Hari Minggu, 26 Oktober 2014 lalu, akhirnya Jokowi dan Jusuf Kalla mengumumkan para pembantunya yang duduk di kursi kabinet. Ada 30 kementerian serta 4 menteri koordinator (Menko) yang akan menjalankan roda pemerintahan Republik Indonesia lima tahun ke depan. Yang menarik pada penyusunan kabinet kali ini, Jokowi memanfaatkan jasa KPK dan PPATK untuk ikut mengecek kelayakan calon menteri. Dua lembaga tersebut dimintakan informasinya terkait indikasi korupsi yang sewaktu-waktu bisa menjerat para pembantu presiden. Cara seperti ini dianggap cukup efektif, mengingat banyak sekali kepentingan politik yang merintangi Jokowi-JK dalam mememilih menteri-menterinya. Terutama calon menteri dari partai politik, presiden tak sepenuhnya tahu, apakah calon yang disodorkan para ketua parpol benar-benar bersih. Dari informasi KPK inilah, akhirnya Jokowi mencoret 8 calon menteri yang berpotensi tersangkut kasus korupsi.
Meski Jokowi sudah menggunakan tangan KPK untuk mencoret nama-nama yang dianggap kotor. Namun masih saja ada menteri yang “berstabilo merah”, melenggang masuk ke dalam kabinet. Salah satu nama yang sering disebut-sebut ialah Rini Soemarno. Ia diindikasikan terlibat kasus korupsi BLBI dan pembelian pesawat Sukhoi. Namun karena kedekatannya dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, nama Rini tetap bercokol sebagai Meneg BUMN. Kedekatan Rini dengan Megawati inilah yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, akan kembalinya era dimana perusahaan-perusahaan BUMN berada di bawah intervensi politik. Kita tahu pada masa Orde Baru hingga era kepemimpinan Mega, BUMN-BUMN selalu menjadi sapi perah partai politik.
Tarik Ulur Kepentingan : Jusuf Kalla vs Megawati
Dalam penyusunan kabinet, nampaknya Jokowi tak bisa lepas dari tarik ulur berbagai kepentingan. Dua orang senior yang berada di sekelilingnya : Jusuf Kalla dan Megawati, adalah tokoh-tokoh politik yang memiliki pengaruh cukup besar. Dalam kabinet kali ini, selain Rini Soemarno dan para politisi PDI-P, Susi Pudjiastuti juga merupakan kenalan dekat Megawati. Mega sudah mengenal Susi sejak puluhan tahun lalu, sebelum ia menjabat sebagai presiden. Kala itu Mega sering bertandang ke Pangandaran untuk menemuinya.
Nama lainnya yang masuk kabinet karena kemauan Mega ialah Ryamizard Ryacudu. Mantan KSAD periode 2002-2005 itu merupakan salah satu perwira tinggi yang sudah akrab dengannya sejak kecil. Ayah Ryamizard, Musanif Ryacudu, adalah salah satu tentara AD yang dikenal dekat dengan Bung Karno. Sebelum JK, nama Ryamizard santer terdengar sebagai calon kuat pendamping Jokowi. Namun karena tarik ulur antar partai koalisi, ia urung menjadi wakil dan harus puas di posisi Menteri Pertahanan.
Yang paling kentara dari peran besar Megawati pada penyusunan kabinet kali ini ialah disorongkannya Puan Maharani sebagai Menko. Puan yang sebelumnya tak pernah duduk di jajaran eksekutif, dianggap tak begitu cakap untuk menduduki posisi tersebut. Semula khalayak memperkirakan, perempuan blasteran Minang, Palembang, Bengkulu, Jawa, dan Bali ini, hanya ditempatkan sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun posisi tersebut malah ditempati Yohana Yembise, guru besar asal Papua.
Tak mau kalah dari Mega, Jusuf Kalla juga menempatkan satu orangnya sebagai Menko, yakni Sofyan Djalil. Sofyan yang pernah bekerja sama dengan JK semasa menjadi Meneg BUMN, dianggap sebagai orang yang cocok untuk menjabat Menko Perekonomian. Satu lagi yang disebut-sebut naik menjadi menteri karena pengaruh JK ialah Yuddy Chrisnandi. Politisi dari Partai Hanura ini, sempat menjadi “orang JK” ketika menjabat sebagai fungsionaris Partai Golkar. Meski cukup berpengaruh, namun peran JK kali ini nampaknya tak sekuat ketika ia menjadi wakil presiden 2004-2009 silam. Kala itu JK banyak menempatkan kawan-kawannya di kementerian, seperti Fahmi Idris dan Agung Laksono. Meski lima tahun ke depan publik masih akan menyaksikan kelihaian JK dalam berakrobat politik, namun peran Megawati nampaknya masihlah tetap dominan.
Heboh, dari Susi Pudjiastuti hingga Maruarar Sirait
Dalam beberapa hari terakhir, media sosial penuh dengan komentar atas diangkatnya Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Kehebohan itu bermula dari perangai Susi yang merokok di halaman Istana Merdeka setelah sesi pengumuman anggota kabinet. Susi yang cuma tamatan SMP itu, merupakan pengusaha perikanan yang kemudian naik kelas sebagai pemilik maskapai perintis : Susi Air. Ia memulai bisnisnya sebagai pengepul ikan pada tahun 1983. Karena kesulitan memasarkan hasil tangkapan nelayan, Susi kemudian mencarter pesawat untuk membawanya ke Jakarta dan Singapura. Dari keuntungannya berusaha plus pinjaman uang dari bank, ia akhirnya mampu membeli pesawat sendiri. Saat ini Susi telah mempunyai 50 pesawat dengan berbagai ukuran, yang hampir semuanya dioperasikan oleh orang asing. Prestasinya yang luar biasa itu ternyata mengundang decak kagum dari berbagai pihak. Tak terkecuali Dahlan Iskan, yang menuliskannya khusus di harian Jawa Pos edisi 13 September 2011. Walau banyak orang yang memuji kesuksesannya, namun ada pula yang berkomentar miring. Bertato di betis serta gayanya yang tomboi, merupakan alasan mengapa publik begitu kecewa terhadap dirinya.
Selain Susi Pudjiastuti, menteri lainnya yang mendapat sorotan publik ialah Nila Djuwita Anfasa Moeloek. Nama Nila sebelumnya tak pernah disebut-sebut media sebagai calon menteri Jokowi-JK. Namun di saat pengumuman, sosoknya muncul di halaman Istana ikut berbaris bersama calon menteri lainnya. Nila menyisihkan kandidat kuat lainnya, seperti Hasbullah Thabrany dan Fahmi Idris. Lima tahun lalu, ia sempat dipanggil SBY ke Cikeas dan menjalani tes kesehatan. Namun entah mengapa, SBY mencoret namanya dari daftar Kabinet Indonesia Bersatu II. Kabar beredar menyebut, adanya intervensi asing yang memasukkan Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai Menteri Kesehatan saat itu. Sehingga Nila harus tersingkir dan akhirnya menjadi utusan khusus presiden untuk Millennium Development Goals.
Satu lagi menteri yang mendapat apresiasi khalayak ialah Anies Baswedan. Sama seperti Nila, nama Anies sempat tak muncul dalam hasil rapat terakhir pada hari Sabtu sore (25/10). Dalam daftar yang dirilis oleh berbagai media, rencananya ia hanya ditempatkan sebagai anggota staf kepresidenan. Sedianya, Komaruddin Hidayat-lah yang akan menempati posisi Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah. Namun entah apa yang terjadi, nama Komaruddin justru menguap dan Anies naik menjadi menteri. Kemungkinan, para relawan Jokowi-lah yang mendorong agar Anies diplot sebagai menteri pendidikan. Menurut pengamatan penulis, dipilihnya Anies Baswedan sebagai menteri pendidikan merupakan langkah yang cukup tepat. Sebab selain menjadi akademisi dan pemikir ulung, ia juga merupakan aktivis pendidikan yang mendirikan program “Indonesia Mengajar”. Anies juga dinilai merupakan salah satu anak muda yang cukup brilian dan memiliki visi terhadap pembangunan karakter bangsa.
Dari kalangan profesional, masuknya Ignasius Jonan ke dalam jajaran kabinet juga mendapat acungan jempol. Mantan Dirut PT KAI itu dianggap sebagai orang yang layak untuk membangun transportasi publik terintegrasi. Selain angkutan massal darat, kepadanya Jokowi juga menugaskan pengembangan lalu lintas laut. Senasib dengan Jonan, mantan dirut BUMN lainnya Arief Yahya dan Sudirman Said juga berhasil naik kelas. Beliau masing-masing menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Menteri ESDM. Sudirman Said memang cukup ideal sebagai Menteri ESDM. Karena selain bidangnya di pengelolaan minyak dan gas, ia juga merupakan salah satu pegiat anti korupsi. Namun Arief Yahya yang prestasinya boleh dibilang tak terlalu moncer, apakah sanggup mengangkat dunia pariwisata kita? Mungkin Emirsyah Sattar atau Sapta Nirwandar — yang sempat masuk ke dalam bursa kabinet Jokowi, lebih pantas menempati posisi tersebut.
Jika ada wajah-wajah yang gembira, kali ini ada pula raut muka yang masam ketika tahu namanya terpental dari jabatan menteri. Dia adalah Maruarar Sirait, putra Batak yang digadang-gadang akan menempati posisi Menteri Komunikasi dan Informasi. Namanya dicoret oleh Megawati, satu jam sebelum pengumuman kabinet. Isu yang beredar menyebut, Ara panggilan akrab Maruarar, pernah berseteru dengan Mega dalam pencalonan Jokowi. Kabarnya ia sempat mengancam sang Ketua Umum jika tak mengumumkan Jokowi sebagai capres dari PDI-P. Apapun alasannya, yang jelas politisi energik yang satu ini telah dibuat malu. Pasalnya Ara sudah mengenakan kemeja putih lengan panjang, dresscode para menteri yang akan diperkenalkan Jokowi. Selain Ara, nama lainnya yang juga disebut-sebut akan menempati kabinet Jokowi adalah Saldi Isra. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas ini dicoret, karena dalam kabinet Jokowi sudah ada dua orang asal Minangkabau. Sehingga meskipun ia lebih layak dibandingkan Yasonna Laoly — untuk menempati pos Kementerian Hukum dan HAM, namanya harus terpental karena kuota etnis.
Komposisi Kabinet : Profesional, Partai Politik, Etnis, dan Agama
Lebih baik dari Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua, komposisi kalangan non-partisan dalam kabinet kali ini mendapatkan porsi yang cukup besar. Ada 21 nama dari kalangan luar partai politik yang menghiasi kabinet Jokowi-JK. 13 nama lainnya berasal dari dalam partai politik. Empat anggota koalisi yakni PDI-P, PKB, NasDem, dan Hanura, masing-masing mendapat 4 kursi, 3 kursi, 3 kursi, dan 2 kursi. PPP yang masuk belakangan, setelah kecewa tak mendapatkan jatah pimpinan parlemen, mendapatkan 1 kursi gratis. Melihat komposisi yang sedemikian rupa, banyak pihak — terutama para relawan Jokowi-JK — yang terpuaskan. Untuk hal yang satu ini, kita boleh angkat topi atas kebesaran hati para politisi PDI-P, yang mau memberikan jatahnya kepada kalangan profesional. Padahal sebagai pemegang saham terbesar kemenangan Jokowi-JK, wajar jika PDI-P meminta lebih banyak dari itu. Namun sekali lagi, kebijaksanaan Megawati serta kemauan kuat Joko Widodo untuk membentuk zaken kabinet, patut diacungi jempol.
Untuk kaum profesional-pun, Jokowi dinilai mampu mengakomodir kepentingan lintas profesi. Dari dunia akademisi, ada lima nama yang berhasil duduk di kementerian. Andrinof Chaniago dari Universitas Indonesia, Pratikno (Universitas Gadjah Mada), Muhammad Nasir (Universitas Diponegoro), Yohana Yambise (Universitas Cendrawasih), dan Anies Baswedan (Universitas Paramadina). Dari kalangan pengusaha ada Rachmat Gobel dan Susi Pudjiastuti. Dari asosiasi dokter ada Nila Djuwita Moeloek, dari pejabat kementerian ada Indroyono Soesilo dan Retno Marsudi, dari kalangan petani ada Amran Sulaiman, serta dari militer ada Tedjo Edhy Purdijatno dan Ryamizard Ryacudu.
Berdasarkan komposisi etnis-pun, ada perimbangan antara Jawa dan Luar Jawa. Tercatat ada 17 orang dari 34 menteri Jokowi yang berasal dari etnis Jawa. Berikutnya suku Minangkabau, yang diwakili oleh dua orang (5,9%) yakni Andrinof Chaniago dan Nila Djuwita Moeloek. Sembilan etnis lainnya masing-masing punya wakil satu orang : Aceh (Ferry Mursyidan Baldan), Lampung (Ryamizard Ryacudu), Sunda (Yuddy Chrisnandi), Madura (Imam Nahrawi), Bali (Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga), Rote (Saleh Husin), Bugis (Amran Sulaiman), Gorontalo (Rachmat Gobel), dan Papua (Yohana Yembise). Di samping itu ada enam orang yang berdarah campuran, yakni Puan Maharani, Sofyan Djalil (Minangkabau-Aceh), Yasonna Laoly (Nias-Batak), Siti Nurbaya Bakar (Betawi-Lampung), Ignasius Jonan (Jawa-Tionghoa), dan Anies Baswedan (keturunan Arab).
Dalam kabinet kali ini, ada dua kelompok suku bangsa yang untuk pertama kalinya menduduki jabatan menteri, yakni suku Nias dan suku Rote. Jika orang Nias dan Rote mendapat jatah duduk di kursi kabinet, kali ini giliran orang Minahasa yang tak kebagian. Untungnya kekecewaan itu bisa terobati, dengan terpilihnya E.E. Mangindaan sebagai salah satu wakil ketua MPR. Selain orang Minahasa, beberapa kelompok etnis dari Kalimantan dan Maluku-pun tak terakomodasi pada kabinet kali ini. Agaknya sejak era Reformasi, jatah Indonesia Timur lebih difokuskan kepada orang-orang Papua tenimbang Maluku. Padahal di zaman Orde Lama, kelompok Maluku mempunyai peran cukup besar dalam struktur kabinet. Menurut catatan Crawford Young, pada periode 1945-1970 ada 20 jabatan menteri (3,1%) yang diduduki oleh putra-putra asal Maluku. Jumlah ini melampaui pencapaian yang diraih oleh etnis Batak maupun Madura, yang memiliki jumlah penduduk lebih besar ketika itu.
Jika ditilik dari latar belakang kepercayaan, ada 30 orang menteri dalam Kabinet Kerja yang beragama Islam, dua orang beragama Protestan (Yasonna Laoly dan Yohana Yembise), serta satu orang masing-masing beragama Katholik (Ignasius Jonan) dan Hindu (Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga). Melihat komposisi yang beragam seperti ini, tentunya rakyat berharap dalam lima tahun ke depan pemerintahan Jokowi-JK bisa memperhatikan semua unsur dan wilayah di Nusantara. Sehingga keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang termaktub dalam sila kelima Pancasila, bisa benar-benar terwujud.