Keesokan harinya, pagi-pagi sekali kami pergi ke kawasan Chow Kit. Meski hujan rintik-rintik, namun hal itu tak menghalangi kami untuk mencari sarapan ala Minangkabau. Pagi itu belum banyak toko yang buka, kecuali warung kelontong dan beberapa kedai makan. 10 menit berjalan kaki, kami tiba di simpang Jalan Raja Alang. Belok kanan ke arah Kampung Bahru, kami berjumpa Rumah Makan Seri Garuda Emas. Restoran ini adalah salah satu kedai makanan Minang di Kampung Bahru, yang dikelola oleh perantau asal Padang Panjang. Setelah melihat-lihat daftar menu, kami memesan tiga piring lontong sayur beserta teh manis. Masih belum kenyang! Kami membungkus dua buah roti bom dan teh tarik. Tambahannya kami membeli lagi tiga potong pisang goreng beserta ketan di kedai seberang jalan.
Jalan Raja Alang dan kawasan Chow Kit pada umumnya, dikenal sebagai pemukiman masyarakat Indonesia. Disini selain bermukim etnis Minangkabau, banyak pula pendatang asal Aceh dan Pulau Jawa. Di Pasar Chow Kit yang terletak di tepi Jalan TAR, hampir seluruh pedagangnya berasal dari Indonesia. Produk-produk yang dijualnya-pun kebanyakan buatan Indonesia. Sebut saja rokok Dji Sam Soe, kecap ABC, Mie Sedaap, Indomie, hingga tabloid Bola, semuanya ada disini. Banyaknya orang Indonesia yang tinggal di kawasan Chow Kit, sehingga warga setempat menjulukinya sebagai Little Jakarta.
Setelah keluar-masuk “kampung Indonesia”, kami bergelut kembali ke penginapan. Jam 11.10, kami check out untuk melanjutkan perjalanan ke Petronas Tower. Karena tak ingin terbebani, kami menitipkan dua buah tas besar di resepsionis. Mengambil taksi dari depan hotel, kami segera meluncur menuju menara kembar KLCC. Jarak antara Tune Hotel dan Petronas Tower sebenarnya tak terlampau jauh. Namun taksi yang membawa kami mematok harga hingga RM 10. Ini untuk kesekian kalinya kami dipakuk jauh di atas tarif normal. Dibandingkan dengan Jakarta, pelayanan taksi di Kuala Lumpur masih di bawah standar. Selain jarang menggunakan argo, supir-supir disini kurang ramah dalam melayani para wisatawan.
Sesampainya di halaman Suria KLCC, kami langsung disambut rinai hujan. Khawatir basah kuyup, kami bergegas masuk ke dalam mal. Jika dibandingkan dengan mal papan atas di Jakarta, Suria KLCC tak terlampau besar. Pusat perbelanjaan empat lantai itu, tak lebih besar dari Mal Pondok Indah di Jakarta Selatan. Merek-merek mewah yang ditawarkannya-pun tak terlampau banyak. Tak seberapa dibandingkan dengan Plaza Indonesia ataupun Plaza Senayan.
Sebentar menengok-nengok interior mal, kami langsung menuju KLCC Park. Taman seluas 20 hektar ini terletak di halaman belakang Suria KLCC. Di tengah-tengahnya terdapat Danau Simphony dengan air mancur yang berwarna-warni. Selain danau seluas 10.000 m2, taman ini juga dilengkapi arena bermain anak dan kolam renang. Dua jam bermain-main di KLCC Park, kami kembali lagi ke hotel untuk mengambil barang. Setelah itu kami menuju destinasi selanjutnya : Mesjid Putrajaya. Kunjungan ke Putrajaya, merupakan kunjungan penutup dari empat hari lawatan kami ke negeri-negeri Melayu.
Kami tiba di Mesjid Putrajaya tepat ketika azan ashar berkumandang. Setelah meletakkan tas di tempat penitipan barang, kami mengambil wudhu di bagian bawah mesjid. Siang hari itu, Mesjid Putrajaya ramai oleh para pelancong. Dari roman wajahnya, kebanyakan mereka berasal dari Asia Timur (entah China, Jepang, atau Korea). Untuk melihat-lihat interior mesjid, wisatawan wanita diwajibkan mengenakan penutup kepala. Dan bagi pengunjung non-Muslim, tak diperkenankan untuk masuk ke dalam ruang utama mesjid. Mereka hanya diperbolehkan sebatas kubikal yang telah disediakan.
Disamping pusat kerajaan, Putrajaya memang dicanangkan sebagai obyek pariwisata baru. Letaknya yang strategis diantara airport KLIA dan Kuala Lumpur, memudahkannya untuk diakses oleh para turis. Selain itu yang menarik dari kota seluas 49 km2 ini adalah model bangunannya yang mengadopsi arsitektur Timur Tengah. Menengok kantor perdana menteri dan gedung kementerian lainnya, serasa kita sedang berada di Teheran ataupun Kairo. Keindahan arsitektur gedung-gedung itu, semakin dipercantik oleh kehadiran danau buatan di tengahnya. Untuk menarik minat para wisatawan, danau ini menyediakan fasilitas perahu wisata. Sekali naik, wisatawan akan dikenakan tarif RM 20 untuk jenis Dondang Sayang, dan RM 30 untuk kapal Belimbing.
Puas memandangi Danau Putrajaya dari selasar, kami beranjak menuju halaman mesjid. Beruntung bagi kami! Karena di depan sudah menunggu satu-satunya kereta sewa. Cocok dengan harga yang ditawarkan, kami langsung menuju KLIA-LCCT di kawasan Sepang. Pesawat Tiger Airways yang kami tumpangi, direncanakan akan berangkat pada pukul 19.55. Tiba di LCCT, waktu masih menunjukkan pukul 17.50. Masih banyak waktu buat kami untuk mencari dan memilih oleh-oleh. Karena tak banyak pilihan belanja disini, kami akhirnya membeli empat toples coklat made in Malaysia. Meleset sedikit dari jadwal yang ditentukan, pesawat baru lepas landas pada pukul 20.10. Setelah dua jam berada di angkasa, akhirnya kami tiba dengan selamat di Bandar Udara Soekarno-Hatta.