Tanggal 20 Januari kemarin, Donald Trump kembali dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat untuk kali kedua. Banyak pihak – terutama rakyat Amerika – yang berharap kalau kepemimpinannya kali ini bisa mengembalikan perekonomian negeri Paman Sam yang sedang semaput. Untuk itu dalam kampanyenya kemarin, Trump menjanjikan akan membuat keputusan yang diharapkan bisa membawa ekonomi Amerika berjaya kembali. Salah satu keputusannya yang dinilai cukup kontroversial adalah keinginannya mencaplok Greenland dan Terusan Panama. Dua wilayah itu menurut perhitungan Trump memiliki nilai ekonomis yang sangat besar. Terlebih setelah global warming makin meningkat, es di kutub utara banyak yang mencair. Akibatnya perairan di sekitaran Greenland jadi bisa dilalui.
Tak hanya itu, dengan mencairnya es di Greenland, maka kandungan mineral yang ada di daratan seluas 2,16 juta km² itu juga bisa dieksploitasi. Konon di wilayah otonomi Denmark tersebut, terdapat kandungan minyak dan gas, tembaga, serta nikel yang cukup besar. 80 Mile, salah satu perusahaan tambang yang berbasis di Inggris, saat ini sedang mengeksplorasi minyak di lepas pantai timur Greenland, titanium di dekat Pangkalan Angkasa Amerika Pituffik, serta nikel dan tembaga di Disko-Nuussuaq. Melihat besarnya kekayaan yang dikandung pulau tersebut, tak salah jika Trump tergiur untuk merebutnya. Terlebih dalam persaingannya dengan Rusia dan China, Amerika membutuhkan sumber daya mineral yang cukup besar.
Dalam pidatonya, Trump berulang kali menyampaikan akan mengambil alih Greenland dan menjadikannya sebagai propinsi ke-51. Bahkan kalau Denmark tak mau menjualnya, ia akan merebutnya dengan aksi militer. Sebelum aksi militer dilancarkan, Trump akan mengenakan tarif tinggi terlebih dahulu kepada produk-produk Denmark yang ingin masuk ke pasar Amerika. Ini sebagai bentuk tekanan terhadap kerajaan liliput di Eropa utara itu, agar mau menjual Tanah Hijau ke Amerika. Mendengar rencana Trump tersebut, dua partai terbesar di Amerika : Republik dan Demokrat, langsung bergerak cepat. Mereka segera membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) baru yang diberi nama “Make Greenland Great Again Act”. Undang-undang ini nantinya akan memberikan legal standing kepada Trump, sekaligus keleluasaan baginya untuk bernegosiasi, termasuk mengambil tindakan militer jika diperlukan.
Ambisi geopolitik Trump ternyata tak cuma pada Greenland semata. Ia juga berniat untuk mengakuisisi Terusan Panama yang RUU-nya sudah dibuat pada pekan kedua bulan Januari ini. Dengan dikuasainya Greenland serta Terusan Panama, maka Amerika akan lebih mudah mengirimkan barang-barangnya dari wilayah pantai barat ke pantai timur, terus ke Asia. Ini juga akan mempermudah berpindahnya alutsista Amerika dari Samudera Atlantik ke Pasifik serta sebaliknya. Sebagai catatan, terusan sepanjang 82 km itu dulunya merupakan milik Amerika. Namun pada tahun 1977, Jimmy Carter menyepakati untuk menyerahkan sepenuhnya terusan tersebut kepada Panama. Akhirnya di tahun 1999, Panama memegang kendali serta hak pengelolaan atas terusan tersebut. Kini setiap kapal yang melewati terusan itu, wajib membayar tarif tol kepada Panama, termasuk Amerika yang dulu membangunnya.
Nah, yang membuat Trump geram dan hendak mengambil alih terusan tersebut, karena Panama terus menaikkan tarif tol kepada para pelintas. Kini pemerintah Panama mengenakan tarif sebesar USD 3.200 untuk kapal berukuran lebih dari 100 kaki. Sedangkan untuk kapal yang berukuran kurang dari itu, tarifnya bervariasi. Mulai dari USD 800 (50 kaki), USD 1.300 (50-80 kaki), hingga USD 2.000 (80-100 kaki). Hal sesungguhnya yang membuat Trump kebakaran jenggot adalah diserahkannya hak pengelolaan terusan tersebut kepada perusahaan Tiongkok. Berdasarkan laporan portal berita The Conversation, perusahaan-perusahaan Tiongkok saat ini memiliki saham di jalur perairan tersebut. Panama Ports Company – anak perusahaan Hutchison Ports yang berpusat di Hong Kong – mengelola pelabuhan Balboa dan Cristóbal yang berfungsi sebagai jalur masuk dan keluar terusan hingga tahun 2047 nanti.
Dengan diambilalihnya Terusan Panama oleh Amerika, maka Washington bisa saja mencekik perdagangan China. Sebab negeri Xi Jinping itu merupakan pengguna kedua terbesar setelah Amerika. Dengan dikenakannya tarif tinggi terhadap kapal-kapal China, maka ini akan meningkatkan harga produk negeri tirai bambu di pasaran. Ini tentu saja akan menyebabkan melemahnya perekonomian negeri Paman Mao. Kalau ini benar-benar terjadi, maka episode Turki Utsmani melarang kapal-kapal Portugal dan Spanyol melewati Lautan Tengah kembali terulang (Lihat : Sebab Musabab Eropa Menjajah). Dan China bisa saja akan bereaksi dengan caranya sendiri. Keinginan Tiongkok untuk mengajak Indonesia, Iran, Mesir, serta Arab Saudi bergabung ke dalam BRICS, boleh jadi merupakan cara Xi Jinping untuk menjepit Amerika. Sebab keempat negara ini menguasai tiga jalur vital dunia, yakni Selat Malaka, Selat Hormuz, dan Laut Merah, yang menjadi rute perlintasan utama kapal-kapal dagang Amerika.

China Mendukung Rakyat Panama Mempertahankan Kedaulatan Terusan Panama (sumber : CCTV Video News Agency)Selain faktor ekonomi, alasan Trump hendak mencaplok Greenland dan Terusan Panama adalah ingin meninggalkan legacy yang baik. Maklum! dalam beberapa kali survei, Trump selalu masuk ke dalam Top 5 presiden terburuk sepanjang sejarah Amerika. Dengan membeli dua wilayah tersebut, maka diharapkan Trump bisa menambah luas wilayah Amerika sekaligus meninggalkan jejak sejarah yang positif. Jika Greenland dan Terusan Panama dibeli, maka luas wilayah Amerika yang saat ini mencapai 9,8 juta km², akan mendekati 12 juta km². Dengan area seluas itu, maka akan menjadikan negeri Paman Sam sebagai negara terbesar kedua setelah Rusia.
* * *
Berbicara mengenai ekspansi wilayah, pada mulanya Amerika hanya terdiri dari 13 negara bagian. Luasnya kira-kira hanya sepersepuluh wilayah Amerika saat ini. Negara-negara bagian itu sebelumnya merupakan koloni Inggris yang kemudian mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1776. Setelah melalui serangkaian perang revolusi, di tahun 1783 Inggris mengakui kemerdekaan negeri baru tersebut. Wilayahnya-pun meluas lebih dari dua kali lipat hingga ke aliran Sungai Mississippi. Pada tahun 1803, Amerika kembali menambah wilayahnya dengan membeli Louisiana dari Prancis. Kala itu Presiden Thomas Jefferson membeli wilayah di sebelah barat Sungai Mississippi itu seharga USD 15 juta. Dengan dibelinya Louisiana, maka luas wilayah Amerika bertambah lagi dua kali lipat.
Pada tahun 1817, James Monroe naik menjadi presiden Amerika kelima. Ia merupakan salah satu founder fathers Amerika yang cukup gigih menentang kolonialisme Eropa. Dalam doktrinnya — yang kemudian dikenal sebagai Doktrin Monroe, ia menyatakan bahwa negara-negara Eropa tak boleh lagi menjajah atau mencampuri urusan Amerika. Ini merupakan momen yang menentukan dalam kebijakan luar negeri Amerika. Setelah satu tahun menjabat, Monroe melakukan kesepakatan dengan Inggris untuk menarik garis lurus 49° lintang utara sebagai batas utara Amerika. Dengan kesepakatan itu, maka wilayah North Dakota dan Minnesota bertambah luas. Di tahun 1819, ia juga berhasil merebut beberapa daerah di Teluk Meksiko dari tangan Spanyol. Wilayah-wilayah ini sebagian masuk ke dalam Louisiana dan sebagian lainnya membentuk negara bagian Florida (Lihat peta).
Tahun 1845 giliran John Tyler yang mencaplok Republic of Texas. Keinginan Texas untuk bergabung dengan Amerika, sebenarnya sudah tercetus sejak republik ini merdeka dari Meksiko di tahun 1836. Namun pada saat itu parlemen Amerika menolaknya, karena iklim politik Texas yang tidak stabil. Terlebih Texas merupakan wilayah yang masih melaksanakan perbudakan, dimana sebagian besar masyarakat Amerika sudah tak lagi menerimanya. Setelah melalui penolakan dan perdebatan, pada tanggal 1 Maret 1845 Tyler menandatangani RUU aneksasi republik tersebut. Dikarenakan masa jabatannya sudah habis, pada tanggal 29 Desember 1845 James Polk – pengganti Tyler — menandatangani UU tersebut dan menerima Texas sebagai negara bagian ke-28. Texas lalu secara resmi bergabung dengan Amerika Serikat di tanggal 19 Februari 1846, yang kemudian memicu Perang Meksiko-Amerika di bulan April tahun itu. Latar belakang terjadinya perang, dikarenakan terserapnya seluruh wilayah sengketa antara Meksiko dan Texas ke dalam negara bagian baru Amerika.
Perang yang berlangsung selama dua tahun itu (1846-1848), akhirnya dimenangkan oleh Amerika. Tentara Amerika yang sudah terlatih karena bertahun-tahun berperang melawan Inggris, dengan mudah melumat militer Meksiko. Setelah mengalami kekalahan pahit, negeri Sombrero itu terpaksa melepaskan sebagian besar wilayahnya di bagian utara. Wilayah ini meliputi California, Nevada, Utah, Arizona, serta sebagian Texas, New Mexico, Colorado, dan Wyoming. Sebagai kompensasi atas pengambilalihan wilayah tersebut, Meksiko memperoleh uang penggantian sebesar USD 18,25 juta dari Amerika. Keberhasilan Polk mengambil alih Meksiko utara, melengkapi kesuksesannya merebut Oregon Teritory (Oregon, Washington, Idaho) dari tangan Inggris di tahun 1846.
Setelah James Polk, presiden Amerika berikutnya yang melakukan perluasan wilayah adalah Franklin Pierce. Meski tak sebesar para pendahulunya, namun Pierce berhasil menambah wilayah Amerika di bagian selatan seluas 76.800 km². Ia melakukan pembelian Gadsden dari Meksiko seharga USD 10 juta. Kini wilayah yang dibelinya di tahun 1853 itu, masuk ke dalam negara bagian Arizona dan New Mexico. Tak cuma itu, Pierce juga berusaha untuk menganeksasi Kuba dari Spanyol. Namun sayang percobaannya itu gagal. Gara-gara tindakannya tersebut, banyak rakyat Amerika yang kemudian antipati kepadanya. Pierce juga dipandang oleh para sejarawan sebagai presiden yang tak kompeten. Sebab ia gagal membendung konflik antar-sekte sehingga mempercepat terjadinya perang saudara. Oleh karenanya hingga saat ini, ia dianggap sebagai salah satu presiden terburuk dalam sejarah Amerika.
Andrew Johnson merupakan presiden Amerika selanjutnya yang berhasil mengakuisisi wilayah negara lain. Ia berhasil membeli Alaska dari Rusia, setelah negara beruang merah itu mengalami pelemahan pasca Perang Krimea. Perang yang berlangsung selama dua setengah tahun itu tak hanya meluluhlantakkan militer Rusia, namun juga mengakibatkan terkurasnya kocek kerajaan. Untuk menutupi defisit keuangan, maka Tsar Alexander II memutuskan untuk menjual Alaska. Terlebih wilayah seluas 1,5 juta km² itu telah lama diintai Inggris. Imperium Britania yang sudah bercokol di Kanada sejak abad ke-17, berhasrat untuk merebut Alaska. Pembelian Alaska semula tak disetujui oleh parlemen Amerika. Hal ini dikarenakan pada saat itu sedang terjadi Perang Sipil. Namun setelah perang tersebut usai, Alexander II kembali menawarkan Alaska kepada Amerika. Dan terjadilah kesepakatan pembelian tersebut di tanggal 30 Maret 1867. Ternyata pembelian seharga USD 7,2 juta itu, memberikan keuntungan berlipat-lipat bagi Paman Sam. Tak cuma secara geopolitik, namun juga berupa sumber daya alam yang berlimpah.
Presiden terakhir yang berhasil menambah teritori Amerika adalah William McKinley. Di tahun 1898, ia berhasil melakukan serangkaian pengambilalihan wilayah di luar daratan utama Amerika. Wilayah-wilayah tersebut ialah Hawaii, Guam, Filipina, dan Puerto Rico. Pengambilalihan ini dipicu oleh ambisi Amerika untuk menjadi kekuatan utama dunia. Terutama pasca kemenangan mereka dalam perang melawan Spanyol. Tahun 1898 boleh dibilang merupakan titik balik dimana kekuatan-kekuatan lama dunia – seperti Spanyol, Inggris, dan Prancis – sudah mulai melemah, dan digantikan oleh super power baru : Amerika Serikat. Nah, masa-masa inilah yang diromantisasi oleh Donald Trump dengan semboyannya : Make American Great Again. Ia berharap dengan adanya pembelian teritori baru, akan memberikan keuntungan bagi Amerika, yang pada gilirannya akan mengembalikan kejayaan negeri itu seperti di abad ke-20 lalu.

