Di tahun 1960, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia masih setara dengan Korea Selatan. Kini setelah hampir 50 tahun berselang, pendapatan mereka telah mencapai USD 15.000 atau 7 kali lebih besar dibandingkan kita. Income rakyat China yang pada dasawarsa 1990 jauh di bawah kita, kini 1,5 kali lebih besar. Dan Malaysia yang 35 tahun lalu masih banyak berguru kepada kita, kini telah melampaui Indonesia dengan mantap. Mengapa Indonesia sulit berkembang ?
Keterbelakangan suatu negara mesti disebabkan oleh keterbelakangan mental masyarakatnya. Keterbelakangan mental bagaikan virus penyakit yang masuk ke tubuh kita, yang secara tak sadar menjalar dan melumpuhkan seluruh sistem tubuh. Harus diakui bahwa saat ini mayoritas rakyat Indonesia memiliki keterbelakangan mental. Amien Rais dalam sebuah pernyataannya menyindir bangsa Indonesia sebagai bangsa bermental kuli. Menurut dia, bangsa ini hanya bisa menjadi babu dan kuli untuk bekerja di negeri orang. Sedangkan di negerinya sendiri, pemerintahnya malah sibuk menjual aset-aset negara dan menyerahkan banyak kekayaan alam untuk dieksploitasi bangsa asing.
Sejatinya, sebelum kedatangan Belanda, orang-orang Indonesia telah mengidap keterbelakangan mental. Hal ini disebabkan karena sentralisasi kekuasaan yang memasung semua bentuk kreativitas masyarakat. Di beberapa kerajaan berbasis agraris, terutama di Pulau Jawa, hal ini berlangsung cukup lama. Mulai dari kerajaan Tarumanegara, Sunda, Singosari, Majapahit, hingga Mataram, kehidupan rakyat hanya bertumpu pada satu titik, yakni keraton. Keraton tak pernah memberikan ruang yang cukup bagi berkembangnya potensi masyarakat. Kemajuan rakyat dianggap merupakan ancaman bagi kekuasaan keraton. Dalam aras kehidupan dan budaya kerajaan, politik hanya bersumber pada satu dinasti, perdagangan tak boleh diserahkan ke pihak swasta, kepemilikan tanah secara individu tak diperkenankan, dan pengembangan seni budaya haruslah sesuai dengan kepentingan keraton.
Pada pertengahan abad ke-19, politik tanam paksa diterapkan di seluruh Pulau Jawa. Rakyat Jawa dipaksa menyerahkan tanah-tanah garapannya untuk ditanami komoditi tertentu yang sesuai dengan permintaan Belanda. Rakyat yang tak memiliki tanah diwajibkan untuk bekerja. Keadaan seperti ini melemahkan ekonomi masyarakat hingga terjadinya kelaparan di Cirebon, Demak, dan Grobogan. Pada abad yang sama, Belanda juga memindahkan paksa ribuan tenaga kerja dari Pulau Jawa ke perkebunan Sumatera Timur dan Suriname, untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak. Nasib kuli yang dipekerjakan itu sangatlah memprihatinkan. Sehingga banyak diantara mereka yang mati karena keletihan bekerja. Dalam kondisi tertekan seperti ini, tak ada perlawanan yang berarti dari bangsa Jawa. Tidak seperti halnya Aceh dan Minangkabau yang masyarakatnya pembangkang, kolonisasi Belanda di Pulau Jawa tidaklah terlampau sulit. Hal ini dikarenakan mudahnya para raja untuk diajak berkolusi. Untuk memperlancar keinginan Belanda, suap menyuap jamak terjadi antara keluarga keraton dan pemerintah kolonial. Oligarki kekuasaan antara keraton dan kolonial, telah memuluskan kebijakan eksploitasi yang menyengsarakan itu.
Rakyat yang telah lama dikondisikan untuk patuh kepada raja, menerima begitu saja semua kebijakan yang merugikan mereka. Situasi seperti ini menjadikan masyarakat apriori terhadap segala keadaan, sehingga muncul sikap pasrah pada nasib. Situasi ini juga mengakibatkan masyarakat tak percaya diri, sehingga hal-hal yang berbau mistis dan magis berkembang luas. Seperti misalnya kepercayaan akan datangnya dewa penolong atau satria piningit yang segera melepaskan mereka dari ketertindasan. Dilarangnya perdagangan swasta oleh pihak kerajaan, mengakibatkan tidak munculnya jiwa kewirausahaan pada masyarakat Jawa. Sehingga bekerja sebagai abdi dalem atau pegawai negeri, lebih terhormat dibanding menjadi pengusaha. Keterbelakangan mental seperti ini, berlangsung berabad-abad lamanya. Sehingga telah menjadi memori kolektif yang berkembang di alam bawah sadar sebagian besar masyarakat Jawa dan Sunda.
Bangsa ini tak akan pernah maju jika mental masyarakatnya masih terbelakang. Revolusi mental mutlak harus dilakukan, yakni melalui program pendidikan nan berkualitas. Dengan pendidikan yang cukup, masyarakat akan terbiasa berpikir kritis, punya semangat untuk mandiri tanpa ketergantungan pihak lain. Dengan pendidikan, sikap kreatif pun muncul, ekonomi akan tercipta, dan taraf hidup masyarakat akan meningkat. Dengan pendidikan pula, maka akan lahir pemimpin-pemimpin yang mengutamakan rakyat banyak, bukan pemimpin-pemimpin yang gila terhadap kekuasaan, yang dengan mudahnya menggadaikan negara untuk melanggengkan kekuasaan.
sumber gambar : antarafoto.com
Lihat pula :
Apa dan Bagaimana Manusia Indonesia ?
iya saya setuju sekali… latar belakang rakyat indonesia dilihat dari pendidikan memang sangat kurang… disini perlu ditegaskan pendidikan yang seperti apa?? yang paling penting untuk sekarang menurut saya pendidikan tentang tasawuf, enterpreneur, dan sosial. bahkan kalau bisa diberikan pada anak sejak dini mungkin pembelajaran tersebut. dgn enterpreneur anak jd tahu bagaimana bisa mandiri dan mendapatkan uang, dgn tasawuf anak jadi tahu bagaimana mendapatkan uang dengan kerendahan hati dan baik, dengan sosial anak jadi tahu untuk siapa dagangan ini mau kita jual…. jgn hanya sibuk mengutak atik 5X5=25 atau E=MC kuadrat. pelajaran itu tdk bgitu penting untuk kemajuan bangsa ini karna itu membuat banyak koruptor yang pintar menghitung2 keuntungan pribadi sedangkan moral akhlak yang tidak ada. kenapa anggota kemenag ada yang korupsi Al-Qur’an?? karna dulunya hanya belajar hitung-hitungan 5X5=25 namun lupa akan pelajaran akhlak, tasawuf dan enterpreneur…….
SukaDisukai oleh 1 orang
terimakasih….
SukaSuka