Pedagang kaki lima Tanah Abang yang didominasi etnis Minangkabau

Suatu malam dipertengahan tahun 1990, istora Senayan terasa gegap gempita. Bukan karena pertandingan final bulu tangkis Thomas Cup, ataupun konser artis kondang mancanegara. Tapi malam itu, helat besar masyarakat perantau Minang di Jakarta sedang berlangsung. Tak kurang 10.000 orang hadir menyesaki istana olah raga kebanggaan masyarakat Jakarta, termasuk diantaranya tokoh-tokoh Minang yang duduk sebagai elit negeri ini. Tua-muda, anak-anak, dari segala lapisan profesi, berselingkit rapat menyaksikan atraksi budaya, menggalang dana, dan bersenandung bersama menyanyikan lagu-lagu Minang sentimentil. Lepas jam 9 malam, acara rampung digelar. Rombongan perantau itu secara serempak meninggalkan istora. Ribuan mobil mentereng, berjajar tertib meninggalkan parkir timur Senayan. Berjalan keluar melewati Jalan Sudirman, Gatot Subroto, dan akhirnya berserak ke seantero kota. Acara yang disponsori Gebu Minang itu memang berlangsung sederhana. Tetapi gaungnya seolah menyiratkan eksistensi orang-orang Minang di Jakarta Raya.

Di ibu kota negara ini, perantau Minang memang tak seberapa. Dibanding orang Jawa dan Sunda, orang-orang Minang relatif lebih sedikit. Bahkan dengan orang Tionghoa dan Batak sekalipun, mereka masih kalah jumlah. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, perantau Minang hanya berjumlah 3,18% dari seluruh penduduk kota. Namun kehadiran mereka yang selalu tampil kemuka, menjadikannya nampak mencolok. Dalam aneka lapangan kehidupan ibu kota, peran perantau Minang selalu dapat ditemui. Mereka merupakan sedikit dari masyarakat Jakarta yang paling siap mengambil peluang, dan memanfaatkannya sebagai jalan menuju kesuksesan. Mereka terjun dan terlibat serius dalam segala macam profesi dan pekerjaan.

Berdagang

Dari aneka profesi dan pekerjaan yang ditawarkan, berdagang merupakan profesi favorit banyak perantau Minang. Profesi ini sesuai dengan karakter orang Minang yang dinamis dan selalu ingin bebas. Di setiap sudut kota, persimpangan jalan, dan pasar, selalu saja ditemui pedagang Minang menjajakan barang dagangannya. Mereka menjual dan melayani aneka keperluan masyarakat. Mulai dari yang kecil-kecil “bermodalkan dengkul”, seperti membuat stempel, servis jam, cetak foto, penjahit, atau tukang potong rambut. Berjualan baju, kaos kaki, sepatu, obat-obatan, barang antik, atau mainan, banyak pula dilakoni para perantau Minang. Patut menjadi catatan, bisnis tekstil dan aneka usaha turunannya, banyak digeluti oleh pedagang pemula Minangkabau disebabkan adanya kemudahan dalam hal pembelian. Ini bisa terjadi karena banyaknya cukong-cukong Minang yang telah kaya dan berjaya. Menguasai jalur pembuatan hingga distribusi tekstil di seluruh Nusantara.

Restoran Sederhana, jaringan restorang Minang terbesar di Indonesia

Selain memiliki kaitan dengan produsen-produsen tekstil di ranah Minang, orang-orang kaya ini juga menguasai jalur distribusi dan pembelian tekstil produksi Tasikmalaya, Pekalongan, dan Jogjakarta. Kadang ada pula dari mereka yang terjun langsung membuka usaha konveksi, seperti yang banyak terlihat di Pasar Cipulir, Pasar Cipadu, dan sentra industri kecil Pulo Gadung. Adanya induk semang dan sistem apprentice diantara keluarga pedagang, menjamin lahirnya generasi baru pengusaha Minangkabau. Seorang pemuda Minang yang masih muda mentah, setibanya dari kampung halaman akan dibekali barang-barang dagangan yang bisa dibayarkan setelah laku terjual. Mereka juga diberikan sedikit wejangan berupa teknik-teknik berdagang dan gambaran pasar secara umum. Keadaan seperti ini banyak terjadi di Tanah Abang. Dimana pemuda-pemuda Minang yang berjualan kaki lima di sepanjang Jalan Mas Mansyur hingga jembatan Bongkaran, mendapatkan barang-barang dagangan dari induk semang mereka yang telah mapan dan berjualan di dalam toko. Induk semang ini biasanya famili mereka sendiri. Atau orang-orang satu kampung yang telah lama berbisnis di ibu kota. Dengan kemudahan seperti ini, tak salah kiranya jika badan jalan dan trotoar seantero Jakarta dikuasai oleh pedagang-pedagang muda Minangkabau.

Selain berdagang kecil-kecilan, banyak pula pedagang Minang yang menggeluti bisnis menengah. Seperti jual-beli emas, dealer kendaraan bermotor, membuka restoran, penerbitan buku, atau usaha percetakan. Menurut catatan yang dihimpun oleh Mochtar Naim, 40% usaha penerbitan buku nasional dipegang oleh pengusaha-pengusaha asal Minang, yang sebagian besar mereka berkantor di ibu kota. Selain banyaknya karya-karya penulis Minang yang harus diorbitkan, bisnis penerbitan buku sangat sesuai dengan jiwa orang Minang yang haus pengetahuan. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, penerbit buku terbesar Balai Pustaka sering dipimpin oleh orang-orang Minang. Pengalaman bekerja dan berkenalan dengan orang Balai Pustaka inilah yang menjadi bekal mereka untuk terjun diusaha penerbitan.

Di seluruh Nusantara, bisnis rumah makan merupakan keahlian orang Minang yang cukup populer. Selain cita rasa masakannya yang cocok bagi lidah semua orang, sistem bisnis rumah makan Padang yang unik itu, telah menjadikannya bertahan hingga bertahun-tahun. Dalam usaha rumah makan Padang, tak dikenal adanya pemilik tunggal. Setiap karyawan akan dilibatkan dalam pengelolaan bisnis, sekaligus juga menjadi pemiliknya. Keuntungan dan jenjang karir ditentukan dari seberapa besar peran mereka dalam usaha tersebut (Lihat : Restoran Padang dan Seni Kuliner Minangkabau). Rumah makan Padang yang berserakan di serata kota Jakarta, dari mal-mal mewah hingga sudut-sudut kompleks perumahan, ternyata memberikan multiplier effect bagi pengusaha peternakan dan agrobisnis. Dewasa ini, ada enam jaringan restoran Minang yang saing-menyaingi : Sederhana, Sari Ratu, Simpang Raya, Natrabu, Garuda, serta Pagi Sore. Semuanya bermain di segmen kelas menengah yang memiliki pelanggan fanatik masing-masing. Selain itu, masih ada lagi beberapa restoran Minang kelas menengah yang cabangnya tak seberapa, seperti restoran Sari Bundo dan Sarimande Metropolitan.

Universitas Persada Indonesia milik pengusaha Minang

Di samping restorang Padang yang menjual aneka lauk-pauk, adapula usaha makanan yang menjual khusus satu jenis penganan. Semisal martabak, es campur, soto padang, lontong padang, dan sate padang. Mereka biasa berjualan di pasar-pasar tradisional, seperti Pasar Jatinegara, Blok M, Tanah Abang, dan Bendungan Hilir. Selain itu di Jalan Kramat Raya dekat Pasar Senen, banyak pula dijumpai pedagang-pedagang Minang yang menjual penganan khas Minangkabau, seperti lamang, lapek bugih, bubur kampiun, dan sarikayo. Diantara banyak pedagang martabak asal Minang, baru Martabak Kubang-lah yang telah naik kelas hingga ke level resto. Yusri Darwis, pengusaha asal nagari Kubang, Lima Puluh Kota ini telah berhasil mengubah imej usaha martabak. Dari biasanya yang dijual menggunakan gerobak, menjadi makanan ringan yang disajikan di dalam resto ber-AC.

Pengusaha pasar swalayan Tip Top, Rusman Maamoer, juga merupakan pengusaha Minangkabau yang berhasil naik kelas. Tip Top yang menggarap pasar menengah, terkenal sebagai toko serba ada dengan harga cukup miring. Oleh karena itulah, walaupun Jakarta diserbu banyak hypermarket asing seperti Carrefour dan Giant, pelanggan Tip Top tidak pernah surut dan malah bertambah banyak. Disamping Rusman, pengusaha kosmetik Nurhayati Subakat juga bisa dibilang telah naik kelas. Merek kosmetiknya Wardah yang bermula dari usaha rumahan, kini telah merambah ke seluruh Nusantara. Beberapa pengusaha pendidikan asal Minangkabau, juga berhasil menapaki tangga teratas. Mereka antara lain Julius Sukur pemilik Universitas Persada Indonesia YAI, Muslim Taher pemilik Universitas Jayabaya, dan Bashir Barthos pemilik Universitas Borobudur. Ketiganya memulai usaha dari sebuah kursus yang memanfaatkan ruang sekolah serta rumah yang tak terpakai.

Diantara pengusaha Minangkabau, banyak pula yang menjalani bisnis papan atas. Hingga ada beberapa perusahaan yang telah mencatatakan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Walaupun usaha mereka belumlah sebanyak dan sebesar orang-orang Tionghoa, namun kehadiran mereka dalam lanskap bisnis Indonesia, memberikan kesan tersendiri : bahwa pribumi Indonesia masih ada dan mampu bersaing dengan pengusaha Tionghoa. Dari beberapa usaha papan atas yang mereka geluti, bisnis hotel, rumah sakit, pendidikan, properti, dan media yang bisa dianggap sukses. Beberapa media milik orang Minang, seperti Femina Grup dan Kartini Grup, sempat menjadi usaha media yang terdepan, dengan wilayah sirkulasi hingga mancanegara. Di bidang kesehatan, Rumah Sakit Bunda yang didirikan oleh dr. Rizal Sini, merupakan salah satu rumah sakit terbaik di Jakarta.

Bisnis hotel dan penginapan juga menjadi ladang uang bagi banyak pengusaha Minang. Salah seorang pengusaha Minang yang memiliki jaringan cukup besar ialah Amir Rasydin Datuk Basa. Dia merupakan pemilik Menteng Group Hotel, yang meliputi Hotel Grand Menteng, Hotel Royal Kuningan, Hotel Oasis Amir, Hotel Sentral, serta Hotel Maharadja. Beberapa hotel besar lainnya milik orang Minang antara lain Hotel Sofyan, Hotel Treva, dan Hotel Ambhara. Seperti halnya bisnis rumah makan, bisnis hotel dan penginapan juga mengutamakan lokasi yang strategis. Oleh karenanya banyak pengusaha Minang yang membuka hotel serta penginapan di dekat-dekat terminal dan stasiun. Mereka menganggap, orang-orang yang tiba di malam hari, membutuhkan penginapan yang murah dan mudah dijangkau. Seperti halnya penginapan Dariza Jaya di seberang terminal Pulo Gadung, yang menawarkan penginapan murah untuk semalam.

Hotel Grand Menteng, Jakarta

Selain yang dikelola pengusaha Minang, di Jakarta ada pula hotel yang dimanajemeni oleh pemerintah Sumatera Barat. Jika Anda berjalan dari arah Senen ataupun Jatinegara, melintasi koridor Matraman-Salemba Raya, maka Anda akan melihat sebuah bangunan setinggi 40 meter dengan atap bergonjong. Bangunan itu adalah Hotel Balairung milik pemda Sumatera Barat. Selain sebagai tempat penginapan, gedung setinggi 12 lantai itu juga berfungsi sebagai tempat pertemuan serta kantor perwakilan Sumatera Barat di Jakarta. Seperti halnya di Kuala Lumpur, Seremban, dan Surabaya, tegaknya bangunan bergonjong di pusat bisnis Jakarta telah memberikan kesan besarnya pengaruh serta kemampuan perantau Minang di kota metropolitan ini.

Dari ratusan ribu perantau Minang di Jakarta, hanya beberapa orang saja yang muncul sebagai konglomerat. Jika jaman Orde Lama ada Hasyim Ning, Rahman Tamin, dan Sidi Tando, maka dewasa ini Abdul Latief, Rukmini Zainal Abidin, Oesman Sapta Odang, dan Fahmi Idris, muncul sebagai pengusaha Minang yang memiliki banyak perusahaan. Abdul Latief, yang juga mantan Menteri Tenaga Kerja pada masa Orde Baru, memiliki bisnis televisi Lativi (kini TV One), dua toko ritel Pasaraya, Hotel Ambhara, serta beberapa bisnis periklanan dan keuangan di bawah bendera ALatief Corporation. Oesman Sapta di bawah bendera OSO Group, dikenal sebagai pengusaha pertambangan, perkebunan, hotel, dan keuangan. Rukmini, bergelut diusaha farmasi, serta pemilik jaringan Apotek Tunggal. Sedangkan Fahmi Idris tergabung dalam konglomerasi Kongsi Delapan (Kodel).

Iklan
Komentar
  1. Dedhy Kasamuddin berkata:

    Assalamu ‘alaikum mas.

    Salam kenal yah, saya abis mampir ke Blog mas, dan blog mas sangat bagus dan bermanfaat.

    Dan betapa senangnya saya, apabila mas mau mampir juga ke blog saya, sekalian saling menjalin silaturahmi sesama Blogger.

    Alamat Blog saya: http://bendeddy.wordpress.com

    Salam kenal,
    Dedhy Kasamuddin

    Suka

    • afandri81 berkata:

      Salam kenal mas Dedhy. Senang berkenalan dengan Anda. Saya akan berusaha menjalin silaturahmi dan menyambangi blog besutan Anda. Tks atas kunjungannya, ke blog yang sederhana ini.

      Salam

      Suka

  2. r.tuangku berkata:

    syukurlah klu bgtu.tapi gak ada efek nya….bagi ambo nan ndak ba modal ko……

    Suka

  3. Chiffa berkata:

    gak salah tuh… bangunan bergonjong d matraman itu bukan kantor perwakilan sumbar?

    Suka

    • Afandri Adya berkata:

      Betul Chiffa, bangunan bergonjong di Matraman itu kantor perwakilan Sumbar. Memang ada sedikit kesalahan dalam redaksi kalimat pada paragraf itu. Terima kasih atas koreksinya. Namun bangunan baru bergonjong itu, selain diperuntukan sebagai balai pertemuan warga Minangkabau, juga berfungsi sebagai hotel dengan 77 kamar tersedia.

      Suka

  4. mampir dong kalo lagi di jakarta,, hehe

    Suka

  5. Zainal Arif Purwadi berkata:

    Koq cuma membahas perantau Minang di Jakarta? Gak cerita perantau Minang di Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, ataupun Papua?

    Suka

  6. vikievendri berkata:

    apo nan ka di buek ko ha.. slam bakatahuan ce lah Da.. dek ambo sadang bakureh paluah kini tu mangko jalan silahturahmi antaro sasamo rang awak khususnyo nan ado dirantau

    Suka

  7. yati berkata:

    yo binguang mancari karajo di jakarta kalau ndak ad dunsanak,

    Suka

  8. meidy berkata:

    ado group WA nyo ndak sanak ?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s