Sejak dibukanya jalan tol Cipularang, Bandung telah menjadi destinasi favorit masyarakat Jakarta. Di akhir pekan, tak kurang dari seribu kendaraan warga Jakarta, datang berbondong-bondong memenuhi obyek-obyek wisata kota ini. Bandung yang menjadi ibu kota propinsi Jawa Barat, terletak diketinggian 768 meter di atas permukaan laut. Topografinya yang diapit dua buah gunung, memberikan kesejukan bagi para penghuninya. Selain udaranya yang sejuk, Bandung juga memiliki pemandangan alam yang menawan. Beberapa obyek wisata alam yang banyak dikunjungi pelancong antara lain Maribaya, Ciater, Dago Pakar, dan Gunung Tangkuban Perahu. Jauh ke selatan, ada pula kebun teh Rancaekek serta Ciwidey yang tak kalah menariknya. Serta Situ Patengan dan Kawah Putih, yang juga menawarkan sensasi alam menakjubkan.
Pariwisata Bandung, kini tak hanya sekedar pemandangan alam dan udaranya yang sejuk. Namun ia telah bermetamorfosis menjadi sebuah surga belanja, yang menawarkan berbagai macam model fesyen. Dari sepatu, baju, tas, hingga ke perhiasan. Tak hanya itu. Bagi Anda yang menyukai wisata kuliner, Bandung juga menyediakan aneka jajanan khas kota kembang. Seperti batagor, siomay, es durian, dan kue-roti buatan lokal.
Tol Cipularang
Diresmikannya tol Cipularang pada tahun 2005 lalu, merupakan terobosan luar biasa. Dengan dibukanya akses ini, jarak Jakarta-Bandung jauh lebih terpangkas. Jika sebelumnya waktu tempuh kedua kota mencapai 4-5 jam, maka kini hanya memakan waktu 2 jam. Jaraknya-pun lebih pendek 50 km, dari sebelumnya yang mencapai 180 km. Dibukanya tol Cipularang, memberikan manfaat besar bagi masyarakat kedua kota. Bagi warga Jakarta, kini berwisata ke Bandung tak perlu harus menginap. Pergi pagi pulang senja, berkeliling satu hari penuh, sudah bisa memenuhi kebutuhan mereka. Di sisi lain, kehadiran Cipularang juga mempercepat pertumbuhan ekonomi Bandung dan sekitarnya. Bayangkan saja, sejak dibukanya akses ini, rumah-rumah mode banyak berdiri di seantero kota. Tak terbatas di pusat kota saja, yang sejak dulu memang banyak berdiri outlet mewah. Di daerah pinggiran-pun, distro-distro dengan dagangan yang tak seberapa banyak pula bermunculan.
Namun disamping memberikan keuntungan, kehadiran Cipularang juga banyak mematikan industri lain. Seperti perihal ditutupnya pelayanan kereta api Parahyangan, yang kalah bersaing dengan travel-travel cepat. Pada tahun 2009, Parahyangan merugi hingga Rp 36 miliar. Tujuh gerbong yang biasa berjalan dari Stasiun Kebun Kawung – Gambir pulang pergi, banyak yang melompong dibanding terisi. Parahyangan hanya penuh di akhir pekan. Oleh masyarakat urban yang ulang-alik setiap Jumat sore dan Senin pagi. Meskipun Parahyangan telah menurunkan tiket dan meningkatkan pelayanannya, tetap saja masyarakat memilih lewat Cipularang.
Selain merugikan PT KAI, Cipularang juga mematikan rumah-rumah makan yang berada disepanjang jalur Puncak – Cianjur, serta Sadang – Padalarang. Sebelum tol ini dibuka, restoran-restoran di lintasan Ciawi hingga Cianjur, tak pernah sepi pengunjung. Sebut saja misalnya restoran Rindu Alam, yang membuka dua cabangnya di Puncak Pass serta Cipanas. Sejak 2005, omset kedua restoran itu melorot hingga sepertiganya. Rumah-rumah makan tradisional Sunda di jalur Sadang – Padalarang, lebih tragis lagi nasibnya. Mereka kehilangan pemasukan hingga separuh lebih. Pelanggannya yang kebanyakan supir-supir truk dan bus AKAP, kini tak lagi singgah di rumah makan mereka.
Fesyen dan Makanan
Ramainya warga Jakarta yang melancong di akhir pekan, ternyata memberi berkah tersendiri bagi para pengusaha lokal. Orang-orang Jakarta yang berduit, banyak membelanjakan uang mereka disini. Terkadang royal dan hampir tak mengenal batas. Mereka yang gila belanja itu, memang telah mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk aktifitas refreshing di akhir pekan. Sehingga tak mengherankan ketika weekend, banyak produk factory outlet dan resto terkenal disini, ludes dilahap sophaholic ibu kota. Harga berapapun serasa tak masalah. Asal produk yang didapat berkualitas dan mampu memenuhi cita rasa mereka.
Di Bandung, fesyen dan makanan menjadi industri yang berkembang pesat. Tengoklah di sepanjang Jl. Setia Budi, Jl. Ir. Juanda, Jl. Merdeka, terus ke Jl. Riau, hingga kawasan Braga, semuanya dipenuhi outlet dan resto yang selalu menarik para pelancong. Diskon dan perang harga-pun jamak terjadi diantara mereka. Terlebih ketika hari-hari besar nasional. Fesyen asal Bandung memang sedikit berbeda dari kota-kota lain di Indonesia. Selain harganya yang murah, modelnya-pun tak kalah rancak dari baju buatan luar negeri. Disini, untuk satu potong baju wanita model terbaru, biasa dibanderol dengan harga Rp 150.000 sampai Rp 300.000. Jika dibandingkan produk-produk asing — seperti : Louis Vuitton, Giorgio Armani, atau Prada — yang bisa mencapai angka satu juta rupiah, produk fesyen asal Bandung jelas lebih bersaing. Tak heran kiranya jika banyak importir asal Singapura dan Malaysia, memborong produk fesyen Bandung untuk dijual kembali di negerinya.
Dari beberapa merek fesyen Bandung, C-59 salah satu yang paling sukses. Brand besutan Marius Widyarto itu bermula dari gang sempit Caladi No. 59. Keunggulan merek ini adalah desainnya yang beraneka rupa, serta bahannya yang enak dipakai. Sehingga tak salah jika banyak kawula muda yang memakai barang produksi C-59. Setelah sukses menjadi ikon fesyen Bandung, dan membuka gerai diberbagai kota tanah air, kini C-59 membentangkan sayapnya hingga mancanegara. Disamping membuka showroom sendiri, produk C-59 juga dijual di jaringan toko retail, seperti Matahari dan Metro Dept. store.
Untuk urusan makanan, Bandung tak kalah menariknya. Selain masakan Sunda, disini banyak pula ditawarkan aneka rupa makanan ringan. Batagor dan siomay, merupakan dua kudapan yang paling sering dicari para turis. Kudapan yang dipengaruhi oleh kultur China ini, banyak dijumpai di tepi-tepi jalan. Dari yang berjualan dengan gerobak, hingga yang di muka teras rumah. Ketika senja tiba, jagung dan roti bakar aneka rasa, berganti memenuhi badan jalan. Untuk kue dan roti, Kartika Sari rajanya. Toko ini tidak membuka cabang di luar Bandung, begitu pesan yang tertera di plastik pembungkusnya. Beraneka macam kudapan dengan aroma memikat, tersedia di toko ini. Dari roti bolen, cheese roll, sampai kue tart berlapis krim keju dan coklat. Amanda, merek lainnya, khusus menjual brownis kukus. Walau banyak Amanda-Amanda liar yang dijual orang di pinggir jalan, namun Amanda yang asli tetap tak tertandingi. Selain rasa coklat orisinal, kini tersedia pula empat rasa cheese cream, blueberry, tiramisu, dan choco marble sebagai topping. Saat ini, harga satu kotak brownis kukus Amanda berkisar antara Rp 19.000 – Rp 29.000. Berkat citra rasanya yang elok, kedua merek tersebut berhasil meraih predikat sebagai oleh-oleh khas kota kembang.
Dari Dago hingga Braga
Siapa yang tak kenal Dago. Jalan dua jalur selebar 15 meter, yang membelah Bandung dari utara ke tengah kota. Walau namanya telah berganti menjadi Jl. Ir. H. Juanda, namun masyarakat tetap menyebutnya Jl. Dago. Dibanding protokol lain di kota Bandung, Dago termasuk yang terpanjang. Membentang sejauh 2,5 km dari terminal Dago hingga simpang Jl. Martadinata, Dago masih menyisakan bangunan berarsitekturkan art deco. Dahulu kala, Dago terkenal sebagai tempat tinggal orang-orang Belanda. Wilayahnya yang asri dan berada di pusat kota, menjadikannya sebagai tempat hunian favorit kaum berduit. Seiring perkembangan kota, banyak dari rumah-rumah tersebut yang kini mengubah fungsinya menjadi tempat komersial. Distro, rumah makan cepat saji, kafe, serta hotel-hotel berbintang, telah mengubah wajah Dago yang tenteram dan damai.
Jalan Braga, menyimpan sejuta sejarah dan kebanggaan. Sebelum kawasan Dago muncul, hanya Braga-lah lokasi mangkal muda-mudi Bandung. Di tempat inilah dulu, ratusan mojang dan jejaka saling beradu pandang. Menjual tampang dan aksi, untuk menunjukkan eksistensi. Braga sendiri berasal dari kata Ngabraga, yang dalam bahasa prokem berarti nampang, bergaya, atau mejeng. Ruas Jl. Braga sepanjang 500 meter, memang asik untuk tempat rendezvous dan window shopping. Resto-resto bergaya klasik, banyak menyuguhkan aneka kudapan dan kopi yang menyegarkan. Di siang hari, para seniman Bandung tumpah ruah di tepi jalan. Mereka menjajakan aneka lukisan dari berbagai aliran. Terbenamnya matahari tak menyurutkan aktifitas kawasan Braga. Segerombolan anak-anak motor mulai berdatangan dari berbagai arah. Mereka berkumpul disini sambil berbagi cerita. Mengenai aktivitas anak muda dan seputaran pernak-pernik motor. Kadang kalau cuaca sedang bagus, mereka berangkat berkeliling kota. Memacu tunggangan hingga batas yang tak dibolehkan. Geng motor, biasa mereka disebut, kini banyak meresahkan warga Bandung dan wisatawan yang datang berkunjung.
Semrawut
Bandung sangat ramai. Terlebih lagi ketika akhir pekan dan pakansi anak sekolah. Saat ini saja, Bandung dihuni oleh sekitar 2,3 juta kepala. Plus turis-turis lokal dari Jakarta, populasinya bisa mencapai 2,5 juta orang. Pemerintah kolonial nampaknya tak mendesain Bandung untuk dihuni oleh penduduk sebanyak itu. Buktinya, jalan-jalan utama yang ada di kota ini, tak selebar kota besar lainnya di Indonesia. Tengok saja Jl. Asia Afrika yang menjadi landmark kota Bandung. Ruas ini hanya satu jalur ke arah barat dengan lebar tak lebih dari 20 meter. Tak ada pepohonan rindang yang tertanam di kiri-kanan jalan. Pedestrian untuk para pejalan kaki-pun, tak terlampau lebar. Dan terkadang masih harus berebut dengan para pedagang kaki lima.
Kesan sempit dan semrawut, jelas terasa ketika kita melintasi jalan-jalan utama kota ini. Bangunan tak berhalaman, dengan pintu masuk di muka jalan, banyak menghiasi kota yang berjuluk Paris van Java itu. Kesemrawutan makin menjadi-jadi, karena tak adanya lahan parkir yang bisa menampung pengunjung pusat keramaian. Di ruas Jl. Cihampelas misalnya, wisatawan yang hendak berbelanja kerap mengalami kesulitan untuk memarkir kendaraan. Terpaksalah jalan yang sudah sempit itu, diambil sebagian untuk menjadi arena parkir dadakan. Angkot-angkot yang sembarang berhenti, menambah ruwetnya lalu lintas kota. Di Jl. Sukajadi, tepatnya depan Paris Van Java Mall (PVJ), keadaannya setali tiga uang. Mobil-mobil pengunjung yang tak kebagian parkir di dalam, sering seenaknya membuat parkiran di badan jalan. Hal ini kerap menyulitkan kendaraan yang hendak menuju Ledeng dan kawasan Lembang. Untuk mengurangi padatnya lalu lintas, pemerintah membangun fly over Pasupati yang membentang sejauh 2,5 km dari Terusan Pasteur hingga Jl. Suropati. Dengan dibangunnya jalan layang ini, diharapkan mampu mengurangi kemacetan yang kerap terjadi di seputaran kota.
Lihat pula :
1. Jalan-jalan ke Bandung : Dari Fesyen, Kuliner, hingga Saung Udjo