Haruskah kini Jusuf Kalla (JK) maju sebagai capres? Pertanyaan inilah sekarang yang menggelayuti sebagian politisi Partai Golkar. Dalam survei yang dirilis oleh beberapa lembaga survei, JK kuranglah populer. Popularitasnya tidak mencapai angka 5%. Jauh dari Prabowo, Megawati, apalagi incumbent SBY. Bagi JK yang pragmatis, survei bukanlah segalanya. Desakan dari kader Golkar dan gengsi sebagai partai terbesar, telah mengayunkan langkahnya untuk ikut dalam pertarungan Pilpres besok. Walaupun pemilu legislatif belum berlangsung, bak gayug bersambut, pencalonan JK ini merupakan berkah bagi sebagian tokoh. Sejak diumumkan kesiapannya, tokoh-tokoh lintas partai mulai merapat kepadanya. Ya apalagi kalau bukan untuk menawarkan diri menjadi cawapres.
JK merupakan anti-tesis bagi demokrasi kita dewasa ini. Dia seorang saudagar sukses, pekerja keras, dan periang. Satu pengecualian untuknya, dia orang Bugis — dan bukan Jawa. Dan faktor inilah yang mungkin akan mengganjalnya maju ketampuk pimpinan nasional. Masalah primordialisme, soal Jawa dan non-Jawa mungkin merupakan persoalan serius bagi sebagian masyarakat kita. Fanatisme kesukuan dan juga ideologi, menjadi momok terbesar bagi demokrasi kita. Setelah 11 tahun reformasi, mungkin sebagian rakyat mengidamkan adanya perubahan yang berarti dalam konstelasi perpolitikan nasional. Tren Obama di Amerika, mungkin menjadi pemicunya. Dimana etnis minoritas behasil menjadi penguasa negara.