Tanggal 28 Mei nanti, Liga Champions Eropa (d/h Piala Champions) kembali menggelar partai puncak untuk seri yang ke-56. Klub yang bertarung adalah Barcelona (Barca) kontra Manchester United (MU), dua tim unggulan yang acap wara-wiri dalam lima partai final terkahir. Pertemuan ini merupakan final ulangan dua tahun lalu, yang berkesudahan 2-0 untuk kemenangan Barca. Namun final kali ini boleh jadi ceritanya akan berbeda. Sebab MU diuntungkan oleh tempat perhelatan yang akan berlangsung di Wembley Stadium. Publik London tentunya akan memberikan dukungan penuh kepada tim asal kota Manchester itu, walaupun di kompetisi domestik mereka berseteru.
Meski MU bermain di “kandang” sendiri, namun rumah-rumah judi ternama di Eropa tetap mengunggulkan Barcelona. Masih bercokolnya para pemain yang mengantarkan Spanyol menjadi juara Piala Dunia lalu, menjadi faktor keunggulan Barca. Selain itu Barca merupakan tim langganan Liga Champions (LC). Setidaknya dalam lima tahun terakhir, Barca empat kali lolos ke babak semi final, dan meraih dua trofi juara. Faktor pelatih juga menjadi kunci keberhasilan mereka. Walau Guardiola kembali berhadapan dengan sang senior Sir Alex Fergusson, namun semangat muda dan kebersamaannya, lebih berpeluang untuk mengantarkan Barca sebagai juara. Faktor lain adalah mental anak-anak Barca yang sedang menanjak, setelah menaklukkan rival abadi mereka Real Madrid di babak semi final.
Jika dalam partai puncak nanti, Barca berhasil keluar sebagai pemenang. Maka untuk kali yang keempat, tim asal Catalan tersebut meraih trofi juara. Begitu pula dengan MU, partai final nanti memberikannya kesempatan untuk menambah gelar juara yang keempat. Jumlah tersebut sekaligus akan menyamai rekor Bayern Muenchen serta Ajax Amsterdam.
Apabila kita meniti jalan sejarah Liga Champions, maka terlihat bahwa hanya tiga negara yang mendominasi kompetisi tersebut : Italia, Spanyol, dan Inggris. Italia sering diwakili oleh klub asal kota Milan : AC Milan dan Internazionale, Spanyol oleh Real Madrid dan Barcelona, sedangkan Inggris acap disokong Liverpool dan MU. Dari klub-klub tersebut, Real Madrid-lah yang paling banyak mengangkat trofi. Yakni 9 kali dari 12 partai final yang dilakoninya. Disusul oleh AC Milan dan Liverpool, masing-masing 7 dan 5 gelar.
Di masa awal kompetisi ini bergulir, La Liga Spanyol langsung mendominasi tahta juara. Dari 10 musim kompetisi pertama (1955/56-1965/66), La Liga mengirimkan 8 wakilnya di partai puncak, dengan 5 titel juara berturut-turut (1956-1960). Kemudian pada musim 1962/63-1968/69, giliran Italia yang merajai. Dengan menempatkan 5 wakilnya di partai puncak, serta meraih 4 gelar juara. Di paruh pertama dasawarsa 1970-an, kampiun Eropa dibagi rata antara Jerman dan Belanda. Masing-masing negara meraih juara tiga kali berturut-turut, sekaligus mengangkangi dominasi Italia dan Spanyol.
Memasuki paruh akhir era 1970-an, giliran Inggris yang menguasai Eropa. Dominasi Liga Premier Inggris, bahkan berlangsung hingga tahun 1985. Dimana dari 9 musim kompetisi (1976/77-1984/85) Piala Champions, 8 wakil Inggris duduk di partai puncak, dan 7 klub berhasil menggondol juara. Tragedi Heysel yang disebabkan oleh ulah sebagian hooligan Inggris, berbuah sanksi berupa larangan bermain untuk klub-klub asal Inggris di semua kompetisi Eropa. Larangan ini sekaligus menghentikan laju dominasi Inggris, dan mengangkat pamor Italia yang telah tertidur selama satu dasawarsa.
Pada tahun 1992, format Piala Champions berubah menjadi Liga Champions. Hal ini memberikan keuntungan kepada negara-negara yang memiliki kompetisi sepak bola cukup maju. Karena dengan format baru ini, negara-negara maju bisa mengirimkan wakilnya lebih dari satu. Kesempatan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Italia untuk berjaya di semua kompetisi Eropa. Tidak hanya di Liga Champions, 7 Magnificent-nya Italia juga berjaya di ajang Piala Winners dan Piala UEFA. Musim kompetisi 1988/89 menandai kebangkitan klub-klub Italia, dengan keluarnya AC Milan sebagai juara. Hingga tahun 1997/98, Italia telah menempatkan 9 wakilnya di final Liga Champions, dengan torehan 4 gelar juara.
Di penghujung milenium kedua, format Liga Champions-pun kembali berubah. Dengan mengikutsertakan 32 klub pada fase group stage. Hal ini tentunya akan memberikan peluang terjadinya final satu negara. Dan benar saja, pada musim kompetisi 1999/00, tiga klub Spanyol hadir di babak semi final : Barcelona, Real Madrid, dan Valencia. Sebelum akhirnya Madrid dan Valencia bertemu di partai puncak. Sejak format baru ini bergulir, hanya ketiga negara itulah yang mencatatkan final satu negara. Selain Spanyol, Italia melakukannya pada tahun 2003 dengan mempertemukan Milan dan Juventus. Dan kemudian Inggris pada tahun 2008, antara Manchester United dan Chelsea.
Dengan format baru ini, boleh dibilang tak ada satupun negara yang mendominasi kompetisi. Distribusi gelar juara, tersebar merata antara Spanyol, Italia, dan Inggris. Meski di awal abad ke-21 ini Inggris tertinggal dalam perolehan gelar juara, namun secara keseluruhan mereka mendominasi jalannya kompetisi. Hal tersebut ditandai dengan seringnya babak semi final, diisi oleh tiga wakil Inggris. Tradisi ini berlangsung tiga tahun berturut-turut, dari musim kompetisi 2006/07 hingga 2008/09. Pada periode tersebut, MU, Liverpool, Arsenal, dan Chelsea, berganti-gantian mengisi tiga kursi di babak semi final.
Meski Spanyol, Italia, dan Inggris, mendominasi Liga Champions Eropa, namun sedikit sekali dari prestasi klub-klub tersebut yang berimbas kepada tim nasional mereka. Di turnamen Piala Eropa misalnya, Spanyol hanya meraih dua gelar juara, Italia sekali, dan Inggris bahkan tidak pernah keluar sebagai juara. Prestasi Inggris yang sangat memilukan, bahkan telah terlampaui oleh negara-negara dengan kompetisi sepak bola seadanya, seperti Yunani, Denmark, dan Cekoslovakia. Sedangkan untuk ajang Piala Dunia, sejak bergulirnya Piala Champions, Italia baru meraih dua trofi, sedangkan Inggris dan Spanyol masing-masing hanya satu trofi.
Keberhasilan Spanyol di ajang Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010 lalu, mungkin salah satu contoh dari sedikit keberhasilan klub yang berdampak kepada prestasi tim nasional. F.C. Barcelona yang mengisi separuh line-up timnas Spanyol, menerapkan cara bermain tika-tiki, yang telah mengantarkan mereka menjuarai Liga Champions 2006 dan 2009.