Perangkat Lunak Indonesia
Indonesia dibangun bukan tanpa persiapan. Lewat olah pikir pemuda-pemuda berpendidikan Eropa, dasar-dasar negara digali, bahasa persatuan dipilih, dan undang-undang disusun. Mengerjakan itu semua, mereka tanpa bantuan siapa-siapa. Hanya melihat-lihat best practice di negara lain, serta mengambil beberapa kearifan lokal. Dasar negara terilhami dari semangat sosialis dan anti-kolonialisme yang sedang hangat-hangatnya dipertengahan abad ke-20 lalu. Undang-undang negara, banyak diambil dari hukum positif Belanda yang berkiblat ke hukum-hukum Turki Utsmani.
Bahasa Melayu, bahasa yang berurat akar di Sumatera Timur dan telah menjadi lingua franca sejak berabad-abad lalu, dipilih menjadi bahasa persatuan Indonesia. Masalah dipilihnya Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, sempat menjadi perdebatan di antara pemuda-pemuda yang sedang melangsungkan Kongres Pemuda II. Ketika itu Bahasa Jawa dan Melayu, berpeluang untuk menjadi bahasa persatuan calon negara baru. Namun dalam kongres tersebut, Mohammad Yamin mengusulkan agar Bahasa Melayu yang dipilih. Selain sudah dikenal masyarakat luas, Bahasa Melayu cenderung mudah digunakan dibanding Bahasa Jawa yang berkasta-kasta.
Melalui dunia tulis menulis-lah kemudian bahasa Indonesia maju dan berkembang. Para profesional yang menggeluti sastra, syair, dan kewartawanan, banyak melakukan penyempurnaan dan penyegaran gaya berbahasa. Lewat tangan mereka pulalah, masyarakat diperkenalkan dengan kosa kata-kosa kata baru, serta tata cara penulisan yang mudah dan menarik. Orang-orang seperti Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, dan Pramoedya Ananta Toer, telah mengubah bahasa Melayu yang kuno dan pasaran, menjadi bahasa yang menarik dan enerjik.
Budaya dan kesenian Indonesia, dibangun dari unsur-unsur lokal kedaerahan. Budaya-budaya daerah yang bagus dan menarik, akan diambil dan naik status menjadi budaya nasional Indonesia. Beberapa produk budaya yang sudah naik status antara lain : batik, silat, rendang, jamu, dan songket. Batik dan jamu, pada mulanya merupakan olah kreatif masyarakat Jawa, sedangkan silat dan rendang, telah lama mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minang.
Kebingungan terjadi ketika negara lain mengklaim produk budaya tersebut menjadi bagian budaya mereka. Seperti kasus baru-baru ini, dimana pihak pemerintah Malaysia mengklaim rendang dan batik sebagai produk budaya asli Semenanjung. Ketidaksenangan dan reaksi berlebihan, ditunjukkan oleh anak-anak muda Indonesia. Sambil membakar-bakar lambang negara Malaysia, mereka mengecam keras pengakuan tersebut. Kesalahpahaman dan ketidakmengertian memang acap kali terjadi di antara dua negara serumpun. Orang-orang Indonesia yang marah-marah itu, mungkin sepenuhnya tidak memahami, kalau masyarakat Malaysia juga terdiri dari perantauan Indonesia yang membawa budaya asli mereka ke tanah seberang. Sehingga tak sepenuhnya salah, apabila batik dan rendang yang dibawa oleh perantau-perantau Minang dan Jawa, terpilih menjadi bagian budaya Malaysia.
Politik Indonesia
Politik Indonesia merupakan suatu subyek yang menarik untuk dikaji. Selama 65 tahun perjalanannya, dua model sistem pemerintahan telah diberlakukan. 14 tahun pertama berdiri, Indonesia memakai sistem pemerintahan parlementer, dengan seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Dalam waktu singkat itu, sepuluh orang muncul sebagai kepala pemerintahan Indonesia. Sutan Sjahrir (1945-1947) menjadi pejabat perdana menteri yang pertama.
Pada mulanya sistem parlementer berjalan cukup baik dan sesuai dengan aspirasi politik rakyat Indonesia. Namun rongrongan demi rongrongan dari lawan-lawan politik, berakibat tidak berjalannya program-program pemerintah secara efektif. Empat kubu yang bersaing, nasionalis (PNI), agamis (Masyumi-NU), sosialis (PSI), dan komunis (PKI), saling serang dan menjatuhkan. Dalam penyusunan undang-undang dasar di parlemen, pihak-pihak yang bersaing tidak menemukan kesamaan pendapat. Kegagalan ini berujung dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tahun 1959. Dekrit ini juga sebagai penanda diberlakukannya sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan yang baru.
Sistem ini ternyata tidak menjawab kegagalan yang terjadi sebelum-sebelumnya. Soekarno yang mengeluarkan dekrit tersebut, mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup. Tanpa penyeimbang Mohammad Hatta yang telah mengundurkan diri tiga tahun sebelumnya, Soekarno merasa di atas angin. Setelah mendudukkan dirinya sebagai kepala pemerintahan, dia membubarkan partai-partai pesaingnya, Masyumi dan PSI. Pemenjaraan Sjahrir dan Natsir, dua pentolan kubu sosialis dan agamis, menimbulkan kekacauan di mana-mana. Hingga meletusnya peristiwa Gestapu yang didalangi politisi-politisi berhaluan komunis, sudah ratusan orang yang digiringnya ke dalam hotel prodeo. Peristiwa Gestapu menjadi titik tolak kejatuhan Soekarno, dan partai komunis yang telah bercokol selama 40 tahun di bumi Nusantara.
Naiknya Soeharto tidak menjadikan segalanya membaik. Alih-alih menyempurnakan sistem pemerintahan, Soeharto malah memanfaatkan sistem presidensial sebagai alat legitimasi untuk membangun kediktatoran. 32 tahun dia berkuasa, perpolitikan Indonesia semakin karut marut dan tak menentu. Badan-badan tinggi dan tertinggi negara, yang seharusnya menjadi pengontrol jalannya pemerintahan, malah diisi oleh kroni sejawatnya. Golkar sebagai organisasi politik non-parpol, menjadi mesin kekuasaannya yang efektif. Hingga datangnya badai reformasi 1998, Soeharto telah menjabat kepala pemerintahan Indonesia sebanyak tujuh kali.
Semangat reformasi telah mengubah segalanya. Sistem Presidensial yang cenderung totaliter, diubah menjadi Sistem Presidensial campuran, yang mengkombinasikan sistem presidensial dan parlementer sekaligus. Walau sistem campuran ini tidak pernah resmi tertulis dalam undang-undang dasar negara, namun pada prakteknya sistem seperti itulah yang berlaku hingga saat ini. Sistem ini mencapai klimaksnya ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono jilid kedua, menciptakan sebuah pos baru yang dikenal dengan ketua sekretariat gabungan partai koalisi. Aburizal Bakrie, orang yang menempati pos baru tersebut, seolah-olah bertindak seperti perdana menteri. Yang bisa mengontrol sekaligus memanggil anggota kabinet berkinerja buruk. Penciptaan pos baru tersebut, sebenarnya lebih karena tidak berjalannya sistem presidensial murni. Hal ini boleh jadi berpangkal dari ketakutan seorang kepala pemerintahan, yang sewaktu-waktu dapat dilengserkan karena adanya mosi tidak percaya dari para anggota parlemen. Abdurrahman Wahid, yang menjabat presiden periode 1999-2001, pernah merasakan hal tersebut. Kala itu, Amien Rais dan anggota parlemen lainnya, memberikan vonis ketidakpercayaan dan melengserkan Gus Dur dari tampuk kekuasaan.
Kemajemukan Bangsa
Tiga kota yakni Jakarta, Jogjakarta, dan Bukittinggi, tercatat pernah menjadi ibu kota Indonesia. Namun dari ketiga kota itu, hanya Jakarta-lah yang paling cocok menjadi ibu kota negara. Selain infrastruktur dan letaknya yang memadai. Jakarta juga merupakan Indonesia yang sebenarnya. Sebuah kota yang terletak di Pulau Jawa, namun lebih banyak mendapatkan pengaruh budaya Melayu. Tidak seperti dua kota lainnya yang masing-masing banyak dihuni orang-orang Jawa dan Minangkabau, Jakarta merupakan sebuah melting pot yang diisi oleh berbagai macam etnis dan suku bangsa. Kondisi majemuk semacam itu, tentu sangat mempengaruhi daya tahan sebuah bangsa.
Kemajemukan tidak hanya terlihat di ibu kota Jakarta saja. Di bagian-bagian lain Indonesia, kemajemukan itu benar-benar terwujud dan berjalan dengan baik. Di Medan misalnya, yang diisi sepertiga suku Batak, sepertiga orang Jawa, dan sepersepuluh etnis Tionghoa, kerusuhan antar etnis hampir-hampir tidak pernah terjadi. Begitu pula di propinsi Kalimantan Timur dan Lampung, yang komposisi etnis pendatangnya lebih besar dibandingkan orang-orang asli, kerusuhan tidak pernah muncul ke permukaan.
Kecemburuan antar etnis memang ada, utamanya jika berurusan dengan masalah politik dan pendapatan. Di Papua yang masyarakatnya relatif terbelakang, seringkali masyarakat lokal harus kalah bersaing dengan etnis-etnis pendatang. Di pasar-pasar, kecemburuan mereka banyak ditujukan kepada pedagang-pedagang Bugis yang mendominasi perdagangan. Tak sekali dua kali pembakaran pasar terjadi, sebagai bentuk protes mereka terhadap pendapatan yang senjang. Begitu pula yang terjadi di Aceh menyangkut perebutan kursi politik. Orang-orang Jawa yang telah lama bermukim disana dan ingin menduduki jabatan politis tertentu, kerap dikebiri hak-haknya. Pencalonan mereka sering kali dipersulit. Kalaupun ada yang berhasil terpilih, arus besar akar rumput tidak akan penuh mempercayainya. Sikap seperti itu muncul, karena ketidaksenangan rakyat Aceh terhadap pemerintahan Indonesia yang didominasi orang-orang Jawa, yang telah menimbulkan kesengsaraan berkepanjangan bagi masyarakat luas.
salam semangat ngeblog kawan2 ,,,buat teman-teman yang mau tukeran link dengan ku silahkan hubungi aku ya,,pasti tak link balik juga
http:/yoyon12.wordpress.com
SukaSuka