Tak banyak kota di Indonesia yang memiliki geografis kurang menguntungkan, namun mampu memikat para wisatawan. Salah satu dari yang sedikit itu ialah Bukittinggi. Bagi Anda yang belum pernah berkunjung ke kota ini, jangan pernah membayangkan besaran Bukittinggi seperti halnya Jogja ataupun Bandung, apalagi Jakarta. Meski kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan Republik pada masa revolusi, namun bukan berarti yang ada disini segalanya besar dan megah. Satu hal yang menjadikannya besar adalah masyarakatnya yang campin. Sehingga banyak hal-hal yang penting telah terjadi disini.
Untuk ukuran kota kecil, Bukittinggi termasuk kota yang padat. Saat ini, kota yang hanya seluas Kecamatan Tanjung Priok di Jakarta itu, memiliki kepadatan mencapai 4.400 jiwa per kilometer persegi. Meski sepadat itu, namun Bukittinggi memiliki tata kota yang apik. Rumah-rumah penduduk terletak berjejeran, dengan diselingi sawah dan kebun milik ulayat. Disana Anda tak akan menemui gang-gang becek ataupun rumah reot yang berlimpit-limpit, seperti halnya slum area di kota-kota besar. Jalan-jalan yang lurus dari segala penjuru, bermuara disekitar pelataran Jam Gadang dengan bentuk melingkar.
Bukittinggi terletak diketinggian 909 – 941 meter di atas permukaan laut, serta memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu berkisar antara 16 – 25°C. Kota ini terletak diantara dua gunung besar : Gunung Marapi di timur dan Singgalang di barat. Kalau cuaca sedang cerah, dari kejauahan ke arah timur nampak pula Gunung Sago. Selain diapit oleh gunung, konktur Bukittinggi yang berbukit-bukit juga memberikan keunikan tersendiri. Di bagian pusat kota, setidaknya terdapat empat bukit dengan luas dan fungsi yang berbeda-beda. Dari keempat bukit itu, mungkin yang pertama diteroka orang adalah Bukit Kandang Kabau. Di atas bukit ini, berdiri Pasar Ateh (Pasar Atas) yang terkenal itu. Pasar Ateh dulunya merupakan pasar serikat yang menghimpun para pedagang dari sekeliling Agam. Oleh karenanya pasar ini merupakan urat nadi bagi masyarakat Bukittinggi. Pasar ini sekarang tak lagi memasarkan hasil-hasil bumi, namun telah menjadi pasar wisata yang menjual aneka buah tangan khas Bukittinggi.
Di bagian selatan pasar, tegak menara Jam Gadang. Menara setinggi 26 meter itu dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto dan Sutan Gigi Ameh. Yang menarik dari pembuatan Jam Gadang ini adalah masih digunakannya putih telur sebagai bahan perekat. Untuk kepentingan politis, bentuk atap Jam Gadang telah mengalami tiga kali perubahan. Dari bentuk bulat dengan patung ayam jantan di masa Hindia-Belanda, menjadi bentuk klenteng pada zaman Jepang, hingga atap bergonjong setelah Indonesia merdeka. Disekitar Jam Gadang berdiri pula Mesjid Raya. Selain Mesjid Agung di lereng timur, mesjid ini juga merupakan mesjid utama di Bukittinggi.
Tak jauh dari Jam Gadang, di lereng sebelah barat terletak Kampung Cino. Dari namanya saja kita sudah langsung tahu, bahwa ini adalah kawasan pecinan di Bukittinggi. Tidak seperti kota-kota lainnya di Indonesia, orang Tionghoa di Bukittinggi masih terlokalisir di “kampung mereka”. Hal ini dikarenakan masih kuatnya adat istiadat setempat, yang tak memperbolehkan para pendatang untuk membeli tanah milik ulayat. Di Kampung Cino, kita bisa menjumpai Toko Sepatu “Yap Yek” yang legendaris. Yap Yek adalah seorang Tionghoa pembuat sepatu dengan kualitas jempolan. Tak jauh dari situ ada pula rumah makan “Monalisa” yang banyak menyediakan buah-buahan tropis. Di Kampung Cino, para pelancong juga bisa membeli oleh-oleh kerupuk balado dengan olesan cabai yang kental. Menanjak ke lereng utara, di Jalan Pemuda ada lagi satu perkampungan etnis yang dinamai Kampung Kaliang (Kampung Keling). Namun tak seperti Kampung Cino, tempat ini tak begitu menarik minat para wisatawan.
Selain Pasar Ateh, di bukit ini juga berdiri Pasar Bawah, Pasar Lereng, Pasar Banto, dan Pasar Aua Tajungkang. Sebenarnya pasar ini saling sambung-menyambung, yang hanya diselingi oleh jalan raya. Entah mengapa kelima pasar yang berada di satu bukit ini harus memiliki nama yang berlainan. Mungkin dahulu, kelima pasar ini letaknya agak berenggangan. Sehingga untuk memudahkan orang, masing-masing pasar diidentifikasikan dengan nama yang berbeda. Dari Pasar Ateh ke Pasar Bawah, dihubungkan oleh Janjang 40. Janjang dalam Bahasa Minangkabau berarti jenjang atau anak tangga. Meski jenjang ini berangka 40, namun keseluruhan anak tangga di jenjang ini berjumlah 100 buah. Angka 40 hanya dihitung untuk anak-anak tangga di bagian atas yang sedikit curam. Di hilir jenjang, kita akan bersua dengan Jalan Soekarno-Hatta. Di jalan inilah pada nomor 37 berdiri rumah kelahiran Mohammad Hatta.
Di Bukittinggi fungsi jenjang sangatlah dominan. Berbeda dengan di Jakarta yang mana banyak orang malas menaiki tangga penyeberangan, disini jika hendak memintas jalan maka harus mendaki dan menuruni anak tangga. Sehingga jika sewaktu-waktu ruang publik ini ditutup, maka masyarakat akan menjerit. Tanpa jenjang, mereka harus berjalan memutar dan menempuh jarak berlipat-lipat. Oleh karenanya selain Janjang 40, di Bukittinggi juga terdapat Janjang Lereng, Janjang Gudang, Janjang Pesanggrahan, Janjang Minang, dan yang paling curam : Janjang Sek. Janjang yang terakhir ini namanya agak unik : Sek, maksudnya Sex. Dinamakan seperti itu, mungkin karena dari bawah jenjang inilah anak-anak bujang bisa mengintip kedalaman perempuan yang mengenakan rok. Meski sekarang sudah jarang terlihat gadis Minang yang menggunakan rok, namun nama jenjang tersebut masihlah bertahan.
Pada lereng sebelah timur Bukit Kandang Kabau, terdapat los-los lambung tempat orang Kapau menjual hidangan. Di Bukittinggi, masyarakat Kapau terkenal sebagai jago masak. Malahan daya jelajah masyarakat ini telah melintasi antar kota antar propinsi. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, ataupun Bandung, tak sulit bagi kita untuk mencari warung-warung mereka. Bahkan dalam acara World Street Food Jambore di Singapura, K.F. Seetoh — ahli kuliner asal negeri singa – memilih Nasi Kapau sebagai salah satu perwakilan dari Indonesia. Di Bukittinggi, los Nasi Kapau biasanya dilayani oleh seorang perempuan yang duduk diketinggian. Mereka siap menjangkau lauk-pauk untuk diletakkan di piring-piring pembeli, dengan satu sendok bertungkai sepanjang 50 sentimeter. Berbeda dari Rumah Makan Padang lainnya, di warung Nasi Kapau kita bisa menjumpai lauk-pauk seperti goreng belut, tambusu (usus sapi dengan telur dan tahu di dalamnya), serta itik lado hijau. Selain itu, para penjual Nasi Kapau juga sering menambahkan lobak dan nangka, serta rendang kentang di piring-piring pembeli. Suatu kombinasi yang menggugah selera!
Tak jauh dari Pasar Ateh, berdiri dengan anggunnya Istana Bung Hatta. Istana inilah yang menjadi pusat pemerintahan Indonesia pada tahun 1947. Disebelah istana terdapat Hotel The Hills yang dulunya menjadi kelolaan grup Novotel. Memandang dari balkon hotel yang indah itu, akan nampak ke arah utara dua bukit yang hampir sama bentuknya : Bukit Jirek di barat dan Bukit Sarang Gagak di timur. Di celah ke dua bukit, terentang Jalan A. Yani yang lebarnya tak seberapa. Untuk menghubungkan dua buah bukit, dibangunlah Jembatan Limpapeh khusus bagi pejalan kaki. Jembatan gantung ini berdiri di atas ketinggian 20 meter dari Jalan A. Yani. Pada masa Perang Paderi, Bukit Jirek menjadi daerah pertahanan tentara Belanda. Oleh karenanya, di atas bukit ini berdiri benteng Fort de Kock. Sedangkan Bukit Sarang Gagak, kini menjadi lokasi Taman Margasatwa yang memiliki koleksi hewan-hewan dari seluruh Sumatera.
Di bagian barat kota yang berbatasan langsung dengan Ngarai Sianok terdapat Bukit Cangang. Memang, dari atas bukit ini banyak orang yang tercengang melihat keindahan Ngarai Sianok. Menyusuri pinggang bukit terus ke utara, kita akan berserobok Taman Panorama. Di tengah taman ini terdapat Lubang Jepang yang memiliki pintu keluar ke segala penjuru. Konon pada masa Perang Dunia II, lubang ini merupakan bunker utama tentara Jepang di kawasan Asia Tenggara. Di dalam lubang, terdapat beberapa ruangan yang berfungsi sebagai kantor dan ruang tahanan. Karena kegunaannya sebagai tempat perlindungan, lubang ini didesain hingga kedalaman 40 meter, serta dapat menahan guncangan bom seberat 500 kg.
Kalau Anda mau sedikit berjalan ke arah barat laut, maka Anda akan menjumpai warung “Pical Sikai”. Tempatnya memang agak tersuruk. 25 meter ke arah bawah dari Jalan Panorama. Seperti halnya pecel di tanah Jawa, pical juga berisi aneka macam sayur-sayuran. Namun salad khas Minangkabau ini dilumuri kuah kacang yang agak pedas, dengan topping-nya berupa keripik merah dan singkong. Jika Anda seorang vegetarian, tak ada salahnya untuk mencicipi makanan yang satu ini. Tak jauh dari situ, adapula rumah makan “Gulai Itiak Lado Mudo”. Letaknya di Jalan Ngarai-Binuang. Disini yang menagih adalah cabai hijau mudanya yang pedas serta bebeknya yang empuk.
Di Taman Panorama, keberadaan monyet ekor panjang menjadi penghibur bagi para wisatawan. Melihat tingkah lakunya yang atraktif, para pengunjung harus waspada, jangan sampai makanan yang dibawa berpindah tangan ke pangkuan mereka. Tak hanya monyet yang hidup disekitar taman, burung-burung-pun masih terdengar saling berkicau. Selain aneka fauna, di taman ini ada pula bunga-bunga serta pohon pinus yang tertata rapi. Pepohonan memang menjadi unsur utama kota Bukittinggi. Selain sebagai atap bagi pejalan kaki, pohon juga memberikan oksigen bagi para penghuni kota.
Di depan Lapangan Kantin yang rindang, sering kali terlihat turis-turis berkodak sambil menikmati kesejukan udara kota. Selain asik untuk berfoto-foto, Lapangan Kantin juga memberikan kesan lapang. Dari pusat kota, lapangan ini terhubung oleh Jalan Jenderal Sudirman. Di depan lapangan, masih berdiri dengan kokoh bangunan Sekolah Raja yang saat ini menjadi SMA Negeri 2. Sekolah ini didirikan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1872, sebagai tempat pendidikan para calon guru. Banyak alumni dari sekolah ini yang “menjadi orang”. Salah satunya ialah Tan Malaka, yang dijuluki sebagai Bapak Republik Indonesia. Di sepanjang Jalan Sudirman berdiri pula bangunan vital lainnya. Seperti Rumah Sakit Islam Ibnu Sina, dua buah gereja : St. Petrus Clavert (Katholik) dan St. Fransiskus (Protestan), serta beberapa hotel berbintang.
Agak keluar dari kota Bukittinggi, 14 kilometer ke arah utara kita bisa menikmati pemandangan Danau Tarusan Kamang. Danau ini cukup unik. Karena sewaktu-waktu ia berair dan dilain waktu hanya berupa padang rumput. Jika air sedang pasang, luas permukaan danau ini tak lebih dari 38 hektar. Menurut masyarakat setempat, lanskap danau yang berubah-ubah karena adanya sungai di bawah tanah. Sungai inilah yang menghisap dan menyemburkan air ke permukaan. Selain sebagai tempat wisata dan budi daya ikan, pemerintah juga mencanangkan tempat ini sebagai obyek penelitian kelas dunia. Sebab hanya ada dua danau yang memiliki fenomena seperti ini : satu di Bukittinggi dan yang lain berada di Italia.
Di bagian paling bawah Bukittinggi, ada satu lagi tempat yang menarik untuk dikunjungi, namanya Koto Gadang. Entah mengapa negeri ini begitu spesial terutama dikalangan para peneliti. Mungkin karena di negeri inilah dulu banyak lahir tokoh-tokoh pelopor, seperti Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Menurut penelitian Elizabeth Graves, pendidikan anak-anak Koto Gadang merupakan yang paling maju di Hindia-Belanda. Hal ini disebabkan karena cerdiknya tokoh-tokoh nagari, dalam memanfaatkan kedekatan mereka dengan pemerintah kolonial. Salah seorang pengusaha Koto Gadang yang banyak membantu pendidikan anak negeri ialah Abdul Gani Rajo Mangkuto.
Koto Gadang merupakan salah satu perkampungan di lembah Sianok. Untuk akses ke perkampungan ini, dari Taman Panorama kini telah dibangun Janjang Koto Gadang. Janjang ini melengkapi Janjang 1000 yang telah sekian lama dilintasi oleh masyarakat lembah yang hendak menuju pusat Bukittinggi. Di Koto Gadang, kita bisa menjumpai rumah-rumah berarsitekturkan Eropa dengan halamannya yang luas. Selain bentuk rumah, penataan kampungnya-pun mengikuti gaya developer Belanda di abad ke-19. Yakni berupa empat ruas jalan utama yang bertemu di satu titik : di muka balai nagari, mesjid besar, dan kantor penghulu.
Di salah satu ruas jalan utama, berdiri menantang zaman Sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah ini didirikan oleh Rohana Kudus, tokoh emansipasi yang menurut sebagian kalangan memiliki pencapaian melampaui R.A. Kartini. Bagaimana tidak, di awal abad ke-20, ketika Kartini hanya pandai berkorespondensi, Rohana telah bertindak nyata dengan mengajarkan perempuan-perempuan Koto Gadang menyulam dan mengerjakan kerajinan tangan lainnya. Tak hanya itu, kakak Sutan Sjahrir ini juga telah menerbitkan koran perempuan pertama di Indonesia : Sunting Melayu.
Selain menghasilkan para cendekiawan, nagari ini juga memproduksi hasil kerajinan tangan. Yang cukup spesifik dan telah melanglang buana adalah kerajinan peraknya. Kerajinan perak Koto Gadang, dikenal memiliki kualitas yang cukup bagus. Dahulu orang-orang Belanda sangat terkesan jika diberikan buah tangan buatan Koto Gadang. Perak Koto Gadang memiliki motif yang halus, tidak terlampu mengkilat, dan berkesan elegan. Selain berupa cincin dan anting, banyak pula para pengrajin yang mengukir miniatur Rumah Gadang menggunakan bahan ini. Malahan replika rumah adat, kini lebih laku dipasaran tenimbang perhiasan yang juga diproduksi di tempat lain. Melihat hasil kerja yang begitu rapi, tak terbayang betapa rumitnya mengerjakan sebuah miniatur rumah adat.
Bagi Anda yang suka berbelanja telekung, kebaya, ataupun baju kurung, tak salah kiranya untuk menjejakkan kaki di Pasar Aur Kuning. Pasar ini terletak di sebelah tenggara pusat kota. Dari Jam Gadang, cara termudah untuk mencapai tempat ini adalah dengan menggunakan bendi (kereta kuda). Pasar ini sebenarnya bukan tempat pariwisata. Namun karena harganya yang sedikit miring, grosir terbesar di Pulau Sumatera itu kini telah pula menjadi incaran para pelancong, utamanya para turis lokal dan turis-turis asal Malaysia.
sumber gambar : http://www.skyscrapercity.com
Lihat pula :
1. Berwisata ke Ranah Minang
indahnya kota dr negri tercinta ”” I LOVE B. TINGGI & AREA TAPSEL SUMUT ””
yg selalu indah sepanjang masa..
SukaSuka