Dalam Kenangan : Buya Hamka

Posted: 21 Maret 2011 in Biografi
Tag:, , , ,

Mengenang 30 tahun wafatnya Buya Hamka.

Jika kita merunut daftar nama ulama Indonesia yang paling populer, maka akan muncul nama Buya Hamka di peringkat pertama. Siapa yang tak kenal dengan beliau, salah satu dari sedikit orang Indonesia yang memiliki talenta beraneka ragam. Pandai berorasi, pintar berceramah, jago berorganisasi, serta luwes dalam pergaulan. Dalam setiap profesi yang ia tekuni, entah itu sebagai ulama, sastrawan, wartawan, ataupun politisi, namanya selalu berkibar. Kepandaiannya berpidato, mampu memikat hati jutaan pendengar. Jika orang berpidato berjela-jela, yang semula enak jadi membosankan. Sedangkan Buya selagi asyik kita merenungkan uraiannya, tak terasa sudah berada di penghujung kalam. Itulah Hamka, pandai menakar dan bisa menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya. Sedikit yang diberikan, namun memiliki kesan cukup mendalam.

Hamka juga salah seorang yang mahir dalam menulis. Kehebatannya menorehkan tinta, setara dengan kemampuannya berpidato. Beliau termasuk salah seorang penulis yang cukup produktif. Pada tahun 1928 disaat usianya baru menginjak 20 tahun, dia telah menerbitkan buku. Sejak masa itu hingga akhir hayatnya, Hamka telah menulis lebih dari 100 judul buku. Belum lagi artikel yang terbit di berbagai media cetak nasional maupun asing, tak terbilang jumlahnya. Karya-karya tulisnya sungguh mengagumkan. Hampir semuanya menjadi best seller, dan selalu dicetak ulang oleh penerbit. Melalui magnum opus-nya : Tafsir Al-Azhar, Hamka merupakan sedikit dari orang Indonesia yang mampu menguraikan isi Al-Quran secara gamblang. Karya tafsirnya bisa disejajarkan dengan tafsir lainnya yang lahir di abad ke-20, seperti Al-Manar (karya Rasyid Ridha) dan Fi Zhilalil Quran (Sayyid Quthb).


Hamka di tengah-tengah keluarga

Melalui buku-bukunya, Hamka sering pula memberikan kajian tasauf. Yang paling terkenal adalah Tashawwuf Modern, yang terbit pada tahun 1939. Dalam buku ini Hamka menguraikan tentang konsep hidup zuhud, yang tidak demam kepada kemegahan, pangkat, dan harta benda. Selain itu Hamka banyak pula menulis buku-buku pencerahan, seperti : Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Kenang-kenangan Hidup, dan Ayahku. Buku ini banyak berkisah tentang riwayat hidup serta pandangannya mengenai way of life. Dan tema kajian semacam ini sering pula disampaikannya dalam ceramah agama on-air, melalui stasiun RRI ataupun TVRI. Sehingga dari materi-materi inilah kemudian, sosok beliau melekat di hati masyarakat luas.

Di samping buku-buku agama, Hamka juga banyak menulis karya sastra. Lewat novel, Hamka memberikan pencerahan sekaligus kritik terhadap adat yang dianggapnya usang. Poligami, kawin sesuku, serta budaya matrilineal yang berkembang di Minangkabau, menjadi sumber cerita dan kritik Hamka. Tiga novelnya yang cukup terkenal yaitu : Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), dan Merantau Ke Deli (1940). Ketiganya bermula dari cerita bersambung yang diterbitkan oleh majalah Pedoman Masyarakat, Medan. Namun melihat animo masyarakat yang begitu luas, penerbit Balai Pustaka menyunting cerita tersebut dan menjadikannya novel. Dari buah karyanya itu, Hamka kemudian tampil sebagai sastrawan terkemuka. Novelnya yang paling laris Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, telah dicetak sebanyak 32 kali. Dan popularitas Di Bawah Lindungan Ka’bah, menarik minat Asrul Sani untuk mengangkatnya ke layar lebar. Meski kedua novel tersebut mendapat apresiasi cukup besar, namun pada novel Merantau Ke Deli-lah Hamka merasakan kepuasannya sebagai seorang pengarang.

Kehebatan Hamka dalam bercerita, disebabkan luasnya pergaulan dan jauhnya perjalanan beliau. Semasa muda Hamka seorang yang pelalar. Ke hilir ke mudik, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba, memberikannya pengetahuan tentang seni bercerita dan mengolah kata-kata. Dari sinilah kemudian dia berkreasi, menuangkan apa-apa yang dilihat dan dipikirkannya. Kontribusi Hamka dalam memperkaya Bahasa Indonesia tak terbantahkan lagi. Melalui novel-novelnya, beliau sering mencomot kosa kata dan istilah Minangkabau untuk kemudian diindonesiakan. Seperti halnya sastrawan yang lahir di ranah Minang, pantun dan petatah-petitih menjadi bumbu dalam penulisan karya-karyanya.

Satu set Tafsir Al Azhar

Tahun 1955, Hamka terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Partai Masyumi. Bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari, beliau menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariah Islam menjadi dasar negara Indonesia. Namun segala usahanya itu kandas, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi pembubaran Dewan Konstituante. Pada tahun 1964, tanpa melalui persidangan umum, Hamka dijebloskan ke dalam penjara. Tuduhannya : rencana pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Suatu perkara yang dibuat-buat orang komunis, untuk menyingkirkannya dari pentas politik tanah air. Meski dizalimi pihak penguasa, namun Hamka tetap ikhlas dan bersyukur. Lantaran masuk penjara itulah kemudian beliau bisa menyelesaikan karya terbesarnya, Tafsir Al-Azhar.

Hamka memang seorang pujangga tulen. Di tengah gelora pidato Natsir dalam sidang Dewan Konstituante, dia sempat menggoreskan penanya. Berikut puisi gubahan Hamka yang diberi judul : Kepada Saudaraku M. Natsir. “Meskipun bersilang keris di leher / Berkilat pedang di hadapan matamu / Namun yang benar kau sebut juga benar / Cita Muhammad biarlah lahir / Bongkar apinya sampai bertemu / Hidangkan di atas persada nusa / Jibril berdiri sebelah kanan-mu / Mikail berdiri sebelah kiri / Lindungan Ilahi memberimu tenaga / Suka dan duka kita hadapi / Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu / Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi / Ini berjuta kawan sepaham / Hidup dan mati bersama-sama / Untuk menuntut Ridha Ilahi / Dan aku pun masukkan / Dalam daftarmu …….!” Begitulah gaya bahasa Hamka, efisien namun penuh makna.

Sebagai wartawan prestasinya-pun cukup mengkilap. Di usianya yang masih belia, Hamka telah menjadi wartawan di beberapa surat kabar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau ditunjuk menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Dan empat tahun kemudian, menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makassar. Pada tahun 1936 ia kembali ke Sumatera, untuk menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Meskipun pendidikan formal hanya ditempuhnya hingga kelas dua Sekolah Dasar, namun predikit Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar (1958) dan Universitas Kebangsaan Malaysia (1974), telah mengangkat derajatnya melebihi para sarjana yang memperoleh gelar melalui bangku sekolah.

Hamka saat berpidato di tengah-tengah umat

Pada tahun 1975 pemerintah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan dua tahun kemudian Hamka ditunjuk sebagai ketua umumnya. Meskipun beliau berada di dalam badan pemerintahan, pendiriannya yang teguh tak menghalanginya untuk bersuara lantang. Pada tahun 1981, beliau mengundurkan diri sebagai ketua umum MUI. Cara ini sebagai bentuk ketidaksetujuannya atas penyelenggaraan Natal bersama di kalangan umat muslim. Tidak lama setelah itu, Hamka berpulang ke rahmatullah. Untuk mengenang dan menghormati jasa-jasanya, namanya diabadikan dalam sebuah universitas milik perserikatan Muhammadiyah : Universitas Muhammadiyah Buya Hamka (Uhamka).

30 tahun sudah Hamka wafat, namun belum ada seorang-pun yang mampu menggantikan peran dan figurnya. Peran dan figur yang didambakan kehadirannya. Terlebih di saat bangsa ini mengalami krisis moral yang cukup serius.

 
Lihat pula :
1. Hamka : Sang Penulis Visi Islam-Indonesia Modern.
2. Orang Minang, Peran, dan Pencapaiannya.
3. 7 Karakter Nyentrik Haji Agus Salim.
4. Chairil Anwar, Penyair Dari Negeri Kata-kata.

Iklan
Komentar
  1. baron berkata:

    kalo dibandingkan dgn org2 yg mengaku ulama di indonesia sekarang wah jauh sekali bedanya(bnyk yg jadi penjilat)

    Suka

  2. Gerizal berkata:

    Kau harapan islam
    Kesederhanaanmu mengecap kebahagiaan dunia
    Kau ulama’ teragung
    Ketaqwaan dirimu
    Itu yang merantai jiwa ummah

    PERIBADI HAMKA

    Ku ukir rasa kagumku dengan adaptasi sebuah penulisan. Biarpun gambar ketika makan, tiadalah yang dapat ku gambarkan bagaimana kesederhanaanmu meruntun pelbagai jiwa. Biarpun tidak mengenalimu sebagai seorang pemimpin, tetapi dengan hanya melihat dari sudut sebagai seorang manusia, auramu sudah cukup untuk dikagumi.

    Mengapa saat melihat wajahmu bagai ada ‘nur’ terpancar di sebalik kedut-kedut tua?
    Mengapa ramai orang suka menatap gambarmu apatah lagi mengumpulnya sebagai koleksi peribadi?
    Mengapa menatap gambarmu begitu mengasyikkan? Terlalu bermakna untuk dihayati.
    Mengapa keperibadianmu tiada tolok bandingnya?
    Mengapa kesederhanaamu digilai rakyat marhaen?
    Mengapa manusia suka menjadikan dirimu sebagai idola mereka? Dari sejak kecil?
    Mengapa dirimu menjadi bualan masyarakat dunia? Dihormati oleh pelbagai kaum dan agama?

    Jasadmu sentiasa dikenali sebagai seorang Ulama Besar yang paling zuhud dan warak. Pada hampir setiap masa, di mana-mana saja, kopiah/pici dan serban tidak pernah ditanggal.

    Pemimpin yang tahu amanah Allah padanya, tidak sibuk menghimpun harta. Malah lebih mudah menyelami kesusahan hati rakyat. Begitulah kerendahan hati HAMKA menjaga kebajikan umat persis Khalifah Umar Al Khattab.

    Cukup terasa apabila rumahmu hanyalah sebuah rumah kampung biasa seperti yang dimiliki oleh rakyat kebanyakan. Rumah yang tidak berpagar sama sekali dan tiada pengawal keselamatan yang diupah untuk menjaga.

    Cukup terpikat dengan kezuhudan yang hadir membasahi bumi serambi Mekah. Al Azhar bangun bukan bersifat materialistik duniawi tetapi dengan bertunjangkan rohani dalam payungan keberkatan dan keredhaan Allah.

    Biar! Biar rakyat miskin harta jangan sekali-sekali miskin ilmu. Biar rakyat kaya amal soleh. Umpama bintang-bintang di langit, kehidupanmu diteladani buat ikutan umat. Susah untuk mencari pemimpin zuhud di fatamorgana ini, semoga HAMKA guru kesayangan dunia diberi tempat yang baik.

    Mari teman! Jalankan amanah kita. Begitu pentingnya memilih pemimpin yang adil, bersih dan amanah apabila di”highlight”kan yang pertama sekali daripada 7 golongan yang akan diberi perlindungan Allah kelak di dalam Hadis Muttafaq’alaih.

    Sabda Baginda SAW : “Tujuh golongan yang Allah berikan lindungan kepada mereka pada hari yang tiada lindungan melainkan lindungan Allah ; pemerintah yang adil, pemuda yang membesar dalam keadaan beribadah kepada Allah…

    Kenapa pertama sekali facebooker? Penting sangatkah?

    Dr Mustafa Said al Khin dalam kitab Nuzhah al Muttaqin menjelaskan sebab di dahulukan pemerintah yang adil daripada selainnya ialah kerana banyak kebaikan yang berkaitan dengannya.

    Menjadi tanggungjawab asas kepada setiap pemimpin memastikan keadilan ditegak dan dipelihara kerana ia akan memastikan banyak kebaikan dapat dinikmati masyarakat. Banyak sabda baginda menyuruh pemimpin bersifat adil. Nabi SAW bersabda yang bermaksud :

    “Ahli syurga itu ada tiga golongan: pemimpin yang adil serta mendapat taufik, lelaki penyayang dan lembut hatinya terhadap kaum kerabatnya dan orang Islam, dan orang tidak kaya yang mempunyai tanggungan banyak tetapi menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta-minta.” – (Hadis riwayat Muslim)

    Suka

    • johni Tambo berkata:

      alhamdulillah,,sahabat,,ya kalaulah benih yg di tanam,, maka tumbuh lah benih,kalau ilalang yg ditanam ya ilalang yg tumbuh,,di waktu kecil,,kami pernah mendengar petuah beliau,,dalam bahasa minang,”dek ribuik rabalah padi dicupak datuak tumangguang,, kok hiduik indak babudi duduak tagak kamari cangguang” itu lah kata beliau,,

      Suka

  3. farid bahri berkata:

    ayah aku merindukanmu…

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s