Tahun 2016 lalu, Bangkok sempat dinobatkan sebagai “Top City Destinations” oleh sebuah lembaga riset Euromonitor. Kala itu posisinya melampaui London dan New York City yang menjadi langganan top survei. Tiga tahun kemudian giliran perusahaan keuangan Mastercard yang menempatkan Bangkok sebagai kota pertama tujuan pelancong, di atas dua kota favorit lainnya : Paris serta London. Kalau kita menyigi data statistik sebelum pandemi, terlihat bahwa dalam satu dekade jumlah pelancong yang datang ke Thailand naik dua setengah kali lipat. Dimana pada tahun 2009, negeri ini hanya menerima sekitar 14,1 juta wisatawan mancanegara (wisman). Namun di tahun 2019 jumlahnya telah melompat ke angka 39,7 juta jiwa. Sementara Indonesia, dengan luas wilayah yang lebih besar serta obyek wisata yang lebih banyak, hanya berhasil menggaet 16,1 juta wisman. Itupun lebih dari separuhnya cuma berkunjung ke Bali.
Mungkin Anda ada yang bertanya-tanya, apa yang membuat Bangkok — serta Thailand secara umum, menjadi tujuan favorit para pelancong. Padahal kalau kita menengok lanskap alam Thailand, tak berbeda jauh dengan yang ada di Indonesia. Pantai-pantai di Phuket atau Krabi, rasanya tak lebih indah dari yang ada di Bali. Atau pulau-pulau berbukit di Phi Phi Islands, agaknya tak lebih menarik dari gugusan pulau di Labuan Bajo. Begitupula dengan hiruk pikuk Bangkok dengan aneka pusat perbelanjaannya, tak berbeda jauh dengan hustle bustle-nya Jakarta. Kalau kuliner Thailand mau dibilang lebih enak, gak sepenuhnya tepat. Makanan-makanan kita-pun juga gak kalah menariknya. Bahkan rendang dan pisang goreng, sempat ditasbihkan sebagai makanan dan camilan terfavorit di dunia. Lalu apa yang menyebabkan jumlah turis asing yang datang ke Thailand jauh lebih banyak dibandingkan ke negeri kita? Nah, dalam artikel kali ini, kita akan menengok faktor-faktor apa saja yang menjadikan Thailand bisa menjadi tujuan utama para pelancong.
* * *
Pada tahun 1970-an, para wisatawan Eropa pernah membuat rute perjalanan yang dikenal dengan “banana pancake trail”. Rute ini dibuat untuk mempermudah para backpacker Eropa yang ingin datang ke Asia Tenggara. Agar bisa menjangkau seluruh objek wisata penting, maka disusunlah tempat-tempat mana saja yang wajib dikunjungi. Karena rute ini juga mempertimbangkan biaya transportasi, maka diprioritaskanlah tempat-tempat wisata yang berada di Asia Tenggara daratan (mainland Southeast Asia), dimana Bangkok sebagai titik awal pemberangkatan. Karena rute ini banyak digunakan oleh perusahaan travel serta buku panduan seperti Lonely Planet, jadilah sejak saat itu Bangkok menjadi tujuan utama wisata Asia Tenggara. Lalu mengapa mereka tak memilih Indonesia, Malaysia, ataupun Filipina? Pertimbangannya : karena ongkos transportasinya yang lebih mahal. Ini dikarenakan tempat-tempat wisata di negara tersebut terpencar satu sama lainnya. Hal ini berbeda dengan Asia Tenggara daratan yang terhubung dengan jalur darat, sehingga ongkos untuk mengunjungi banyak destinasi relatif lebih murah.
Sama seperti orang Indonesia yang berlibur ke Eropa, kita akan cenderung mengunjungi beberapa negara — bahkan berusaha untuk mengunjungi sebanyak mungkin negara. Bukan hal yang umum bagi orang Indonesia untuk merencanakan liburan pertama kali ke Eropa dengan mengunjungi satu negara saja. Begitu pula dengan orang Eropa-Amerika, mereka juga akan mengunjungi banyak negara ketika datang ke Asia Tenggara untuk kali pertama. Itulah mengapa dengan mengunjungi Asia Tenggara daratan, mereka bisa dapat empat negara — dengan enam sampai delapan destinasi — sekaligus. Dengan mengikuti banana pancake trail, maka Thailand (Bangkok, Chiang Mai, Phuket, dan Krabi); Vietnam (Hanoi dan Ha Long Bay), Kamboja (Angkor Wat), dan Laos (Luang Prabang) bisa disambangi dalam sekali putaran. Ibaratnya, dengan mengunjungi Bangkok, mereka juga dapat kehidupan malam di Phuket, eksotisnya Angkor Wat, dan keindahan pantai Ha Long Bay.
Namun bagi mereka yang sudah pernah ke Asia Tenggara, banyak yang tak mau lagi berkunjung ke Kamboja, Laos, serta Vietnam. Selain infrastrukturnya yang belum berkembang, tempat wisata disana juga tak semenarik Thailand. Angkor Wat misalnya, terkesan sebagai peninggalan yang tak terawat. Shopping di Hanoi, Phnom Penh, atau Vientiane, tentu tak semenarik belanja di Bangkok. Begitu pula dengan Ha Long Bay yang belum bisa menyaingi keindahan Phi Phi Islands. Kalau tempat-tempat tersebut tak terlalu menarik, tentu para turis akan berpikir : buat apa mengunjunginya lagi? Lebih baik mereka memperlama masa kunjungan di Thailand dengan mengeksplor tempat-tempat baru disana. Itulah mengapa para turis Barat sedikit sekali yang “repeat visit” ke Angkor Wat, Hanoi, ataupun Luang Prabang.
Faktor lainnya yang juga mendukung ramainya wisman ke Thailand adalah faktor geogarfis. Meski jarak dari Eropa ke Thailand tak berbeda jauh dengan ke Indonesia, namun dari segi penerbangan, ongkos ke Bangkok jauh lebih murah. Begitupula dari China atau India, dimana biaya penerbangan dari Shanghai/Mumbai ke Bangkok, hanya separuh ke Bali. Inilah yang menjadi alasan mengapa orang yang baru pertama kali ke Asia Tenggara, lebih memilih Thailand. Mereka akan menimbang-nimbang untuk mencari tujuan yang lebih murah seperti ke Phuket atau Krabi tenimbang Bali. Di kawasan ASEAN-pun, Thailand ternyata juga lebih unggul. Bagi orang Malaysia, berlibur ke Thailand tentu tak lebih mahal dibandingkan dengan ke Indonesia. Karena berbatasan langsung, orang-orang dari Kuala Lumpur/Penang bisa naik bus atau mobil menuju Hat Yai/Krabi. Hal yang sama tak mungkin mereka lakukan ketika hendak berkunjung ke Danau Toba ataupun Bandung. Tak salah, jika tahun lalu jumlah wisatawan Malaysia yang datang ke Thailand sudah menembus angka 1,9 juta orang. Sedangkan Indonesia hanya kebagian satu juta pelancong.
Faktor berikutnya yang juga mendorong massifnya industri pariwisata di Thailand adalah budayanya yang cenderung permisif. Dalam artian, banyak hal-hal yang dilarang ataupun tabu di negara lain, namun di negeri ini relatif bebas. Dalam hal minuman keras (miras) misalnya, jika dibandingkan dengan Indonesia atau Malaysia, mendapatkan miras di Thailand jauh lebih mudah. Disamping itu, harganya-pun jauh lebih murah. Selain miras, prostitusi-pun juga sangat marak disana. Di Bangkok, ada ribuan tempat prostitusi berkedok karaoke, bar, brothels, serta masas. Belum lagi Phuket serta Pattaya, yang walau tak sebanyak Bangkok juga terkenal dengan red light district-nya. Meski Kementerian Pariwisata Thailand agak keberatan dengan wisata seks yang semakin menjamur, namun tak bisa dipungkiri kalau sebagian pelancong Barat yang datang kesana hendak mencari ini.
Pada tahun 2015, diperkirakan ada sekitar 147.000 pekerja seks komersial (PSK) di Thailand, dimana seperempatnya merupakan para gadis di bawah umur. Meski jumlah ini agaknya under stated, namun angka tersebut sangatlah tinggi. Disamping mempekerjakan gadis belia, ternyata bar-bar dan diskotik di Thailand juga merekrut para lady boy. Mereka yang tergolong kaum LGBT itu, biasanya menjadi penghibur dalam pertunjukan kabaret. Maraknya wisata seks di Thailand bermula sejak Perang Vietnam. Kala itu tentara Amerika yang hendak menyalurkan hasratnya, pergi ke kota-kota di Thailand. Sejak saat itu, mulailah media-media Barat mem-framing Thailand sebagai tempat erotis. Meski kegiatan ini tergolong ilegal, namun pemerintahnya seperti tak bisa berbuat banyak. Mereka khawatir dengan ditutupnya wisata ini, akan berpengaruh terhadap jumlah pelancong yang datang kesana. Terlebih ada sekitar 8,2 juta tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor pariwisata. Gamangnya pemerintah Thailand dalam bersikap, justru dimanfaatkan oleh lembaga non-profit yang mendukung para PSK disana. Sejak tahun 2020, mereka menuntut agar kegiatan ini segera dilegalkan. Memang sungguh ironi. Demi menjaga pariwisatanya agar tetap hidup, pemerintah Thailand ragu memberantas prostitusi. Tak salah jika kemudian banyak media Barat yang menduga kalau sex tourism-lah sebenarnya yang mendorong sebagian pelancong untuk datang ke negeri gajah putih.