Umum diketahui orang, Indonesia merupakan negeri kepulauan terbesar di dunia. Tak kurang dari 17.000 pulau, berjajar di antara Lautan Hindia dan Pasifik. Membentang dari Sabang di sebelah barat hingga ke Merauke di timur, dari Pulau Rote di selatan sampai Kepulauan Talaud di utara. Negerinya yang berpulau-pulau, yang terhubung oleh selat-selat dan laut, menjadi kendala tersendiri dalam mengelolanya. Kendala lain ialah, banyaknya wilayah yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Maklum, Indonesia dilewati oleh dua lengkung pegunungan, Lingkar Pasifik dan Alpen-Banda.
Pesawat perintis, feri, dan kapal laut, menjadi transportasi handalan negeri ini. Namun sulitnya jenis transportasi tersebut, menimbulkan biaya yang tak sedikit bagi keberlangsungan hidup masyarakatnya. Warga Kabupaten Natuna atau Sangihe Talaud misalnya, harus perlu waktu berminggu-minggu untuk menunggu kapal yang berangkat menuju ibu kota propinsi. Masyarakat Pegunungan Tengah di Papua, setali tiga uang dengan mereka. Walau tak ada laut yang memisahkan Jayapura dengan Pegunungan Tengah, namun letaknya yang tersuruk di antara gunung-gunung dan bukit, menjadikannya wilayah yang terisolasi dari peradaban. Untuk menuju Jayapura atau sebaliknya, masyarakat Pegunungan Tengah harus menunggu pesawat cukup lama, kadang hingga berbulan-bulan. Sulitnya pengangkutan di daerah-daerah terpencil, berakibat pula pada mahalnya harga barang-barang kebutuhan pokok. Jika di Jakarta harga satu zak semen hanya Rp 55.000, maka di Talaud ataupun Natuna harganya bisa mencapai Rp 200.000.
Selain geografisnya yang kurang menguntungkan, secara demografis pun seperti itu. Saat ini, hampir 240 juta manusia yang terbagi dalam 300 suku bangsa dan enam agama resmi, hidup dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masyarakat ini hidup menyebar di lima pulau besar dan pulau-pulau kecil lainnya. Di antara lima pulau utama, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, Pulau Jawa-lah yang paling padat penduduknya. Lebih dari separuh penduduk Indonesia bermukim di wilayah ini. Selain masalah kepadatan, Jawa juga merupakan pulau dengan populasi orang miskin terbesar di dunia. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, sekitar 20 juta orang miskin hidup di Jawa.
Secara etnisitas, tak ada satu pun suku bangsa yang dominan dalam hal populasi. Bangsa Jawa memang jauh lebih besar dari yang lainnya, namun jumlahnya tak lebih dari separuh populasi Indonesia. Menurut data kependudukan, Orang Jawa hanya berjumlah 41,7% dari seluruh populasi Indonesia, disusul orang Sunda sebanyak 15,4%, diikuti oleh Bugis-Makassar (3,5%), Melayu (3,4%), Madura (3,3%), Batak (3,0%), dan Minangkabau (2,7%). Di Indonesia, Peranakan Cina atau yang mau disebut sebagai Tionghoa, merupakan orang Cina Perantauan terbesar di dunia. Saat ini jumlahnya mencapai 8 juta jiwa, atau setara 12% dari seluruh populasi Cina Perantauan. Angka ini banyak melampaui populasi etnis-etnis pribumi yang ada di Nusantara. Sebagai perbandingan saja, orang Minangkabau yang ada dimana-mana di Nusantara ini, hanya berjumlah 7,5 juta jiwa. Lebih sedikit setengah juta dibandingkan populasi mereka.
Jumlah Tionghoa yang cukup besar, serta dominasinya dalam sektor ekonomi swasta, menjadi kendala tersendiri bagi kebanyakan rakyat Indonesia. Sebagian pribumi menganggap, sejak zaman Belanda hingga sekarang, orang-orang Tionghoa kerap seperti binatang ekonomi. Yang mengeruk sumber daya alam negara dan mengambil keuntungan besar dari rakyat-rakyat kecil pribumi. Stereotip seperti ini, telah menempatkan masalah Tionghoa bukan sebagai masalah etnisitas semata, namun lebih kepada masalah pembagian kue ekonomi. Jika saja pemerintah Indonesia bisa membangun mental dan semangat anak-anak negeri seutuhnya, maka pembagian kue ekonomi itu akan terpotong secara adil dan merata. Berkaca pada kondisi saat ini, sesiapapun itu, baik Tionghoa, Arab, India, ataupun pribumi seperti Bugis dan Minangkabau, jika memilki spirit ekonomi yang tangguh, maka akan mendapatkan kue ekonomi yang sepantasnya.
Nusantara Gelombang Ketiga
Sebagian sejarawan menilai, Indonesia merupakan Nusantara gelombang ketiga. Setelah runtuhnya Sriwijaya di abad ke-14 dan Majapahit di abad ke-16, baru kali inilah Nusantara dipersatukan kembali. Bayang-bayang kejayaan Sriwijaya-Majapahit di masa lampau, menjadi angan-angan para founding fathers Indonesia. Mereka berharap, kehebatan pelaut-pelaut Sriwijaya yang menjelajah lautan hingga pantai timur Afrika, serta keberanian tentara-tentara Majapahit mengusir invasi Mongol, bisa terulang kembali dalam semangat Indonesia yang baru.
Sriwijaya-Majapahit, tidak hanya menjadi penyemangat bagi berdirinya Nusantara gelombang ketiga. Namun lebih dari itu, beberapa unsur seperti sistem politik, tata kelola masyarakat, dan struktur pemerintahan, juga banyak mengambil format dari kedua kerajaan tersebut. Sistem politik sentralisasi misalnya, yang berlaku sejak 1959-1998, banyak mengambil konsep dari kebesaran imperium Majapahit. Orang-orang Jawa ketika itu, yang diwakili oleh Soekarno dan Soeharto, meyakini bahwa dengan sistem politik terpusat-lah negeri ini bisa bertahan lama. Seperti halnya kebesaran Majapahit yang tak terlalu lama, sistem inipun berlangsung singkat. Kini, seperti halnya masa-masa awal kemerdekaan, sistem politik Indonesia berubah haluan mengikuti model desentralisasi ala Sriwijaya. Namun sistem republik dengan trias politica, serta model bikameral DPR-DPD, tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah Sriwijaya-Majapahit. Tetapi jika hendak dicari-cari padanannya dalam historiagrafi peradaban Nusantara, masyarakat Minangkabau-lah yang telah menerapkan trias politica dalam tigo tungku sajarangan, dan sistem kepenghuluan yang mirip-mirip dengan dewan perwakilan rakyat.
Komunitas Imajiner
Menurut Benedict Anderson, Indonesia merupakan komunitas imajiner yang sempurna. Sebuah komunitas bayang-bayang, yang terbentuk (sebenarnya) tanpa ikatan emosional yang kuat. Sebuah masyarakat yang tersusun hanya karena merasa senasib sepenanggungan. Senasib karena sama-sama pernah menjadi jajahan Hindia Belanda, dan mengalami kekosongan pemerintahan pasca berakhirnya Perang Dunia II. Jadi andaikan saja Belanda tak pernah bercokol di Nusantara, dan tiada orang yang berani memanfaatkan vacuum of power untuk memproklamirkan kemerdekaan 65 tahun yang lalu, maka tidak akan pernah terbentuk negara kesatuan Indonesia. Atau, kalau saja tentara Belanda gagal menaklukan Aceh tahun 1904 silam, dan tak ada Perjanjian London yang memasukkan Bengkulu ke dalam lingkungan Hindia Belanda, maka takkan pernah terwujud riwayat Aceh dan Bengkulu menjadi bagian Indonesia.
Hal itulah yang terjadi dengan Sabah dan Serawak di Kalimantan, serta Papua Nugini di Papua. Walau satu pulau dengan propinsi Kalimantan Timur dan Papua Barat, namun karena berbeda penjajah, keduanya tak masuk bagian Indonesia. Selepas kolonisasi, Sabah-Serawak yang bekas jajahan Inggris, akhirnya bergabung dengan negeri-negeri semenanjung membentuk Federasi Malaysia. Sedangkan Papua Nugini yang menjadi jajahan Jerman dan Inggris, membentuk pemerintahannya sendiri. Ada satu negeri yang tidak pernah menjadi bagian Hindia Belanda, namun sempat bergabung dengan NKRI, yaitu Timor Timur. Lewat pemungutan suara kongkalikong, disertai penyerangan brutal Tentara Nasional Indonesia, negeri ini bergabung dan menjadi propinsi pada tahun 1976. Kebersamaannya tak berlangsung lama, 23 tahun berselang Timor Timur merdeka dari NKRI dan membangun pemerintahannya sendiri.
Layaknya rumah kartu yang rentan rubuh, bayang-bayang kehancuran Indonesia hadir di depan mata. Pasca-disintegrasi Timor Timur tahun 1999 lalu, beberapa propinsi di Indonesia ikut-ikutan ingin memisahkan diri. Aceh dan Papua, dua propinsi di ujung barat dan timur Indonesia, merupakan wilayah paling keras yang ingin menyatakan kemerdekaan. Adanya sebagian wilayah yang hendak memisahkan diri dari propinsi/kabupaten induk, dan membentuk otonomi tersendiri, merupakan bentuk lain disintegrasi yang bersifat lokal. Beberapa kali disintegrasi macam ini berlangsung keras dan berdarah-darah. Seperti yang terjadi tahun lalu, ketika sebagian masyarakat Batak Toba, meluapkan kemarahannya karena gagal membentuk Propinsi Tapanuli yang terpisah dari Sumatera Utara. Dengan banyaknya disintegrasi yang terjadi di seantero Indonesia, akankah negeri ini mampu bertahan lama, seperti halnya imperium Sriwijaya yang kokoh berdiri hingga 600 tahun? Atau jangan-jangan malah mengikuti jejak kerajaan Majapahit, yang hanya sebentar berarti kemudian mati. Wallahualam bi shawab.
Good blog, terima kasih atas informasinya.
Salam kenal,
Muhammad Irvan Mumtaza
“Pelajar Indonesia”
SukaSuka
jangan sampai terulang kembali perpecahan seperti yang di alami kedua kerajaan tersebut .tapi semangat dan kekokohan lah yang mesti abadi sepanjang masa sampai akhir jaman AMIN
SukaSuka