Saudagar Terkemuka di Awal Kemerdekaan Indonesia

Posted: 24 September 2022 in Ekonomi Bisnis
Tag:, , , , , ,

Dasaad Musin Concern

Kalau Anda menyusuri kawasan Kota Tua Jakarta, maka Anda akan bersua dengan bangunan tua bercat putih. Bangunan ini terletak di Jalan Kunir, 100 meter sebelah utara Museum Fatahillah. Pada bagian muka gedung itu tertulis “Dasaad Musin Concern”, nama perusahaan sang pemilik : Agus Musin Dasaad. Mungkin Anda asing dengan nama tersebut, tapi tidak dengan generasi 1950-an. Di masa itu, ia dikenal sebagai pengusaha terkemuka dan menjadi salah seorang terkaya di Indonesia. Dasaad disebut-sebut sebagai ATM-nya Bung Karno. Dia banyak mendanai aktivitas Soekarno, baik sebelum kemerdekaan terlebih-lebih lagi setelah Indonesia berdaulat. Dasaad lahir di Sulu, Filipina, tahun 1905. Ayahnya berasal dari Menggala, Lampung, sedangkan ibunya orang Sulu. Di usianya yang baru menginjak satu tahun, keluarganya pindah dan menetap di Lampung. Ia lalu tumbuh dan menjalani pendidikan dasar disana. Setelah menyelesaikan pendidikan bisnis dan magang di Singapura, tahun 1923 Dasaad memulai debut bisnisnya. Ia menjual hasil bumi yang diperolehnya dari Palembang, Lampung, dan Bengkulu, kemudian dijualnya ke Jawa, Singapura, hingga Filipina. Pada pertengahan 1930-an, ia berkongsi dengan Ayub Rais, Abdul Ghany Aziz, serta kakak-beradik Djohan dan Djohor. Mereka mendirikan Firma Malaya Import Maatschappij yang mengimpor produk tekstil dari Jepang. Dari bisnisnya itu, mereka kemudian muncul sebagai orang-orang kaya baru di Hindia Belanda.

Di tahun 1941, ia mengakuisisi pabrik tekstil : Kancil Mas di Pasuruan. Setelah itu perputaran bisnisnya langsung meroket hingga mencapai 10 juta gulden per tahun. Seperti mitranya yang lain — Ayub, Djohan-Djohor, dan Ghany; Dasaad banyak membantu perjuangan kemerdekaan. Tak cuma mendanai, ia juga duduk sebagai anggota BPUPKI. Selama revolusi fisik, ia terlibat dalam penyelundupan senjata serta obat-obatan. Koneksinya di Singapura, turut memperlancar pasokan senjata kepada kaum republik. Untuk mengonsolidasi bisnisnya, pada tahun 1946 ia membeli gedung di kawasan Kali Besar. Ya, gedung itu adalah Dasaad Musin Concern yang dimilikinya hingga tahun 1958. Entah mengapa gedung ini kemudian dijualnya. Mungkin untuk menutupi hutang-hutangnya yang semakin membengkak. Di masa Orde Baru, bisnis Dasaad semakin menurun. Perusahaan-perusahaan keagenan miliknya mengalami kerugian yang cukup parah. Sebagaimana dicatat Richard Robison dalam bukunya Indonesia : The Rise of Capital, Dasaad merupakan agen produk-produk Amerika, seperti Lockheed, Westinghouse, dan Kaiser Aluminum. Faktor lainnya, karena ia merupakan orang dekat Soekarno. Dimana pemerintahan ketika itu tak terlalu menyukai para pendukung Bung Karno. Dasaad berpulang pada bulan November 1970, lima bulan setelah Soekarno wafat.

Rahman Tamin juga terhitung sebagai konglomerat terkemuka di awal kemerdekaan. Dia lahir di Padang tahun 1907 dari keluarga pengusaha. Ayahnya, Haji Tamin, merupakan seorang penggalas asal Bukittinggi yang sudah berdagang sejak awal abad ke-20. Pada tahun 1929, ketika usianya menginjak 22 tahun, ia bersama adiknya Agus Tamin dipercaya untuk mengelola kantor dagang di Padang. Diantara beberapa pengusaha Minang kala itu, Rahman terhitung sebagai pebisnis yang campin. Tak puas dengan hasil yang dicapai, pada tahun 1930 ia kemudian melakukan ekspansi ke Batavia. Disana ia mendirikan Fa. Rahman Tamin dan membuka Toko Jacatra. Setelah pindah ke Jakarta, Rahman banyak berkenalan dengan para saudagar dan politisi terkemuka. Ia bergaul dengan Dasaad, Ayub Rais, dan masuk ke dalam orbit Bung Hatta. Pada tahun 1938, ia berhasil membuka kantor cabangnya di Singapura. Sikapnya yang luwes, menyebabkan ia dipercaya oleh banyak orang. Di penghujung dekade 1930-an, Rahman ditunjuk sebagai Direktur Gabungan Importir Indonesia (Gindo). Posisi ini ternyata membawanya berkenalan dengan pengusaha tekstil asal Jepang. Pada periode 1940-1942, ia mengimpor produk-produk tekstil dari Osaka, Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Rahman merupakan salah seorang pengusaha yang beroleh lisensi Program Benteng. Dari ijin inilah, ia bisa mengendalikan beberapa sektor bisnis yang selama ini dikuasai pengusaha Eropa. Pada tahun 1952, Rahman membeli sebuah hotel di Bukittinggi. Satu tahun kemudian, ia juga mengambil alih perusahaan percetakan di Surabaya. Keberuntungan Rahman tak hanya sampai disitu. Di tahun 1957, ia tak lagi hanya sebagai importir tekstil, namun sudah naik kelas menjadi produsen. Di Sidoarjo, ia mendirikan pabrik tekstil yang cukup besar. Produk-produknya itu kemudian ia namai Ratatex (Rahman Tamin Textile). Tak cuma mendominasi pasar dalam negeri, Ratatex juga terkenal hingga mancanegara. Selain dikenal sebagai pengusaha terkemuka, Rahman juga seorang filantropis. Ia menghibahkan tanahnya di Jalan Kramat Raya 45 Jakarta, untuk perjuangan Mohammad Natsir. Natsir kemudian memanfaatkan tanah tersebut untuk kantor Partai Masyumi. Setelah Masyumi dibubarkan, gedung itu menjadi kantor Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Rahman juga sempat meminjamkan rumahnya di Jalan Diponegoro Jakarta, untuk sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tahun 2015 rumah tersebut dikembalikan HMI, dan ditukar dengan aset Rahman lainnya di Jalan Sultan Agung. Setelah Rahman wafat, perusahaannya dilikuidasi. Anak-anaknya tak berminat melanjutkan usaha ayahnya, dan lebih memilih mendirikan perusahaan sendiri. Salah seorang putranya Sofyan Tamin, menjadi seorang industrialis yang mendirikan PT Moon Lion Industries Indonesia.

Bung Hatta dan Hasyim Ning

Saudagar lainnya yang juga cukup berpengaruh adalah Hasyim Ning. Lahir di Padang tahun 1916, Hasyim masih terhitung kemenakan Bung Hatta. Pada tahun 1941, ia sempat menjadi pemborong usaha pertambangan batu bara di Tanjung Enim. Setelah itu, ia terlibat di dunia kemiliteran hingga beroleh pangkat Letnan Kolonel. Pasca penyerahan kedaulatan Indonesia, Hasyim banting setir menjadi businessman. Karena kedekatannya dengan Bung Hatta, serta para politisi PNI dan PSI, ia menjadi kepercayaan banyak orang. Di awal 1950, ia berhasil mengambil alih NV. Velodrome Motorcars dari pengusaha Belanda. Setahun kemudian, ia menjadi presiden direktur Indonesian Service Company (ISC), perusahaan perakitan otomotif yang bekerjasama dengan Amerika. Bersama Dasaad, ia lalu mendirikan PT Daha Motors dan menjadi agen tunggal pemegang merek (ATPM) mobil Fiat. Ia juga mendirikan PT Indonesia Republic Motor Company yang menjadi ATPM Ford, serta Tjahaja Sakti Motor yang menjadi agen BMW. Berkongsi dengan Ciputra dan Jusuf Muda Dalam, pada tahun 1961 ia membentuk perusahaan konstruksi PT Pembangunan Jaya. Perusahaan ini kemudian banyak membangun proyek-proyek di Jakarta, seperti Pasar Senen dan Taman Impian Jaya Ancol. Tak hanya jago berbisnis, Hasyim juga dikenal sebagai negosiator ulung. Ia pernah ditugasi Bung Karno untuk meredam pemberontakan PRRI di Sumatera. Tahun 1966, giliran ia bersama Dasaad yang diutus militer untuk melobi Soekarno agar segera lengser.

Di masa Orde Baru, bisnisnya semakin moncer. Untuk memperkuat posisinya sebagai konglomerasi otomotif terbesar, ia bermitra dengan banyak pihak. Bersama Toto Bachrie, ia mendirikan PT Jakarta Motors yang menjadi agen mobil Chrysler. Lalu dengan Bachtiar Lubis, mendirikan PT National Motors dan sebagai agen Hino, Mazda, serta Land Rover. Dia lalu mengambil alih mayoritas saham ISC dari Bank Industri Negara. Karena usahanya itu — dari proses perakitan hingga pemasaran mobil-mobil Eropa/Amerika – media menjulukinya sebagai “Raja Mobil Indonesia”. Untuk mewujudkan industri otomotif nasional yang mandiri, Hasyim memiliki obsesi untuk mengimpor kendaraan dalam bentuk semi knock down. Harapannya agar perusahaan nasional juga dapat memproduksi komponen pendukung serta suku cadang lainnya. Meski dikenal sebagai pengusaha otomotif, namun Hasyim juga memiliki bisnis perhotelan, asuransi, bank, pabrik kosmetik, serta biro perjalanan. Karena kesuksesannya itu, ia ditunjuk sebagai ketua umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) periode 1979-1982. Ramainya mobil Jepang yang masuk ke Indonesia, mengakibatkan ISC tak lagi bisa unjuk gigi. Di akhir 1970-an, perusahaan itu keluar dari dua besar assembler nasional. Kalah bersaing dari Astra (perakit Toyota dan Daihatsu) serta Krama Yudha (perakit Mitsubishi). Tahun 1981, ketika bisnisnya mulai meredup, ia menjual 49% sahamnya di Bank Perniagaan Indonesia kepada Mochtar Riady. Delapan tahun kemudian, Mochtar mengubah nama bank tersebut menjadi Lippo Bank dan menggabungkannya dengan Bank Umum Asia. Hasyim wafat di penghujung tahun 1995 karena penyakit jantung dan ginjal yang diidapnya. Meski ahli warisnya masih tercatat sebagai pemegang saham di Grup Lippo serta beberapa perusahaan otomotif, namun jumlahnya tak terlampau signifikan. Dari sini kita bisa melihat, bagaimana konglomerasi yang dulunya sangat besar itu, mati hanya dalam waktu tak sampai setengah abad.  

Soedarpo Sastrosatomo

Soedarpo Sastrosatomo juga tercatat sebagai pengusaha sukses di awal kemerdekaan. Dia lahir di Langkat, Sumatera Utara pada tahun 1920 dari orang tua yang berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Pada masa revolusi fisik, bersama Soedjatmoko dan kakaknya Soebadio Sastrosatomo, ia menjadi orang kepercayaan Sutan Syahrir. Kaum republiken menyebut mereka sebagai “Syahrir Boys”. Soedarpo beberapa kali ditugasi Syahrir untuk menyampaikan informasi penting kepada Soekarno-Hatta yang berada dipengasingan. Pada tahun 1949, ia sempat menjadi diplomat di Amerika Serikat. Karena tak suka dengan hal yang monoton, pekerjaan itu hanya dilakoninya selama setahun. Setelah penyerahan kedaulatan, namanya sudah dikenal banyak orang. Dia dekat dengan para pengambil keputusan, terlebih ketika itu orang-orang PSI-lah yang menjadi penentu kebijakan ekonomi bangsa. Sebagai catatan, di awal kemerdekaan Soedarpo merupakan anggota sekaligus kader PSI. Pada tahun 1951, Soedarpo menjadi direktur ISC membantu Hasyim Ning yang kala itu menjadi presiden direkturnya. Melihat peluang yang ada, di bulan Oktober 1952 ia memberanikan diri untuk mendirikan perusahaan sendiri. Perusahaan pertamanya itu didirikan dengan modal Rp. 100.000 dan ia namai Soedarpo Corporation (SC). SC Bergerak di bidang pemasaran produk Remington Rand dan RCA, serta sempat mengakuisisi perusahaan Belanda yang memasarkan Univac Computer.

Keberuntungan memang selalu datang di waktu yang tepat. Setelah mendirikan perusahaan sendiri, satu bulan kemudian ia ditawari oleh kenalannya di Amerika untuk mengakuisisi perusahaan pelayaran milik pengusaha Belanda. Tak berpikir lama, di tahun 1953 ia berhasil mengambil alih 75% saham Indonesia Shipping & Transport Agency (ISTA) Lines. Setelah mendirikan beberapa perusahaan pendukung, pada tahun 1964 ia mengonsolidasi seluruhnya di bawah bendera : Perusahaan Pelayaran Samudera Indonesia. Di penghujung tahun 1990-an, perusahaan ini listing di Bursa Efek Jakarta, setelah anak perusahaannya : Samudera Shipping Line melantai di Bursa Singapura. Meski dikenal sebagai “Raja Kapal”, namun Darpo juga mendirikan beberapa perusahaan di luar industri pelayaran. Bulan Maret 1955, ia mendirikan Asuransi Bintang bersama Idham, Panglaykim, dan Roestam Moenaf. Enam bulan kemudian, ia juga masuk ke perbankan dengan mendirikan Bank Niaga. Meski selama Orde Baru usahanya banyak mendapat rintangan, namun Darpo tak kehilangan akal. Ia memindahkan sebagian usahanya ke Singapura, dan dari sana membuka jasa pelayaran mancanegara. Darpo wafat pada tahun 2007 di Jakarta dalam usia 87 tahun. Berbeda dengan Rahman, Hasyim, dan Dasaad yang tak mampu mempertahankan bisnisnya, hingga hari ini perusahaan miliknya masih terus berkibar.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s