelebihan uang. Namun setelah itu, pada generasi selanjutnya, “si penjual” tadi hanya menjadi obyek “si pembeli”, yang menjadi pekerja dan budak di bekas tanahnya sendiri. Hasil perkebunan, jelas lebih besar masuk ke kantong “si pembeli” yang kini sudah menjadi empunya tanah. Sedangkan “si penjual”, hanya mendapatkan remah-remahnya saja dari hasil perkebunan yang berlimpah ruah.

Winnetou karya Karl May, kisah orang Indian mempertahankan tanah ulayatnya

Di Yogyakarta sampai Kediri, keadaan serupa berlangsung serempak. Kapitalis-imperialis Eropa, memboyong seluruh tanah-tanah milik pribumi untuk dibangunkan pabrik dan perkebunan. Seperti yang terjadi di daratan Sunda, satu generasi masyarakat Jawa (memang) hidup berkecukupan. Namun setelah itu, mereka hanya menjadi penggarap saja, yang tenaganya dihisap habis-habisan tanpa belas kasih. Sebagian orang yang tak mendapatkan pekerjaan, menjadi pengangguran yang luntang lantung tak berketentuan. Orang-orang inilah yang kemudian hari dimanfaatkan untuk menjadi kuli kontrak, alias budak perkebunan yang bekerja menggarap tanah-tanah liar di Deli dan Suriname.

Di Jakarta, sejak masa kemerdekaan hingga kini. Masyarakat asli atau yang dipanggil dengan Orang Betawi, tersingkir sampai ke pingir-pinggir. Tanah-tanah ulayat milik mereka, terpaksa harus tergadai untuk dan atas nama pembangunan. Di Kemayoran misalnya, seorang haji yang juga merupakan kakek seniman terkenal Benyamin. S : Haji Ung, sebelum kemerdekaan mewarisi tanah yang luasnya dari Sunter hingga ke Bendungan Jago. Namun kini, berapa tanah yang bisa diwariskan Haji Ung kepada anak-cucunya? Mungkin tak lebih dari sepersepuluh jika dibandingkan dengan 60 tahun lalu.

Di Kalimantan dan Papua, keadaan serupa kini mulai terjadi. Seorang teman saya yang bekerja di salah satu bank nasional, terheran-heran melihat seorang lusuh bersandal jepit, datang menghantarkan uang dalam jumlah besar di sebuah kota kecil di pedalaman Kalimantan. Usut punya usut, beliau ialah salah seorang penjual tanah, yang didalamnya terdapat kandungan batu bara yang memiliki nilai ekonomis cukup besar. Uang hasil penjualan itu, didapatkan dari sebuah perusahaan pertambangan asing yang mendapatkan hak eksplorasi di wilayah tersebut. Seperti abad-abad sebelumnya, cerita kembali berulang pada masyarakat pribumi Indonesia. Dan hasilnya bisa diterka. Di masa-masa yang tak lama lagi, anak-cucu si penjual itu, hanya akan menjadi penonton dan pekerja di areal bekas tanah ulayatnya sendiri.

Di sebagian kecil wilayah Indonesia, hak atas penguasaan tanah ulayat masih dipegang erat-erat. Di Badui misalnya, tanah ulayat benar-benar kukuh dipertahankan. Di wilayah selatan Banten itu, bukan hanya kepemilikan asing yang dilarang. Budaya-budaya yang tak sesuai dengan kepribadian masyarakat, ditentang habis-habisan. Janganlah heran jika kita melihat gaya hidup orang Badui yang tak berlistrik dan cenderung anti-orang asing. Karena dengan seperti itulah mereka merasa, bahwa hak atas penguasaan tanah ulayat serta kepribadian luhur masyarakat bisa terjaga.

Penambang tradisional di Kalimantan, dianggap ilegal di tanah mereka sendiri

Di Minangkabau, yang adatnya berdasarkan sistem matrilineal, penguasaan atas tanah ulayat dijaga lestari hingga saat ini. Keputusan adat yang termaktub dalam undang-undang tak tertulis masyarakat alam Minangkabau, mengatakan bahwa setiap anak negeri dilarang untuk menjual tanah serta hak milik ulayat kepada masyarakat lain. Tanah ini hanya boleh dikelola, digadaikan, dan harus diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis keibuan. Berlawanan dengan kasus Haji Ung di atas, tanah ulayat milik masyarakat Minangkabau tak berkurang sejengkalpun, sejak jaman nenek moyang mereka meneruka tanah-tanah tersebut.

Sehingga tak heran dengan tataran adat yang kuat seperti ini, masyarakat Minangkabau selalu menjadi tuan di negerinya sendiri. Walau ranah Minang secara politis pernah dikuasai orang-orang Belanda, namun penguasaan ekonomi selama masa itu tetap berada di tangan anak-anak negeri. Berkat sistem ini pulalah, hingga kini tak ada satupun bangsa asing yang bisa menaklukkan kemampuan perdagangan dan ekonomi orang-orang Minang di Sumatera Tengah (khususnya di wilayah adat Minangkabau).

Revolusi Agraria — seperti halnya yang didengung-dengungkan oleh Marx dan Engels — untuk mengembalikan penguasaan rakyat atas tanah ulayat, rasanya tak pernah berlaku bagi masyarakat Minangkabau. Dan telah terbukti, tanpa menghiraukan kemajuan dari dunia luar, masyarakat Minang tetap mampu mempertahankan kepemilikannya atas tanah ulayat mereka. Sudah saatnya rakyat diseluruh Nusantara (bahkan masyarakat internasional), untuk mereformasi tatanan adat yang sanggup membela kepemilikan atas tanah ulayat, tanpa harus melakukan Revolusi Agraria yang berkali-kali terbukti gagal. Sistem Minangkabau, mungkin bisa menjadi alternatif untuk melindungi eksistensi pribumi dari derasnya arus investasi kapitalis asing.

Iklan
Komentar
  1. juventuswisnu berkata:

    boleh saya copy gambar rumah suku kubu untuk kepentingan promosi wisata..terima kasih

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s