Dari Malaka kami menyarter taksi ke Kuala Lumpur. Karena hari itu hari Minggu, kami dikenakan biaya sebesar RM 200. Jarak Malaka-Kuala Lumpur sekitar 145 km, atau biasa ditempuh dalam waktu 2 jam. Suasana perjalanan ke Kuala Lumpur, tak ubahnya dari Johor Bahru ke Malaka. Kiri-kanan jalan dipenuhi oleh pepohonan yang didominasi kelapa sawit. Lepas gerbang tol Kajang, pemandangan agak sedikit berubah. Rumah-rumah penduduk dan pertokoan, mulai banyak terlihat. Di kejauhan nampak menyembul gedung kembar Petronas Tower.
Pukul 13.15 kami tiba di penginapan. Di Kuala Lumpur kami menginap di Tune Hotel, sebuah penginapan low budget yang dikembangkan Tony Fernandes. Letaknya cukup strategis. Di simpang empat antara Jalan Tuanku Abdul Rahman (Jalan TAR) dan Jalan Sultan Ismail. Sehabis sholat zuhur, kami mencari makan di sekitaran hotel. Tak jauh dari sana, kami bersua warung Nasi Kandar Kudu bin Abdul. Di Kuala Lumpur, Nasi Kandar cukup terkenal. Di setiap penjuru kota, dengan mudahnya kita menjumpai warung nasi khas India-Muslim itu.
Disini kami memesan empat bungkus nasi, dengan lauk ayam dan ikan bawal. Tak ketinggalan empat buah kerupuk papadam dan acar nyonya. Siang itu kedai Kudu bin Abdul ramai sekali. Selagi menunggu pesanan dibuatkan, saya melihat-lihat ke sekeliling kedai. Pemandangan saya kemudian terpaku pada foto seorang putra Aceh yang menjadi ikon perfilman di Malaysia. Ya, siapa lagi dia kalau bukan Puteh Ramlee. Konon sewaktu masih hidup, beliau merupakan salah seorang pelanggan setia kedai ini.
Selesai makan siang, kami menyusuri Jalan TAR ke arah pusat kota. Jalan sepanjang 2 km itu, merupakan salah satu pusat kuliner favorit di Kuala Lumpur. Selain dua buah warung Nasi Kandar, disini terdapat pula warung sate Pak Kamarudin. Nasi Briyani dan ayam madu, bisa dinikmati di Restoran Insaf. Makanan cepat saji seperti KFC, A&W, dan Pizza Hut, ada pula membuka outlet-nya disini. Untuk hidangan Indonesia, pilihannya-pun bermacam-macam. Bagi penikmat makanan jawa, Restoran TAR bisa menjadi pilihan. Sedangkan untuk pecandu masakan padang, di sudut Jalan TAR dan Lorong Medan Tuanku 2 terdapat Restoran Sari Ratu. Ini merupakan cabang keenam Sari Ratu di Kuala Lumpur, dari 20 cabang yang dipersiapkan.
Setelah 45 menit menjelajahi Jalan TAR, kami tiba di Dataran Merdeka. Tempat ini merupakan downtown-nya Kuala Lumpur. Selain besar secara fisik, Dataran ini juga memberikan perasaan lapang. Kolam-kolam kecil di sebelah utara, menambah kesejukan bagi para pengunjungnya. Agaknya tempat ini merupakan lokasi yang sempurna bagi masyarakat untuk berinteraksi. Rumputnya yang tebal, memungkinkan anak-anak untuk lari kian kemari. Putri kami yang berusia 3 tahun lebih sedikit, tetap saja merasa enjoy meski terjatuh berkali-kali.
Walau tak seluas Medan Merdeka di Jakarta, namun Dataran ini memiliki makna yang tak kalah pentingnya. Di sekeliling lapangan berukuran 60 m x 200 m itu, berdiri bangunan-bangunan bersejarah, seperti Sultan Abdul Samad Building, Museum Sejarah Nasional, St. Mary’s Cathedral, serta Royal Selangor Club. Di bagian selatan, terdapat tiang bendera setinggi 95 meter yang memiliki makna historis cukup penting. Disinilah untuk pertama kalinya bendera kebangsaan Malaysia dikibarkan, menggantikan bendera Union Jack yang telah ratusan tahun mengudara.
Satu jam duduk-duduk menikmati suasana Dataran Merdeka, kami melanjutkan perjalanan ke Pasar Seni. Pasar Seni atau yang dikenal dengan Central Market, merupakan pasar tertua di Kuala Lumpur. Disini selain busana khas Tiongkok dan India, banyak pula barang-barang kesenian asli Indonesia. Diantaranya wayang golek, batik, angklung, songket, hingga topeng yang menjadi atribut Tari Topeng.
Menuju Pasar Seni kami menempuh Lebuh Pasar Besar. Sesampainya di Lebuh Pasar Besar Bridge, kami sempat berhenti sambil berfoto-foto. Dari atas jembatan, kita bisa melihat pertemuan dua sungai utama Kuala Lumpur (Sungai Gombak dan Sungai Klang), dengan latar belakang Mesjid Jamek. Lokasi ini merupakan titik 0 (nol) kota Kuala Lumpur. Karena disinilah awal mula pembangunan kota tersebut. Tak jauh dari situ, berdiri dengan megahnya Loke Yew Building. Gedung ini merupakan peninggalan salah seorang pengusaha besar Malaysia : Wong Loke Yew. 100 meter dari tempat itu, kami tiba di Kesturi Walk (Pasar Seni). Di samping kiri gerbang Kesturi, terdapat restoran Indonesia Es Teler 77. Tak tahan melihat gambar yang terpampang di muka kedai, kami akhirnya singgah untuk mencicipi semangkuk es teler.
Selesai mengunjungi Pasar Seni, kami menyusuri Lebuh Pudu terus ke Petaling Street. Jalan Petaling adalah Pecinan-nya Kuala Lumpur. Koridor ini mirip seperti Pasar Baru di Jakarta. Di kiri-kanan jalan banyak toko dan pedagang kaki lima yang menjajakan suvenir khas Kuala Lumpur. Yang paling banyak adalah miniatur gedung kembar Petronas serta piringan perak bergambar obyek wisata Malaysia. Kami singgah di salah satu toko dan membeli beberapa buah tangan untuk dibawa ke Jakarta. Selain suvenir, toko-toko disini juga menawarkan arloji, sepatu, kaca mata, baju, dan tas. Menurut informasi yang didapat, sebagian besar barang-barang itu merupakan barang bajakan.
Berjalan 100 meter agak ke dalam, kami bertemu puluhan pedagang makanan yang menawarkan masakan Tionghoa. Sore itu, kawasan yang dikenal sebagai chinatown food centre itu padat sekali. Ratusan orang dari berbagai suku bangsa, tumpah ruah menikmati mie hokkien, asam laksa, dan kwetiau kerang. Kami yang meragukan kehalalannya, memutuskan untuk tak ikut ambil bagian. Setelah beringsut dari keramaian Petaling Street, kami tiba di Jalan Sultan. Dari sini kami mengakhiri jalan-jalan sore untuk kemudian menuju hotel. Jam 20.15 kami tiba di penginapan.
Aduh..kenapa ambil teksi dari melaka ke kl..mahal sangat jika dibandingkan dengan bus..hehe..apapun semoga datang lagi ke Malaysia dan melawat wisata yg lebih menarik seperti genting, sunway n etc
SukaSuka
Kami berlima Bung Azim, jadi tak beda jauh biaya naik taksi dengan naik bus. Lebih simpel dan menghemat waktu. Terima kasih atas komentarnya.
SukaSuka