Paragon Corp : Raksasa Kosmetik Lokal Menembus Pasar ASEAN

Posted: 9 Oktober 2025 in Biografi
Tag:, , , , , , ,

Outlet Wardah di Jakarta

Tak banyak perusahaan tanah air yang berhasil melakukan ekspansi ke luar negeri. Salah satunya adalah perusahaan kosmetik : PT Paragon Technology & Innovation atau yang dikenal dengan Paragon Corp. Perusahaan ini memang sudah lama berkecimpung di bisnis kosmetik tanah air. Namun baru belakangan mulai merangsek ke pasar mancanegara. Negara yang mereka sasar adalah Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, dimana ketiganya memiliki market kaum muslim yang cukup besar. Memang sejak awal didirikan, perusahaan ini menyasar kaum muslimah perkotaan yang melek akan perawatan wajah. Ini juga semacam diferensiasi terhadap brand-brand lain yang tak mengkhususkan diri pada pasar muslimah. Sejak didirikan pada tahun 1985, Paragon telah mengembangkan berbagai macam brand kosmetik. Yang paling terkenal adalah Wardah dan Make Over.

Berdasarkan data Source of Asia, kedua merek ini telah menguasai market Asia Tenggara masing-masing sebesar 5,1% dan 1,9%. Kalau keduanya dijumlah, maka merek ini sudah mengalahkan pangsa pasar Bioderma yang menjadi pemimpin pasar saat ini (Lihat tabel). Sebagaimana diketahui, Bioderma merupakan merek kosmetik asal Prancis, yang dikembangkan oleh Naos. Selain Bioderma, Wardah, dan Make Over, merek kosmetik lainnya yang juga masuk 10 besar ASEAN adalah Black Rouge (Korea Selatan), Cocoon (Vietnam), Maybelline (Amerika), L’Oreal (Prancis), La Roche (Prancis), O Two O (China), dan Focallure (China). Dari daftar tersebut terlihat bahwa hanya tiga merek asal Asia Tenggara, dimana dua diantaranya merupakan produk Paragon. Keberhasilan Paragon menjadi salah satu perusahaan kosmetik terbesar di ASEAN, sekaligus memberikan kesan bahwa perusahaan asal Indonesia tak hanya jago kandang. Tak cuma menaungi brand Wardah dan Make Over, perusahaan ini juga memiliki 300 merek kosmetik dan skincare, seperti Emina, Kahf, Putri, Laboré, Crystallure, Instaperfect, Tavi, Wonderly, OMG, Beyondly, dan Earth Love Life.

* * *

Kisah Paragon dimulai pada Februari 1985, saat Nurhayati Subakat mendirikan sebuah usaha kecil bernama Pusaka Tradisi Ibu (PTI). Awalnya, usaha ini hanyalah industri rumahan yang mencoba peruntungan lewat produk perawatan rambut. Tahun 1987, lahirlah merek Ega, disusul oleh Putri — produk hair tonic yang kelak menjadi legenda di masanya. Tak butuh waktu lama, produk Putri menjadi primadona di masyarakat. Pada akhir 1980-an, ia bahkan disebut-sebut sebagai hair tonic dengan penjualan nomor satu di Indonesia. Pemasarannya cuma business-to-business, lewat jaringan salon yang ada di Jakarta. Tapi karena kekuatan word of mouth, produk ini sangat laku di pasaran.

Di tahun 1990, malapetaka terjadi. Tempat usahanya habis dilahap api. Kebakaran itu membuat bisnisnya hancur berantakan. Dokumen administrasi perusahaan-pun ikut hangus terbakar, sehingga sulit baginya untuk menagih piutang. Di tengah kondisi tersebut, Nurhayati sempat goyah. Bahkan ia terpikir untuk menutup usaha yang telah dirintisnya selama lima tahun itu. Tapi satu hal yang membuatnya terus bertahan : nasib ratusan karyawan yang menggantungkan hidup padanya. Dengan pinjaman dari sang suami, Nurhayati bangkit dan membangun pabriknya yang terbakar. Di penghujung tahun 1990, PTI kembali mendirikan pabriknya di kawasan industri Cibodas, Tangerang. Beberapa bulan setelah itu pabriknya selesai dan bisa beroperasi penuh. Bisnisnya yang nyaris padam, kini kembali berdengung.

Tahun 1995 menjadi titik balik PTI. Perusahaan ini meluncurkan merek kosmetik baru yang dinamainya Wardah. Filosofinya sederhana : membuat kosmetik halal yang saat itu belum ada yang menggarapnya. Nurhayati melihat celah besar perempuan muslimah yang ragu memakai kosmetik, karena belum jelas kehalalannya. Semula, Wardah cuma dipasarkan untuk kalangan santri. Tapi karena harganya kurang terjangkau, Wardah mulai dijajakan dari rumah ke rumah, sekolah ke sekolah, lewat direct selling ala MLM. Perlahan-lahan, Wardah mendapat tempat. Bahkan ketika krisis moneter 1998 mengguncang, Wardah tetap tegak berdiri. Saat banyak industri kosmetik tumbang karena biaya impor yang membengkak, Wardah justru berhasil membuka pabrik barunya di Jatake, Tangerang.

Wardah dan Gelombang Sosial “Hijabers”

Reformasi 1998 membawa perubahan dan angin segar. Ruang publik menjadi lebih terbuka dan identitas keislaman-pun mulai terlihat. Hijab yang sebelumnya cuma lekat dengan kaum santri, kini juga telah dipakai oleh mahasiswa, pegawai negeri, hingga masyarakat umum. Proses ini ibarat bola salju yang bergulir : kecil di awal, lalu makin membesar karena dorongan arus modernisasi. Karena banyaknya orang yang mengenakan hijab, di tahun 2000-an lahirlah istilah “hijabers”. Sebuah sebutan untuk muslimah yang tak hanya menutup aurat, tapi juga tampil dengan gaya yang modis. Gelombang muslim new wave ini dipelopori oleh para publik figur seperti desainer Itang Yunasz, Feny Mustafa, Ria Miranda, hingga selebritis Inneke Koesherawaty.

Sejak saat itu, hijab tak lagi sebatas kebutuhan, namun telah menjadi simbol gaya hidup. Hijab yang melekat dengan muslimah selaras dengan positioning Wardah yang menonjolkan produk halal. Hal ini juga membuka wacana : jika gaya hidup bisa berpadu dengan hijab, mengapa kecantikan tidak? Dan disinilah Wardah menemukan momentumnya. Tak heran, pasca-reformasi pertumbuhan Wardah melesat bak roket. Sebelum Wardah menjadi besar, di tahun 2011 PTI mengubah namanya menjadi PT Paragon Technology & Innovation. Rebranding tersebut menandakan adanya perubahan paradigma dari usaha rumahan ke usaha yang mengandalkan teknologi dan inovasi. Semenjak itu, Paragon banyak merekrut anak-anak muda agar bisa mengikuti tren yang berkembang. Hasilnya bisa dilihat, pada tahun 2016 Wardah masuk dalam peringkat keenam global fastest growing brand versi Euromonitor. Harvard Business Review mengulas bahwa kecepatan Wardah bertumbuh disebabkan karena keberaniannya mengambil segmen halal.

Dua tahun kemudian – tepatnya di bulan September 2018, survei Nielsen mencatat Wardah sebagai merek kosmetik dengan pertumbuhan tertinggi di Indonesia, yakni sebesar 25% setahun. Angka ini lima kali lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional, dan jauh melampaui pertumbuhan industri kosmetik tanah air yang hanya berkisar 7%. Di tahun yang sama, Paragon juga menguasai pangsa pasar sekitar 29,7%, mengungguli perusahaan kosmetik lokal dan multinasional lainnya. Melihat angka tersebut, tak berlebihan jika dikatakan kalau Wardah telah menjadi penggerak tren kosmetik nasional. Ia telah menjadi merek yang digemari — tak hanya bagi para hijabers — tapi juga masyarakat secara umum. Di tahun 2025, Paragon telah mempekerjakan sekitar 14 ribu karyawan (termasuk di Malaysia), dimana 280 diantaranya adalah peneliti dan skin experts.

Nurhayati Subakat, Perempuan Visioner di Balik Paragon Corp

Nurhayati Subakat adalah sosok dibalik keberhasilan Paragon Corp. Dia lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, tanggal 27 Juli 1950 dari seorang ayah yang berprofesi sebagai pedagang. Mungkin dari ayahnya itulah, jiwa kewirausahaannya menurun. Mengawali pendidikan di Diniyyah Puteri Padang Panjang, Nurhayati lalu masuk ke SMA Negeri 1 Padang. Ia terus melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB), hingga beroleh predikat lulusan terbaik. Setamatnya dari ITB, Nurhayati sempat bekerja sebagai apoteker di Rumah Sakit M. Djamil, Padang. Karena mengikuti suami, ia-pun pindah ke Jakarta dan bekerja di perusahaan kosmetik Wella. Setelah mempunyai anak, ia memutuskan untuk membuat usaha sendiri. Dari usaha inilah ia kemudian dikenal publik. Atas pencapaiannya, beberapa penghargaan berhasil ia raih, antara lain “25 Pebisnis Wanita Paling Berpengaruh Asia” versi Forbes Asia (2018) dan “ASEAN Business Award” untuk kategori Women Entrepreneur (2019). Di tahun 2019 ia juga beroleh gelar doktor honoris causa dari ITB, atas inovasinya dalam industri kosmetik tanah air.

Nurhayati Subakat

Ada beberapa filosofi yang diterapkannya dalam menjalankan bisnis. Untuk nilai-nilai inti (core values), ia terus mengingatkan karyawannya agar selalu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka juga dituntut untuk memiliki kepedulian, kerendahan hati, ketangguhan, dan inovasi. Karena nilai kepedulian inilah, Paragon berkomitmen untuk melakukan pemberdayaan masyarakat melalui program pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Tak salah jika dalam setiap bencana, kita melihat Paragon sebagai perusahaan terdepan yang memberikan bantuan. Pada saat Covid-19 melanda, Paragon sempat mengucurkan bantuan senilai Rp 40 miliar lewat program corporate social responsibility. Tak hanya itu, Paragon juga menjadi donator aktif di ITB dan Universitas Indonesia, yang memberikan beasiswa kepada para mahasiswa yang tak mampu. Dari laporan Metrotvnews.com, Nurhayati juga tercatat sebagai salah satu pembeli Patriot Bonds yang dirilis oleh Danantara. Pembelian surat hutang itu sebagai bentuk komitmen Nurhayati dalam membangun bangsa.

Karena tertarik dengan nilai-nilai dan kegigihannya, Ahmad Fuadi lantas menulis novel tentang dirinya. Novel yang diberi judul “Mengusahakan Pertolongan Ilahi” itu terdiri dari 358 halaman dan diterbitkan oleh Mizan. Karena cukup menarik, novel ini kemudian diadapatasi ke dalam bentuk film pendek berdurasi 43 menit. Saya sempat menonton film tersebut, dan agaknya memang digarap secara serius. Ada empat penulis yang terlibat dalam penulisan skenarionya, yakni Gina S. Noer dan Kurnia Cahya Putra (keduanya merangkap sebagai sutradara), Salman Aristo, serta Kurnia Alexander. Film ini juga dibintangi oleh aktris kawakan, seperti Nafiza Fatia Rani, Revalina S. Temat, dan Widyawati. Ketiganya berperan sebagai Nurhayati di masa kecil, remaja, dan paruh baya. Sejak diluncurkan tujuh bulan lalu, film ini telah ditonton oleh 2,7 juta viewers. Bagi Anda yang tertarik dan ingin menontonnya, bisa diakses melalui media sosial Youtube.

Tinggalkan komentar