Muhammad Yamin (sumber : http://www.cnnindonesia.com)

72 tahun sudah Republik Indonesia berdiri. Dalam rentang waktu yang tak begitu panjang, sudah ratusan profesor hukum yang dilahirkan republik ini. Namun hanya segelintir saja diantara mereka yang bisa dikategorikan sebagai pakar, yang memiliki kedalaman ilmu serta keahlian yang mumpuni. Dalam artikel ini, kita akan melihat sepak terjang para pakar hukum, serta kontribusi mereka terhadap pembangunan bangsa. Mencari rekam jejak orang-orang hebat bagai mencari jarum dalam jerami. Tidak mudah! Tokoh-tokoh dan pegiat hukum yang tampil di layar kaca, kadang belum tentu memiliki kedalaman ilmu serta legacy yang jelas. Kebanyakan cuma populer karena membela para koruptor atau kasus-kasus selebritis. Bahkan banyak pula diantara mereka yang justru malah meruntuhkan peradilan tenimbang memperkuatnya. Lihat saja kasus-kasus korupsi yang banyak dibela para pengacara kondang, hukumannya banyak yang terasa janggal. Malah ada yang kemudian tertangkap tangan, memberi suap kepada jaksa atau hakim. Belakangan yang cukup santer adalah tertangkapnya tim pengacara kantor hukum O.C. Kaligis, yang memberi suap kepada hakim PTUN Medan.

Meski di republik ini banyak tokoh-tokoh hukum yang bermasalah, namun masih adapula orang-orang jujur diantara mereka. Orang-orang yang dengan ikhlas dan tekun membenahi tata kelola negara, serta sistem hukum yang centang perenang. Tak sedikit pula dari mereka yang memiliki reputasi internasional, menulis puluhan buku, serta menyusun undang-undang untuk kemaslahatan bangsa. Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis mencoba untuk menggali kiprah-kiprah mereka, menimbang dan menilai jasa-jasanya, serta menyajikannya disini.

* * *

Muhammad Yamin (1903-1962) adalah salah satu ahli hukum Indonesia yang terkemuka. Bagi anak-anak generasi milenial, tokoh ini mungkin hanya dikenal sebagai pelopor Sumpah Pemuda. Perannya yang lain, seperti perintis sastra Indonesia, penyusun draf sejarah Indonesia, pencipta imaji Indonesia Raya, atau sebagai ahli hukum, agaknya tak banyak yang tahu. Padahal gelar pendidikan pria berbadan tambun itu adalah meester in de rechten (sarjana hukum). Keanggotaannya di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ternyata memberikan dampak yang cukup besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Gagasannya yang kemudian dibacakan dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, bagi sebagian pihak dipercaya sebagai pokok-pokok lahirnya Pancasila. Pada pidato tersebut Yamin mengemukakan lima asas, yaitu : Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat.

Disamping merumuskan peri kehidupan bangsa, Yamin juga meletakkan dasar-dasar tata negara. Ia merumuskan sistem unitaris pada pemerintahan Indonesia. Adanya pemerintahan pusat sampai dengan pemerintahan daerah, juga merupakan gagasan Yamin. Pembacaannya yang luas, menyebabkannya menjadi salah satu dari sedikit orang Indonesia pada saat itu yang mengerti mengenai konsep tata negara. Menurut Bagir Manan, Yamin merupakan salah satu founding father Indonesia yang merumuskan konstitusi negara ini dengan pelbagai konsepsinya. Konsepsi Yamin adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang terilhami oleh kesatuan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Konsepsi ini kemudian diamini oleh Soekarno dan masih terus dirapal hingga hari ini. Untuk mengenang jasa-jasanya, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas menamakan penghargaan bagi penegak konstitusi sebagai “Anugerah M. Yamin”. Tak hanya itu, namanya juga terserak di berbagai ruas jalan di kota-kota di seluruh Indonesia.

Buyung

Adnan Buyung Nasution

Mochtar Kusumaatmadja (l. 1929) merupakan salah satu dari sedikit orang Indonesia yang mengerti tentang hukum laut. Kepandaiannya dalam mencarikan solusi bagi NKRI yang terpisah-pisah oleh selat dan laut, diakui oleh para sejarawan sebagai gagasan yang brilian. Gagasan itu dikenal sebagai Archipelagic Principle (Asas Negara Kepulauan), yang menyatakan bahwa perairan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Republik Indonesia adalah bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Republik Indonesia. Meski konsep ini diprotes oleh berbagai negara – diantaranya Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Belanda, namun dalam Konferensi di Jenewa, negara-negara lain mulai menerima konsep tersebut. Konsep yang kemudian dikenal dengan Wawasan Nusantara ini kemudian diundang-undangkan dan menjadi dasar untuk mempertahankan kedaulatan kita di lautan.

Siapa yang tak kenal Adnan Buyung Nasution (1934-2015). Kiprahnya di dunia hukum merentang dari zaman Orde Lama hingga era Reformasi. Dalam suatu seminar, saya sempat mendengar uraiannya tentang bagaimana ia melawan kesewenang-wenangan pemerintahan Bung Karno. Kala itu, orang-orang yang dicurigai sebagai anti-revolusi, bisa digelandang ke bui tanpa proses peradilan terlebih dahulu. Begitu pula di zaman Soeharto, dia memprotes tindakan keji pemerintah yang menembak mati orang-orang yang diduga preman secara membabi buta. Pada masa itu, hukum memang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Untuk mengadvokasi orang-orang yang tak mampu, pada tahun 1970 ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (kemudian menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Lembaga ini kemudian menjadi pembela pergerakan kaum buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin kota, dan semua kekuatan yang memperjuangkan demokrasi. Di era Reformasi, banyak alumni lembaga ini yang kemudian membentuk lembaga-lembaga advokasi lain, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Imparsial, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), serta Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).

Buyung merupakan sedikit dari pengacara Indonesia yang berani dan jujur dalam mengungkap ketidakadilan. Meski sering berperkara dan beracara di peradilan, pria asal Mandailing, Sumatera Utara itu tetap konsisten dalam menjaga marwah institusi tersebut. Dia bukan tipikal “pengacara hitam” yang suka main belakang, yang menyelesaikan perkara diluar peradilan. Sebagai pengacara, Buyung memang bukanlah orang yang sempurna. Namun idealisme, integritas, dan komitmennya terhadap penegakan hukum patut diteladani dan diteruskan oleh segenap komponen bangsa. Salah satu warisannya untuk negeri ini adalah diterapkannya pola bantuan hukum struktural, yang tak hanya membela kasus orang per orang, namun juga memperbaiki struktur hukum yang timpang. Karena pemikirannya yang cemerlang, dari tahun 2007 hingga 2009 ia sempat ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden untuk bagian Hukum.

Banyak orang yang tak mengenal atau melupakan sosok Hazairin (1906-1975). Namanya memang tak semengkilap ahli-ahli hukum lainnya. Namun kepandaiannya dalam persoalan adat telah mengantarkannya sebagai tokoh hukum yang terkemuka. Selain fasih dalam Bahasa Belanda, Inggris, serta Perancis, ia juga memahami Bahasa Arab, Jerman, dan Latin. Karena kemampuannya itu, banyak buku yang telah ia hasilkan. Diantaranya adalah Hukum Pidana Islam Ditinjau dari Segi-segi dan Asas-asas Tata Hukum Nasional yang ditulis pada tahun 1970. Selain itu, disertasinya De Redjang serta hukum adat di Tapanuli Selatan (De Gevolgen van de Huwelijksontbinding in Zuid Tapanuli dan Reorganisatie van het Rechtswesen in Zuid Tapanuli) juga masih dipakai hingga sekarang. Disamping buku-buku tersebut, warisan Hazairin lainnya ialah teori Receptie Exit. Teori tersebut merupakan anti-tesis dari teori Receptie yang dikembangkan oleh pakar hukum adat Belanda : Cornelis van Vollenhoven. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa kedudukan hukum Islam baru bisa diterapkan jika tak bertentangan dengan hukum adat. Namun teori itu kemudian dibantah oleh Hazairin, yang mengatakan bahwa hukum Islam bisa selaras dan berjalan seiring dengan hukum adat.

Romli

Romli Atmasasmita

Disamping mempelajari hukum adat, ia juga menyelami hukum Islam. Sejak kecil ia memang telah tertarik dengan ilmu-ilmu fikih, terlebih kakeknya adalah seorang ulama. Karena ngelotok dengan hukum Islam, ia menjadi salah satu penyeru ditegakkannya hukum Islam di Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan politisi yang hanya menunggangi penegakan syariah sebagai komoditas politik, Hazairin justru memiliki usulan-usulan yang konkret. Menurutnya, kalaulah tidak hukum Islam tegak seratus persen di negeri kita, setidaknya dalam hukum positif kita tak ada pasal yang bertentangan dengan Al Quran. Selain sebagai ahli hukum, Hazairin juga merupakan seorang politisi. Pada dasawarsa 1950-an, bersama Wongsonegoro dan Rooseno, ia mendirikan Partai Indonesia Raya. Dari partai inilah ia kemudian duduk sebagai anggota parlemen dan menjadi Menteri Dalam Negeri.

Meski sudah dua tahun memasuki masa purnabakti, Romli Atmasasmita (l. 1944) masih kerap menjadi narasumber dalam berbagai diskusi hukum. Kepakarannya dalam hukum pidana tak hanya diakui masyarakat dalam negeri, namun juga oleh dunia internasional. Romli merupakan salah satu anggota tim perumus UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia juga turut membidani lahirnya KPK, serta menjadi orang pertama yang menjabat ketua tim panitia seleksi pimpinan lembaga rasuah tersebut. Pengalamannya di dunia internasional juga terbilang cukup mengkilap. Romli pernah menjadi tim ahli United Nations Convention Against Corruption (Konvensi PBB Melawan Korupsi), serta sebagai tim ahli United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC).

Kini, di tengah hiruk pikuk pemberantasan korupsi. Diciderainya para aparat anti-rasuah oleh berbagai pihak (terakhir disiramnya wajah penyidik KPK Novel Baswedan oleh air keras), publik kembali mendengar ucapannya. Ia yang selalu rajin mendorong ditegakannya keadilan dalam pemberantasan korupsi, sering mengingatkan KPK untuk bekerja sesuai UU yang berlaku. Kesewenang-wenangan dalam penanganan korupsi, akan menimbulkan kontra-produktif terhadap pembangunan bangsa. Jika banyak orang yang belakangan ini mencibir Romli karena keras mengkritik KPK, saya justru melihatnya sebagai bentuk penyelamatan lembaga tersebut sebagai alat politik di kemudian hari. Wallahu a’lam apa yang hendak ia lakukan, namun yang jelas ia telah mengarsiteki dan mengawal KPK agar tetap on the track. Itulah warisan yang ia berikan untuk bangsa ini.

Jimly Asshiddiqie (l. 1956) merupakan sedikit dari ahli hukum Indonesia yang memiliki pandangan serta terobosan cukup birilian. Ia adalah salah satu tokoh di balik pelaksanaan amandemen UUD 1945. Buah dari perubahan tersebut diantaranya pendirian Mahkamah Konstitusi (MK), dimana Jimly menjadi pihak terdepan yang mendorong terbentuknya lembaga pengawal konstitusi tersebut. Dalam pendiriannya ia berpendapat, bahwa harus ada lembaga yang mengawal serta menginterpretasikan suatu undang-undang (UU), sehingga UU tersebut tak bisa digunakan secara sewenang-wenang. Gagasannya yang lain yang kemudian juga diimplementasikan oleh negara adalah pembentukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Fungsi lembaga ini adalah memeriksa dan memutuskan pengaduan terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara Pemilu.

Tak hanya menggagas terbentuknya MK, Jimly juga menjadi ketua pertama lembaga tersebut. Ia menjabat ketua MK selama dua periode dari tahun 2003-2008. Selama menjadi penjaga gawang konstitusi, Jimly telah meletakkan fondasi dasar bagi perkembangan peradilan di Indonesia. Ia kerap menganulir keputusan-keputusan yang dianggap melenceng dari konstitusi, seperti membatalkan sejumlah pasal dalam KUHP yang menghambat ruang gerak masyarakat untuk mengkritik pemerintah. Meski tak lagi menjabat hakim konstitusi, Jimly masih kerap angkat suara. Terakhir ia “mengakhiri” polemik perpecahan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dengan menyatakan bahwa Oesman Sapta sah menjadi ketua DPD RI. Pernyataan beliau seperti mengakhiri perseteruan berbulan-bulan di lembaga para senator tersebut. Demikian sekelumit profil Jimly Asshiddiqie, yang pernyataannya masih dipertimbangkan hingga hari ini.

Satu lagi ahli hukum tata negara yang bisa dibilang banyak meninggalkan jejak keilmuan adalah Ismail Suny (1929-2009). Suny merupakan ahli tata negara yang rajin menulis buku. Buku-bukunya seperti Pembagian Kekuasaan Negara (1962) serta Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri (1968) sering dikutip oleh banyak sarjana dan pemerhati hukum. Di masa pemerintahan Soeharto, Suny merupakan salah seorang yang paling keras meminta agar UUD 1945 diamandemen. Melalui berbagai mimbar serta kuliah umum, ia mengusulkan agar jabatan presiden cukup dua periode saja. Karena idenya itu, ia dituduh melakukan subversif dan melawan pemerintahan yang sah. Ia sempat ditahan selama satu tahun di Rumah Tahanan Nirbaya. Meski ditahan, semangatnya untuk mengamandemen UUD 1945 tak pernah pudar. Cita-citanya baru terwujud setelah gerakan Reformasi berhasil menumbangkan pemerintahan Soeharto. Pada era Reformasi, banyak pakar hukum yang merupakan murid-muridnya menjadi pengejawantah apa yang diimpikannya.

Jimly Asshiddiqie

Jimly Asshiddiqie

Ismail Suny boleh dibilang adalah ahli hukum tata negara angkatan pertama. Di usia 35 tahun dia dinobatkan sebagai profesor hukum termuda. Selain menjadi dosen Universitas Indonesia (UI), serta di banyak kampus luar negeri, ia juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UI dan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta. Karena keahliannya itu beliau menjadi chairman World Peace Through Law National Committee of Indonesia dan sekretaris di lembaga The International Association of Legal Science. Atas pengabdiannya, pada tahun 2006 ia diberi titel Guru Besar Emeritus oleh almamaternya, UI. Setelah “berdamai” dengan Soeharto, ia ditunjuk pemerintah sebagai Duta Besar Arab Saudi. Jabatan itu ia emban selama lima tahun dari 1992 sampai 1997.

Ahli hukum yang satu ini tak lagi diragukan kredibilitasnya. Dia memimpin PPATK selama sembilan tahun dan sempat menjadi calon Ketua KPK. Dia adalah Yunus Husein (l. 1956), ahli hukum perbankan serta tindak pidana pencucian uang. Ia merupakan salah seorang perancang Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Pengalamannya sebagai pemeriksa serta mengepalai Direktorat Hukum Bank Indonesia, ternyata cukup membantunya dalam merumuskan UU yang terkenal kejam itu. Menurut banyak pihak, UU ini memang bisa memiskinkan para koruptor. Karena dalam aturannya ditegaskan, bahwa penegak hukum bisa menelusuri aliran dana yang dibelanjakan dari hasil korupsi dan menyita barang-barang yang dibelanjakan tersebut, istilahnya “follow the money”. Tak hanya itu, pihak-pihak yang ikut membantu pelaku pencucian uang, juga bisa dikenakan sanksi yang berat.

Sejak diberlakukannya UU ini, sudah puluhan triliun uang negara berhasil diselamatkan. Tak cuma itu, UU ini juga telah meringkus puluhan tikus-tikus berdasi yang telah menilap uang rakyat. Tindak pidana pencucian uang memang passion-nya beliau. Tak salah jika sampai hari ini Yunus kerap diundang sebagai saksi ahli dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Yunus juga terbilang aktif dalam menulis. Selain melalui blog pribadinya, ia juga menulis beberapa jurnal, artikel, serta buku. Salah satu karyanya yang menjadi rujukan adalah buku yang berjudul Rahasia Bank : Privasi versus Kepentingan Umum.

Tinggalkan komentar