Tragedi Kanjuruhan merupakan titik nadir sepak bola Indonesia. Tak pernah ada sebelumnya, ratusan orang meninggal gara-gara nonton sepak bola. Baru kali ini, kita menyaksikan orang-orang bergelimpangan di dalam stadion. Ada yang karena sesak napas, terinjak-injak, bahkan ada yang sudah mati. Koordinator Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso mengatakan, ada kesalahan prosedur dalam penanganan ribut-ribut suporter di Stadion Kanjuruhan Sabtu (1 Oktober) malam lalu. Dalam peristiwa itu, ditemukan adanya penggunaan gas air mata, yang sebenarnya dilarang dalam peraturan FIFA. Larangan itu tentulah bukan tanpa sebab. Karena sebelumnya di negara lain, sudah ada kejadian yang menewaskan ratusan orang akibat penggunaan gas air mata. Di Peru pada tahun 1964, pernah terjadi 328 suporter meninggal karena tembakan gas air mata. Kala itu tim nasional Peru yang bertanding melawan Argentina, kalah 0-1. Tak menerima kekalahan tim pujaannya, para pendukung Peru-pun lantas mengamuk. Ya, miriplah seperti tragedi Kanjuruhan satu minggu lalu. Dimana Arema kalah 2-3 dari rival abadinya : Persebaya, yang kemudian memicu Aremania (pendukung Arema FC) untuk masuk ke dalam lapangan.
Semula, memang hanya satu orang yang masuk. Dia merangkul kiper Arema dan menyalami para pemain lainnya. Namun tak berselang lama, tiba-tiba ratusan suporter lainnya ikut melompat pagar, berhamburan, dan seperti membuat keonaran di tengah lapangan. Setidaknya itulah yang terlihat oleh para aparat, yang malam itu diperkuat 2.000 orang personil. Khawatir rusuh makin membesar, sejumlah aparat nampak sudah tak sabaran. Mereka main pentung, main tendang, hingga suporter yang sudah kecewa semakin emosi. Seharusnya aparat tak perlu bertindak berlebihan. Tak perlu menembakkan gas air mata, terlebih ke arah tribun dimana banyak suporter tak berdosa sedang berusaha untuk keluar. Apalagi, pada malam itu tak ada bentrok antar suporter. Yang ada hanyalah kekecewaaan massa yang hendak dilampiaskan.
(lebih…)