Usai sudah pesta akbar empat tahunan FIFA World Cup 2010, dengan keluarnya pengusung sepak bola menyerang sebagai juara : Spanyol ! Selama satu bulan penuh, para pecinta sepak bola dunia telah dihibur oleh sajian bermutu tinggi, permainan level satu yang diperagakan oleh bintang-bintang kelas dunia. Walau terdapat intrik, gol-gol berbau offside, hingga pengadil lapangan yang kurang jeli dalam melihat, namun secara keseluruhan Piala Dunia Afrika Selatan 2010 berlangsung baik. Sampai malam puncak pertandingan final, tak ada insiden dan keributan yang cukup berarti.
Pertandingan final mempertemukan dua kekuatan Eropa, Spanyol vs Belanda. Spanyol yang selama ini tampil kurang meyakinkan, malam ini (12 Juli 2010 WIB) bermain sangat luar biasa. Diisi oleh sebagian besar pemain-pemain muda nan enerjik, Spanyol tampil seperti lebah yang menyengat. Bermain lepas, fly, dengan passing-passing pendek yang cukup akurat, Spanyol kerap kali membahayakan gawang Belanda. Sejak peluit babak pertama dibunyikan, tridente maut Spanyol, Xavi, Iniesta, dan David Villa, telah menebar ancaman. Diselingi aksi-aksi Sergio Ramos dan Xabi Alonso, serta permainan apik Carles Puyol, praktis Spanyol menguasai pertandingan malam ini. Ball possession : 57% berbanding 43% untuk keunggulan Spanyol. Walaupun permainan agak keras menjurus kasar, namun secara keseluruhan pertandingan malam ini enak ditonton. 13 kartu kuning dan 1 kartu merah, mewarnai pertandingan yang dipimpin oleh wasit Howard Webb asal Inggris.
Kemenangan Sepak Bola Menyerang
Banyak pengamat berpendapat, Spanyol 2010 tak ubahnya klub Barcelona yang menjuarai Liga Champions tahun lalu. Hal ini ditandai dengan banyaknya anak-anak Barcelona yang masuk ke dalam skuad La Furia Roja. Dimana dari sebelas pemain inti Spanyol, tujuh diantaranya merupakan para pemain F.C. Barcelona. Mereka adalah : Xavi, Iniesta, dan Busquets di lapangan tengah, Pique dan Puyol di posisi belakang, serta David Villa dan Pedro Rodriguez sebagai striker. Selain itu gaya permainan menyerang ala The Catalans, juga dipercaya sebagai kunci kemenangan Spanyol kali ini.
Dibandingkan dengan Real Madrid yang cenderung pragmatis, Barcelona memang lebih mengedepankan ideologi menyerang dalam bermain. Adalah Rinus Michels dan kemudian Johan Cruyff — melatih Barcelona pada periode 1971-1978 dan 1988-1996 — yang mengajarkan anak-anak L’equip blaugrana seni bermain bola menyerang dan bertahan sekaligus. Gaya permainan yang dikenal dengan istilah total football ini, sebenarnya adalah ciptaan orang-orang Belanda. Namun lewat para pelatih berkebangsaan Belanda yang banyak menukangi klub-klub Eropa, pola tesebut dibawa dan dikembangkan. Selain klub-klub asal negeri kincir angin, Barcelona merupakan tim paling setia dengan gaya permainan tersebut. Setelah 30 tahun mendarah daging, total football berhasil membawa Spanyol keluar sebagai juara dunia untuk kali yang pertama. Dan di partai final, justru sang guru-lah yang berhasil mereka taklukkan.
Belanda benar-benar sial. Setelah ketigakalinya tampil di partai puncak, tak satupun gelar dunia yang berhasil mereka raih. Julukan The Best Team Never Win The Cup, terasa benar-benar melekat di dalam tubuh tim yang mengenakan kostum warna jeruk itu. Pada perhelatan kali ini, Belanda tampil cukup memukau. Setelah melibas Denmark 2-0, Jepang 1-0, dan Kamerun 2-1 di babak penyisihan. Belanda menekuk Slovakia 2-1 di babak enam belas besar, kemudian lolos dari lubang jarum Brazil 2-1. Di babak semi final, pemain-pemain asuhan Bert van Marwijk mendikte jalannya pertandingan, dan membekap Uruguay 3-2.
Secara kolektif Belanda adalah tim super, dengan pemain bintang yang masing-masing mampu memainkan perannya. Kehadiran Arjen Robben dan Wesley Sneijder di kubu Belanda, seharusnya cukup membawa mereka menjadi yang terbaik. Robben dan Sneijder, yang bermain apik di sepanjang turnamen, menjadi pilar bagi kedua klub finalis Liga Champions musim lalu, Bayern Muenchen dan Inter Milan. Dalam menghadapi Brazil yang bermain cepat dan menggebrak, Belanda tak kehilangan akal. Setelah tertinggal 1-0 sejak menit ke-10, Belanda tampil tak hanya mengandalkan skill bermain. Kepintaran menarik perhatian wasit, menjadi senjata tambahan untuk memenangkan pertarungan. Diving-diving pemain Belanda yang sering diperankan Robben, beberapa kali memancing pemain-pemain Brazil. Provokasi itu cukup berhasil, dengan dikeluarkannya Felipe Melo pada menit ke-73. Bermain dengan sepuluh orang di 18 menit waktu yang tersisa, tak cukup untuk Brazil menyusul ketertinggalannya. Hingga peluit akhir dibunyikan, skor 2-1 bertahan untuk kemenangan Belanda.
Kecemerlangan mereka mencapai anti-klimaks di partai puncak. Kehebatan trisula Belanda, Sneijder, Robben, dan Van Persie tak bertuah malam ini. Dua tendangan Robben yang sudah head to head dengan Iker Casillas, terpental tipis ke pinggir gawang Spanyol. Gol Andres Iniesta di menit ke-116, telah membuyarkan mimpi-mimpi Belanda selama ini. Gol semata wayang itu tidak hanya mengantarkan Spanyol ke dalam jajaran elit sepak bola dunia, namun juga memberikan pelajaran tentang pentingnya sepak bola menyerang.
Tim-tim Amerika Latin
Ketika babak perdelapan final digelar, banyak pengamat mengira bahwa akan terjadi all-Latin American semi final. Ini merujuk dari sempurnanya penampilan tim-tim Amerika Latin yang semuanya melenggang ke fase knock-out. Kecuali Cile yang hanya di urutan kedua, Brazil, Argentina, Paraguay, dan Uruguay, keluar sebagai juara grup. Keempat tim terakhir melaju mulus hingga ke babak delapan besar. Di babak ini, dominasi Amerika Latin mulai memudar. Dua negara yang diperkirakan akan tampil di final, yakni Brazil dan Argentina, ditekuk lawan mereka masing-masing. Jika Brazil hanya kalah tipis 2-1 dari Belanda, maka Argentina dicukur habis Jerman 4-0. Bermain seperti ayam sayur, tim Tango tidak berdaya meladeni permainan cepat Philipp Lahm dan kawan-kawan. Walau Argentina diperkuat striker-striker hebat macam Lionel Messi, Higuain, dan Carlos Tevez, namun buruknya penampilan Demichelis dan Heinze dalam mengawal pertahanan La Albiceleste , memudahkan pemain-pemain Jerman untuk menceploskan gol. Tiga menit pertandingan berjalan, Thomas Muller langsung menyentak anak-anak Argentina. Gol cepat Muller bagaikan racun yang membunuh gairah bermain Argentina. Di babak kedua, keperkasaan Jerman semakin menjadi-jadi. Tiga gol yang disarangkan Klose (68′ dan 89′) dan Friedrich (74′), melengkapi kemenangan Jerman 4-0.
Uruguay menjadi tim Amerika Latin terakhir yang tersingkir. Pertarungan mereka melawan Ghana di babak perempat final, menjadi partai paling dramatis di sepanjang turnamen. Uruguay yang tertinggal lebih dahulu, berhasil menyamakan kedudukan pada menit 55. Lewat kaki Diego Forlan, bola tendangan bebas mengubah kedudukan menjadi 1-1. Malapetaka terjadi di akhir babak perpanjangan waktu. Kemelut di daerah pertahanan Uruguay, dua kali berhasil ditepis Suarez yang berdiri meronda di depan gawang. Namun tepisan terakhir yang menggunakan tangan, berakibat di kartumerahkannya ia oleh wasit. Pelanggaran ini sekaligus menghadiahkan Ghana tendangan dua belas pas. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, kemenangan Ghana yang sudah di depan mata, menjadi buyar setelah Asamoah Gyan gagal mengeksekusi penalti. Skor 1-1 akhirnya bertahan hingga wasit meniupkan peluit panjang. Dan untuk menentukan tim yang berhak maju ke babak selanjutnya, adu penalti-pun terpaksa digelar. Lagi-lagi Ghana bernasib sial. Dua eksekutor mereka, Mensah dan Adiyah, gagal menceploskan bola ke gawang lawan. Tendangannya berhasil ditangkis kiper Uruguay, Fernando Muslera. Jadilah kegagalan ini menjadi tangisan seluruh masyarakat Afrika, yang sejak babak perdelapan final hanya diwakili Ghana.
Uruguay memang tak bisa melangkah lebih jauh lagi. Mereka harus puas finish di posisi keempat. Namun keberhasilan Diego Forlan meraih gelar pemain terbaik di sepanjang turnamen, mengobati kekecewaan tim-tim Amerika Latin yang bisa dibilang gagal pada kompetisi kali ini. Kemenangan Spanyol pada Piala Dunia 2010, telah memposisikan UEFA (Eropa) di atas zona Conmebol (Amerika Selatan). Raihan ini sekaligus menghapus kesan jago kandang yang disematkan kepada tim-tim Eropa selama ini. Sebelumnya, dalam delapan belas kali penyelenggaraan Piala Dunia, baru Brazil dan Argentina-lah yang berhasil menjadi juara ketika turnamen diselenggarakan di luar zona mereka. Brazil dua kali juara ketika di Swedia 1958 (UEFA) dan Korea-Jepang 2002 (AFC), sedangkan Argentina menjadi pemuncak di Meksiko 1986 (Concacaf).
Persaingan di Masa Mendatang
Bertindaknya Brazil sebagai tuan rumah Piala Dunia 2014, memberi kesempatan kepada tim-tim Amerika Latin untuk mengejar ketertinggalan mereka dari Eropa. Walau hal ini tak sulit digapai, namun tak munculnya kekuatan baru di tubuh persepakbolaan Amerika Latin, membuat persaingan di masa mendatang agak berat sebelah. Dalam 60 tahun terakhir, hanya dua kekuatan Latin yang mendominasi dunia, Argentina dan Brazil. Sedangkan Eropa, yang selalu diuntungkan dengan tempat penyelenggaraan dan jumlah partisipan, terus melahirkan kekuatan-kekuatan baru. Setelah Prancis dan Spanyol, boleh jadi tim-tim lain di Eropa akan ikut menyusul sebagai jawara baru sepak bola dunia. Mungkin saja Belanda, atau Ceko, atau Portugal.
Untuk tim-tim Asia dan Afrika, agaknya membutuhkan waktu 50 tahun lagi agar menjadi kekuatan sepak bola jagat raya. Tak adanya kesebelasan Asia dan Afrika menembus babak empat besar di turnamen kali ini, mengindikasikan masih jauhnya pencapaian mereka dibanding tim-tim Amerika Latin dan Eropa. Sebenarnya dalam 20 tahun terakhir, telah banyak pemain-pemain asal Afrika yang malang melintang di klub-klub elit Eropa. Bahkan kehadiran mereka disana, tak sekedar sebagai pemanis klub. Pemain-pemain bertalenta macam Essien dan Muntari (Ghana), Eto’o (Kamerun), Adebayor (Togo), Drogba dan Toure (Pantai Gading), serta Keita dan Diarra (Mali), sering menjadi pilar kemenangan klub-klub besar Eropa. Kurangnya profesionalitas negara-negara Afrika dalam menangani sebuah tim, mengakibatkan tidak bersinarnya talenta-talenta besar tersebut kala bergabung dengan tim nasional mereka.
Jika dilihat dari prestasi dan kemampuan bermain, pesepak bola asal Asia mungkin tak semengkilap pemain-pemain Afrika. Yang paling sukses mungkin hanya Park Ji-Sung dari Korea Selatan yang bermain untuk klub Manchester United (MU). Di MU-pun, posisi Ji-Sung jarang sebagai starting eleven. Namun prestasi Korea Selatan yang pernah mencapai babak semi final, menjadi catatan tersendiri bagi sepak bola Asia. Kemampuan negara-negara maju di Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, dan Australia, dalam memenej sebuah tim, menempatkan mereka berada satu tingkat di atas tim-tim Afrika. Ke depan, mungkin hanya tim-tim yang dikelola secara serius yang akan keluar sebagai pemuncak dunia. Seperti halnya Spanyol yang keluar sebagai jawara dunia, lewat kompetisi super ketat La Liga.
Ketika piala dunia selesai maka tak terdengar lagi orang berteriak gooool tengah malam tapi mereka berteriak zzzzzzzzzzzzzzzzzz
SukaSuka