Jokowinomics dan Potret Ekonomi Indonesia 10 Tahun Terakhir (2014-2024)

Posted: 22 September 2024 in Ekonomi Bisnis
Tag:, , , , ,

Jokowi melakukan groundbreaking pabrik smelter Freeport (sumber : presidenri.go.id)

Bulan Oktober nanti Presiden Joko Widodo akan memasuki masa purna tugas. Dalam satu dekade kepemimpinannya, sudah banyak pencapaian yang beliau torehkan khususnya di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Jika kita menyigi data pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka capaian dalam 10 tahun terakhir ini tak bisa dibilang biasa-biasa saja. Di tengah perang dagang antara Amerika vs China serta konflik Rusia vs Ukraina, kita masih bisa mencetak pertumbuhan di atas 5%. Memang di tahun 2020-2022 ekonomi kita sedikit melambat dan sempat mengalami pertumbuhan negatif. Namun setelah pandemi usai (2023), pertumbuhan kita kembali menggeliat dan berada di kisaran 5%. Berbeda dengan di era SBY, pertumbuhan ekonomi di masa Jokowi boleh dikata sudah lebih sehat. Walau angkanya tak setinggi di masa Yudhoyono, namun pada termin kedua pemerintahan Jokowi kita sudah tak lagi bergantung pada ekspor bahan mentah. Agaknya program hilirisasi yang beliau canangkan sejak tahun 2020 lalu, cukup berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi kita.

Selain melakukan hilirisasi minyak kelapa sawit, pengolahan bijih nikel kini juga menjadi handalan Indonesia. Dari pengolahan bijih nikel saja, dalam kurun waktu tiga tahun Indonesia sudah menciptakan nilai tambah ekspor 25 kali lipat. Dimana pada tahun 2020 nilai ekspor produk tersebut hanya sebesar USD 1,4 miliar, dan di tahun 2023 sudah melonjak ke angka USD 34,8 miliar (setara Rp 528 triliun). Karena ekspor kita yang didominasi barang hasil olahan itulah, maka sejak bulan Mei 2020 (52 bulan berturut-turut) neraca perdagangan kita terus mengalami kelebihan. Walau terjadi penurunan sebesar USD 5,47 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, namun di tahun 2024 Indonesia sudah membukukan surplus senilai USD 18,85 miliar. Di periode pertama kepemimpinan Jokowi kita juga pernah mengalami surplus selama 18 bulan (Januari 2016-Juni 2017), namun nilainya tak sebesar yang sekarang ini. Berbeda dengan surplus perdagangan di periode pertama yang masih ditopang barang-barang tambang, surplus perdagangan di termin kedua lebih ditunjang oleh hasil industrialisasi.

Yang juga perlu dicatat dari keberhasilan program ekonomi Jokowi (Jokowinomics) adalah pembangunan infrastruktur yang sangat massif. Dalam sejarah Indonesia, boleh jadi pada masa inilah kita membangun infrastruktur secara besar-besaran. Kalau Anda melihat peta Pulau Jawa di tahun 2014, maka jaringan jalan tol kita hanya tersambung dari Merak hingga Bandung saja. Dari Cikampek ke Probolinggo/Malang, jalan tol masih terputus-putus. Ada sedikit di Cirebon, beberapa kilometer di Semarang, dan setengah melingkar di luar kota Surabaya. Sehingga jika Anda hendak menuju Malang dari Jakarta, harus membutuhkan waktu setidaknya 28 jam. Setelah ada jalan tol, waktu tempuh dua kota yang berjarak 850 km itu cuma sekitar 10 jam. Begitupula di Pulau Sumatera, dimana dari Bakauheni hingga Palembang yang sebelumnya harus ditempuh selama 13 jam, kini dengan adanya jalan tol bisa dicapai dalam waktu 5 jam. Sebagai catatan, sejak tahun 1978 hingga 2014, Indonesia hanya memiliki jalan tol sepanjang 790 km. Namun setelah 10 tahun Jokowi berkuasa, panjangnya bertambah tiga setengah kali lipat menjadi 2.893 km.

Pengembangan jaringan kereta api juga tak luput dari perhatian beliau. Di Jakarta, sosok yang memiliki nama lahir Mulyono itu tak hanya merevitalisasi sistem KRL, namun juga membangun puluhan kilometer jaringan MRT dan kereta bandara. Dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI, kini masyarakat bisa mencicipi layanan kereta api bawah tanah yang sebelumnya — di Asia Tenggara — sudah ada di Singapura, Kuala Lumpur, serta Bangkok. Ia juga membelah ruas Jalan Rasuna Said dan Gatot Subroto yang terkenal macet, dengan membangun kereta layang ringan (LRT). Tak cuma di Jakarta, di beberapa kawasan urban lainnya pemerintahan Jokowi juga banyak mengembangkan jaringan kereta api. Jika antara Jogjakarta dan Solo dikembangkan jaringan KRL, maka di Medan serta Padang dibangun kereta api bandara. Ketiga jaringan ini melengkapi LRT Palembang yang telah beroperasi sejak tahun 2018. Setelah mengoperasikan rel ganda lintas utara, Jokowi juga merampungkan rel ganda lintas selatan dan double-double track lintas Manggarai-Cikarang. Dengan adanya penyelesaian tersebut, maka waktu tempuh antara Jakarta dengan kota-kota di selatan Pulau Jawa jadi semakin terpangkas. Dari sekian banyak infrastruktur kereta api yang dikembangkan Jokowi, yang paling fenomenal tentu adalah kereta api cepat Jakarta-Bandung. Proyek yang menelan biaya mencapai Rp 108 triliun itu, konon menjadi jaringan kereta cepat pertama di ASEAN dan di belahan bumi selatan.

Lalu bagaimana dengan bandara dan pelabuhan? Ternyata selama 10 tahun kepemimpinannya, Jokowi telah membangun 27 bandara baru dan merevitalisasi 64 bandara yang sudah ada. Dengan dibangunnya bandara-bandara tersebut, maka kini Indonesia menjadi negara kedua di Asia — setelah China — yang memiliki bandara paling banyak. Yang paling ikonik tentu adalah pembangunan Terminal 3 Soekarno-Hatta dengan luas mencapai 422.000 m². Terminal baru ini tak hanya memiliki area yang lebih besar dari gabungan T1 dan T2, namun juga telah dilengkapi teknologi mutakhir serta kalayang yang menghubungkan antar terminal. Tak heran kalau bandara tersebut kini menjadi airport terbaik kedua di ASEAN setelah Changi Singapura. Tak cuma menambah kapasitas Soekarno-Hatta, Jokowi juga memindahkan bandara utama Jawa Barat dari Hussein Sastranegara ke Kertajati. Untuk pelabuhan, pemerintahan Jokowi telah mengoptimalisasi 106 pelabuhan sebagai bagian dari jaringan tol laut. Beliau juga membangun beberapa pelabuhan, dimana dua diantaranya adalah Pelabuhan Patimban di pantai utara Jawa Barat dan Kuala Tanjung di pesisir Sumatera Utara. Patimban dibangun untuk mengantisipasi lonjakan jumlah barang dari Tanjung Priok (Jakarta), sementara Kuala Tanjung untuk mengambil sebagian trans-shipment market yang ada di Selat Malaka. Dengan pelbagai pembangunan infrastruktur transportasi tersebut, dalam 10 tahun terakhir kita telah berhasil menurunkan biaya logistik dari yang sebelumnya 24% menjadi 14%. Kemudian juga mampu meningkatkan daya saing global dari sebelumnya di peringkat ke-34 menjadi di urutan ke-27.

Top 20 Negara Industri

Tak hanya infrastruktur transportasi, Jokowi juga memperhatikan perkembangan jaringan komunikasi dan kelistrikan. Pada tahun 2014, rata-rata kecepatan internet mobile kita hanya sekitar 2,5 Mbps. Kini kecepatannya sudah melonjak 10 kali lipat menjadi 25 Mbps. Meski angka tersebut melompat cukup tinggi, namun peringkat kita masih di bawah beberapa negara ASEAN. Hal ini dikarenakan luasnya wilayah Indonesia serta banyaknya penduduk yang harus dilayani. Data per Februari 2024 menunjukkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 221 juta jiwa atau 78,4% dari total penduduk. Angka ini melonjak dua setengah kali lipat dibandingkan 10 tahun lalu yang cuma 88,1 juta jiwa (34,9% dari total penduduk). Begitupula dengan rasio elektrifikasi, dimana pada tahun 2014 jumlah rumah tangga yang terkover listrik baru sekitar 84,35%, sedangkan di tahun 2024 sudah hampir seluruhnya. Seriusnya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, menjadi catatan positif bagi Jokowi di mata pengamat luar.

Kalau disigi dari struktur pendapatan negara, maka terlihat kalau sektor industri manufaktur memainkan peran yang cukup besar. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, industri manufaktur kita telah bertumbuh sekitar 3,44% per tahun selama periode 2014-2022. Akibatnya di tahun 2023 lalu, Indonesia berada di peringkat ke-12 negara industri terbesar, dengan nilai tambah manufaktur mencapai USD 256 miliar. Padahal di tahun 2014, Indonesia masih berada di urutan ke-17 dengan nilai tambah sebesar USD 115 miliar. Artinya, dalam waktu sembilan tahun kita berhasil menggandakan nilai tambah industri sekaligus melampaui raksasa Rusia. Meningkatnya sektor industri di Indonesia, tak lepas dari dukungan realisasi investasi, baik dari dalam negeri (PMDN) maupun asing (PMA). Pada tahun 2014, total investasi PMDN dan PMA kita masing-masing senilai Rp 156,1 triliun dan Rp 307 triliun. Sedangkan di tahun 2023, telah melompat ke angka Rp 674,9 triliun dan 744 triliun. Jika di masa pemerintahan sebelumnya investasi hanya berkutat di Jabodetabek, maka di periode kedua pemerintahan Jokowi, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara tercatat sebagai propinsi dengan pertumbuhan investasi paling tinggi. Tentu raihan ini bisa menjadi tolak ukur keberhasilan Jokowinomics yang mengedepankan Indonesia-sentris.

* * *

Jika kita membandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia selama masa kepemimpinan Jokowi, Megawati, dan SBY, maka akan terlihat kalau pertumbuhan di era Jokowi sudah di atas Megawati namun masih di bawah SBY. Berdasarkan data LPEM UI, pertumbuhan ekonomi selama periode kedua Jokowi rata-rata sebesar 5,18%, sedangkan pada periode pertamanya hanya 5,03%. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di periode kedua SBY mencapai 5,80% dan di periode pertamanya sebesar 5,64%. Adapun di era Megawati — yang cuma memimpin selama tiga tahun, pertumbuhan ekonomi kita hanya sebesar 4,57%. Lebih cepatnya pertumbuhan ekonomi di era SBY, lebih disebabkan karena adanya booming komoditas. Dimana pada saat itu permintaan dari Tiongkok akan barang tambang kita sangatlah besar. Jadi bisa dibilang pertumbuhan ekonomi Indonesia di era Yudhoyono, dikerek oleh pertumbuhan China yang masih tinggi. Kini setelah China tak lagi jor-joran dan ekonominya mulai melempem, Jokowi masih bisa mempertahankan pertumbuhan di atas 5%. Dan ini menurut saya merupakan sebuah pencapaian yang spektakuler.

Meski pertumbuhan ekonomi di masa Jokowi sedikit lebih rendah, namun dari segi inflasi Indonesia jauh lebih baik ketika dipimpin Jokowi. Di era SBY laju inflasi boleh dibilang sangatlah tinggi, yakni mencapai 7,11%. Sementara di era Jokowi hanya berkisar di angka 3,61%. Inflasi bahkan sempat menembus angka 11,06% pada Desember 2008, setelah SBY menaikkan harga BBM subsidi. Sedangkan inflasi bulanan tertinggi di era Jokowi hanya sebesar 7,26% yakni di bulan Juni-Juli 2015. Sebagai salah satu indikator ekonomi, inflasi berperan penting dalam mengukur daya beli masyarakat. Menurunnya laju inflasi menandai semakin murahnya harga barang di pasar. Namun inflasi yang rendah juga bisa mencerminkan ambruknya permintaan, seperti yang dikeluhkan oleh para pengusaha UMKM kita akhir-akhir ini.

Satu lagi yang perlu dicatat dari kepemimpinan Jokowi adalah keberhasilannya dalam memenej tekanan dunia internasional. Dalam proses pengambilalihan saham Freeport misalnya, banyak pengamat yang mewanti-wanti kalau Indonesia nanti akan ditekan oleh Amerika. Tapi nyatanya, setelah Indonesia berhasil mengambilalih 51% saham perusahaan tambang tersebut — dan akan naik menjadi 61%, tak ada gejolak yang berarti. Dengan digenggamnya saham Freeport sebesar itu, maka negara kita berpotensi akan beroleh pemasukan sebesar USD 4 miliar atau setara Rp 62 triliun per tahunnya. Angka ini sedikit di atas laba BRI yang tahun lalu berhasil membukukan Rp 60 triliun.

Setelah lulus menjalani program divestasi Freeport, Jokowi kembali diuji dengan adanya gugatan Uni Eropa di WTO terkait penghentian ekspor bijih nikel Indonesia ke benua biru. Seribu satu alasan yang mereka gunakan untuk menekan Indonesia, namun pemerintahan Jokowi tetap tak bergeming. Beliau bersikukuh bahwa ekspor barang tambang dalam bentuk produk mentah tak dibolehkan. Ini bertujuan agar kita bisa mengolahnya di dalam negeri, dan memberi nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat. Meski sempat kalah dalam sidang pertama, namun pemerintah mengajukan banding. Terakhir di bulan Juni lalu, Uni Eropa sudah mulai melunak dan meminta kita untuk mau mengekspor produk turunannya. Meski pemerintah menyetujui permintaan tersebut, namun untuk jumlah yang akan disuplai, kita tetap tak mau didikte.

Sri Mulyani dan Jerry Sambuaga berdialog dengan wakil WTO (sumber : asiatoday.id)

Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, Indonesia juga menghadapi larangan ekspor minyak kelapa sawit ke Uni Eropa. Larangan itu tentu menjadi pukulan telak bagi kita, sebab komoditas ini merupakan salah satu sumber pendapatan yang cukup besar. Alasan dilarangnya ekspor tersebut, karena menurut mereka tanaman ini menimbulkan dampak deforestasi yang mengkhawatirkan. Padahal kalau kita menghitung tingkat produktivitas minyak kelapa sawit dengan bunga matahari (produk yang menjadi handalan Uni Eropa), jauh lebih efisien minyak kelapa sawit. Sebagai perbandingan, volume produksi satu hektar minyak kelapa sawit, setara dengan sepuluh hektar bunga matahari. Melihat adanya larangan tersebut, pemerintah lantas mengalihkan ekspornya ke negara-negara lain, terutama ke Tiongkok dan India. Dengan adanya dua negara tersebut, maka kita bisa sedikit lega. Karena dari mereka itulah kita bisa beroleh devisa senilai USD 9,19 miliar di tahun 2023.

Adanya standar ganda serta proteksi yang dilakukan oleh Uni Eropa, tentu akan menjadi tantangan utama pemerintahan Prabowo ke depan. Negara-negara Eropa — juga Amerika dan Australia dalam batas-batas tertentu — akan terus menekan kita lewat berbagai cara. Tentu kita berharap, Prabowo bisa dengan baik mengatasi tekanan-tekanan tersebut, sehingga national interest kita bisa tetap terjaga.

Tinggalkan komentar