Istana Ternate

Istana Ternate

Kalau Anda sekilas melihat peta Indonesia lewat Google Map, mungkin tak akan nampak dua pulau kecil di Propinsi Maluku Utara : Ternate dan Tidore. Dua pulau ini memanglah berukuran liliput. Pulau Ternate yang terletak di sebelah utara, hanya memiliki luas sekitar 111,39 km2. Sedangkan Pulau Tidore di selatan agak besar sedikit, yakni mencapai 126,17 km2. Meski berukuran kecil, namun di abad ke-16 sampai ke-18 keduanya memiliki kekuasaan yang cukup luas. Jika digabungkan, teritorinya mencakup Kepulauan Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur, Timor, sebagian Sulawesi, Mindanao, bahkan hingga Kepulauan Marshall. Meski jarak keduanya tak lebih dari lima mil, namun dahulu junk-junk mereka bisa saling serang di tengah lautan yang jauhnya mencapai ratusan mil.

Disamping Ternate dan Tidore, ada dua lagi kesultanan di Maluku yang saing menyaingi. Mereka adalah Kesultanan Bacan dan Jailolo. Karena kerajaan-kerajaan itu terus berperang, maka atas inisiatif sultan Ternate yang ketujuh : Cili Aiya, diadakanlah kesepakatan damai. Dalam perundingan itu disetujui bahwa akan dibentuk suatu aliansi politik yang kelak dikenal dengan istilah “Maluku Kie Raha” atau “Maluku Empat Gunung”. Dalam perkembangannya persekutuan itu kemudian terpecah menjadi dua. Ulilima yang merupakan kongsi lima kerajaan, membentuk aliansi politik di bawah pimpinan Ternate. Anggotanya terdiri dari Kesultanan Bacan, Obi, Seram, dan Ambon. Sedangkan Ulisiwa yang berada di sebelah barat, mendirikan persekutuan yang beranggotakan Makayan, Jailolo, Buru, bagian timur Halmahera, serta Irian Barat, dengan Tidore sebagai pemimpinnya. Pasca terbentuknya persekutuan itu, maka di Maluku terjadi polarisasi antara Ternate dan Tidore. Polarisasi itu berlangsung beratus-ratus tahun kemudian, bahkan hingga Era Reformasi belakangan ini. Persaingan diantara mereka kembali mengemuka ketika pembentukan Propinsi Maluku Utara. Dimana kedua belah pihak sama-sama menginginkan daerahnya untuk menjadi ibu kota propinsi. Ternate yang telah lama mengidam-idamkan terbentuknya propinsi itu, mengajukan Kota Ternate sebagai ibu kotanya. Sedangkan Tidore menghendaki Sofifi di Halmahera Tengah.

* * *

Peta wilayah kekuasaan Ulilima dan Ulisiwa (sumber : www.wikipedia.org)

Peta wilayah kekuasaan Ulilima dan Ulisiwa (sumber : http://www.wikipedia.org)

Melihat persaingan antara Ternate dan Tidore, maka kita harus menengok sejarahnya jauh ke belakang. Sejak dahulu rempah-rempah telah menjadi komoditi utama di Kepulauan Maluku. Di kawasan ini banyak ditemukan bunga cengkeh serta buah pala, yang tak dijumpai di belahan dunia manapun. Karena penghasil rempah-rempah itu hanya ada di Maluku, maka sejak abad ke-11 — mungkin lebih awal dari itu – banyak pedagang asing yang datang ke kawasan ini. Diantara mereka adalah para pedagang Arab, Persia, Gujarat, Melayu, Jawa, dan China. Kedatangan mereka kesini ternyata tak hanya untuk urusan niaga, namun juga disertai misi penyebaran agama. Menurut catatan M. Yahya Harun dalam bukunya “Kerajaan Islam Nusantara : Abad XVI & XVII”, sejak abad ke-15 raja-raja di Maluku Utara telah memeluk Islam. Keislaman mereka terutama dipicu oleh faktor ekonomi dan politik global. Dimana dengan menjadi muslim, maka mereka akan terintegrasi ke dalam jaringan perdagangan terbesar saat itu. Sebagai catatan, pada abad ke-8 sampai dengan ke-16, jaringan perdagangan dunia dikuasai oleh umat Islam. Mereka menguasai dua jalur utama, yakni jalur sutera dan jalur rempah.

Meski sama-sama telah menjadi muslim, namun peperangan diantara raja-raja itu tetaplah berlangsung. Leonard Andaya mencatat, kekayaan yang mereka peroleh dari perdagangan banyak terbuang hanya untuk memerangi rival-rival mereka. Oleh karenanya ketika orang-orang Eropa datang ke Maluku dan menawarkan bantuan militer, mereka menyambutnya dengan antusias. Pada tahun 1512, seorang penjelajah Portugis bernama Francisco Serrao tiba di Ternate. Kedatangannya ke Ternate merupakan bagian dari misi Portugal untuk menguasai negeri rempah-rempah. Dari pihak Ternate, kehadiran Portugal tentu akan membantu mereka memenangkan kompetisi dengan kesultanan lain. Sebab negara itu memiliki kekuatan militer yang mumpuni. Sebagai langkah taktis, maka Sultan Bayanullah mengangkat Serrao sebagai penasehat pribadinya. Bayanullah adalah sultan Ternate yang memiliki visi jauh ke depan. Pada masa pemerintahannya perekonomian Ternate berkembang cukup pesat. Dia memberikan ijin kepada Portugal untuk mendirikan pos perdagangan, disamping juga memperkuat militer kerajaan dengan persenjataan dari Arab dan Turki.

Istana Tidore

Istana Tidore

Langkah-langkah itu ternyata mengkhawatirkan para kompetitornya di seberang lautan. Tak mau kalah dengan Ternate, Tidore kemudian juga merajut persahabatan dengan negara luar. Negara yang mereka pilih adalah Spanyol, yang juga merupakan pesaing Portugal di Eropa. Aliansi Tidore dan Spanyol bermula di tahun 1521, ketika Sultan Al Mansur menerima rombongan Spanyol dari Filipina. Meski Al Mansur menjalin aliansi politik dengan Spanyol, namun ia juga memperkuat persahabatan dengan Ternate. Dia menikahkan putrinya Nukila dengan Sultan Bayanullah.

Setelah kematian Bayanullah, terjadi perebutan singgasana di Ternate. Nukila yang ingin mempersatukan Ternate dan Tidore, berusaha mempertahankan putranya Sultan Hidayatullah sebagai penerus tahta kerajaan. Namun hal ini tak dikehendaki oleh Portugal yang merasa dirugikan jika kedua kerajaan itu bersatu. Mengambil siasat licik, Portugal kemudian menghasut Taruwese — adik Sultan Bayanullah – untuk merebut tahta Ternate. Dalam perseteruan itu akhirnya Hidayatullah dan Taruwese mati terbunuh. Tahta Ternate kemudian dilanjutkan oleh Sultan Abu Hayat II, adik Hidayatullah. Dituduh sebagai dalang pembunuhan Gubernur Portugal : Gonzalo Pereira, raja malang itu ditangkap dan diasingkan ke Malaka. Pada saat itulah benih-benih kebencian terhadap Portugal mulai membuncah. Setelah Abu Hayat II wafat, kedudukannya digantikan oleh Sultan Tabariji yang juga tak sejalan dengan kemauan Portugal. Tabariji-pun akhirnya dibuang ke Goa, India. Untuk memulihkan kedudukannya, ia dipaksa menandatangani perjanjian yang menjadikan Ternate sebagai kerajaan Katholik sekaligus vasal Portugal. Namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh penerusnya : Sultan Khairun Jamil.

Mengabaikan kesepakatan itu, Khairun kemudian melakukan perlawanan terhadap Portugal. Karena kedudukannya yang makin terjepit, Portugal mengajak Khairun Jamil berunding. Dalam perundingan itu, ia malah dikhianati dan akhirnya dibunuh. Putra beliau, Sultan Babullah, melanjutkan perlawanan terhadap Portugal. Pada tahun 1570, Ternate yang mengerahkan 120.000 pasukan beserta 2.000 buah kora-kora, berhasil merebut benteng-benteng Portugal di seluruh Kepulauan Maluku. Termasuk Fort Sao Jao Batista (Benteng Kastela) yang kemudian menjadi istana Kesultanan Ternate. Sukses mengusir Portugal dari Maluku, wilayah kekuasaan Ternate-pun semakin meluas. Pada tahun 1575, wilayah kesultanan itu telah meliputi bagian timur Sulawesi, Filipina Selatan, Nusa Tenggara Timur, hingga Kepulauan Marshall di Pasifik. Karena luasnya daerah kekuasaan Sultan Babullah, maka sejarawan VOC : F. Falentijn menjulukinya sebagai “Penguasa 72 Pulau”, sedangkan orang Inggris menyebutnya sebagai “Raja Atas Seribu Pulau”.

Benteng Orange

Benteng Oranye

Pasca terusirnya Portugal dari Maluku, kondisi politik di Eropa juga berubah. Raja Philip II penguasa Spanyol, berhasil merebut tahta Portugal dan memimpin keduanya secara bersamaan. Dari raja itulah kemudian diperintahkan kepada Dom Pedro da Cunha, penguasa Spanyol di Manila, untuk merebut Ternate dengan meminta bantuan Tidore. Pada bulan Maret 1606, dengan mengerahkan 3.095 prajurit, Spanyol bersama Tidore menyerang Ternate. Sultan Said Barakati yang menjadi penerus Babullah, tak kuasa melawan kekuatan besar itu. Terlebih figurnya tak sekuat sosok sang ayah. Setelah mengalami kekalahan berkali-kali, ia bersama para bangsawan Ternate lainnya dipenjara dan dibawa ke Manila.

Dalam keadaan terjepit, Ternate meminta bantuan Belanda di Banten. Cornelis Matelieff, seorang laksamana Belanda, menyetujui permintaan tersebut dengan syarat Ternate memberikan monopoli perdagangan cengkeh kepada VOC. Persyaratan itu akhirnya diterima oleh Sultan Muzafar Syah. Untuk melindungi kerajaan tersebut dari serangan Spanyol, Belanda mendirikan Benteng Oranye (Fort Oranje) di seberang Benteng Kastela yang sebelumnya direbut pasukan Spanyol. Setelah membangun Fort Oranje, berturut-turut Belanda mendirikan Fort Nassau di Pulau Moti, Fort Willemstad di Pulau Ternate, serta merebut benteng Spanyol di Pulau Bacan. Dengan pertahanan yang sedemikian rupa, Belanda bisa leluasa mengontrol kekuatan-kekuatan yang berdagang di Maluku, termasuk menyingkirkan Spanyol di pertengahan abad ke-17.

Dominannya kekuasaan Belanda di Ternate, menjadikan mereka lantas angan dan bertindak sewenang-wenang. Mereka dengan seenaknya mengatur suksesi pemerintahan serta mengontrol jumlah panen cengkeh dan harganya (hongitochten). Hal ini tentu menimbulkan kemarahan di kalangan rakyat dan sebagian kaum bangsawan. Meski rakyat Ternate terus mengobarkan peperangan terhadap Belanda, namun usaha tersebut selalu dapat dipatahkan. Pada tahun 1655, dimasa kekuasaan Mandar Syah kedua, kedudukan Ternate dan Belanda sudah tak setara lagi. Di masa ini, untuk pertama kalinya Ternate menjadi vasal negara lain. Hingga kemudian masuk ke dalam wilayah kolonial Hindia-Belanda di abad ke-19.

Sementara Ternate tenggelam ke dalam kekuasaan VOC, Tidore yang sukses memanfaatkan kekuatan luar justru tetap menjadi kesultanan yang merdeka. Meski di tahun 1662, Tidore meminta bantuan VOC untuk mengusir sekutu lamanya : Spanyol, namun hubungan antara Tidore dan Belanda tetaplah independen. Walau beberapa kali sultan Tidore ditekan dan diasingkan, namun mereka tetap tak mau tunduk terhadap kekuasaan Belanda. Pada tahun 1783, untuk kesekian kalinya VOC bersama Ternate menyerang Kesultanan Tidore. Dalam penyerangan itu, Tidore meminta bantuan armada Inggris yang akhirnya berhasil memukul mundur Belanda. Pada periode 1797-1805 ketika di bawah pimpinan Sultan Nuku, Tidore berhasil mencapai masa kegemilangannya. Disaat itu ia berhasil merebut benteng Belanda di Ternate serta memperluas wilayah kekuasaannya hingga Irian Barat dan Seram Timur.

 

Ternate dan Gunung Gamalama (foto oleh La Oge)

Ternate di Kaki Gunung Gamalama (foto oleh La Oge)

sumber gambar : http://www.skyscrapercity.com

Lihat pula :
1. Persaingan di Selat Malaka (1511 – 1641).
2. Persaingan di Selat Malaka (1641-1824).

Iklan
Komentar
  1. Fandi Esa berkata:

    izin repost foto yang ada ya

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s