Sampul Buku "Manusia Indonesia"

Sampul Buku “Manusia Indonesia”

Manusia Indonesia : Sebuah Pertanggungjawaban adalah judul pidato kebudayaan yang disusun oleh wartawan-budayawan Indonesia, Mochtar Lubis. Pidato ini kemudian dibacakannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada tanggal 6 April 1977. Meski menerima kritik dari banyak pihak, salah satunya dari Margono Djojohadikusumo (kakek Prabowo Subianto), namun pidatonya itu mendapat tempat di hati banyak pendengar. Oleh karenanya pada tahun 2001, Yayasan Obor Indonesia perlu menerbitkannya dalam bentuk buku. Mungkin sebagian Anda akan bertanya-tanya. Mengapa buku ini baru terbit di tahun 2001, setelah 24 tahun pidato itu dibacakan. Saya mengira mungkin karena isi pidatonya yang terlampau keras. Jika dibaca secara tersirat, agaknya pidato itu ditujukan kepada kawula Orde Baru, yang dianggapnya cukup sesuai dengan enam kriteria manusia Indonesia yang diuraikannya itu. Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan pihak penguasa, penerbit memilih untuk merilisnya setelah rezim Orde Baru tumbang. Entah iya entah tidak itu alasannya, wallahualam bi shawab.

Dari subjek yang diambil, boleh jadi ini merupakan buku pertama yang mencatat kepribadian manusia Indonesia, atau lebih tepatnya “manusia Orde Baru”. Dalam buku tersebut disebutkan terdapat enam ciri manusia Indonesia, yakni:
1. Munafik atau hipokrit
2. Enggan dan segan bertanggungjawab atas perbuatannya.
3. Bersikap dan berperilaku feodal.
4. Percaya takhyul.
5. Artistik, berbakat seni.
6. Lemah watak atau karakternya.

Dari keenam sifat ini, memang banyak manusia Indonesia yang menggunakan atribut-atribut tersebut. Tetapi menurut hemat saya, bukan hanya di Indonesia saja. Hampir di seluruh dunia ada saja jenis manusia yang semacam itu. Seperti takhyul dan klenik, orang China atau India, mungkin lebih parah lagi kepercayaannya terhadap klenik. Dan itu berlangsung hingga kini. Munafik atau hipokrit, manusia Amerika atau orang-orang Eropa modern-pun, banyak pula yang seperti itu. Contohnya saja George Bush, yang menginginkan demokratisasi di dunia-dunia Islam, namun tak menerima kemenangan Partai FIS di Aljazair. Apakah itu tidak hipokrit namanya. Bersikap dan berperilaku feodal, itu juga bukan monopoli manusia Indonesia saja, namun juga menjangkiti masyarakat China, Arab, dan sebagian orang-orang Eropa. Coba saja tengok, mana yang lebih baik feodalisme ala Jawa atau komunisme China atau kesultanan orang-orang Arab. Sama saja! Semuanya ingin menciptakan sistem kelas, patron-klien, abdi-raja, dan sejenisnya. Kurang bertanggung jawab, artistik, dan lemah watak, kurang lebih juga sama. Dimana-mana ada saja yang seperti itu. Jadi menurut saya, sebagai titik tolak, keenam ciri yang dikemukakan oleh Mochtar Lubis itu tidaklah valid jika dikatakan sebagai ciri-ciri manusia Indonesia per se.

Namun sebelum lebih jauh berprasangka negatif, ada baiknya kita mengambil saripati dari apa-apa yang dikatakan oleh buku ini. Untuk itu saya akan mengajak Anda, menguji ciri-ciri manusia Indonesia itu satu-per-satu.

 
Ciri pertama : Munafik atau hipokrit

Saya mengutip salah satu tulisan yang menarik dari Mochtar Lubis.

Manusia Indonesia karena semua ini (agama, pen), juga penuh dengan hipokrisi. Dalam lingkungannya dia pura-pura alim, akan tetapi begitu turun di Singapura atau Hongkong, atau Paris, New York, dan Amsterdam, lantas loncat ke taksi cari nightclub, dan pesan perempuan pada pelayan atau portir hotel. Dia ikut maki-maki korupsi, tetapi dia sendiri seorang koruptor. […] Akibat dari kemunafikan manusia Indonesia, yang berakar jauh ke masa kita sebelum dijajah bangsa asing, maka manusia Indonesia masa kini terkenal dengan sikap ABS-nya (asal bapak senang).

Dari kutipan di atas, jelas sekali kemana arah pidato Mochtar tertuju. Perlu diingat, pidato ini berlangsung pada tahun 1977. Di saat Orde Baru sedang mekar-mekarnya. Ketika para bawahan Bapak Soeharto senang menjilat, memberikan laporan yang bagus-bagus, atau yang disebut Mochtar Lubis dengan istilah “asal bapak senang.” Namun jika kita melihat karakter manusia Indonesia yang sesungguhnya, sekarang dan di masa-masa sebelumnya, banyak pula diantara mereka yang kritis, tidak munafik, dan bicara apa adanya. Jadi menurut saya, kemunafikan yang dimaksud oleh Mochtar Lubis tersebut, lebih tepat diarahkan kepada para pejabat publik dan pegawai pemerintahan pada masa Orde Baru.

Kalau di era Reformasi sekarang ini, ceritanya lain lagi. Kini meski ada satu-dua orang yang menjilat penguasa, namun lebih banyak lagi orang yang kritis terhadapnya. Presiden SBY misalnya, saat ini mungkin hanya Ruhut Sitompul, Sutan Bhatoegana Siregar, dan Ramadhan Pohan saja yang mati-matian membelanya. Diluar itu, lebih banyak orang yang mencibir dan mencaci. Mungkin juga termasuk orang-orang disekitarnya, seperti menteri atau anggota partai bentukannya itu. Oleh karenanya, penguasa-penguasa sekarang ini meski tergolong munafik, namun dia tak bisa lama-lama berlindung pada kemunafikannya itu. Karena sebentar lagi zaman akan berganti, dan dia pun akan segera lengser. Jadi jika membandingkan kemunafikan manusia Indonesia pada masa Mochtar berpidato dengan sekarang ini, maka kadar kemunafikan yang sekarang sudah agak berkurang.

 
Ciri Kedua : Enggan dan segan bertanggungjawab atas perbuatannya

Kembali kita kutip isi pidato Mochtar Lubis yang tertera pada buku tersebut.

Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia. Atasan menggeser tanggung jawab tentang sesuatu kesalahan, sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang tidak baik, satu kegagalan pada bawahannya, dan bawahannya menggesernya ke yang lebih bawah lagi, dan demikian seterusnya. Dalam sejarah kita dapat hitung dengan jari pemimpin-pemimpin yang punya keberanian dan moralita untuk tampil ke depan memikul tanggung jawab terhadap sesuatu keburukan yang terjadi di dalam lingkungan tanggung jawabnya. […] Sebaliknya, jika pada sesuatu yang sukses, yang berhasil gilang-gemilang, maka manusia Indonesia tidak sungkan-sungkan untuk tampil ke depan menerima bintang, tepuk tangan, surat pujian, piagam penghargaan, dan sebagainya. […] Sebagian terbesar yang menerima bintang Mahaputera dan lain-lain itu ialah kelas “bapak-bapak”. Pegawai kecil dan rendah yang tekun bekerja, menahan segala rupa kesukaran hidup, di tempat-tempat yang jauh, jarang sekali mendapat penghargaan yang selayaknya harus mereka terima.

Untuk pendapatnya ini, saya menganggap masih ada relevansinya hingga ke masa yang sekarang. Di era Reformasi, sebagaimana halnya di masa Orde Baru dulu, belum terlihat adanya pejabat publik yang mau mengundurkan diri ketika melakukan kesalahan. Hingga saat ini, kita belum menengok ada Menteri Perhubungan yang mau mengundurkan diri ketika terjadi kecelakaan pesawat. Atau Menteri Pertanian yang dengan legawa turun tahta disaat kenaikan harga sembako di atas kewajaran. Atau pejabat-pejabat lainnya, seperti kepala dinas, gubernur, bupati, walikota, dsb. Semuanya senang jabatan, namun tak mau dikritik apalagi sampai harus turun jabatan. Yang kini terlihat adalah justru ketakbertanggungjawabannya itu malah dipertontonkannya ke muka publik. Seperti perihal berkelitnya Anas Urbaningrum ketika hendak ditangkap oleh KPK beberapa hari yang lalu. Atau keengganan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah untuk melepaskan jabatannya, meski telah menjadi tahanan KPK.

 
Ciri ketiga : Bersikap dan berperilaku feodal

Berikut kutipan mengenai sikap dan perilaku feodal orang Indonesia yang terlihat oleh Mochtar Lubis.

Jiwa feodal ini hidup berkembang dengan cemerlangnya di kalangan atas maupun di kalangan bawah. Di kalangan atas mengharapkan dalam arti kata bahasa Inggris expect. Jadi mengandung unsur keharusan, agar manusia-manusia yang berada “di bawah kedudukannya” baik mengenai kepangkatannya, kekuasaan, kedudukan yang erat kaitannya dengan kepangkatan atau kekayaan mengabdi kepadanya dengan segala rupa cara – patuh, hormat, takut, tepa selira, merendah diri, tahu diri, tahu tempatnya, menerima dan melakukan segala hal yang menyenangkan bagi si bapak. Singkatnya, harus melakukan hal-hal yang ABS, dan menyembunyikan hal-hal yang diketahuinya tidak akan menyenangkan sang bapak.

Nampaknya ciri ketiga ini ditujukan (sekali lagi) kepada kawula-kawula Orde Baru. Pada masa Reformasi, agaknya perilaku seperti ini sudah banyak berkurang. Terlebih sejak diberlakukannya otonomi daerah serta berfungsinya inspektorat jenderal di masing-masing departemen. Di lingkungan pegawai negeri, kini banyak bawahan yang sudah mulai kritis, tak lagi mudah diatur-atur atau tunduk pada atasannya. Sebabnya kini tak ada lagi penguasa yang abadi. Minimal setiap lima tahun posisinya akan bergeser dan dirotasi. Sehingga mereka akan berlomba-lomba menunjukkan kinerja terbaiknya, agar tidak digeser atau termutasi. Di beberapa lingkungan departemen dan Pemda misalnya, remunerasi dan key performance indicator benar-benar telah dijalankan. Oleh karenanya sekarang tak ada lagi istilah “kerja tak kerja memperoleh gaji yang sama”. Akibatnya praktek jilat menjilat, uwuh pakewuh, dan feodalisme, jauh berkurang jika dibandingkan dengan tahun 1977. Justru yang terjadi sekarang ini malah sebaliknya. Anak-anak buah yang sering mencari muka, bisa terhambat karir dan posisinya.

 

Ruhut-Bhatoegana-Ramadhan, trio "pembela" penguasa

Ruhut-Bhatoegana-Ramadhan, trio “pembela” penguasa


Ciri keempat : Percaya takhyul

Mengenai ciri yang keempat ini, takhyul yang dimaksud oleh Mochtar adalah mantera yang pada zaman modern ini tak ubahnya seperti lambang-lambang atau semboyan-semboyan yang dikeramatkan. Coba kita tengok kutipan berikut ini :

Manusia Indonesia juga percaya pada segala rupa hantu, genderuwo, jurig, orang halus, kuntilanak, leak. Gamelan, gong juga ada yang bertuah, dan hanya boleh dimainkan pada waktu-waktu tertentu saja. Likantrofi, kepercayaan, bahwa manusia menjelma dalam binatang, tersebar luas di seluruh Nusantara kita. Di Jawa, ada ilmu ngepet pada orang Sunda dan juga pada orang Jawa, kalau mau kaya manusia menjelma jadi babi, anjing dan sebagainya. Di Sumatera orang percaya pada cindaku atau jadi-jadian. Kepercayaan seperti ini membawa manusia Indonesia jadi tukang bikin lambang. Kita percaya pada jimat dan jampe. […]

Sampai sekarang manusia Indonesia yang modern pun, yang telah bersekolah, telah berpendidikan modern, masih juga terus membuat jimat, mantera dan lambang. Salah seorang dukun lambang yang paling hebat di Indonesia tak lain mendiang bekas presiden Sukarno. Manteranya di zaman Jepang, “Amerika kita seterika, Inggris kita linggis”, cukup lama membikin banyak manusia Indonesia mabuk, bahwa kita memang melakukan demikian, dan kemudian ketika berkuasa sendiri, maka mantera-manteranya tambah hebat, seperti Nekolim, Vivere Pericoloso, Berdikari, Jarek, Usdek, Resopim dan sebagainya. […] Kemudian kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, Orde Baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.

 

Mengenai praktek-praktek takhyul yang masih menjadi budaya manusia Indonesia, saya setuju dengan pendapat Mochtar. Praktek semacam ini tak akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, malah cenderung akan menyengsarakan masyarakat itu sendiri. Sebelum Mochtar Lubis berteriak, sebenarnya Tan Malaka lewat buku Madilog-nya telah memperingatkan hal yang sama. Begitu pula Ahmad Dahlan, melalui kritik kulturalnya ia mencoba memberantas praktek takhyul, khurafat, dan sejenisnya, dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Bagaimana dengan keadaan sekarang? Saya rasa praktek tersebut tak jauh berkurang. Malah makin bertambah subur. Seperti kasus Eyang Subur yang sempat menghiasi dunia infotainment Indonesia di tahun 2013 lalu.

Namun mengenai pendapat Mochtar yang mengatakan bahwa karena sikap takhyul itu manusia Indonesia suka dengan lambang dan semboyan-semboyan, menurut saya tak ada kaitannya. Lambang atau semboyan, lebih kepada simbol pemersatu, sifatnya politis dan lebih kepada rasa kebersamaan. Sehingga dangkal sekali jika kita mengait-kaitkannya dengan unsur klenik. Mungkin Anda pernah mendengar slogan klub sepak bola Liverpool : “You’ll Never Walk Alone” Apa maknanya? Hanya untuk mempersatukan seluruh stakeholder klub tersebut. Tak ada unsur klenik, takhyul, dan sebagainya. Atau semboyan negara Jerman : “Einigkeit und Recht und Freiheit” yang sepadan artinya dengan semboyan yang sering dipekikkan oleh founder fathers kita dulu. Apakah ini muncul karena hal-hal klenik, karena kepercayaan kepada mantera-mantera atau jimat?

 
Ciri kelima : Artistik, berbakat seni

Dari enam ciri manusia Indonesia yang diketengahkan Mochtar, mungkin ini satu-satunya yang bermakna positif. Apa pendapat Mochtar mengenai ciri yang satu ini, berikut cuplikannya :

Karena sikapnya yang memasang roh, sukma, jiwa, tuah dan kekuasaan pada segala benda alam di sekelilingnya, maka manusia Indonesia dekat pada alam. Dia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaannya, dengan perasaan-perasaan sensualnya, dan semua ini mengembangkan daya artistik yang besar dalam dirinya yang dituangkan dalam segala rupa ciptaan artistik dan kerajinan yang sangat indah-indah, dan serbaneka macamnya, variasinya, warna-warninya. Sejak dari ratusan tahun lampau sampai kini hasil daya cipta artistik manusia Indonesia telah diboyong ke luar tanah air kita, dan kini di museum-museum penting Eropa, Amerika dan berbagai negeri lain koleksi tembaga, tenun, batik, patung batu dan kayu, ukiran kayu, tenunan Lampung, Batak, Toraja, Sumba, ukiran Bali, kerajinan perak dan emas, Kalimantan, Maluku, merupakan koleksi yang dibanggakan dan amat digemari. […] Bagi saya ciri artistik manusia Indonesia adalah yang paling menarik dan mempesonakan, dan merupakan sumber dan tumpuan harapan bagi hari depan manusia Indonesia.

Jika kita mengutip kalimat Mochtar yang terakhir, perkiraannya tak seluruhnya tepat. Karena setelah 37 tahun pidatonya berlalu, hingga saat ini industri seni tak menjadi tumpuan utama pendapatan masyarakat Indonesia. Meski dalam Kabinet Indonesia Bersatu sudah ada menteri yang menangani industri kreatif, namun nampaknya hal ini belum banyak menolong. Andai saja para pemangku pemerintahan bangsa ini tak hanya melihat kemampuan artistik manusia Indonesia sebatas membuat patung dan ukir-ukiran saja, mungkin industri kreatif kita sudah melanglang buana. Sebab yang namanya kemampuan artistik di abad ke-21 ini, lebih kepada kemampuan untuk membuat animasi, film, permainan-permainan online, gadget, yang semuanya itu bernilai jual tinggi. Apabila ingin dipetakan kemampuan artistik manusia Indonesia dengan negara lain, saya rasa kita masih jauh tertinggal dari manusia Korea, China, terlebih dengan Jepang dan Amerika.

 
Ciri keenam : Lemah watak atau karakternya

Ciri keenam ini saya melihatnya hanya sebagai konsekuensi atas ciri pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Maksudnya, karena manusia Indonesia itu munafik, enggan bertanggung jawab, suka takhyul, dan feodal, maka jadilah ia manusia yang memiliki watak dan karakter yang lemah. Salah satu contoh kelemahan karakter itu adalah sikap manusia Indonesia yang plin-plan. Hari ini bicara A besok bicara B. Seorang peneliti misalnya sering menjual hasil penelitiannya untuk pesanan pihak tertentu. Seperti beberapa lembaga survei politik yang sering memenangkan calon tertentu, oleh karena yang membayarnya adalah calon tersebut. Atau beberapa tahun yang lalu, kita pernah mendengar Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari berencana ingin menjual virus ke luar negeri. Atau yang cukup aktual adalah pernyataan Ucok Sky Khadafi, seorang peneliti dari LSM Fitra yang menyatakan bahwa Jokowi menghambur-hamburkan anggaran untuk program blusukan. Pernyataannya itu ditengarai karena adanya pesanan pihak tertentu yang hendak menjatuhkan popularitas Gubernur Jakarta itu. Sikap-sikap semacam inilah, yang karena lemah watak dan karakternya rela menggadaikan intelektualitasnya demi sesuap nasi. Orang-orang seperti inilah yang kemudian diistilahkan Mochtar Lubis sebagai “pelacur-pelacur intelektual”.

Jika kita melihat prestasi olahraga Indonesia akhir-akhir ini. Dimana terjadi penurunan perolehan medali emas pada ajang Olimpiade dan Asian Games. Serta pencapaian di arena SEA Games, yang tak pernah lagi menjadi juara umum kecuali ketika menjadi tuan rumah. Boleh jadi hal ini disebabkan karena karakter atlet-atlet, ofisial, pelatih, serta pengurus olah raga kita yang lemah. Begitu pula halnya pada kejuaraan bulu tangkis, baik itu di kompetisi All-England, Sudirman Cup, atau Thomas dan Uber Cup, tak terlihat lagi dominasi Indonesia seperti halnya pada dekade 1970-1990-an. Apakah ini dikarenakan karakter pebulutangkis kita yang kurang terbentuk. Atau jangan-jangan memang Kementerian Olahraga dan Presiden kita yang tak memiliki karakter untuk membangun olahraga Indonesia?

 

Mochtar Lubis (sumber : en.wikipedia.org)

Mochtar Lubis (sumber : en.wikipedia.org)

Di luar keenam ciri tersebut masih ada lagi ciri yang menjadi atribut manusia Indonesia versi Mochtar Lubis. Walau terkesan klise, namun boleh-lah sebagai bahan untuk menertawakan diri sendiri. Ciri-ciri lainnya itu adalah boros, tidak suka bekerja keras, kurang sabar, cepat cemburu, gampang senang dan bangga pada yang hampa, sok, tukang tiru, dan hampir semua sikap buruk yang ada pada diri manusia. Agar lebih menarik, berikut saya kutip pendapat Mochtar mengenai sikap manusia Indonesia yang tak suka bekerja keras, yang menurut saya masih cukup relevan hingga saat ini.

Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa. Gejalanya hari ini adalah cara-cara banyak orang ingin segera menjadi “miliuner seketika”, seperti orang Amerika membuat instant tea, atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi. Orang menjadi pegawai negeri bukan karena didorong rasa hendak mengabdi pada rakyat banyak. Bukan untuk memajukan masyarakat. Hal ini dapat kita nilai betapa enggannya pegawai-pegawai tinggi dan rendah dipindahkan ke luar Pulau Jawa, atau ke luar kota-kota besar. Mereka kini bicara tentang daerah atau tempat kering atau basah, tempat kurus atau gemuk.

Meski pidatonya itu bak menepuk air di dulang terkena muka sendiri, namun begitulah kondisi bangsa Indonesia ketika itu. Dan kinipun nampaknya belum banyak terjadi pergeseran. Walau buku ini mengandung bias, namun tak salah kiranya untuk dibaca dan direnungkan kembali. Buku ini bisa menjadi cermin bagi kita, para birokrat, anggota dewan, politisi, pengacara, dokter, tentara, guru, pegawai negeri sipil, dan aneka profesi lainnya. Dan juga cocok untuk semua kalangan, segala macam strata sosial, etnis, dan agama apapun.

 
Lihat pula :
Mengapa Indonesia Sulit Berkembang ?

Iklan
Komentar
  1. Amberlee berkata:

    That insight solves the problem. Thanks!

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s