Setelah era penerbangan murah berakhir, banyak pengusaha otobus yang optimis kalau industri ini kembali menggeliat. Namun setelah Covid-19 menyerang, harapan tersebut kembali sirna. Pembatasan sosial dalam skala besar, telah menggerus omzet perusahaan otobus hingga mencapai 70%. Malah adapula perusahaan yang sampai menjual asetnya untuk menutupi biaya operasional. Menengok fakta tersebut, Kurnia Lesani Adnan, pemilik perusahaan otobus (PO) Siliwangi Antar Nusa (SAN) sekaligus Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI), berinisiatif untuk menyemangati kembali industri otobus yang sedang terpuruk. Lewat channel Youtube-nya : PerpalZ TV, Sani mengunjungi beberapa stakeholder, khususnya para pelaku usaha otobus. Setelah menemui para pengusaha di Pulau Jawa, di pertengahan Maret lalu tim PerpalZ TV melakukan tur ke Sumatera. Tak tanggung-tanggung, kegiatan roadshow selama 20 hari itu dibuka oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Melihat roadshow “PerpalZ TV Goes To Sumatera”, me-recall ingatan saya terhadap PO-PO di Sumatera. Maklum dulu saya gemar mengamati perkembangan beberapa PO di Jawa dan Sumatera. Nah, dalam kesempatan kali ini, kami akan mengajak Anda untuk melihat sepak terjang PO-PO di Sumatera, serta mengulik sejarah jalur lintas Sumatera. Disamping itu, kita juga akan sedikit mengulas perubahan model bisnis pada beberapa PO, setelah dioperasikannya Tol Trans-Sumatera. Yang tak kalah menarik, kami juga akan menyajikan PO-PO legendaris yang masih bertahan hingga saat ini.
The Big Five
Dari puluhan pemain yang wara wiri di lintasan Sumatera, saat ini ada lima perusahaan otobus yang bisa dibilang paling besar dan legendaris. Mereka adalah NPM, PMTOH, ANS, ALS, dan Gumarang Jaya. NPM atau akronim dari Naikilah Perusahaan Minang merupakan perusahaan otobus tertua di Indonesia yang masih aktif hingga hari ini. Perusahaan yang didirikan oleh Bahauddin Sutan Barbangso Nan Kuniang itu, sudah berdiri sejak tahun 1937. Awalnya Bahauddin merupakan toke bendi yang kemudian beralih menjadi pengusaha otobus. Pada masa sebelum kemerdekaan, NPM telah membuka rute Padangpanjang-Sawahlunto. Ketika itu, Sawahlunto merupakan kota tambang yang cukup ramai. Melihat banyaknya perantau Minang yang pergi ke Deli, NPM lalu membuka rute AKAP pertamanya menuju Medan. Kemudian ia merambah ke propinsi-propinsi lainnya di Sumatera hingga ke Tanjung Karang. Setelah penyeberangan ke Pulau Jawa dibuka, pada pertengahan 1980-an perusahaan yang bermarkas di Padangpanjang itu kemudian membuka rute ke Jakarta. Kini di bawah pimpinan Angga Vircansa Khairul (generasi ketiga), NPM terus berinovasi. Selain menambah bus-bus model terbaru, NPM juga bekerjasama dengan PO. Haryanto dan PO. Sumber Alam memberikan tiket terusan bagi penumpang yang hendak ke Jawa Tengah. Tak hanya itu, NPM juga mengembangkan sayap bisnisnya dengan membuka Divisi Pariwisata : Vircansa Tour.
Di Aceh, ada perusahaan otobus yang cukup legendaris. Namanya PMTOH, singkatan dari Perusahaan Motor Transport Ondernemer Hasan. Didirikan oleh M. Hasan pada tahun 1957, PMTOH kini tak lagi banyak mengambil penumpang dari/ke Pulau Jawa. Padahal di era 1986 hingga awal 2000-an, PMTOH punya loket di sepanjang Pulau Sumatera, bahkan hingga ke Bali. Tapi setelah transportasi darat ditinggalkan dan banyak orang yang beralih ke pesawat, satu per satu kantor PMTOH ditutup. Saat ini loket perusahaan yang dipimpin oleh Jumadi Hamid (generasi ketiga) itu, hanya ada di Banda Aceh, Medan, Jakarta, dan Solo. Untuk menyiasati turunnya jumlah penumpang, perusahaan ini juga membuka jasa pengiriman paket. Itulah mengapa di setiap atap bus PMTOH, selalu dipenuhi dengan barang-barang antaran. Kini ada sekitar 50 unit bus PMTOH yang masih beroperasi, yang sebagian besarnya mengambil ceruk pasar Medan-Banda Aceh.
Satu lagi PO dari Sumbar yang cukup terkenal adalah Anas Nasional Sejahtera (ANS). Didirikan oleh Anas Sutan Jamaris di Bukittinggi, ANS sudah melayani masyarakat sejak tahun 1960. Meski sama-sama berasal dari Sumbar, namun ANS dan NPM memiliki penumpang fanatiknya masing-masing. Semula ANS hanya melayani rute Padang-Bukittinggi. Kemudian perusahaan yang memiliki slogan “Aman, Nyaman, Sampai Tujuan” itu juga merambah ke Pekanbaru dan Medan. Pada tahun 1990-an, ANS sempat menjadi perusahaan otobus dengan trayek terjauh, yakni dari Banda Aceh hingga Denpasar. Namun sejak awal dekade 2000-an, setelah era penerbangan murah dimulai, beberapa rute yang tak lagi feasible mulai dipangkas. Kini untuk ke arah barat, ANS hanya melayani rute hingga kota Medan. Sedangkan ke timur hanya sampai kota Bandung. Di antara para pemain lintas Sumatera, ANS merupakan pelopor kelas eksekutif. Bahkan hingga saat ini, royal executive class-nya ANS masih menjadi pilihan utama kalangan menengah ke atas. Meski era penerbangan murah telah berakhir dan Covid-19 sudah dapat tertanggulangi, namun industri otobus belumlah sepenuhnya pulih. Ini bisa dilihat dari pemberangkatan ANS setiap harinya. Dimana pada awal dekade 2000-an, perusahaan yang dipimpin oleh William Anas itu bisa memberangkatkan 20 unit ke Pulau Jawa. Sedangkan kini ANS hanya memberangkatkan 7 unit saja ke Jakarta dan Bandung.
Siapa yang tak kenal dengan ALS (Antar Lintas Sumatera). PO ini merupakan kebanggan masyarakat Sumatera Utara (Sumut). Meski banyak PO-PO lainnya dari Sumut, namun PO ALS-lah yang cukup ternama. Didirikan pada tahun 1966 di Kotanopan, semula ALS hanya membuka trayek Kotanopan-Medan. Melihat ramainya para pedagang Mandailing yang berbelanja ke Bukittinggi, ALS-pun membuka trayeknya ke kota ini. Pada tahun 1980-an, ALS juga merambah ke Pulau Jawa. Rute pertamanya tentu ke Jakarta. Namun seiring berjalannya waktu, ALS juga masuk ke Jawa Timur. Kini perusahaan yang didirikan oleh Sati Lubis itu, memiliki rute terjauh dari Medan hingga Jember. Selain memiliki trayek yang cukup jauh, ciri khas ALS lainnya adalah atapnya yang sarat muatan. Seperti halnya PMTOH, perusahaan ini juga melayani antar paket dari Medan ke kota-kota lain di Sumatera dan Jawa. Berbeda dengan NPM dan ANS yang merupakan perusahaan keluarga, ALS adalah perusahaan kongsi yang dimiliki oleh banyak pihak. Gak salah kalau armada ALS menjadi yang terbanyak di Sumut. Kini selain putra-putra Sati Lubis, beberapa orang yang ikut kongsi ALS antara lain keluarga Nursewan Lubis, Hamzah Nasution, Arif Lubis, Japarkayo, dan Rasyad Nasution. Kepemilikan mereka dibedakan dari nomor ujung yang tertera pada pintu bus.
Gumarang Jaya juga merupakan salah satu perusahaan otobus terbesar di Sumatera. Didirikan oleh Alizar Datuk Bagindo pada tahun 1974, semula Gumarang hanya melayani AKDP Lampung. Bersama Lampung Jaya yang juga masih satu manajemen, bus ini kemudian membuka rute Jakarta-Bandar Lampung hingga Padang. Di era 1990-an, bus ini salah satu primadona di lintasan Sumatera. Warnanya yang ngejreng – merah, kuning, dan hitam, menjadi ciri khas otobus yang berkantor pusat di Bandar Lampung itu. Menurut Alizar warna tersebut merupakan warna marawa (bendera Minangkabau), dan nama Gumarang-pun juga diambil dari nama kuda raja Pagaruyung. Meski dahulu Gumarang Jaya menjadi pemain utama, namun seiring berjalannya waktu PO inipun bernasib sama dengan PO-PO lawas lainnya. Sempat tersungkur di pertengahan dekade 2000-an, kini di bawah komando Yulianto (generasi kedua) Perusahaan ini mulai menggeliat. Ya meski pandemi masih melanda dunia, namun tahun ini Gumarang masih bisa memberangkatkan 4 unit armadanya dari Jakarta ke Bandar Lampung dan Padang. Jika dibandingkan dengan tahun 1990-an, dimana ketika itu Gumarang bisa memberangkatkan 12 unit setiap harinya, jelas saat ini sangatlah menurun.
* * *
Selain kelima perusahaan di atas, ada beberapa lagi perusahaan otobus di Sumatera yang patut dicatat. Untuk rute tujuan Aceh, yang sedang ramai diperbincangkan orang adalah Sempati Star. Meski perusahaan yang dimiliki oleh Muchlis Yunus itu terhitung pemain baru, namun kehadirannya telah menarik perhatian para bismania. Pasalnya, baru Sempati Star perusahaan otobus di Sumatera yang memiliki unit double decker. Saat ini perusahaan yang berkantor pusat di Medan itu memiliki 56 unit bus yang beroperasi. Perusahaan asal Aceh lainnya yang juga cukup diperhitungkan adalah Putra Pelangi. Tak kalah dengan Sempati Star, bus-bus Putra Pelangi juga menggunakan sasis premium. Kini perusahaan otobus yang berdiri sejak tahun 2012 itu, mengoperasikan 95 unit bus dengan mengantongi 17 ijin trayek. Satu lagi perusahaan otobus asal tanah rencong yang banyak diminati adalah ATS (Aceh Transport Sanutra). Perusahaan yang dikelola oleh Surya Bakti itu kini menjalani 2 trayek dengan 22 unit bus. Dari beberapa pengusaha asal Aceh, yang paling fenomenal adalah Haji Usman asal Pidie. Dia merupakan pendiri perusahaan otobus Kurnia, Anugerah, dan Pusaka (Kurnia Grup). Ketiganya bermain di rute gemuk Medan-Banda Aceh. Jika saat ini Kurnia mengoperasikan 104 unit bus, maka Anugerah dan Pusaka masing-masing hanya memiliki 49 unit dan 26 unit armada. Kini di bawah kendali generasi ketiga, Akbar Buchari, Kurnia Grup membangun hotel bintang tiga di Medan. Rencananya tarif hotel ini akan di-bundling dengan jasa pelayanan bus Kurnia Grup.
Disamping pengusaha Aceh, di Medan lebih banyak lagi pengusaha otobus dari tanah Batak. Selain ALS yang telah kita ulas, beberapa perusahaan otobus yang dimiliki oleh pegusaha Tapanuli Selatan antara lain Sampagul, Mawar Selatan, Satu Nusa, dan Sibualbuali. Meski dulu sempat berjaya, namun perusahaan-perusahaan tersebut kini tak terdengar lagi gaungnya. Dari Tapanuli Utara dan Simalungun ada PO Makmur/Halmahera, Intra (Indah Transport), Bintang Utara, PMH (Perusahaan Motor Horas), dan PMM (Pengangkutan Motor Mandiri). Kelimanya masih eksis melayani trayek AKDP serta ke kota-kota Riau dan Jambi. Makmur/Halmahera yang dimiliki oleh keluarga Wilson Hutapea asal Laguboti, Toba Samosir, boleh jadi merupakan perusahaan otobus asal Sumut yang paling banyak menggunakan model teranyar. Ini terlihat dari bus-busnya yang acap wara wiri di rute Medan-Pekanbaru. Pengusaha asal Karo juga memiliki beberapa perusahaan otobus yang cukup ternama. Diantaranya Medan Jaya dan Karona Grup. Medan Jaya didirikan oleh Kim Tarigan pada tahun 1988. Kim merupakan putra dari Kancam Tarigan, pemilik PO Liberty. Ada lagi Lorena/Karina yang juga dimiliki oleh pengusaha Karo, G.T. Surbakti. Namun sejak tahun 2018 agaknya Lorena/Karina sudah jarang mengarungi lintasan Sumatera dan berfokus di habitatnya, Pulau Jawa. Berbeda dengan dasawarsa 1980-1990-an dimana banyak bus asal Sumut yang melayani rute ke Pulau Jawa, kini bisa dihitung dengan jari. Mungkin hanya ALS dan Medan Jaya yang setiap hari membuka lin ke Jakarta. Selebihnya cuma menjadi pemain lokal atau sebatas melayani kota-kota di Sumatera.
Berbeda dengan di Sumut, di Sumbar masih banyak perusahaan otobus yang mengambil trayek ke Pulau Jawa. Selain duo legendaris NPM-ANS, perusahaan otobus yang masih aktif ke Jawa hingga saat ini adalah Transport Express/LBJ (Lubuk Basung Jaya), KMS (Kami Saiyo), ABG (Armada Bumi Minang), Borneo, Dagang Pesisir, HSB (Hasil Sepakat Bersama), Harmoni, Bintang Kedjora, dan yang paling gres MPM (Mutia Putri Mulia). MPM bisa dibilang sebagai pemain baru yang menggebrak di lintasan Sumatera. Bukan cuma karena busnya yang masih baru, namun perusahaan yang didirikan oleh Yurnalis itu juga menyediakan kelas super eksekutif dengan 28 tempat duduk. Meski dalam kondisi sulit seperti ini, MPM masih bisa memberangkatkan 4 unitnya ke Jakarta. Perusahaan Transport Grup yang membawahi Transport Express dan Lubuk Basung Jaya-pun setali tiga uang. Bus yang bermarkas di Lubuk Alung itu, kini juga memberangkatkan 4 unitnya ke Jakarta. Saat ini Transport Grup mengoperasikan sekitar 60 unit bus besar serta 70 unit minibus. Yang mengejutkan datang dari Bintang Kedjora. Perusahaan yang didirikan pada tahun 1953 di Bukittinggi itu, tahun 2013 sempat memutuskan untuk menutup layanan AKAP-nya dan berfokus di pariwisata. Namun tahun lalu, Bintang Kedjora kembali meramaikan rute Bandung-Jakarta-Padang. Mungkin karena pariwisata sedang lesu, jadi bus-busnya yang menganggur dialihkan untuk melayani trayek AKAP.
Yang cukup tragis adalah di bumi lancang kuning. Di propinsi kaya minyak tersebut, sudah lama perusahaan otobus tempatan tak lagi beroperasi. Mungkin cuma Fajar Riau Wisata bus Riau yang masih aktif beroperasi. Selebihnya merupakan pemain lawas yang berasal dari Sumbar dan Sumut. Meski pemilik Fajar Riau Wisata, Welfa Hendra, berasal dari ranah Minang, namun perusahaan otobus ini berkantor pusat di Pekanbaru. Di Pekanbaru dulu juga pernah lahir tiga perusahaan bus besar, yakni Sinar Riau, Bunga Setangkai, dan Gagak Hitam. Ketiga perusahaan ini didirikan oleh pengusaha asal Pangkalan, Payakumbuh. Kini ketiganya tak ada satupun yang beroperasi. Satu lagi yang cukup famous adalah Merah Sari. Perusahaan otobus dengan body mewah yang melayani rute Pekanbaru-Jakarta itu, kini juga tak lagi mengaspal. Meski Sinar Riau tak pernah mengambil rute ke Pulau Jawa, namun dikalangan masyarakat Sumbar-Riau, bus ini sangatlah legendaris. Saking legend-nya, Ajis Sutan Sati sempat membuat lagu “Sinar Riau” yang kemudian dipopulerkan oleh Elly Kasim. Sinar Riau didirikan oleh Abdul Rachman Syafei yang merupakan ayah dari Arsyadjuliandi Rachman, gubernur Riau periode 2016-2018. Tak lagi mengoperasikan angkutan bus, kini putra-putri Abdul Rachman lebih banyak berbisnis di pengeboran minyak, rumah sakit, dan SPBU.
Saat ini Family Raya Ceria boleh dibilang merupakan perusahaan otobus terbesar di Jambi. Semula Gusmaliadi sang pendiri, hanya berbisnis rumah makan padang di Bangko. Melihat peluang usaha transportasi, di tahun 1996 pengusaha asal Painan itupun kemudian mendirikan perusahaan otobus. Kini di tangan generasi kedua, Reno Saputra, Family Raya tak hanya melayani rute Jambi-Padang. Dengan armada mencapai 123 unit, otobus ini juga membuka rute Padang-Jakarta bahkan hingga Solo. Satu lagi perusahaan otobus asal Jambi yang cukup terkenal adalah Jatra (Jambi Transport). Dulu perusahaan yang didirikan oleh pengusaha asal Bukittinggi itu boleh dibilang sebagai penguasa Jambi. Kini seiring dengan datangnya pemain baru, Jatra tak lagi seleluasa 20 tahun lalu. Dimana saat itu ia masih menjadi pemain tunggal untuk rute Jambi-Padang/Bukittinggi.
Di Bengkulu, SAN (Siliwangi Antar Nusa) dan Putra Rafflesia adalah dua perusahaan otobus yang cukup ternama. Keduanya masih konsisten melayani rute ke Pulau Jawa. Tak hanya ke Jakarta, SAN juga membuka rute dari Pekanbaru hingga Blitar. Semula sang founder Hasanuddin Adnan, merupakan seorang pengemudi di kantor pemerintah daerah Bengkulu. Kemudian perantau asal Pariaman ini resign sebagai PNS dan membuka usaha ekspedisi barang ke Pulau Jawa. Bisnisnya terus berkembang hingga membuka perusahaan otobus Siliwangi Antar Nusa. Di tangan generasi kedua, Kurnia Lesani Adnan, saat ini SAN mengoperasikan 98 unit armada. Selain SAN dan Putra Rafflesia, perusahaan otobus asal Bengkulu yang juga melayani rute Bengkulu-Jakarta adalah CSH88 (Citra Sekar Harum 88) dan Krui Putra. Sedangkan untuk rute Bengkulu-Medan, dilayani oleh perusahaan otobus Putra Simas.
Yoanda Prima dan Epa Star merupakan perusahaan otobus asal Palembang yang cukup diperhitungkan. Sebelumnya dua perusahaan ini hanya melayani rute gemuk Palembang-Padang. Maklum owner kedua PO ini berasal dari Bukittinggi, jadi mereka hanya melihat ceruk pasar orang-orang Sumbar yang hendak ke Palembang atau sebaliknya. Kini setelah dibukanya Tol Trans Sumatera, keduanya juga membuka trayek Palembang-Jakarta-Bandung. Selain karena permintaan, kehadiran jalan tol dan kapal cepat telah memangkas waktu tempuh Palembang-Bandung menjadi 12 jam. Afrinaldi pemilik Epa Star menuturkan, dengan adanya infrastruktur yang baik, maka angkutan bus akan bisa bersaing dengan pesawat. Ternyata selain memiliki bus-bus AKAP, pengusaha yang akrab dipanggil Edi Padang itu juga mengelola bus pariwisata dan ekspedisi. Pantas ia ikut senang! Sebab dengan kehadiran jalan tol, bisnisnya akan semakin lancar. Perusahaan otobus asal Sumatera Selatan lainnya yang juga cukup beken adalah Sinar Dempo dan Ranau Indah. Meski Ranau Indah juga dimiliki oleh urang awak, namun otobus ini tak bermain ke rute Sumbar. PO yang dikelola oleh Antoni itu lebih berfokus di kota-kota Sumatera Selatan dan Lampung menuju Pulau Jawa.
Disamping Gumarang Jaya dan Lampung Jaya, dari Lampung adapula beberapa perusahaan otobus yang menambang ke Pulau Jawa. Salah satunya adalah Puspa Jaya, yang didirikan oleh Narya, seorang transmigran asal Bali. Semula Puspa Jaya menggunakan lisensi Dharma Jaya, perusahaan otobus asal Bali. Lalu pada tahun 1978, ia berpisah dan mendirikan perusahaan otobus sendiri. Perusahaan ini tak hanya bermain di rute AKDP, namun juga sampai ke Jawa Tengah dan Bali. PHB (Paninggahan Hidup Baru) juga merupakan perusahaan otobus asal Lampung yang sempat mengaspal ke Pulau Jawa. Perusahaan yang namanya diambil dari nama kampung sang pendiri, Paninggahan, Solok itu, sempat melayani rute Jambi-Purwokerto. Kini di tangan generasi kedua, Arifani, PHB lebih fokus ke bus pariwisata. Sama seperti PHB, Penantian Utama juga merupakan perusahaan otobus yang bermetamorfosis menjadi bus pariwisata. Perusahaan yang didirikan oleh Darius, pengusaha asal Penantian, Baturaja itu, semula melayani AKDP rute Metro-Tanjung Karang. Namun karena pariwisata di Lampung sedang menggeliat, maka di tahun 2012 perusahaan ini banyak melayani sektor pariwisata.
* * *
Meski perusahaan otobus di Sumatera sudah berdiri sejak tahun 1930-an, namun angkutan kota antar propinsi mulai menggeliat di tahun 1975. Kala itu jalan lintas Sumatera yang menghubungkan Banda Aceh hingga Tanjung Karang sudah selesai. Meski jalan lintas sudah siap beroperasi, namun ada beberapa ruas yang menyeberangi sungai belum tersambung dengan jembatan. Untuk menyeberangi sungai, maka digunakanlah pelayangan, sejenis rakit yang bisa mengangkut bus ke seberang sungai. Penyeberangan akan menjadi kendala ketika air sungai terlampau surut atau arusnya yang deras. Untuk itu maka ditunggulah hingga permukaan air normal agar dapat melanjutkan penyeberangan. Ketika itu penyeberangan dengan pelayangan bukan cuma satu atau dua sungai. Dari Tanjung Karang sampai Padang saja, setidaknya ada 7 penyeberangan. Oleh karenanya dulu untuk rute Banda Aceh hingga Tanjung Karang bisa memakan waktu hampir dua minggu.
Selain masih ada pelayangan, di tahun 1970-an pelabuhan Bakauheni-pun belum dibuka. Ketika itu orang yang hendak menuju Pulau Jawa, masih menyeberang dari pelabuhan Panjang (Tanjung Karang). Waktu tempuh dari Panjang hingga Merak bisa memakan waktu 8 jam. Karena waktu yang sangat lama itulah, bus belumlah menjadi primadona. Orang-orang dari Jakarta yang hendak ke Padang atau Medan, lebih memilih naik kapal laut. Saat itu tak ada satupun perusahaan otobus yang melayani rute jarak jauh. Untuk membawa penumpang dari Banda Aceh ke Denpasar, maka dibentuklah sebuah konsorsium yang diberi nama Sanutra (Satu Nusa Transport). Organisasi ini didirikan pada tahun 1979 dan beranggotakan 10 perusahaan otobus. Kesepuluh perusahaan tersebut adalah Cipto (Jakarta), Bali Indah (Jakarta), Sari Expres (Jakarta), ALS (Medan), ANS (Padang), Gumarang Jaya (Tanjung Karang), Bengkulu Indah (Bengkulu), Bunga Setangkai (Padang), Kurnia (Banda Aceh), dan Aceh Transport Sanutra (Banda Aceh). Dengan adanya konsorsium ini, maka penumpang dari Aceh yang hendak ke Lampung cukup membeli satu tiket terusan dan bisa berpindah bus tanpa harus membeli tiket lagi.
Pada tahun 1982, pelabuhan Bakauheni mulai dibuka. Bus-bus dari Pulau Sumatera bisa langsung menyeberang ke Pulau Jawa. Tak lama setelah itu, Sanutra-pun bubar. Beberapa perusahaan otobus seperti ANS dan PMTOH, lalu membuka trayek sendiri dari Banda Aceh hingga Denpasar. Dengan selesainya pembangunan jembatan di sungai-sungai besar, jarak tempuh dari ujung Aceh hingga Lampung-pun jauh terpangkas. Yang sebelumnya bisa mencapai 10 hari, kini sekitar 4 hari saja. Setelah jalan lintas Sumatera seluruhnya dihotmix, bus bisa dipacu hingga kecepatan 100 km/jam. Jika pada tahun 1980-an, waktu tempuh Padang-Jakarta sekitar 48 jam, dan Medan-Jakarta berkisar 72-75 jam, masuk ke dasawarsa 1990-an jarak kedua kota tersebut terpangkas sepertiganya. Padang-Jakarta hanya ditempuh selama 36 jam, dan Medan-Jakarta bisa tembus 55 jam. Kini setelah Tol Trans Sumatera dibuka hingga Palembang, waktu tempuh menuju Padang dan Medan-pun berkurang sekitar 6 jam.
Yang juga perlu dicatat, pada tahun 1980-an mulai menjamur rumah-rumah makan besar di sepanjang lintas Sumatera. Rumah-rumah makan yang umumnya menyajikan masakan padang itu, menyediakan tempat parkir yang luas. Sehingga puluhan bus bisa berhenti dalam waktu yang bersamaan. Bahkan beberapa rumah makan seperti Gadang Jaya 3 di Bandar Jaya, Simpang Raya di Bayung Lencir, dan Umega di Gunung Medan, bisa menampung hingga 20 bus sekaligus. Penumpang yang hendak beristirahat-pun diperhatikan pula kenyamanannya, yakni dengan disediakannya puluhan toilet, mushola, serta tempat makan yang selesa. Banyak penumpang yang mandi dan makan ketika berhenti. Untuk menarik para sopir agar mau membawa penumpangnya ke restoran tersebut, maka pengelola restoran memberikan mereka makan dan rokok gratis. Disamping itu biasanya ada kesepakatan tak tertulis diantara pengelola restoran dan perusahaan otobus. Dimana jika bus mengalami gangguan yang lokasinya tak jauh dari restoran, maka pengelola restoran akan siap membantunya. Begitulah simbiosis mutualisme diantara perusahaan otobus dan pengelola restoran di lintas Sumatera.