Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi momentum kesadaran berpolitik sekaligus pembentukan pranata sosial baru di Indonesia. Masyarakat yang selama masa kolonial berada di strata yang kurang menguntungkan, dengan semangat kemerdekaan mencoba peruntungannya untuk membalikkan keadaan. Salah satu kelompok masyarakat yang begitu antusias adalah para kelas petani dan buruh di Sumatera Timur. Mereka yang selama ini dieksploitasi oleh para pemodal dan kaum bangsawan, seperti menemukan titik balik untuk melakukan pembalasan. Dan masa-masa pembalasan yang penuh gejolak itu dikenal dengan Revolusi Sosial 1946. Bagi sebagian orang – khususnya kaum aristokrat Melayu – istilah ini terasa tak mengenakkan. Mereka menganggap ini bukanlah revolusi sosial, melainkan suatu pembantaian dan penyingkiran raja-raja Melayu. Namun menurut kaum republiken, kejadian 75 tahun silam itu memanglah suatu kejadian yang begitu cepat (revolusi), yang mengubah tatanan sosial masyarakat dalam tempo seketika. Para sultan yang pada masa pra-kemerdekaan memiliki kuasa tanpa batas, habis pamornya dan tersingkirkan. Daulat tuanku yang berpuluh-puluh tahun begitu diagungkan, berganti menjadi daulat rakyat hanya dalam tempo hitungan bulan.

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai pergerakan tersebut, ada baiknya kita menengok keadaan masyarakat Sumatera Timur sebelum masa kemerdekaan. Sejak tahun 1870, Sumatera Timur merupkan kawasan estat perkebunan yang dikuasai oleh para pemodal Eropa. Para pemodal ini bekerjasama dengan para sultan-sultan Melayu yang memberikan konsesi atas tanah di Sumatera Timur. Adalah Jacob Nienhuys, seorang pengusaha Belanda yang pertama kali mengembangkan perkebunan tembakau di Deli. Pada tahun 1869, ia mendirikan perusahaan Deli Maatschappij. Di Bursa Efek Amsterdam perusahaan ini tercatat cukup rajin membagikan dividen kepada para investor. Tentu ini tak lepas dari kinerjanya yang cukup baik, yang bisa menghasilkan keuntungan cukup besar. Dibalik keuntungan yang besar itu, ternyata terdapat kelas pekerja yang nasibnya tak menguntungkan. Mereka adalah para kuli perkebunan yang bekerja dari pagi hingga malam hari, dengan bayaran yang tak seberapa. Selain itu yang juga mengenaskan adalah perlakuan tak manusiawi yang kerap mereka terima. Absennya sistem peradilan di kesultanan Sumatera Timur, menjadikan perusahaan bisa menjatuhkan hukuman langsung kepada para kuli. Keadaan masyarakat di Sumatera Timur yang pincang inilah yang menjadi api pembakar terjadinya revolusi sosial di tahun 1946.

Selain itu menurut Anthony Reid dalam bukunya “The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra”, hadirnya para aktivis pergerakan berpendidikan Barat juga mendorong terciptanya pertentangan kelas di Sumatera Timur. Mereka yang selama ini melihat kehidupan bangsawan yang penuh glamour, tak bisa menerima kalau kaum aristokrat beroleh keuntungan dengan menerima uang sewa dari para pekebun Eropa, sementara kelas pekerja hidup miskin. Para aktivis ini menganggap bahwa para bangsawan itu telah menghisap darah rakyat. Tokoh-tokoh seperti Karim Marah Sutan dan Luat Siregar adalah beberapa aktivis yang paling kencang menyuarakan persoalan ini. Disamping itu, kedatangan para imigran yang cukup besar, juga menjadi faktor melemahnya dukungan masyarakat terhadap para sultan. Pada tahun 1930, orang Jawa sudah menjadi kelompok etnis terbesar di Sumatera Timur (Lihat tabel). Mereka menggantikan orang Melayu yang di pertengahan abad ke-19 masih cukup dominan.

* * *

Setelah kita melihat faktor-faktor sosial yang menjadi pemicu terjadinya konflik, selanjutnya kita akan mendedah kronologis peristiwa yang telah memakan korban ratusan nyawa itu. Pasca-kemerdekaan, pemerintah republik menetapkan Sumatera sebagai provinsi yang dipimpin oleh Teuku Mohammad Hasan (gubernur) dan Dr. Mohammad Amir (wakil gubernur). Kedua tokoh ini merupakan lulusan Belanda yang disegani di Jakarta, namun kurang mengakar di Sumatera Timur. Setelah kemenangan Sekutu atas Jepang, desas-desus kedatangan Belanda ke Indonesia mulai merebak. Dua kelompok masyarakat yang saling beroposisi, menyikapi kedatangan tersebut dengan sikap yang berbeda. Kelompok republik yang mendukung kemerdekaan, bersiap untuk mempersenjatai diri. Mereka sebisa mungkin merebut senjata-senjata yang digunakan oleh para serdadu Jepang. Sementara kaum bangsawan yang dimotori oleh Tengku Mansoer, mengadakan rapat pada tanggal 25 Agustus 1945 untuk menyambut kedatangan Belanda. Bagi kaum republik, sikap ini tentu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap proklamasi kemerdekaan. Mereka menganggap sultan-sultan Melayu hendak mengembalikan status quo dengan dukungan Belanda.

Pada awal September 1945, tentara Belanda dan Inggris berangsur-angsur masuk ke kota Medan. Jumlah mereka belum terlalu besar namun sudah efektif membangun kontak dengan tentara Jepang dan kaum bangsawan. Tanggal 10 Oktober 1945, Brigade Divisi India ke-26 yang berkekuatan 5.000 orang mendarat di Belawan. Kehadiran tentara di bawah pimpinan T.E.D. Kelly itu, telah memunculkan ketegangan dikalangan para pemuda. Tragedi di Jalan Bali (seberang Pajak Sentral) pada tanggal 13 Oktober 1945, menjadi pemicu kemarahan para pemuda. Kejadian itu terjadi di pagi hari, ketika serombongan pemuda yang marah berkumpul di luar asrama tentara. Mereka mendapat kabar bahwa seorang tentara beretnis Ambon telah merenggut dan menginjak-injak emblem merah-putih yang dipakai oleh seorang pemuda. Baku hantam-pun tak terelakkan dan beberapa orang mengalami luka-luka. Di tengah baku hantam itu, dua orang Belanda melepaskan tembakan dari kendaraan yang lewat ke arah massa, sehingga satu orang pemuda terbunuh. Meski massa dapat dibubarkan pada pukul 1.30 siang, namun kurang dari dua jam kemudian sejumlah besar kekuatan pemuda kembali menyerang asrama tersebut. Penyerangan ini menyebabkan enam orang terbunuh dan sekitar 100 orang Ambon dan Manado luka-luka. Orang Belanda yang mengurus asrama itu-pun juga terbunuh, demikian juga satu keluarga Swiss dibunuh tanpa sebab.

Gelombang kekerasan pemuda inipun menjalar cepat ke Pematang Siantar. Pada tanggal 15 Oktober 1945, terjadi pertempuran antara para pemuda dan orang-orang Belanda di kota ini. Sebuah hotel di Siantar tempat menginap orang Belanda, dikepung dan akhirnya dibakar. Semua orang Belanda disana terbunuh kecuali seorang perwira piket yang sedang melapor ke Medan. Sekitar 10 orang Ambon, dua pemuda pro-republik, dan empat orang Swiss yang mengelola hotel itu juga terbunuh. Bagi orang Eropa di Sumatera Timur, kedua insiden ini menjadi awal dimulainya teror. Sedangkan bagi kaum republik, ini sebagai bentuk eksistensi mereka.

Komposisi Etnis di Sumatera Timur tahun 1930

Insiden di Jalan Bali ternyata juga membawa perubahan besar dalam gerakan pemuda dan meluapnya kegairahan untuk ambil bagian dalam perjuangan. Berduyun-duyun para pemuda ingin menjadi anggota pasukan untuk membela republik, mencari senjata jenis apapun, dan membangun rasa persaudaraan baru berdasarkan perjuangan bersama. Kegairahan ini datang disaat yang tepat dimana akan ada pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang rencananya akan dijadikan angkatan bersenjata resmi republik. Dalam pembentukan TKR itu, Achmad Tahir terpilih sebagai komandan dengan pangkat kapten dan Soetjipto sebagai kepala staf dengan pangkat letnan satu. Disamping para pemuda yang memang hendak berjuang, TKR juga menarik bagi mereka yang sudah biasa hidup di dunia kekerasan semi kriminal kota Medan.

Kelompok-kelompok pemuda yang tidak terafiliasi dengan TKR, juga membentuk front-front perjuangan tersendiri. Kelompok ini kadang terdiri dari etnis yang sama atau tinggal dalam satu bagian kota yang sama, namun mengikat kesetiaan pada seorang tokoh kuat. Menjelang akhir 1945 Inggris dan Belanda tidak mempunyai kekuatan atau kemauan untuk meluaskan kekuasaannya ke luar kota Medan, sedangkan Jepang sepenuhnya bersikap pasif dan bertahan. Pemerintah republik sendiri tak satupun ada yang menguasai kelompok pemuda pejuang atau mampu mempengaruhi kaum bangsawan. Mereka hanya menjalankan perannya sebagai penengah diantara dua kekuatan kelompok masyarakat yang berseteru.

Runtuhnya Kuasa Para Raja

Pada awal tahun 1946, perseteruan antara kelompok pemuda pejuang dan kaum aristokrat di Sumatera Timur semakin tajam. Para pemuda meski memiliki kekuatan yang mumpuni, namun tak memiliki pemimpin yang menyatukan. Di kalangan komunis mereka bertumpu pada ketokohan Karim Marah Sutan, seorang aktivis Minang yang banyak membangun jaringan pergerakan di Aceh dan Sumatera Timur. Di satu sisi, pihak kerajaan yang tetap mempertahankan kekuasaannya, berangsur-angsur semakin tersisih dari hakikat kuasanya. Pengaruh raja-raja Melayu dan Simalungun menjadi terbatas pada pengikut-pengikut sesukunya sendiri di kawasan pedesaan. Dalam kondisi seperti itu, Luat Siregar, ahli hukum kelahiran Sipirok yang baru saja terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatera Timur mendorong para raja untuk segera bersikap demokratis. Dr. Amir yang merupakan mantan dokter pribadi Kesultanan Langkat juga tak kalah bersemangatnya. Ia meminta agar para sultan mau bekerjasama dengan KNI-KNI lokal yang baru saja dibentuk.

Di bulan-bulan berikutnya, kemampuan gubernur Teuku Hasan dan wakilnya, Dr. Amir untuk menengahi kedua kelompok ini tak pernah berhasil. Pengangkatan pejabat republik yang semula berdasarkan pertimbangan untuk menarik simpati kerajaan, ternyata tidak cocok dengan situasi kekuatan politik yang sebenarnya. Hanya tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh terhadap kelompok pemuda-lah yang dapat mempertahankan kekuasaan atas pemerintahan republik. Walaupun gubernur Hasan menolak permintaan untuk mengganti orang-orang yang diangkatnya, namun KNI daerah terus mengajukan orang-orangnya sendiri yang dalam praktiknya menampilkan kekuasaan yang riil.

Di tingkat karesidenan, Tengku Hafas dari Kesultanan Deli sudah tak aktif lagi sejak akhir Januari 1946. Pengumuman-pengumuman pemerintah sudah ditandatangani atas namanya oleh Joenoes Nasution, Ketua PKI Sumatera Timur asal Mandailing. Di Langkat, Tengku Amir Hamzah diam-diam mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai asisten residen pada Februari 1946. Hal ini dikarenakan adanya tekanan dari sultan Langkat dan sekretaris sultan yang pro-Belanda. Di sisi lain ia juga menerima ancaman dari para Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Tanjung Pura, yang meminta agar keluarga sultan mau menyerahkan senjata dan menghentikan hubungannya dengan NICA. Atas persetujuan KNI Langkat, tokoh PNI, Adnan Nur Lubis, kemudian mengambil alih tugas Amir Hamzah. Di Serdang, KNI mengangkat Tengku Nizam sebagai pejabat republik, sedangkan untuk Tebing Tinggi, Moenar S. Hamidjoyo, bertindak sebagai wakil pemerintah. Sementara itu di Asahan, Tengku Musa bersikeras tidak mau tunduk pada keinginan para pemuda, sehingga ketua KNI Asahan, Abdullah Eteng, membuat pemerintahan tandingan disana.

Di tengah rontoknya pamor Kesultanan Melayu di mata rakyat Sumatera Timur, pada tanggal 25 Januari 1946 Sultan Siak, Syarif Kasim II, tiba di Medan. Meskipun dipandang sinis oleh sultan Melayu lainnya, namun kedatangan Sultan Syarif Kasim II telah menunjukkan kemauan gubernur Hasan dalam membantu kesultanan di Sumatera Timur menghadapi arus demokratisasi. Gubernur khusus mengadakan suatu pesta untuk menghormati kedatangan sultan pro-republik itu. Dan dalam sambutan penutupnya Hasan berharap “semoga langkah Baginda ini akan menjadi suri teladan yang berarti serta menjadi pedoman bagi raja-raja di Sumatera Timur dan daerah lain di pulau ini.”

Mendengar kabar adanya kudeta uleebalang di Pidie, pada tanggal 3 Februari 1946 diadakanlah pertemuan kedua diantara para raja Sumatera Timur dengan pemerintahan republik. Kelima sultan hadir dalam pertemuan itu kecuali Sultan Serdang yang sudah tua dan sakit-sakitan. Hadir pula enam dari tujuh raja di Simalungun, raja-raja dari Bilah dan Panai, serta sebagian besar sibayak Tanah Karo. Sebelumnya, raja-raja ini mengadakan pertemuan tertutup diantara mereka dan menunjuk sultan Langkat sebagai juru bicara. Dalam pidatonya dihadapan gubernur, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah menyatakan dengan tegas dukungan para raja dan sultan terhadap pemerintahan republik, serta mendukung terbentuknya daerah istimewa yang selaras dengan corak kedaulatan rakyat. Di akhir pidatonya, sultan tak lupa memekikkan kata : merdeka, sebuah slogan khas kaum republiken.

Meski raja-raja telah menyatakan dukungannya terhadap republik, namun menurut gubernur sebenarnya mereka masih ragu dan mengkhawatirkan hubungannya dengan Belanda. Melihat sikap oportunistik para raja, membuat kelompok pemuda pejuang semakin naik pitam. Mereka beranggapan setiap kompromi yang dilakukan oleh pemerintah republik dengan para raja, hanya memberi kesempatan buat kerajaan untuk hidup lebih lama lagi. Oleh karenanya, beberapa kelompok pemuda pejuang menyadari perlunya ada suatu gerakan revolusioner yang akan menyapu bersih semua kekuasaan para raja dan sultan. Pada tanggal 11 Februari 1946, para pengikut Tan Malaka di Medan mendirikan Persatuan Perjuangan (Volksfront). Front ini terdiri dari gabungan kelompok-kelompok pemuda di bawah simpul jaringan yang dibangun oleh Karim M.S., Nathar Zainuddin, dan Luat Siregar. Dalam rapat yang dihadiri oleh 20 organisasi itu, terpilih Sarwono S. Soetardjo sebagai pimpinan pengurus untuk seluruh Sumatera. Slogannya yang mantap: “hanya berunding di atas dasar 100% merdeka”, telah bergema di kalangan para pemuda dan disambut hangat dalam setiap rapat umum sepanjang Februari 1946.

Dalam tempo yang cukup cepat, Persatuan Perjuangan telah membangun pimpinan cabang di setiap daerah. Hampir keseluruhan pimpinan, baik di tingkat pusat maupun cabang, dikuasai oleh Pesindo, PKI dan PNI, sedangkan TKR dan MIT (Majelis Islam Tinggi) hanya mengambil bagian yang tak begitu penting. Dalam gerakan perlawanan terhadap raja-raja di Sumatera Timur, Persatuan Perjuangan telah mengambil peran yang amat vital. Di bawah pucuk pimpinan Sarwono S. Soetardjo (Pesindo) dan Saleh Oemar (PNI), pada tanggal 3 Maret 1946 dimulailah operasi menggedor pintu istana para raja.

Penyerangan

Di Tanah Karo, Sarwono menyampaikan instruksinya kepada pemimpin Persatuan Perjuangan disana, Tama Ginting, yang segera mendapat dukungan dari pemimpin bersenjata, Selamat Ginting. Setelah itu mereka mengadakan konsolidasi di Brastagi dan memastikan hadirnya para raja urung dan sibayak. Sebagian dari raja-raja itu, yakni sebanyak 17 orang, ditangkap dan diasingkan ke Aceh Tengah. Termasuk wakil pemerintahan republik dan kedua bersaudara Nerus dan Nolong Ginting Suka yang merupakan orang-orang kuat dalam politik. Dalam penyerangan ini, kaum aristokrasi Tanah Karo kehilangan tanah-tanahnya yang sudah menjadi sumber sengketa. Namun rumah-rumah dan kaum keluarga mereka tetaplah aman. Tidak ada pertumpahan darah dalam serangan ini.

Di Pematang Siantar, Saleh Oemar mengeluarkan instruksinya kepada para pemimpin Pesindo, Barisan Harimau Liar (BHL), dan PKI untuk menangkapi raja-raja Simalungun. Telah disetujui bahwa peran utamanya akan dilakukan oleh BHL untuk mencegah terjadinya tuduh-menuduh yang bersifat kesukuan. Raja dari Pane, ditangkap oleh BHL pada 3 Maret 1946 malam beserta seluruh keluarganya. Harta benda dan pakaiannya-pun dirampas. Raja ini dan beberapa pengikutnya dibawa ke markas BHL, dimana disana diadakan pesta dan kemudian semuanya dibunuh. Keesokan harinya BHL mengejar dan menangkap raja dari daerah tetangganya, Raya. Ia dibawa ke jembatan di jalan utama kota untuk dibunuh. Rumahnya diobrak-abrik, emas, dan barang-barang berharganya juga dirampok. Raja ketiga di hulu Simalungun, Raja Purba, beruntung dapat diselamatkan dari tangan BHL oleh pasukan Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Dan yang keempat, Raja Silimakuta yang kebetulan sedang berada di Siantar ketika rumahnya dibakar. Bersama dengan raja-raja Simalungun lainnya, kedua raja ini akhirnya mendapatkan pengamanan dalam tahanan TRI.

Di Tanjung Balai, pada tanggal 3 Maret 1946 ribuan pemuda bersenjata berkumpul mengepung istana Kesultanan Asahan. Meski TRI dan polisi telah berusaha untuk melindungi istana, namun karena banyaknya jumlah massa, istana itupun akhirnya diserbu. Dalam penyerbuan itu, sultan Asahan yang muda dan gesit dapat meloloskan diri. Sesudah pelarian yang menegangkan, dengan bersembunyi di rawa-rawa dan tiga kali berenang menyeberangi sungai, akhirnya ia berhasil menyelamatkan diri dan berlindung di pos tentara Jepang. Sementara itu, para pemuda terus mencari sasaran lainnya. Tengku Musa adalah yang pertama dalam daftar mereka. Ia dan isterinya yang berkebangsaan Belanda disergap pada 3 Maret malam dan akhirnya dibunuh. Keesokan harinya seluruh bangsawan Melayu yang pria di kota itu ditangkapi dan kemudian juga dibunuh. Dalam beberapa hari sudah sekitar 140 orang ditemukan mati terbunuh, termasuk beberapa penghulu dan pegawai didikan Belanda, serta seluruh kelas “tengku”. Sebagian besar janda dan anak-anak mereka yang mati itu kemudian diasingkan, dan rumah mereka digeledah untuk diambil hartanya. Istana Asahan-pun kemudian dijadikan Gedung Rakyat, markas Pesindo.

Tindakan yang lebih ganas dilakukan di lima daerah di Labuhan Batu. Menurut laporan Persatuan Perjuangan, hal ini dikarenakan raja-raja di daerah itu telah menindas rakyat dan kaum pergerakan tanpa mengenal batas. Gerakan pertama pada 3 Maret hanya dilancarkan terhadap ibukota distrik Rantau Prapat, tempat kedudukan sultan Kualuh. Pada tengah malam, Tengku Hasnan dan tiga pembantu utamanya dibawa ke pinggir sungai yang curam untuk dibunuh. Tengku Hasnan dan Tengku Long dipenggal kepalanya, sedangkan dua lainnya sempat terjun ke sungai menyelamatkan diri. Pada waktu yang sama, istana sultan Kualuh di Tanjung Pasir dikepung, dan semua penghuninya ditawan. Keesokan harinya, sultan bersama salah seorang puteranya ditemukan dalam keadaan sekarat dengan beberapa tusukan tombak. Orang-orang penting lainnya dalam pemerintahan kesultanan inipun juga dibunuh, dan keluarganya ditawan.

Di Kesultanan Deli dan Serdang, Persatuan Perjuangan menghadapi perlawanan yang cukup keras. Sultan Serdang yang berkedudukan di Perbaungan, dilindungi oleh pasukan TRI di bawah pimpinan Tengku Noerdin. Kapten ini adalah seorang bangsawan muda Serdang, bekas perwira Giyugun serta keponakan Tengku Nizam yang menjadi ketua KNI daerah itu. Kapten Noerdin mendapat persetujuan dari Achmad Tahir untuk mengambil kekuasaan di tangan sendiri. Pada 4 Maret, peralihan kekuasaan-pun cepat dirundingkan, sehingga para pejabat kerajaan dan kaum bangsawan ditahan di istana secara baik-baik. Sementara itu istana Kesultanan Deli yang berada di tengah kota Medan, sudah dalam perlindungan Inggris sebelum revolusi sosial dimulai. Namun begitu menurut kesaksian keluarga sultan, Istana Maimun-pun sempat ditembaki oleh sekelompok pemuda.

Di Tanjung Pura, dalam penyerbuan pertama pada tanggal 3 Maret, istana Kesultanan Langkat terlampau kuat untuk dikuasai. Kabarnya kesultanan paling kaya di Sumatera Timur itu telah mendapat sokongan senjata dari NICA. Meski berbagai tekanan terus memberondong sultan, namun ia menolak untuk meminta bantuan dari pasukan Sekutu atau Jepang yang dekat dengan Tanjung Pura. Sultan menyadari bahaya yang mengancam seluruh aristokrasi Melayu di daerahnya apabila ia mengambil langkah itu. Oleh karenanya sultan lebih memilih jaminan dari gubernur Hasan dan bekas dokter pribadinya, Dr. Amir. Sementara itu, sejak 4 Maret Pesindo Binjai mulai menangkapi pejabat-pejabat kerajaan. Diantara yang pertama diambil dari rumahnya adalah Tengku Amir Hamzah, pujangga terkemuka yang secara resmi masih menyandang jabatan asisten residen Langkat. Ia kemudian dieksekusi oleh kelompok pemuda dalam apa yang disebut sebagai peradilan rimba.

Pada tanggal 8 Maret, setelah berunding dengan sultan mengenai penarikan mundur pengawal bersenjatanya dari Tanjung Pura, para pemuda dari unsur PKI dan Pesindo kembali mengepung Istana Darul Aman. Baru keesokan malam harinya, setelah terjadi pemadaman listrik, istana berhasil diserbu. Semua penghuninya ditangkap dan digeledah. Dalam penyerangan itu, yang paling memilukan adalah terjadinya pemerkosaan terhadap dua puteri sultan. Meski para pelakunya kemudian dibunuh oleh sekelompok pemuda Islam, namun perlakuan itu telah mencoreng pergerakan revolusi. Tanggal 11 Maret, tujuh tengku yang paling terkemuka diangkut dan dipenggal. Sultan sendiri beserta kaum keluarga wanitanya ditawan dan beberapa minggu kemudian diserahkan kepada pimpinan republik di Brastagi. Selama masa revolusi, diperkirakan terdapat 38 bangsawan Langkat yang dibunuh.

Kesudahannya

Selama satu minggu pasca-penyerangan, semangat revolusioner begitu berkecamuk, dan sedikit sekali orang yang berani menghalanginya. Bahkan gerakan Islam-pun cepat mengikuti arus ini dan mendorong para aktivis mudanya yang anti-kerajaan untuk bergabung. Pada tanggal 5 Maret, MIT Sumatera Timur menyatakan dirinya sebagai bagian dari Masyumi. Abdurrahman Sjihab Rangkuti (Jamiatul Wasliyah), Yunan Nasution (Muhammadiyah), dan Bachtiar Joenoes (Muhammadiyah/Sabilillah) masing-masing menjadi ketua satu, dua, dan tiga partai itu. Sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan revolusi, maka pada tanggal 8 Maret ditentukan sebagai hari untuk memberikan penjelasan kepada umat. Dalam khotbah jumat-nya di Masjid Raya Medan, Yunan Nasution menguraikan bagaimana sikap raja-raja yang telah menjadikan umat muslim sebagai masyarakat terbelakang dan kolot.

Tanggal 9 Maret, Dr. Amir memberi kuasa kepada pimpinan baru Masyumi untuk mengambilalih kekuasaan administrasi keagamaan di Sumatera Timur, termasuk untuk mengganti para kadhi kerajaan. Sjihab segera mencoba mendapatkan mandat untuk melaksanakan revolusi agama ini dari suatu pertemuan yang dihadiri sembilan ulama terkemuka. Meski ada beberapa ulama yang tak sependapat, namun karena saat itu “kekuasaan agama” telah dilimpahkan kepada Masyumi, maka Sjihab terus melakukan pergantian kadhi-kadhi lama dengan kadhi-kadhi baru yang beraliran reformis. Sejak saat itu, ulama-ulama reformis yang tergabung di dalam Masyumi memegang peran penting dalam kehidupan beragama di Sumatera Timur.

Meski pada awalnya revolusi sosial beroleh dukungan penuh semangat, namun sepuluh hari setelah penyerangan sudah mulai muncul reaksi yang menentangnya. Setelah mengetahui dampak yang begitu mencekam, Dr. Amir yang sudah tak berdaya itu menggelar rapat KNI dan Persatuan Perjuangan pada tanggal 13 Maret. Dalam rapat itu mandat kepada Joenoes Nasution sebagai residen dan Luat Siregar sebagai “juru damai” dicabut. Selanjutnya pemerintahan militer kembali ke tangan TRI, yang mana ditunjuk Mahruzar sebagai pelaksananya.

Keputusan-keputusan yang dibuat itu ternyata tidak membawa pengaruh nyata pada iklim revolusi. Intervensi yang lebih efektif datang dari Amir Syarifuddin (Menteri Pertahanan) yang mengunjungi Sumatera Timur pada tanggal 9-12 April. Dalam kunjungannya itu ia berharap dapat membawa gelora revolusi kembali di bawah kendali. Pidato-pidato keras Syarifuddin memberi dorongan kepada unsur moderat dalam Persatuan Perjuangan — yang cukup kuat pada akhir April — untuk menahan Joenoes Nasution dan membubarkan Ekonomi Rakyat Republik Indonesia (ERRI).

Berbeda dengan di Pidie, dimana dalam kudeta uleebalang elit ulama muncul sebagai pemenangnya, maka dalam revolusi sosial di Sumatera Timur tak ada satupun yang keluar sebagai pemenang. Reputasi semua pemimpin utama rusak oleh kekacauan yang ditimbulkan, sehingga kekuasaan nyata semakin banyak yang jatuh ke tangan kelompok pemuda bersenjata dan terpisah-pisah satu sama lainnya. Ironisnya para kelompok pemuda itu dipimpin oleh pemuda-pemuda yang berusia tak lebih dari 30 tahun. Sepanjang tahun 1946-1947 mereka seringkali bentrok satu sama lainnya, memperebutkan kendali atas perkebunan karet atau harta yang telah disita dari istana-istana kesultanan. Dengan memburuknya keadaan di segala bidang, pemerintahan republik di Sumatera Timur pada akhirnya meminta pengendalian dari pemerintah pusat.

Kaum bangsawan kembali mendapat angin segar ketika Inggris dan Belanda melakukan Agresi Militer Pertama di Sumatera Timur. Dengan bantuan militer Belanda, maka dibentuklah Negara Sumatera Timur (NST) pada tanggal 25 Desember 1947. Tengku Mansoer terpilih sebagai wali negara/presiden dan Raja Kaliamsyah Sinaga sebagai wakilnya. Sedangkan untuk panglima angkatan bersenjata ditunjuk Djomat Poerba. Setelah penyerahan kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar, NST menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat. Namun kekacauan dan ketegangan yang disebabkan oleh negara federal, mendorong Mohammad Natsir (Perdana Menteri ketika itu) menyerukan adanya mosi integral. Dengan seruan tersebut, maka pada tanggal 15 Agustus 1950 tamatlah riwayat kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur. Semuanya melebur menjadi satu ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Komentar
  1. Kosmopolium berkata:

    Amat disayangkan memang, di samping para ekstrismis yang main hakim sendiri tersebut, tragedi berdarah ini seharusnya bisa dihindari andai saja sikap kalangan bangsawan di Sumatra ini bijak mengikuti dengan penuh komitmen agenda kemerdekaan yang dipimpin oleh pemerintahan Republik. Akhirnya semua sudah menjadi bagian dari sejarah kelam kita, pahlawan nasional Teuku Amir Hamzah pun juga harus terbunuh. Miris.

    Suka

    • Elvy berkata:

      Hendaklah membaca sejarah jangan dari satu sumber. Bacalah beberapa sumber, lalu timbang dan bandingkan. Bisa jadi kita dapat pemahaman yg lebih luas.

      Suka

Tinggalkan komentar