Setelah Jakarta, Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia. Berdasarkan hasil volkstelling 1930, penduduk Surabaya berjumlah 341.675 jiwa. Etnis Jawa merupakan kelompok terbesar dengan komposisi mencapai 66,7%, diikuti oleh masyarakat Tionghoa (11,4%), Madura (10,3%), Belanda (6,6%), dan Arab (1,5%). Dari buku Howard W. Dick yang berjudul Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000, terlihat bahwa pada masa itu kedudukan masyarakat Jawa dan Madura kuranglah menguntungkan. Hampir separuh dari mereka yang bekerja, berada pada okupasi terendah, seperti menjadi pelayan atau penarik becak. Tingkat pendidikan yang belum memadai serta politik kolonial yang menempatkan orang-orang “pribumi” di strata dasar, menjadi alasan mengapa kelompok Jawa dan Madura jauh tertinggal dari etnis lainnya. Orang-orang Tionghoa, meski juga berpendidikan rendah, namun mempunyai keahlian di bidang perdagangan. Oleh karenanya lebih dari 62% pengusaha-pedagang di Surabaya ketika itu diperankan oleh masyarakat Tionghoa. Sedangkan orang Eropa yang di masa itu masih memegang kekuasaan, banyak mengisi pos-pos kepegawaian (67,6%) dan profesional kerah putih (82,3%).
Setelah kemerdekaan keadaan masyarakat “pribumi” semakin membaik. Orang-orang Jawa dan Madura yang sebelumnya berada pada strata terbawah, naik menjadi penguasa kota. Hingga tahun 2000, hampir keseluruhan jabatan walikota diduduki oleh etnis Jawa. Mereka juga mendominasi okupasi kepegawaian dan tentara, walau banyak pula yang bekerja di strata terbawah. Sedangkan kelompok Madura yang dari segi persentase tak banyak berubah, sedikit demi sedikit mulai merangsek menguasai perdagangan menengah-bawah. Disamping orang Madura, masyarakat Bugis-Makassar, Minangkabau, dan keturunan Arab juga merupakan kelompok etnis yang aktif berbisnis di kota ini. Bahkan untuk industri galangan kapal, orang-orang Arab telah menguasainya sejak awal abad ke-19. Diantara komunitas Arab yang memiliki bisnis cukup besar adalah keluarga Baswedan. Mereka tak hanya menguasai industri tekstil, namun juga memiliki aset cukup banyak. Salah satu aset keluarga Baswedan yang kemudian diambil alih oleh pemerintah ialah tanah di kawasan Karangmenjangan. Tanah ini kemudian digunakan pemerintah untuk mendirikan Universitas Airlangga. Meski populasi Tionghoa dari tahun ke tahun terus merosot, namun peran mereka di bidang perdagangan agaknya belum tergoyahkan. Untuk pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus, seperti dokter, wartawan, dan ahli hukum, sudah banyak diisi oleh orang-orang Jawa yang terdidik, serta ditambah sedikit dari kaum Tionghoa dan Minangkabau.
Meskipun sebagian besar masyarakat Surabaya berbicara dalam Bahasa Jawa, namun tutur kata mereka lebih dipengaruhi oleh kultur Madura yang lugas. Perpaduan antara budaya Jawa dan Madura ini, menciptakan suatu dialek bahasa yang disebut Basa Suroboyoan. Walau memiliki akar bahasa yang sama, namun dialek ini cukup berbeda dari Basa Banyumasan atau Basa Mataraman. Boleh jadi ketika berbicara, diantara masyarakat pengguna dialek-dialek ini tak menemukan kesamaan rasa. Meski etnis Jawa di Surabaya nampak homogen, namun dari segi ritual kepercayaan mereka terbagi ke dalam kelompok santri dan abangan. Kelompok santri, mayoritas merupakan warga Nahdlatul Ulama yang pada pemilu 1955 dan 1999 menyalurkan aspirasinya melalui partai politik NU dan PKB. Sedangkan kelompok abangan adalah masyarakat sinkretik yang tak terlalu ketat dalam melaksanakan ibadah dan masih menganut Kejawen. Kebanyakan dari mereka adalah pendukung partai-partai nasionalis, seperti PNI atau PKI (pada masa Orde Lama) dan PDI (pada masa Orde Baru). Oleh karenanya dalam setiap pesta demokrasi atau pemilihan walikota/gubernur, Surabaya selalu menjadi ajang pertarungan antara partai agama versus partai nasionalis.
Surakarta merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang cukup dinamis. Hal ini ditandai dengan kuatnya persaingan antar etnis dalam perebutan kue ekonomi. Ada tiga etnis di kota ini yang saing-menyaingi, yakni etnis Jawa, Tionghoa, dan Arab. Mereka terutama bersaing dalam kegiatan usaha pembuatan batik. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930, tercatat sebanyak 127.830 orang yang bermukim di Surakarta. Dari sebanyak itu; 8,41% populasi merupakan etnis Tionghoa; 1,95% orang Belanda, dan 1,05% adalah masyarakat keturunan Arab. Meski kedua bangsa Timur Asing (Tionghoa dan Arab) itu relatif berjumlah sedikit, namun mereka dapat mengimbangi – dan dalam masa tertentu bisa mengalahkan – dominasi pengusaha-pengusaha Jawa. Akibat persaingan ini, di sepanjang abad ke-20 Surakarta sering mengalami konflik, terutama antara masyarakat Jawa dengan keturunan China.
Persaingan diantara mereka, berpuncak ketika Kong Sing (perkumpulan masyarakat China) berhadapan dengan perkumpulan Rekso Roemekso yang dibentuk oleh H. Samanhoedi. Pada akhir tahun 1911 hingga awal 1912, serangkaian perkelahian jalanan antara dua perkumpulan ini sering terjadi. Untuk memperkuat kedudukan, Rekso Roemekso bermetamorfosis menjadi organisasi politik yang kemudian dikenal dengan Sarekat Islam (SI). Setelah konflik itu, perseteruan kembali terulang pada tahun 1916. Saat itu SI mulai memperkenalkan bentuk pergerakan baru dan boikot dengan metode kekerasan di bawah kepemimpinan Tirtoadhisoerjo dan Martodharsono. Sementara itu, perdagangan kaum Tionghoa yang semakin hebat melahirkan boikot pasar oleh firma-firma China, dimana kain batik produksi orang Jawa dihargai rendah oleh mereka. Bersamaan dengan aksi boikot, perkelahian antara orang-orang China dan anggota Sarekat Islam semakin meningkat, dari perkelahian kecil hingga melibatkan puluhan legiun Mangkunegaran.
Mengenai kondisi bisnis di Surakarta, perlu pula kita cermati catatan Parada Harahap yang melakukan perjalanan ke beberapa kota di pulau Jawa. Menurut catatan beliau, yang kemudian dimuat pada koran Tjaja Timoer, pada tahun 1940 di Surakarta banyak perusahaan besar yang dikendalikan oleh orang-orang Arab, seperti Awab Soengkar Aloermei Concern, Bin Basri Assegaf, dan Alidroes Shahab. Ada pula modal masyarakat “pribumi”, diantaranya pabrik kaos kaki “SSS” yang dikendalikan Sjamsir asal Minangkabau, serta pabrik kaleng “N.V. Blima” dan pabrik penenunan “Lurik Priyayi” yang dipimpin orang Jawa, masing-masing oleh Ir. Soeratin dan Martosoedarmi. Setelah masa kemerdekaan, banyak pabrik-pabrik batik Surakarta yang terkemuka dimiliki oleh pengusaha Tionghoa, seperti “Batik Keris” yang didirikan oleh Kasom Tjokrosaputro (Kwee Sam Tjok) dan “Batik Semar” yang dirintis oleh Agustinus Kasigit Somadi (Kwee Som Khiem).
Di kota Kudus, persaingan bisnis antara pengusaha Jawa dan Tionghoa juga tak terelakkan. Di kota ini hampir sebagian besar perekonomian ditopang oleh industri rokok. Di industri ini pulalah rivalitas diantara kedua kelompok etnis itu terjadi. Nitisemito merupakan salah seorang saudagar Jawa yang merintis industri rokok di kota Kudus. Pada tahun 1914 ia mengembangkan merek rokok kretek Bal Tiga. Merek ini merajai pangsa pasar rokok kretek di Hindia-Belanda, bahkan juga diekspor ke mancanegara. Menjelang masa kemerdekaan pabrik rokok baru mulai bermunculan, yang hampir keseluruhannya dimiliki oleh orang Jawa dan Tionghoa. Berdasarkan catatan Van der Reijden, pada tahun 1924 ada sekitar 12 perusahaan rokok besar di Kudus, dimana separuhnya dimiliki oleh pengusaha Jawa dan separuh lainnya oleh saudagar Tionghoa. Sedangkan untuk ukuran menengah, ada 12 perusahaan milik saudagar Jawa dan 4 milik Tionghoa. Namun di tahun 1933, jumlah firma besar milik kaum Tionghoa telah menyusut menjadi 3 perusahaan, sedangkan kepunyaan orang Jawa bertambah satu menjadi 7 perusahaan. Untuk ukuran menengah, di tahun yang sama ada 16 perusahaan milik pengusaha Jawa dan 6 kepunyaan Tionghoa.
Jika dilihat hasil pemaparan Van der Reijden di atas, nampak dominasi Jawa dalam pengelolaan industri rokok di Kudus. Namun jika kita menelaah lebih lanjut, keunggulan tersebut segera berbalik arah. Dimana pada paruh kedua abad ke-20, orang-orang Tionghoa berhasil mengambil alih penguasaan industri. Terutama sejak diakuisisinya firma Djarum Gramophon oleh Oei Wie Gwan. Ada beberapa hal yang menyebabkan para taipan China lebih unggul dibandingkan pengusaha Jawa. Diantaranya ialah adanya kerjasama di dalam lingkungan keluarga dan pengelolaan perusahaan yang lebih profesional. Sementara orang-orang Jawa, sering terkendala pada masalah regenerasi dan keengganan untuk terus berinvestasi. Hal ini bisa dilihat pada kasus rokok Bal Tiga yang didirikan oleh Nitisemito. Dalam dinamika industri rokok kretek Kudus, kita bisa menyimpulkan bahwa orang Jawa yang sebelumnya menjadi penemu, tidak dapat mempertahankan kejayaannya dan terpaksa menerima posisi parasites. Sementara masyarakat Tionghoa yang sebelumnya hanya sebagai pariah, lambat laun naik kelas dan menjadi paragon. Begitulah sekilas mengenai dinamika bisnis yang terjadi di dua kota Jawa Tengah.
Di Yogyakarta, persaingan antara orang Jawa dan kaum Tionghoa bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi di Kudus maupun Surakarta. Di kota ini, seperti kelompok masyarakat lainnya, posisi orang Tionghoa berada di bawah kekuasaan sultan. Tak ada satupun industri di kota ini yang secara absolut dikuasai mereka. Bahkan menurut data Deperindag, di penghujung abad ke-20 lebih banyak perusahaan besar yang dimiliki oleh orang Jawa tenimbang etnis Tionghoa. Di luar bisnis kendaraan bermotor, perdagangan emas, elektronika (ketiganya dikendalikan orang Tionghoa), dan tekstil (banyak digeluti oleh etnis Minang), hampir keseluruhan industri di Yogyakarta dikuasai masyarakat setempat.
Begitu pula halnya di bidang kebudayaan. Sebagian besar kaum pendatang menyerap kultur Jawa dan tata kramanya yang apik. Ketika melakukan percakapan, hampir keseluruhan warga disini menggunakan Bahasa Jawa ngoko. Dalam berkesenian, orang-orang yang datang dari kultur non-Jawa banyak juga yang menggemari seni budaya Jawa. Seperti masyarakat Tionghoa di kota ini yang banyak mendalami ilmu kebatinan serta mempelajari wayang kulit, gamelan, dan ketoprak. Meski banyak orang Tionghoa yang menyerap unsur kebudayaan Jawa, tak sedikit pula sumbangsih mereka dalam perkembangan kuliner di Yogyakarta. Salah satunya yang cukup populer adalah kue bakpia. Jenis kue yang berisi aneka macam rasa itu, pertama kali dikembangkan oleh para pengusaha Tionghoa yang tinggal di Kampung Pathuk. Dalam perjalanannya, bisnis kudapan ini tak hanya dimonopoli oleh peranakan China, namun juga banyak digeluti kelompok masyarakat Jawa.
Setelah masa kemerdekaan tak hanya orang-orang Jawa dan Tionghoa yang bermukim di Yogyakarta. Orang Sunda, Minangkabau, Batak, dan kelompok masyarakat Indonesia Timur, banyak pula yang bermigrasi ke kota ini. Terlebih ketika masa revolusi, dimana Yogyakarta menjadi ibu kota republik. Elit-elit negara yang sebelumnya berdomisili di Jakarta, segera berbondong-bondong pindah ke kota ini. Kepindahan mereka itu juga diikuti oleh tentara Divisi Siliwangi, yang melakukan long march dari Bandung ke Yogyakarta. Satu lagi yang menjadi daya tarik berpindahnya orang-orang ke Yogyakarta ialah berdirinya Universitas Islam Indonesia dan Universitas Gadjah Mada (masing-masing berdiri pada tahun 1945 dan 1949). Kehadiran dua perguruan tinggi tersebut, telah menempatkan Yogyakarta sebagai kota pelajar yang terkemuka.
Di Jawa Barat, Bandung merupakan salah satu kota yang menerima banyak penduduk dari luar propinsi. Berdasarkan hasil volkstelling 1930, tercatat hampir separuh (42,59%) populasi kota yang berjumlah 166.815 jiwa, bukan berasal dari etnis Sunda. Menurut perhitungan tersebut, ada sekitar 16,45% suku Jawa yang bermukim di kota ini. Disusul oleh orang Eropa (11,78%), Tionghoa (9,98%), Betawi (1,33%), Maluku (0,7%), Minahasa (0,67%), Melayu (0,41%), Minangkabau (0,38%), Palembang (0,22%), dan Batak (0,07%). Besarnya komunitas Eropa di kota ini – bahkan melebihi Batavia (6,96%) dan Surabaya (7,6%), menandakan betapa pentingnya “Parijs van Java” di masa kolonial. Untuk melihat seberapa penting kedudukan Bandung ketika itu, ada baiknya kita menyimak tulisan Yong Mun Cheong dalam bukunya Conflicts Within the Priyayi World of the Parahyangan in West Java 1914-1927. Dalam buku itu terungkap, bahwa di awal abad ke-20 Bandung telah dicanangkan sebagai ibu kota kolonial yang baru, menggantikan Batavia yang mulai pengap. Udaranya yang sejuk dan bersih, menjadi alasan mengapa kota ini dipilih sebagai calon pengganti pusat administratif Hindia-Belanda. Sebagai langkah awal pemindahan ibu kota, beberapa kantor departemen dan jawatan penting mulai dipindahkan. Bermula dari Perusahaan Jawatan Kereta Api di tahun 1894, berturut-turut dilakukan pemindahan kantor Departemen Pertahanan (1917), Departemen Penerangan (1923), Departemen Pos dan Telekomunikasi, serta Departemen Energi dan Pertambangan.
Setelah pemindahan tersebut, Bandung segera terhubung dengan kota-kota lainnya melalui jaringan rel kereta api. Dari barat dengan Jakarta, terus ke timur menuju Yogyakarta dan Surabaya. Perpindahan beberapa kantor kementerian, juga diikuti oleh migrasi orang-orang Eropa ke kota ini. Kebanyakan dari mereka itu kemudian membangun hunian-hunian mewah di kawasan Bandung Utara, mulai dari Dagoweg (Jalan Ir. Juanda), Lembangweg (Jalan Setiabudi), hingga terus ke Lembang. Sedangkan bagi mereka yang berwirausaha, mayoritas memilih Bragaweg (Jalan Braga) di pusat kota. Dalam waktu singkat, masyarakat Eropa menjadi kaum minoritas terbesar melampaui jumlah peranakan Tionghoa. Namun setelah kemerdekaan, jumlah orang Eropa yang besar itu segera menyusut, bahkan hilang tak bersisa. Eksodus besar-besaran masyarakat Eropa, terutama terjadi pada masa revolusi Bandung Lautan Api (1946) dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di akhir dekade 1950-an. Perginya orang-orang Eropa, memberikan rasa percaya diri bagi masyarakat “pribumi”, bahwa orang-orang kulit putih yang selama ini berkuasa juga bisa “dikalahkan”.
Mengenai kegiatan bisnis di kota ini, ada hal yang menarik untuk dicermati. Dimana setelah era kemerdekaan, peranan etnis Sunda yang sebelumnya cukup besar lambat laun makin menyusut. Kelompok-kelompok pendatang terutama masyarakat Tionghoa dan Minangkabau, mengambil alih jalur distribusi perdagangan di kota ini. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Mochtar Naim di tahun 1970, dari daftar kepemilikan toko di Pasar Kota Kembang, sekitar 56,74% dikuasai orang Tionghoa; 28,37% oleh kaum Minangkabau; dan hanya 12,76% yang dimiliki etnis Sunda. Dari angka tersebut terlihat adanya penurunan kepemilikan toko oleh etnis Sunda, yang pada tahun 1963 menguasai lebih dari seperlimanya. Menurunnya penetrasi bisnis orang Sunda, sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1939. Berdasarkan catatan Christine Dobbin, pada tahun itu sekitar 29% bisnis di kota ini telah dikendalikan oleh kaum peranakan China dan Arab. Setelah masa revolusi (1945-1949) jumlah ini makin membesar. Hal ini dikarenakan banyaknya pengusaha Sunda yang menjual perusahaannya kepada kelompok Tionghoa. Meski dalam perdagangan eceran bisnis orang Sunda agak tergerus, namun di beberapa bidang seperti transportasi, mereka tetap mempertahankan dominasinya. Nama-nama beken seperti Aceng Kendar dan Atjoem Kasoem, telah menghiasi jagat bisnis kota Bandung di era 1960-1990-an.
Setelah menengok Bandung, marilah kita melihat dinamika yang terjadi di Priangan Timur, tepatnya di kota Tasikmalaya. Sejak awal abad ke-20, kota ini dikenal sebagai basis santri sekaligus tempat lahirnya pengusaha-pengusaha terkemuka asal Jawa Barat. Besarnya kelompok santri di Tasikmalaya melahirkan beberapa organisasi ulama. Salah satunya yang cukup besar adalah Perkumpulan Guru Ngaji (PGN) yang didirikan pada tahun 1926. Organisasi ini semula disponsori oleh bupati, yang kemudian diikuti oleh banyak pengusaha. Dalam perjalanannya, organisasi yang terlalu dekat dengan pemerintah ini, mendapatkan kritik dari golongan Nahdlatul Ulama (NU). Diantara isu yang menjadi perbedaan mereka adalah mengenai pengertian ulil amri. Ulama dari kelompok PGN mengartikan penguasa kolonial sebagai ulil amri yang harus dipatuhi, sedangkan para kyai NU menolak pendapat tersebut. Berbagai perdebatan muncul diantara kedua kelompok itu yang hampir kesemuanya berlangsung di media massa. Hal inilah yang pada gilirannya menyuburkan usaha penerbitan di Tasikmalaya. Untuk memperoleh dukungan dari pengusaha, sejak dekade 1930-an NU mendirikan koperasi yang berusaha menghimpun dana bagi kelancaran usaha anggota, disamping untuk kepentingan organisasi.
Selain PGN dan NU, dua organisasi keislaman lainnya yang cukup eksis di Tasikmalaya ialah Persis dan Muhammadiyah. Meski agak terlambat dari kota-kota disekitarnya, pertumbuhan Muhammadiyah di kota ini cukuplah mengesankan. Sejak kedatangan orang-orang Jawa, masyarakat Tasikmalaya mulai bersentuhan dengan organisasi pembaharuan ini. Warga kota seperti guru, pegawai, dan pengusaha, yang sebelumnya banyak terafiliasi dengan PGN atau NU, segera bergabung dengan Muhammadiyah. Pada tahun 1936, tahun pendiriannya di Tasikmalaya, organisasi ini sudah mampu mendirikan sekolah-sekolah umum. Seperti di kota-kota lainnya, di Tasikmalaya hubungan antara Muhammadiyah dengan para pengusaha tampak cukup jelas. Seringkali bergabungnya para pengusaha dengan perserikatan ini bukan karena faktor keagamaan, melainkan untuk membangun jaringan bisnis.
Setelah kemerdekaan banyak pengusaha di kota ini yang menjadi pendukung partai Masyumi. Selain dukungan suara, tak sedikit pula dukungan finansial yang digelontorkan mereka ke partai ini. Hasilnya pada pemilu 1955, Masyumi menjadi pemenang di Tasikmalaya. Kentalnya keterkaitan antara organisasi keagamaan dengan para pengusaha, sekaligus mengukuhkan posisi bisnis masyarakat Sunda di kota tersebut. Hampir keseluruhan kegiatan bisnis yang dilain tempat mendapatkan persaingan dari kaum pendatang, disini tidak merasakan goncangan yang berarti. Hingga tahun 1980, kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang hampir keseluruhannya disediakan oleh pengusaha lokal, tiba-tiba perlu suntikan dana dari luar. Investasi itu diantaranya dibutuhkan untuk pembangunan pasar dan pusat perbelanjaan. Kaum Tionghoa yang memiliki modal cukup besar tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, walau kemudian mereka mendapatkan tantangan dari masyarakat setempat. Bergesernya keseimbangan serta terbaginya kue ekonomi yang selama ini eksklusif dinikmati oleh etnis Sunda, menimbulkan kerusuhan yang terjadi di pertengahan 1990-an. Jemma Purdey menyatakan, huru-hara tersebut dipicu oleh pembakaran pasar yang berakibat jatuhnya lokasi strategis perdagangan etnis Sunda ke tangan kaum Tionghoa.
Reblogged this on nurahmanafandi.
SukaSuka